Diberdayakan oleh Blogger.
  • Home
  • About
  • Lifestyle
  • Personal
    • Opini
    • Thoughts
    • Slice of Life
    • Poetry
    • Intermeso
  • Podcast
  • Review
instagram LinkedIn Spotify YouTube Email

Notes of Little Sister




Puisi cinta Luka Dalam Lentera

Halo! Sebelumnya aku pingin berterimakasih yang sebesar-besarnya atas apresiasi teman-teman untuk label Podcast dan Poetry yang sejauh ini sudah terbit 3 episode untuk podcast dan 4 untuk puisi. Aku nggak mengira antusiasme-nya akan sebesar ini. Iya, bagiku segala apresiasi yang diberikan teman-teman sampai saat ini sudah begitu besar, hingga aku bisa selalu termotivasi untuk menulis setiap minggunya. Terima kasih banyak!🤗❤️

Unfortunately, minggu ini aku nggak bisa buat podcast seperti biasanya karena satu dan lain hal. Tapi tenang ajaa, aku punya puisi untuk teman-teman semua, yeay! Actually, this isn't mine. This poem is written by significant other. So, semoga suka dan selamat membaca!

o-o

Luka Dalam Lentara


ditulis oleh: LH

Ada apa di dalam lentera?
Lelaki itu berkata,
"Ada ia yang ada, lalu tiada".
Ialah sang hawa
yang terucap namanya,
dalam sujud di waktu duha.

Ada apa di dalam lentera?
"Ada tuan yang hilang tawanya".
Kecewanya mengutuk sang hawa
yang ia sebut namanya,
dalam malam berjumlah sepertiga.

Ada apa di dalam lentera?
"Ada pemuda yang bermuram durja".
Sedihnya menangisi sang hawa.
Ia tak tahu,
nama yang ia tengadahkan ke angkasa
tak sesuai,
dengan takdir pemberian Tuhannya.

Sudah jelas kiranya,
wahai puan pembawa beribu tanya.
Jangan sekali-kali,
kau melihat ke dalam lentera.
Takkan kau temukan suatu apa.
Hanya seonggok jasad penuh luka.

Kau tanya siapa pelakunya?
Sang hawa.

Nah, kira-kira ada yang bisa nebak nggak isinya tentang apa? Tuliskan pendapatmu di kolom komentar yaak!😄
Share
Tweet
Pin
Share
12 komentar

Stigma Posisi Anak di Keluarga Dalam Sudut Pandang Si Sulung


Sebelumnya, saya ingin berterimakasih kepada kak Eno yang sudah buat konten Paid Guest Post di situs blognya sehingga saya punya kesempatan untuk menuliskan pemikiran ini, yang sudah lama sekali ingin dibagikan namun terkendala writer's block. Meski ada sedikit perubahan atau penambahan dari tulisan aslinya di beberapa bagian setelah melalui proses perenungan (re-read), akhirnya bisa tertuang juga disini.😁🎊

Ini mungkin salah satu cerita paling personal yang gue tulis lagi setelah sekian lama, semoga suka dan bisa menginspirasi teman-teman dan kakak sekalian untuk mau terus sama-sama belajar dari orang lain, dari mereka, orang-orang hebat di luar sana yg tanpa sadar sosoknya selalu dekat dengan kita.😇

Sembari menikmati waktu santai, gue cantumin playlist dari album Mantra Mantra milik Kunto Aji di bawah ini. Selamat membaca dan mendengarkan!💕


o-o

Sebagai manusia, sifat ingin menjadi nomor satu sepertinya selalu melekat di dalam diri, secara sadar atau nggak. Bukan hanya persoalan misoginis atau misandris yang menjadikan orang lain atau gender lain inferior karena pingin terlihat berbeda, but it also happens to certain circles, bahkan ruang lingkup keluarga. Sebagai seorang anak, pernah gak sih lo merasa lebih kuat dari yang lain? Atau merasa dibedakan dan dianggap lemah daripada saudara yang lain?

Beberapa waktu lalu gue nemu sebuah postingan di twitter tentang stigma anak perempuan pertama.

Stigma Posisi Anak di Keluarga Dalam Sudut Pandang Si Sulung
Dari reply-an itu banyak yang merasa jadi anak pertama itu sebuah beban. Berat, harus selalu jadi contoh yang baik, harus terlihat kuat, tegar, mandiri, jadi tulang punggung keluarga, tanggungjawab pun lebih besar, segala masalah dan kesedihan harus ditelan sendiri—sebab nggak ingin rasa sedihnya dibagi, lalu jadi pengharapan keluarga, terlebih saat dia juga menjadi cucu pertama yang lahir. Saat ada masalah dia yang harus merangkul, saat ditimpa segala macam rasa nggak menyenangkan pun dia yang pertama kena getahnya, nggak jarang dia juga harus mendengarkan dari berbagai sisi saat dirinya sendiri selalu memendam semua masalah.

Gue paham, semua itu bukan cuma stigma dan isapan jempol. Sebagai anak sulung, i know exactly how it feels. Apalagi tumbuh sebagai anak "broken home" sejak di tingkat akhir bangku sekolah dasar, banyak perasaan yang gue nggak ngerti apakah itu kesedihan atau bukan, sehingga akhirnya dipendam sendiri. Sebagai anak sulung, gue juga merasa harus selalu kuat, gue harus tampak berwibawa untuk menerima segala problema yang ada—yang tanpa sadar membuat gue memendam luka cukup lama. Dulu, waktu pertama kali harus tumbuh di tengah-tengah orangtua yang "divorced", gue nggak merasakan sedih sama sekali. Kecewa mungkin ada, tapi ayah gue yang selalu menasihati gue untuk jangan menangisi perceraian ayah dan ibu karena itu masalah mereka, sehingga gue pun mengerti untuk tetap menjalani hidup seperti biasanya, dan bahwa gue nggak boleh sedih. Toh gue harus bisa merangkul adik-adik gue yang masih kecil, yang bahkan nggak tahu kenapa mamanya nggak lagi tidur bareng mereka—which was so painful. Mungkin karena hal itu, gue pun sempat tumbuh menjadi seseorang yang beku hatinya. Ngeliat orang lain terluka sedikit, gue cibir. Ngeliat orang lain nangis hanya karena masalah pacar, nggak gue hirauin. Gue selalu merasa apa yang gue alami lebih menyedihkan daripada itu semua dan gue merasa gue berhasil buat melewati itu—yang sebetulnya nggak sama sekali, sebab gue hanya terbiasa memendam kesedihan dan denial dengan perasaan gue. 

Sebagai anak sulung dan tinggal dalam keluarga sederhana, gue pun berkeinginan untuk memberikan keluarga gue lebih dari apa yang mereka miliki saat ini, dan mungkin apa yang sempat mereka miliki dulu. Karenanya gue menjadikan diri ini sebuah beban, meski keluarga sendiri pun sebetulnya gak berharap gue memandang mereka dan diri gue sendiri sebagai beban, but it does. Entah kenapa rasanya udah otomatis aja tertanam dalam pikiran gue, mereka—si anak sulung—untuk menanggung beban yang tidak seharusnya mereka pikul dan nggak seharusnya dianggap beban. Semua itu kemudian membentuk mental dan pola pikir bahwa anak pertama itu hebat, powerful, gak tertandingi dan kuat, baik anak laki-laki maupun perempuan. Gue pun awalnya berpikiran seperti itu, apalagi melihat sosok ayah dan ibu yang sama-sama memiliki figur sebagai anak sulung di dalam keluarganya masing-masing. Sampai pada suatu masa dimana gue mendengar curhatan beberapa teman gue yang tumbuh bukan sebagai anak sulung, yang membuat gue mencoba membuka mata lebih lebar soal peran masing-masing anak dalam keluarga.

Gue pernah beberapa kali mendengar curhatan teman gue yang hidup sebagai anak tengah, atau pangais bungsu. Menjadi anak tengah, yang sebelumnya gue pikir gak banyak menanggung beban pun sama, mereka ternyata menanggung beban, perasaan dan tekanan masing-masing. Seringkali mereka harus tumbuh dibayang-bayangi oleh kakak mereka yang sukses, atau kalau nggak, mereka pun jadi pengharapan ayah dan ibu jika anak pertamanya dianggap mengecewakan—layaknya memiliki anak adalah sebuah catur yang dipaksa berjalan dan menang. Sering juga mereka kehilangan perhatian dan kasih sayang secara utuh, karena semuanya sudah dikerahkan untuk si sulung saat ia belum lahir, dan lagi-lagi semuanya harus dikerahkan untuk si bungsu yang akan atau sudah lahir. Berada di tengah-tengah sosok kakak dan adik seringkali membuat mereka terombang-ambing untuk bagaimana seharusnya bersikap sebagai adik yang baik dan juga sebagai kakak yang harus turut berperan menjadi contoh yang baik. At the same time, mereka harus terlihat seperti anak yang biasa-biasa saja, dan tampak bahagia karena punya kakak dan adik yang bisa dirangkul dan bisa merangkul dirinya. Kenyataannya, hidup nggak serta merta selalu seindah itu. Dia juga harus merangkul dirinya sendiri, menyadari bahwa masing-masing kakak dan adiknya tengah berjuang dengan kehidupannya. 

Gue pun berusaha melihat lebih jauh ke dalam sosok adik-adik gue. Saat melihat adik-adik gue, selama ini yang ada di kepala gue adalah rasa sedih mengetahui masa kecil mereka yang tidak selengkap gue. Gue hanya menyayangkan tentang mereka yang harus tumbuh dalam keluarga broken home bahkan sedari balita, tapi gue nggak sadar bahwa mereka juga punya peran masing-masing. Sebagai kakak, gue tahu betapa seringnya adik gue dibanding-bandingkan untuk paling nggak sama dengan gue. Mungkin secara tidak langsung hanya gurauan singkat, but who knows what's inside his heart? Pasti pernah beberapa kali ada perasaan bosan dan lelah dibanding-bandingkan, diminta untuk berlaku sama dengan kakaknya. Sering juga gue menyaksikan adik pertama gue ini—technically anak kedua, diminta untuk memberikan contoh yang baik kepada adik bungsunya yang usianya tidak terpaut jauh. Itu artinya, segala tugas dan tanggungjawab dalam tali persaudaraan gak mesti selalu ada di tangan anak pertama seperti gue. Even as the older one, he also has the responsibility to take care his brother. Apalagi saat gue sendiri sedang jauh dari rumah, posisi anak pertama akan dilimpahkan ke anak kedua untuk memberi contoh bagi adiknya.

Soal banding-membandingkan pun kerap berlaku pada si bungsu. Tumbuh dan berkembang di antara kakak-kakak yang terbilang lumayan bagus secara akademik pun terkadang menjadi tekanan bagi mereka yang terlahir paling akhir—dalam hal ini adik gue, untuk paling tidak dituntut bisa menyamai posisi kakak-kakaknya. Terlebih sebagai anak yang sedikit berbeda, dianggap lebih lambat (biasanya orang lain juga sering mengaitkan kepintaran dengan posisi anak dalam keluarga nih) dan cenderung tempramental, gue tahu, berat pastinya menjadi dia karena harus dibandingkan seperti kakak-kakaknya, padahal bukan salahnya kalau dia tumbuh menjadi seseorang yang berbeda dari kami. Contohnya dalam hal mengaji, adik gue yang bontot ini terbilang lebih lamban dalam belajar soal tajwid dibanding kami, yang mana semua itu terjadi bukan tanpa alasan. Ini juga yang kadang bikin gue sedih, adik gue ini tumbuh saat orang-orang di sekitarnya sudah mulai sibuk dengan kegiatan masing-masing, sehingga gak ada lagi waktu untuk mengajarinya mengaji. Gue, yang saat itu sudah kuliah di luar kota harus berhenti mengajarinya dan melimpahkan tugas gue kepada adik gue yang pertama. Tapi karena usia mereka memang cuma terpaut dua tahun, otomatis banyak berantemnya daripada akurnya, alhasil si bungsu lebih milih belajar sendiri daripada diajarin kakaknya yang kedua. Stigma soal anak bungsu selalu dapat perhatian penuh dan dituruti orangtua pun nggak gue temukan di dalam sosok adik gue. Tentu, gue nggak menyudutkan orangtua gue, gue percaya ini yang namanya bagian dari takdir, dan gue tahu orangtua gue juga mengalami masa-masa yang sulit, tapi begini realitanya. Gak semua anak bungsu bahagia dan dimanja. Gak semua anak bungsu dekat sama mama atau papanya.

Inipun berlaku untuk tante gue, sosok anak bungsu yang juga bikin gue bisa belajar tentang hidup dan melihat dunia lebih luas lagi. Dia anak bungsu dan perempuan satu-satunya dari tiga bersaudara (sama seperti gue), dan mungkin memang terkesan lebih dimanja dan diatur (terbukti doi dulu jarang banget nyuci pakaian dan nyetrika😂), tapi fakta itu gak bisa dijadikan alasan bahwa hidupnya sebagai anak bungsu selalu enak, karena kenyataannya nggak. Dia tetap jadi pengharapan keluarga dan tulang punggung karena ayah kami, yang mana adalah anak pertama, tidak bisa sepenuhnya membiayai kebutuhan keluarga karena harus memikirkan soal anak-anaknya dan kebutuhan lain. Being one of those called the sandwich generation, she has also been through a hard life when it comes to man, gue nggak bisa menceritakan ini lebih dalam since it's too private, tapi dari situ gue mendapatkan banyak sekali tambahan pelajaran soal pernikahan. Bayangin, dari anak bungsu yang selama ini dianggap orang manja dan gak bisa apa-apa, justru gue bisa mendapat pelajaran dan nilai-nilai kehidupan dari lika liku yang dia alami. Gue juga menjadi salah satu saksi hidupnya, saat tante gue dari SMP sudah bekerja mencari tambahan uang jajan untuk sekolahnya. Dia pernah bekerja menjadi penjaga toko, dia juga sempat beberapa kali berjualan nasi ketan keliling komplek perumahan setiap pagi sebelum berangkat sekolah, bahkan saat dia sudah lulus dan bekerja pun masih sempat-sempatnya memikirkan kami, keponakan-keponakannya dengan membelikan pakaian baru, memberi uang jajan, membelikan ini itu, membawakan makanan dan berbagai camilan, sampai mengajak jalan-jalan kemanapun. I learned a lot from her that being the younger one doesn't always have a happy little tale.

Stigma yang berlaku di lingkungan sekitar pun seringkali menayangkan sisi yang enaknya saja dari menjadi seorang anak bungsu dengan segala fasilitas yang terpenuhi. Padahal kata siapa anak bungsu nggak punya beban dan hidupnya enak terus? Mereka pikir mudah dibayang-bayangi antara kesuksesan atau bahkan kegagalan kakak-kakaknya? Mereka pikir mudah hidup dengan kasih sayang berlebihan yang terkadang mengekang dan membatasi ruang gerak? Nggak. Gak ada yang mudah, karena masing-masing punya beban psikis atau fisik yang harus ditanggung, sadar atau ngga.

Keegoisan gue sebelumnya menjadi anak perempuan pertama yang terkesan sangat berat pun mulai terkikis perlahan-lahan. Bahwa hidup setiap anak, apapun peranannya memiliki tanggungjawab dan beban yang dipikul masing-masing, yang bagaimanapun gak bisa disamakan. Peranan ini pun bahkan gak cuma berlaku untuk anak-anak yang punya saudara. Gue sering pula mendengar stigma bahwa anak tunggal cenderung hidupnya enak, serba difasilitasi dan dimanja karena dia jadi satu-satunya harapan keluarga. Emang mereka pikir enak jadi satu-satunya harapan keluarga? Nggak, beban pasti lebih besar. Ditambah harus hidup dalam kesendirian dan kesepian mendambakan sosok kakak dan adik yang dimiliki orang lain. 

Gue bilang seperti ini bukan tanpa alasan. Gue pun punya sahabat, dia anak tunggal, ayahnya nggak merawat dia sejak kecil, dan bahkan keluarga ayahnya gak mengakui keberadaannya. Kenyataan paling menyakitkan yang juga gue saksikan sebagai teman kecilnya adalah dia harus tinggal sendiri alias tanpa sosok ayah dan ibu sejak kelas 5 SD karena ibunya meninggal saat itu. Dia dirawat oleh keluarganya, yang kata orang lain sih serba enak, serba ada karena keluarganya borjuis, but man.. it's not all about money. Gue tahu betapa kosong dan hampanya menjadi anak tunggal yang digadang-gadang oleh orang lain serba enak dan serba dimanja. Gue tahu cerita hidupnya, gimana dia menghadapi berbagai cemoohan atau kalimat nggak mengenakan yang datang dari orang-orang sekitarnya, dan harus menanggung semuanya sendiri karena nggak ingin membagikan rasa sedih ke saudara yang lain, atau mungkin karena gak ada seseorang yang bisa dia jadikan tumpuan. She was being lonely and carries the sadness all alone. Tinggal di keluarga yang berkecukupan gak serta merta membuat hidupnya berkecukupan, dia tetap bekerja menghidupi dirinya sendiri. Meski begitu, gue sangat bersyukur karena dia masih punya paman, tante dan ponakan yang setidaknya membuat hidupnya terasa lebih penuh, dan tambah bersyukur karena dia sekarang punya sosok lelaki yang memberi warna baru dalam hidupnya. 

Lesson learned. Menjadi anak tunggal pun gak seindah itu. Bahkan gue percaya masih banyak anak tunggal lain di luar sana yang punya bebannya masing-masing, yang memendam perasaannya masing-masing, yang hidupnya gak selalu bahagia tanpa air mata. Gue namai sosok ini sebagai Langit, karena perannya gak disebut dalam keluarga Narendra. Oh iya, siapa keluarga Narendra? 

Keluarga Narendra ini ada kaitannya dengan judul yang gue sematkan di atas. Mungkin ini juga yang menjadi pertanyaan teman-teman sekalian kenapa judul tulisan ini harus berbau astronomi. Well, seperti yang sudah gue ceritakan di atas, semua ini tentang sudut pandang gue terhadap stigma mengenai posisi masing-masing anak dalam keluarga. Narendra adalah kepala keluarga atau ayah dari Angkasa, Aurora, dan Awan. Mereka ini adalah tiga bersaudara dalam film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini, salah satu film bertema keluarga yang tayang pada awal Januari lalu. Meski secara pribadi gue nggak terlalu relate sama isi cerita film ini karena menggambarkan kehidupan keluarga di kelas menengah atas dan memperlihatkan keluarga yang utuh, gue tetap mengapresiasi keseluruhan cerita yang secara garis besar  dapat menggambarkan intrik yang selama ini terjadi dalam sebuah keluarga. Ditambah dengan fokus utamanya yang memang tidak lepas dari penggambaran karakter masing-masing, dimana Angkasa adalah anak pertama, Aurora adalah anak kedua, dan Awan sebagai anak bungsu. Tadinya gue ingin menamai tulisan ini sebagai; Di Balik Keluarga Narendra, tetapi karena semua tulisan ini adalah tentang sudut pandang gue, si anak sulung yang berusaha untuk melihat lebih luas tentang sosok Aurora, Awan, dan Langit, maka gue ubah menjadi Di Balik Angkasa. 
 Sumber gambar: Swara Tunaiku

Karena semua ini adalah tentang sudut pandang gue, maka apa yang tertulis mungkin tak lebih baik dari kenyataannya. Bisa saja benar, atau bahkan bisa saja salah. Namun gue pribadi murni hanya ingin berbagi tentang apa yang gue dapat selama ini dari proses belajar dalam memahami dan mendengarkan cerita-cerita mereka sebagai sesama anak sulung, lalu mendengarkan cerita si anak tengah, bungsu, bahkan tunggal, orang-orang terpenting dalam hidup gue yang pastilah punya sisi berbeda dalam perjalanan hidupnya. Toh bukankah kenyataannya stigma yang selama ini hidup dalam lingkungan kita memang selalu terkesan mengungguli salah satu dan membanding-bandingkan satu dengan yang lainnya?

Oleh karena itu juga, gue ingin menjelaskan bahwa sepanjang tulisan ini dibuat, gue sama sekali gak bermaksud menyudutkan para orangtua—atau orangtua gue sendiri. Gue sama sekali nggak menyalahkan mereka atas berbagai problema yang gue dan adik-adik sendiri alami. Gue tahu, mereka hanya sesosok manusia yang tidak sempurna, punya salah dan kekhilafan, mereka juga gak selamanya bisa memahami perasaan dari masing-masing anak mereka, dan gue yakin pasti seburuk apapun mereka berkeinginan agar anaknya menjadi versi terbaik dari dirinya.

Berangkat dari pembelajaran-pembelajaran itu, gue yang tadinya menutup mata dan selalu merasa menjadi yang paling kuat dan tegar di antara tiga bersaudara pun perlahan bisa membuka mata selebar-lebarnya. Gue berusaha untuk mengerti, bahwa bahkan gak hanya seorang anak dalam sebuah keluarga saja yang boleh sedih dan merasa terpuruk, tetapi kita, sebagai manusia, pada dasarnya semua merasakan sakit dan punya masalahnya masing-masing. Nggak perlu merasa tinggi hati dan merasakan bahwa sakit itu hanya kita yang punya seorang diri—mungkin sebetulnya sah-sah saja, but let me tell you, terus beranggapan bahwa hanya diri sendiri yang merasakan sakit hanya akan membuat diri kita selamanya tinggal dalam rasa sakit itu sendiri. Sesekali kita perlu menengok, melihat, mendengar dan mengamati kehidupan di luar sana. Karena semua orang sudah ada porsinya, bahkan untuk merasa sedih dan bahagia. Gak ada anak pertama yang lebih kuat, gak ada anak bungsu yang lebih dimanja, gak ada anak tengah yang hidupnya penuh kasih sayang, gak ada anak tunggal yang bebas dari tanggungjawab karena serba difasilitasi. Kita semua kuat, tangguh dengan caranya masing-masing. Sebab semua manusia sudah punya bagiannya, untuk menikmati hidup yang sebenar-benarnya. Tidak ada yang lebih dan kurang. 

Mungkin menjadi anak pertama memang berat, selalu ada beban yang besar menanti di barisan paling utama. Namun, kita lupa bahwa berada di barisan tengah dan terakhir pun punya beban yang harus ditanggung yang tak kalah beratnya. Apalagi menjadi satu-satunya orang yang berdiri di barisan tersebut, kebayang kan hampa dan takutnya bagaimana? Hanya saja, kita terlalu asik untuk bisa menengok ke belakang dan ke samping. Bahwa ternyata anak tunggal, tengah dan bungsu pun punya ceritanya masing-masing.

Untuk Angkasa-Angkasa lain di luar sana, Aurora, Awan, dan Langit, this is about us. I know it's been always tough for you. Apa yang dibilang orang lain tentang kalian, segala komentar atas perbandingan, gak selamanya benar dan harus diterima. Setiap anak punya cerita dan peranannya masing-masing. Gak ada yang lebih inferior dan superior. Pun rasa sedih yang selama ini tidak bisa dibagi, bukan tanggungjawab orang lain untuk menilai siapa yang patut disandingkan dan dianggap pemenang, karena sejatinya hidup ini adalah tentang memaknai dan memahami, bukan persaingan untuk menjadi yang paling berat hidupnya. Kenapa pula menjadi yang paling sengsara pun harus dinilai sebagai persaingan?

Share
Tweet
Pin
Share
49 komentar

Waktu terasa cepat berlalu
jengah masih dilanda lelah
padahal tubuh telah butuh rebah
"kenapa aku melakukan ini?"
"kenapa harus bekerja disini?"

berbagai tanya tak henti menghiasi hari
sembari menuntun kaki lewati garasi
terpaksa menjalani rutinitas dengan masam
meski mulut tak juga berhenti bergumam
"aku ingin berhenti"

namun henti tak kunjung tiba
sebab rutinitas telah mengaburkan keterpaksaan
tanda tanya berganti tanda seru
"aku terlambat!"
"oh ya ampun, aku ada janji dengan klien!"

sepertinya kita memang harus belajar dari diri sendiri agar bisa mengerti
nyatanya tak semua hal bisa dimulai dengan hati
ada yang dengan terpaksa hingga akhirnya terbiasa
ada yang dengan senyuman namun berakhir tangisan

bisa jadi yang buruk bagimu menjadi berarti, pun sebaliknya begitu.
percayalah kita selalu punya pilihan
meski pada nyatanya berjalan menyeret paksa bukan sebuah pilihan
namun menentukan untuk menjalani adalah bagian dari memilih

selain berkeluh "kenapa aku harus begini?"
tampaknya kita pun harus berpikir,
"kenapa memilih?" dan,
"kenapa mau?"
bukankah pada akhirnya menentukan langkah terburuk pun juga sebuah pilihan?

Share
Tweet
Pin
Share
23 komentar

Kenapa sih generasi 90-an suka meromantisisasi masa-masanya?

Bahasan tentang masa-masa kecil atau masa remaja yang indah sepertinya nggak pernah bosan buat jadi topik utama dalam sebuah obrolan. Seringkali saat sedang reuni, obrolan tentang mengingat masa-masa lampau selalu menarik buat dikenang. Apalagi untuk generasi 90-an dan 2000-an, atau generasi milenial yang tumbuh di antara dua era, rasanya membandingkan antara zaman mereka dimana teknologi tidak semasif seperti sekarang adalah sebuah ulasan wajib yang gak bisa dihindari.

Gue sebagai anak yang tumbuh di tahun 2000-an dan dekat dengan generasi 90-an ini merasa relate kalau udah membahas tentang zamannya MTV nge-trend banget di TV, mulai dari MTV Bujang, MTV Salam Dangdut, MTV Getar Cinta, MTV Global Room, dan MTV Ampuh yang semuanya senantiasa diisi sama VJ-VJ keren nan hits, pun kalau membahas soal program televisi lain yang sifatnya anak muda abis atau bahkan anak-anak dan keluarga, seperti Planet Remaja: Peace, Love, aand *kecup jari* Gaul! (siapa nih yang suka ikut-ikutan gaya ini kalau di sekolah?😂), Komunikata, Tralala Trilili, Kring....kring Olala, Berpacu Dalam Melodi, Kuis Siapa Berani, Who Wants to be Millionaire yang dipandu oleh Tantowi Yahya (beberapa termasuk acara 2000-an banget sih, karena gue anak 2000-an jadi referensinya banyak disana hehe maafkan✌🏻), dan kartun-kartun di hari minggu, telenovela yang merajalela, sinetron-sinetron hits semacam Tersanjung, Cinta, Bidadari, Tuyul dan Mbak Yul, Keluarga Cemara, Jin dan Jun, Disini Ada Setan, 

serta sitkom-sitkom legendaris kayak Bajaj Bajuri, Spontan Uhuy!, sampai ke acara masak di hari minggu yang selalu ditunggu mama-mama seperti Aroma yang dibawakan oleh bu Sisca Soewitomo, Selera Nusantara, Rahasia Dapur Kita, dll, ditambah nama-nama permainan yang gak kalah nge-trend menghiasi zaman itu seperti Yoyo (ingat banget dulu sering banget diketawain sama tante gara-gara main yoyonya gak bener haha), Dakocan, mainan gelembung karet yang bentuknya mungil-mungil dan kalau udah ditiup biasa ditempelin ke wajah, mainan BP/boneka kertas, kapal-kapalan yang bunyinya tok-keletok-keletok, lompat karet, kelereng, ketapel bambu yang pelurunya diisi sama kertas yang dibentuk bulat kecil, gameboy (ini entah kenapa gue dulu nyebutnya jimbot), Nintendo, Tamagotchi, permainan ular naga yang dilakukan ramai-ramai, engkle, egrang, congklak, sampai bola bekel, rasanya kita seperti diajak berlomba-lomba supaya bisa menyebut satu nama dari sekian nama yang ada. Banyak banget, kan, ternyata! Segini masih banyak yang belum ditulis, fiuh.

Kenapa sih generasi 90-an suka meromantisisasi masa-masanya?

"Kenapa sih generasi 90-an begitu meromantisisasi masa-masanya?" tanya si Generasi Z.

Sebelum itu gue mau ngasih tahu dulu, kenapa gue pakai kata romantisisasi instead romantisasi? Awalnya gue terbiasa bilang romantisasi sih, tapi sebetulnya ini salah. Setelah gue cari-cari di KBBI, yang benar adalah romantisisasi. Karena kata romantisisasi sendiri berasal dari kata serapan bahasa Inggris romanticization yang ketika diubah ke dalam bahasa Indonesia menjadi lebih pas romantisisasi, sama seperti spesialisasi dan generalisasi. Dalam KBBI, hanya dapat ditemukan imbuhan -isasi yang konon sudah ada sejak zaman Belanda, yang kalau diartikan maknanya menjadi pengidealan, atau perlakuan sebagai sesuatu yang romantis. Jadi, yang lebih tepat adalah romantisisasi, bukan romantisasi, karena kalau romantisasi maka imbuhannya adalah -asi yang mana tidak ada dalam KBBI.

Anyway, tulisan ini nggak ada kaitannya dengan buku Generasi 90-an karya Marchella FP. Gue justru terinspirasi dari karya-karya beliau dan bertanya-tanya, kenapa sih topik soal ini justru banyak sekali peminatnya? Bahkan beberapa kali ada event yang berkaitan dengan nostalgia dengan tema mesin waktu yang juga diusung oleh komunitas generasi 90-an yang digagas oleh Mba Marchella.

Well, sebetulnya gue merasa adanya generasi X, Y, Z dan lainnya secara nggak langsung mengkotak-kotakan kubu antara usia sekian dan usia sekian, juga zaman sekian dan zaman sekian—walaupun memang tujuannya itu. Maksud gue, gue merasa dengan adanya generasi-generasi tersebut kita jadi menjauhkan diri satu sama lain dari orang-orang yang generasinya berbeda dengan kita dan bahkan membangun batasan setinggi-tingginya. Gak jarang ada orang-orang yang skeptis duluan kalau mendengar asal seseorang dari generasi dan lahir di tahun yang berbeda dengan dirinya, seakan-akan generasi itu otomatis bisa membentuk pemikiran dan karakteristik seseorang. Namun di saat yang bersamaan, menyebut tentang generasi dan mengenang sesuatu yang lahir di eranya adalah sesuatu yang menyenangkan buat dibahas.

Gue personally, seringkali merasa semangat kalau ngomongin tentang masa-masa di bawah tahun 2010-an, ketika gadget dan internet nggak mem-booming seperti sekarang. Siapa sih yang waktu kecilnya nggak senang main petak umpet, main sondakh, main tamiya, main barbie, main kucing-kucingan sampai maghrib baru pulang? We were all have those childhood moments weren't we?

Tapi seperti apa yang ditanyakan oleh Gen Z, gue pun seringkali mempertanyakan hal tersebut ke diri gue. Kenapa sih senang banget kalau ngebahas tentang hal-hal menarik zaman dulu? Apa iya gue nggak bisa lari dari masa lalu? Apa iya gue terlalu mengglorifikasi era 90-an dan era 2000-an, bahkan overproud sama masa-masa pertumbuhan gue?

Ternyata jawabannya sederhana. Gue terlalu lelah dengan kondisi di zaman sekarang yang membuat semuanya tampak terlihat jelas karena internet dan platform seperti media sosial. Gue pun merindukan kejayaan tayangan televisi yang gak lebay, edukatif, dan berkualitas. Seringkali gue mengeluh karena melihat tayangan televisi kita yang semakin kesini tampak semakin tidak kreatif. Oleh karena itu, gak bosan-bosan gue mengeluh soal pertelevisian beberapa kali di blog ini.

Baca juga: Manusia Kaleng

Aneh, kan? Bukannya berkembang maju, justru nilai-nilai dari tontonan yang ada malah masih terasa sama seperti sepuluh tahun lalu, dan sedihnya seperti berkurang. Mungkin keberadaan platform seperti YouTube dan Instagram yang menawarkan lebih banyak keunggulan bikin para kreatif di industri pertelevisian ini kewalahan buat ngikutin. Akhirnya tontonannya banyak yang hanya mencomot dari hal-hal viral yang terjadi di dunia maya. Instead of fokus membenahi tayangan yang tidak sedap dan selalu terkesan dipaksakan tayang, malah fokus mengejar rating, rating, dan rating, dengan dalih mengikuti selera pasar. Padahal statement tersebut sama saja beranggapan bahwa masyarakat kita terlalu bodoh untuk dikasih tayangan yang variatif seperti drama Korea dengan banyak genre dan sinematografi yang mumpuni. Bukan soal selera masyarakat, tapi memang jiwa kapitalisnya aja yang sulit berubah. Padahal logikanya kalau tahu selera masyarakat buruk yaa diubah dong biar jadi lebih bagus. Iya gak, sih? Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Mas Roy, pendiri Remotivi di salah satu artikelnya, Menguji Logika Pandji.

Mungkin karena hiburan kita dulu benar-benar terbatas antara main di luar atau main di rumah, dan sisanya nonton TV, gue pribadi merasa siaran televisi benar-benar memberi pengaruh dalam proses tumbuh kembang gue. Sehingga apapun yang berkaitan dengan nostalgia 90-an atau 2000-an, mungkin kalian pun ingatnya gak jauh-jauh tentang tayangan televisi favorit di zaman dulu. Sebab memang jenis-jenisnya sendiri penuh warna. Bayangin, dulu tuh kayaknya dari usia balita sampai tua ada tayangan favorit masing-masing, dan isinya gak melulu infotainment gosip yang menayangkan hidup artis, tapi banyak pilihan. Acara anak ada (bahkan lagu anak-anak juga bisa dengan mudah kita jumpai), acara anak tanggung sampai remaja pun ada, acara orang dewasa yang tayang di jam-jam tengah malam pun ada, bahkan sampai acara memasak, yang semuanya konsisten tayang hampir di setiap stasiun televisi dan di jam yang sesuai.

Sebetulnya, setelah mengobservasi dan mencari tahu lebih lanjut, selain keluhan di atas, gue nggak menemukan jawaban lain kecuali hanya untuk bernostalgia atau mengenang masa-masa remaja. Dulu orangtua kita pun sepertinya sering menceritakan bagaimana kehidupan mereka di era 70-an dan 80-an berjalan, bahkan gue sering juga diceritakan oleh eyang gue sebelum tidur tentang masa mudanya dulu saat tinggal di zaman Presiden Soeharto, dimana Jakarta masih banyak pohon-pohon besar dan banyak kuntilanak yang berkeliaran (sekarang mungkin udah terhalang gedung-gedung tinggi), dan dimana kejahatan pun rasanya selalu melekat di telinga masyarakat. Yah, walaupun sampai sekarang kejahatan yang dilakukan manusia, entah bunuh-membunuh atau perampokan masih merajalela, dulu lebih parah karena dipengaruhi juga oleh situasi politik yang tampak jelas tidak sehatnya, *kayaknya memang separah itu ya zaman orde baru.

Gue pun sering membicarakan masa kanak-kanak ini dengan teman-teman juga kerabat dekat, bahkan seringkali tenggelam di dalamnya, saking banyak sekali cerita tentang kami yang tidak ditemukan pada anak-anak generasi sekarang.

“Dulu tuh kayaknya kita kecil bahagia banget ya, main lompat tali sama petak umpet gak tau waktu."

"Kayaknya anak-anak dulu pada jadi ekstrovert kali ya. Jangankan sama temen di komplek dalam, sama anak komplek luar aja sampe kenal saking sosialisnya!”

“Eh iya, lho! Kalo anak sekarang sih mainnya gadget, boro-boro kenal yaa sama anak-anak komplek.”

Gue cuma bisa "hmm" aja sih kalau udah sampe situ obrolannya. Tanpa bermaksud membandingkan, sebenarnya perbedaan zaman itu memang gak bisa dipungkiri. Sekarang memang eranya teknologi, gadget dimana-mana, semua dilakukan serba daring, gaya hidup pun pasti akan berubah mengikuti alur ini. Wong namanya juga globalisasi, nggak cuma Indonesia, semua negara mengalami hal yang sama. Bahkan gue juga sering menemukan postingan orang-orang luar di media sosial yang kerap bernostalgia dengan membagikan memes tentang hal-hal yang dilakukan anak kecil di era 90-an dan 2000-an.

Sebab gue sering juga nih nemu orang-orang yang merasa dirinya adalah generasi emas karena tumbuh atau lahir di era 90-an, kocaknya justru yang mengaku generasi emas ini adalah barisan orang-orang yang lahir di 90-an tapi tumbuh di tahun 2000-an, padahal era 2000-an ini masuknya udah zaman milenium walaupun teknologi memang gak langsung pesat perkembangannya.

"Generasi 90-an emang terbaik!"

"Kasihan sama generasi sekarang, gak punya masa kecil yang bahagia."

"Gue dong, masa kecil gue bahagia, gak banyak main gadget, tapi udah gedenya melek teknologi!"

Iye, malih, terserah lo aja dah. Bernostalgia boleh banget kok, tapi akan lebih bijak kalau kita gak merendahkan kaum lain atau generasi lain yang memang berbeda zamannya dengan kita, hanya karena merasa superior dan punya segalanya yang gak dimiliki si Gen Z ini. Lagi-lagi "superior" penyebabnya. Kenapa ya manusia hobi banget ngerasa lebih tinggi derajatnya daripada orang lain🤦🏻‍♀️. Padahal 90-an sendiri ogah kali dibawa-bawa tahunnya sama orang yang ke-PD-an macam gitu.

Namun, berkaitan dengan keluhan gue yang kecewa dengan program-program televisi yang effortless, dan gue yang lelah dengan paparan internet yang seperti tiada henti menghiasi hari, gue melihat ajang bernostalgia ini sebetulnya bisa merupakan bentuk sindiran, atau bahkan peringatan. Untuk apa? Untuk kita refleksi atas berbagai hal. Apakah kondisi dulu dan kini membawa perubahan yang baik atau nggak? Apakah tayangan televisi yang berjalan sekarang ini masih produk yang sama seperti dulu atau justru berubah ke arah yang lebih baik? Dan perubahannya sendiri apakah sejalan dengan waktu yang sudah dilewati? Seberapa banyak? Gak cuma untuk program televisi aja sih, ya. Untuk semua aspek, seperti gaya hidup yang kita jalani sekarang. Apakah kehidupan virtual ini benar-benar memberi pengaruh baik dalam kehidupan kita? Apa justru kita malah jadi lupa caranya berkehidupan sebagai makhluk sosial yang harus berbaur juga dengan alam sesekali dan makhluk sosial lainnya?

Kok terlalu banyak pertanyaan ya, hehe. Ya memang gue rasa penting untuk kita selalu mempertanyakan tentang hidup ini, semata-mata agar masing-masing dari kita bisa mengevaluasi untuk berubah menjadi lebih baik lagi. So, kegiatan meromantisisasi ini seharusnya nggak cuma jadi cerita kenangan alias ajang nostalgia saat reuni yang hanya jadi angin lalu, melainkan bisa jadi bahan refleksi atas apa-apa saja yang sudah berjalan sejauh ini. Apa yang harus diperbaiki dan apa yang harus ditingkatkan. Berkembang dan hidup mengikuti zaman memang gak ada salahnya, bahkan sebuah keharusan supaya kita bisa terus beradaptasi untuk kejutan-kejutan lain di masa yang akan datang, namun gue harap kita juga nggak begitu saja melupakan nilai-nilai baik yang sudah ada sejak zaman dulu. Kalau sekarang kita berkutat dengan media sosial terus, gak ada salahnya sesekali simpan gadget kita dan menikmati permainan-permainan yang dulu sempat menghiasi masa kanak-kanak kita, entah dengan teman, anak, suami, atau saudara. Toh sekarang masih ada kok beberapa permainan zaman dulu yang dijual dan dikemas secara modern. Buat para orangtua pun, mungkin bisa memperkenalkan anak-anak sesekali saat di luar jam belajar dengan beberapa permainan tradisional yang bisa dilakukan dengan keluarga. Omong-omong, apa sih hal-hal favorit kamu semasa kecil di era 90-an atau 2000-an dulu?


Rekomendasi artikel terkait:

Mengapa Manusia Gemar Bernostalgia? - Tirto.ID

Apa Benar Generasi 90 Adalah Generasi Emas?

Share
Tweet
Pin
Share
29 komentar
Kenapa kita wajib punya sneakers putih?

Firstly, white shoes and sneakers are so hot because of the fashion trends. Designers of big fashion brands like Balenciaga and Louis Vuitton take this trend to the show stage. Young people are always ready to embrace the fashion trends, and soon people found it everywhere. 

Terhitung sudah tiga tahun ini gue senang pake sepatu putih tiap pergi kemana-mana. Pertama kali decided untuk pakai sneakers putih itu karena gue udah bosen sama sneakers yang warnanya hitam atau abu-abu. Gue kalau beli sepatu memang gak jauh-jauh dari warna itu, entah kenapa lebih suka warna yang netral dan cari aman aja buat outfit sehari-hari, inipun berlaku untuk kerudung, kemeja dan jenis pakaian yang lain. Apalagi itu adalah barang-barang yang memang dipakai untuk jangka panjang kan, jadi harus benar-benar bisa bikin kita nyaman karena gak salah pilih. I prefer to wear earth tone or classic colors to make it look simple as possible. Dan dari sejak saat itu gue selalu setia sama sepatu putih. Saking setianya, kalau ganti sepatu pasti warna putih lagi putih lagi. Padahal udah berapa kali dibikin repot pas nyuci karena susah banget bookk buat bener-bener bisa kinclong seratus persen hiks.😖

Why is the white sneakers trend never fade?

  • Kind of neutral color

Bukan karena trend, tapi karena warnanya yang netral! As i mentioned before, warna-warna seperti putih, hitam, cokelat tua dan abu-abu adalah tipe warna utama yang netral dan bisa banget dipadupadankan dengan warna lain untuk urusan pakaian. Mau warna atasan dan bawahannya gak matching pun, sneakers putih bakalan tetep masuk di outfit kalian. Pokoknya, black and white are always in! Ngomong-ngomong soal netral, band Netral sekarang apa kabar ya🤔

  • ‌Easy matching alias cocok dengan segala jenis outfit!

Saat pakai sneakers berwarna putih, kita gak perlu sibuk kebingungan nentuin mau pakai pakaian kasual atau formal sekalipun! Karena secara teknis sepatu putih bakalan cocok dengan gaya berpakaian kalian. Mungkin satu-satunya yang perlu kita pertimbangkan dengan serius hanyalah occasion-nya. Untuk acara apa nih si outfit itu dikenakan? Pantes gak ya kalau gue pakai ini di kegiatan itu? Semacam itulah.

Kalau gue pribadi, setiap ngampus dulu pasti owowtidi-nya antara pakai kemeja sama celana bahan, kadang kulot, atau kemeja sama celana jeans, dan semuanya sama-sama cocok buat sneakers putih IMO. Malahan gue seringnya pake celana bahan atau chino pants gitu buat keluar, atasannya terserah, kadang pakai kemeja, kadang sweater atau hoodie, kadang cuma kaos stripe kebanggaan aja, and again, it does indeed go with everything mixed, either white sneakers or any kind of white shoes (i've never tried this one tho, but as what google said it looks good too). 

Kok gue demen banget yak sama celana hitam😅

Pernah beberapa kali waktu magang/PPL di sekolah beberapa bulan lalu, gue pakai sneakers putih walaupun atasan dan bawahannya pakai kemeja dan juga celana bahan yang memang biasa dipakai untuk ngajar. Terus waktu itu gue bandingin sama pas pake pantofel, hasilnya berasa langsung ke-switch total gitu🤣 Kalau sebelumnya bener-bener muncul vibe guru, eh setelah ganti sepatu vibe gurunya jadi ilang.

  • ‌Simple

Percayalah, pakai sepatu putih bakalan bikin looks kita terlihat lebih simple. Karena sepatu-sepatu ini gak banyak diberi tambahan warna dan hiasan seperti halnya sepatu-sepatu lain yang terkadang selalu dikombinasikan dengan warna lain, membuat sepatu putih menjadi lebih sederhana. Kalau lo males kemana-mana nih dan bingung mau pakai baju apa, tinggal ganti celana jeans, pakai hoodie atau kaos, udah deh cukup!

5 Alasan Kenapa Wajib Punya Sneakers Putih

Lho, kan banyak tuh sepatu warna lain yang juga simple dan desainnya gak macem-macem?

Iya sih, tapi coba lihat gambar di atas. Walaupun sepatu dengan warna lain yang design-nya nggak ribet juga banyak di pasaran, gue masih ragu kita bisa dengan mudah mencocokan outfit sehari-hari dengan sepatu tersebut, dan sebetulnya spektrum warna yang ada ini memberi kesan lebih ramai dan penuh. Sementara warna putih cenderung lebih natural dan soft, ibaratnya kalau cat tembok yang paling dasar dan pale itu pasti putih. So, it's very simple to wear!

Baca juga: Goodbye Wasteful Life, Welcome Minimalism

  • ‌Bikin kita tampil lebih muda dan energetic

Since white shoes are the common shoes that some people wear in school, most of them feel like they wanna go back to school, dan karena sepatu jenis ini simple dan bikin kita tampil lebih ceria, otomatis kita akan lebih terlihat muda dan segar, apalagi kalau sepatunya masih baru atau udah dicuci, image yang ditampilkan menjadi "bersih". Tampilan yang sporty dari sepatu kets juga akan membuat kita tampak lebih energetic.

  • ‌Timeless

Abadi, yap! Karena alasan-alasan yang ada di atas, menjadikan sepatu ini nggak pernah ketinggalan zaman sekalipun sepatu yang lagi nge-trend sekarang sepatu kuda, misalnya. Orang-orang gak akan lantas mengatai kalian cupu hanya karena pakai sepatu putih, as long as kita sendiri gak berlebihan dalam berpakaian. Meski sudah ada dari beberapa dekade, gayanya gak akan pernah pudar dan tetap bagus mengikuti zaman. Terbukti kan sekarang beberapa brand sepatu ternama masih ada yang produksi white shoes or sneakers, apalagi brand olahraga, rasanya gampang banget ditemukan sepatu berwarna putih.

Of course, trend sepatu putih yang gak juga hilang ditelan zaman ini nggak menjadikan sepatu warna lain inferior. Selama kita pandai mix and match atau memadukan outfit kita sehari-hari dengan sepatu kesayangan, it makes us pretty and incredible even more!

Jadi, gimana nih? Ada yang suka pakai sepatu putih juga? Yuk sharing!😄



Share
Tweet
Pin
Share
30 komentar
Newer Posts
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Bukan Salah Indonesia
  • Childfree yang Diperdebatkan
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Just Listen
  • Terlalu Besar Untuk Gagal

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

My Podcast

Newsletter

Get new posts by email:

Popular Posts This Week

  • Di Balik Angkasa
  • Goodbye Wasteful Life, Welcome Minimalism
  • by.U: Solusi #SemuanyaSemaunya
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • How I See Feminist as a Muslim
  • Kenapa Harus Berpikir Kritis?
  • Become a Fighter
  • Romantisisasi Generasi 90-an
  • Cuma Cerita

Blog Archive

  • ▼  2024 (2)
    • ▼  Oktober 2024 (1)
      • Posture Perfect: How Wearing a Waist Trainer Can I...
    • ►  Agustus 2024 (1)
  • ►  2023 (1)
    • ►  Februari 2023 (1)
  • ►  2022 (9)
    • ►  November 2022 (1)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (1)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  Maret 2022 (2)
    • ►  Februari 2022 (2)
  • ►  2021 (30)
    • ►  Desember 2021 (1)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  Juli 2021 (3)
    • ►  Juni 2021 (2)
    • ►  Mei 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  Maret 2021 (5)
    • ►  Februari 2021 (1)
    • ►  Januari 2021 (5)
  • ►  2020 (46)
    • ►  Desember 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  Oktober 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (10)
    • ►  Juli 2020 (8)
    • ►  Juni 2020 (4)
    • ►  Mei 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  Desember 2019 (3)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Agustus 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Februari 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Pengikut

Categories and Tags

Intermeso Krisis 1/4 Abad Opini Perempuan Podcast Poetry Review Thoughts digital marketing karir lifestyle slice of life

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.