Di Balik Angkasa

by - Agustus 14, 2020

Stigma Posisi Anak di Keluarga Dalam Sudut Pandang Si Sulung


Sebelumnya, saya ingin berterimakasih kepada kak Eno yang sudah buat konten Paid Guest Post di situs blognya sehingga saya punya kesempatan untuk menuliskan pemikiran ini, yang sudah lama sekali ingin dibagikan namun terkendala writer's block. Meski ada sedikit perubahan atau penambahan dari tulisan aslinya di beberapa bagian setelah melalui proses perenungan (re-read), akhirnya bisa tertuang juga disini.😁🎊

Ini mungkin salah satu cerita paling personal yang gue tulis lagi setelah sekian lama, semoga suka dan bisa menginspirasi teman-teman dan kakak sekalian untuk mau terus sama-sama belajar dari orang lain, dari mereka, orang-orang hebat di luar sana yg tanpa sadar sosoknya selalu dekat dengan kita.😇

Sembari menikmati waktu santai, gue cantumin playlist dari album Mantra Mantra milik Kunto Aji di bawah ini. Selamat membaca dan mendengarkan!💕


o-o

Sebagai manusia, sifat ingin menjadi nomor satu sepertinya selalu melekat di dalam diri, secara sadar atau nggak. Bukan hanya persoalan misoginis atau misandris yang menjadikan orang lain atau gender lain inferior karena pingin terlihat berbeda, but it also happens to certain circles, bahkan ruang lingkup keluarga. Sebagai seorang anak, pernah gak sih lo merasa lebih kuat dari yang lain? Atau merasa dibedakan dan dianggap lemah daripada saudara yang lain?

Beberapa waktu lalu gue nemu sebuah postingan di twitter tentang stigma anak perempuan pertama.

Stigma Posisi Anak di Keluarga Dalam Sudut Pandang Si Sulung
Dari reply-an itu banyak yang merasa jadi anak pertama itu sebuah beban. Berat, harus selalu jadi contoh yang baik, harus terlihat kuat, tegar, mandiri, jadi tulang punggung keluarga, tanggungjawab pun lebih besar, segala masalah dan kesedihan harus ditelan sendiri—sebab nggak ingin rasa sedihnya dibagi, lalu jadi pengharapan keluarga, terlebih saat dia juga menjadi cucu pertama yang lahir. Saat ada masalah dia yang harus merangkul, saat ditimpa segala macam rasa nggak menyenangkan pun dia yang pertama kena getahnya, nggak jarang dia juga harus mendengarkan dari berbagai sisi saat dirinya sendiri selalu memendam semua masalah.

Gue paham, semua itu bukan cuma stigma dan isapan jempol. Sebagai anak sulung, i know exactly how it feels. Apalagi tumbuh sebagai anak "broken home" sejak di tingkat akhir bangku sekolah dasar, banyak perasaan yang gue nggak ngerti apakah itu kesedihan atau bukan, sehingga akhirnya dipendam sendiri. Sebagai anak sulung, gue juga merasa harus selalu kuat, gue harus tampak berwibawa untuk menerima segala problema yang ada—yang tanpa sadar membuat gue memendam luka cukup lama. Dulu, waktu pertama kali harus tumbuh di tengah-tengah orangtua yang "divorced", gue nggak merasakan sedih sama sekali. Kecewa mungkin ada, tapi ayah gue yang selalu menasihati gue untuk jangan menangisi perceraian ayah dan ibu karena itu masalah mereka, sehingga gue pun mengerti untuk tetap menjalani hidup seperti biasanya, dan bahwa gue nggak boleh sedih. Toh gue harus bisa merangkul adik-adik gue yang masih kecil, yang bahkan nggak tahu kenapa mamanya nggak lagi tidur bareng mereka—which was so painful. Mungkin karena hal itu, gue pun sempat tumbuh menjadi seseorang yang beku hatinya. Ngeliat orang lain terluka sedikit, gue cibir. Ngeliat orang lain nangis hanya karena masalah pacar, nggak gue hirauin. Gue selalu merasa apa yang gue alami lebih menyedihkan daripada itu semua dan gue merasa gue berhasil buat melewati itu—yang sebetulnya nggak sama sekali, sebab gue hanya terbiasa memendam kesedihan dan denial dengan perasaan gue. 

Sebagai anak sulung dan tinggal dalam keluarga sederhana, gue pun berkeinginan untuk memberikan keluarga gue lebih dari apa yang mereka miliki saat ini, dan mungkin apa yang sempat mereka miliki dulu. Karenanya gue menjadikan diri ini sebuah beban, meski keluarga sendiri pun sebetulnya gak berharap gue memandang mereka dan diri gue sendiri sebagai beban, but it does. Entah kenapa rasanya udah otomatis aja tertanam dalam pikiran gue, mereka—si anak sulung—untuk menanggung beban yang tidak seharusnya mereka pikul dan nggak seharusnya dianggap beban. Semua itu kemudian membentuk mental dan pola pikir bahwa anak pertama itu hebat, powerful, gak tertandingi dan kuat, baik anak laki-laki maupun perempuan. Gue pun awalnya berpikiran seperti itu, apalagi melihat sosok ayah dan ibu yang sama-sama memiliki figur sebagai anak sulung di dalam keluarganya masing-masing. Sampai pada suatu masa dimana gue mendengar curhatan beberapa teman gue yang tumbuh bukan sebagai anak sulung, yang membuat gue mencoba membuka mata lebih lebar soal peran masing-masing anak dalam keluarga.

Gue pernah beberapa kali mendengar curhatan teman gue yang hidup sebagai anak tengah, atau pangais bungsu. Menjadi anak tengah, yang sebelumnya gue pikir gak banyak menanggung beban pun sama, mereka ternyata menanggung beban, perasaan dan tekanan masing-masing. Seringkali mereka harus tumbuh dibayang-bayangi oleh kakak mereka yang sukses, atau kalau nggak, mereka pun jadi pengharapan ayah dan ibu jika anak pertamanya dianggap mengecewakan—layaknya memiliki anak adalah sebuah catur yang dipaksa berjalan dan menang. Sering juga mereka kehilangan perhatian dan kasih sayang secara utuh, karena semuanya sudah dikerahkan untuk si sulung saat ia belum lahir, dan lagi-lagi semuanya harus dikerahkan untuk si bungsu yang akan atau sudah lahir. Berada di tengah-tengah sosok kakak dan adik seringkali membuat mereka terombang-ambing untuk bagaimana seharusnya bersikap sebagai adik yang baik dan juga sebagai kakak yang harus turut berperan menjadi contoh yang baik. At the same time, mereka harus terlihat seperti anak yang biasa-biasa saja, dan tampak bahagia karena punya kakak dan adik yang bisa dirangkul dan bisa merangkul dirinya. Kenyataannya, hidup nggak serta merta selalu seindah itu. Dia juga harus merangkul dirinya sendiri, menyadari bahwa masing-masing kakak dan adiknya tengah berjuang dengan kehidupannya. 

Gue pun berusaha melihat lebih jauh ke dalam sosok adik-adik gue. Saat melihat adik-adik gue, selama ini yang ada di kepala gue adalah rasa sedih mengetahui masa kecil mereka yang tidak selengkap gue. Gue hanya menyayangkan tentang mereka yang harus tumbuh dalam keluarga broken home bahkan sedari balita, tapi gue nggak sadar bahwa mereka juga punya peran masing-masing. Sebagai kakak, gue tahu betapa seringnya adik gue dibanding-bandingkan untuk paling nggak sama dengan gue. Mungkin secara tidak langsung hanya gurauan singkat, but who knows what's inside his heart? Pasti pernah beberapa kali ada perasaan bosan dan lelah dibanding-bandingkan, diminta untuk berlaku sama dengan kakaknya. Sering juga gue menyaksikan adik pertama gue ini—technically anak kedua, diminta untuk memberikan contoh yang baik kepada adik bungsunya yang usianya tidak terpaut jauh. Itu artinya, segala tugas dan tanggungjawab dalam tali persaudaraan gak mesti selalu ada di tangan anak pertama seperti gue. Even as the older one, he also has the responsibility to take care his brother. Apalagi saat gue sendiri sedang jauh dari rumah, posisi anak pertama akan dilimpahkan ke anak kedua untuk memberi contoh bagi adiknya.

Soal banding-membandingkan pun kerap berlaku pada si bungsu. Tumbuh dan berkembang di antara kakak-kakak yang terbilang lumayan bagus secara akademik pun terkadang menjadi tekanan bagi mereka yang terlahir paling akhir—dalam hal ini adik gue, untuk paling tidak dituntut bisa menyamai posisi kakak-kakaknya. Terlebih sebagai anak yang sedikit berbeda, dianggap lebih lambat (biasanya orang lain juga sering mengaitkan kepintaran dengan posisi anak dalam keluarga nih) dan cenderung tempramental, gue tahu, berat pastinya menjadi dia karena harus dibandingkan seperti kakak-kakaknya, padahal bukan salahnya kalau dia tumbuh menjadi seseorang yang berbeda dari kami. Contohnya dalam hal mengaji, adik gue yang bontot ini terbilang lebih lamban dalam belajar soal tajwid dibanding kami, yang mana semua itu terjadi bukan tanpa alasan. Ini juga yang kadang bikin gue sedih, adik gue ini tumbuh saat orang-orang di sekitarnya sudah mulai sibuk dengan kegiatan masing-masing, sehingga gak ada lagi waktu untuk mengajarinya mengaji. Gue, yang saat itu sudah kuliah di luar kota harus berhenti mengajarinya dan melimpahkan tugas gue kepada adik gue yang pertama. Tapi karena usia mereka memang cuma terpaut dua tahun, otomatis banyak berantemnya daripada akurnya, alhasil si bungsu lebih milih belajar sendiri daripada diajarin kakaknya yang kedua. Stigma soal anak bungsu selalu dapat perhatian penuh dan dituruti orangtua pun nggak gue temukan di dalam sosok adik gue. Tentu, gue nggak menyudutkan orangtua gue, gue percaya ini yang namanya bagian dari takdir, dan gue tahu orangtua gue juga mengalami masa-masa yang sulit, tapi begini realitanya. Gak semua anak bungsu bahagia dan dimanja. Gak semua anak bungsu dekat sama mama atau papanya.

Inipun berlaku untuk tante gue, sosok anak bungsu yang juga bikin gue bisa belajar tentang hidup dan melihat dunia lebih luas lagi. Dia anak bungsu dan perempuan satu-satunya dari tiga bersaudara (sama seperti gue), dan mungkin memang terkesan lebih dimanja dan diatur (terbukti doi dulu jarang banget nyuci pakaian dan nyetrika😂), tapi fakta itu gak bisa dijadikan alasan bahwa hidupnya sebagai anak bungsu selalu enak, karena kenyataannya nggak. Dia tetap jadi pengharapan keluarga dan tulang punggung karena ayah kami, yang mana adalah anak pertama, tidak bisa sepenuhnya membiayai kebutuhan keluarga karena harus memikirkan soal anak-anaknya dan kebutuhan lain. Being one of those called the sandwich generation, she has also been through a hard life when it comes to man, gue nggak bisa menceritakan ini lebih dalam since it's too private, tapi dari situ gue mendapatkan banyak sekali tambahan pelajaran soal pernikahan. Bayangin, dari anak bungsu yang selama ini dianggap orang manja dan gak bisa apa-apa, justru gue bisa mendapat pelajaran dan nilai-nilai kehidupan dari lika liku yang dia alami. Gue juga menjadi salah satu saksi hidupnya, saat tante gue dari SMP sudah bekerja mencari tambahan uang jajan untuk sekolahnya. Dia pernah bekerja menjadi penjaga toko, dia juga sempat beberapa kali berjualan nasi ketan keliling komplek perumahan setiap pagi sebelum berangkat sekolah, bahkan saat dia sudah lulus dan bekerja pun masih sempat-sempatnya memikirkan kami, keponakan-keponakannya dengan membelikan pakaian baru, memberi uang jajan, membelikan ini itu, membawakan makanan dan berbagai camilan, sampai mengajak jalan-jalan kemanapun. I learned a lot from her that being the younger one doesn't always have a happy little tale.

Stigma yang berlaku di lingkungan sekitar pun seringkali menayangkan sisi yang enaknya saja dari menjadi seorang anak bungsu dengan segala fasilitas yang terpenuhi. Padahal kata siapa anak bungsu nggak punya beban dan hidupnya enak terus? Mereka pikir mudah dibayang-bayangi antara kesuksesan atau bahkan kegagalan kakak-kakaknya? Mereka pikir mudah hidup dengan kasih sayang berlebihan yang terkadang mengekang dan membatasi ruang gerak? Nggak. Gak ada yang mudah, karena masing-masing punya beban psikis atau fisik yang harus ditanggung, sadar atau ngga.

Keegoisan gue sebelumnya menjadi anak perempuan pertama yang terkesan sangat berat pun mulai terkikis perlahan-lahan. Bahwa hidup setiap anak, apapun peranannya memiliki tanggungjawab dan beban yang dipikul masing-masing, yang bagaimanapun gak bisa disamakan. Peranan ini pun bahkan gak cuma berlaku untuk anak-anak yang punya saudara. Gue sering pula mendengar stigma bahwa anak tunggal cenderung hidupnya enak, serba difasilitasi dan dimanja karena dia jadi satu-satunya harapan keluarga. Emang mereka pikir enak jadi satu-satunya harapan keluarga? Nggak, beban pasti lebih besar. Ditambah harus hidup dalam kesendirian dan kesepian mendambakan sosok kakak dan adik yang dimiliki orang lain. 

Gue bilang seperti ini bukan tanpa alasan. Gue pun punya sahabat, dia anak tunggal, ayahnya nggak merawat dia sejak kecil, dan bahkan keluarga ayahnya gak mengakui keberadaannya. Kenyataan paling menyakitkan yang juga gue saksikan sebagai teman kecilnya adalah dia harus tinggal sendiri alias tanpa sosok ayah dan ibu sejak kelas 5 SD karena ibunya meninggal saat itu. Dia dirawat oleh keluarganya, yang kata orang lain sih serba enak, serba ada karena keluarganya borjuis, but man.. it's not all about money. Gue tahu betapa kosong dan hampanya menjadi anak tunggal yang digadang-gadang oleh orang lain serba enak dan serba dimanja. Gue tahu cerita hidupnya, gimana dia menghadapi berbagai cemoohan atau kalimat nggak mengenakan yang datang dari orang-orang sekitarnya, dan harus menanggung semuanya sendiri karena nggak ingin membagikan rasa sedih ke saudara yang lain, atau mungkin karena gak ada seseorang yang bisa dia jadikan tumpuan. She was being lonely and carries the sadness all alone. Tinggal di keluarga yang berkecukupan gak serta merta membuat hidupnya berkecukupan, dia tetap bekerja menghidupi dirinya sendiri. Meski begitu, gue sangat bersyukur karena dia masih punya paman, tante dan ponakan yang setidaknya membuat hidupnya terasa lebih penuh, dan tambah bersyukur karena dia sekarang punya sosok lelaki yang memberi warna baru dalam hidupnya. 

Lesson learned. Menjadi anak tunggal pun gak seindah itu. Bahkan gue percaya masih banyak anak tunggal lain di luar sana yang punya bebannya masing-masing, yang memendam perasaannya masing-masing, yang hidupnya gak selalu bahagia tanpa air mata. Gue namai sosok ini sebagai Langit, karena perannya gak disebut dalam keluarga Narendra. Oh iya, siapa keluarga Narendra? 

Keluarga Narendra ini ada kaitannya dengan judul yang gue sematkan di atas. Mungkin ini juga yang menjadi pertanyaan teman-teman sekalian kenapa judul tulisan ini harus berbau astronomi. Well, seperti yang sudah gue ceritakan di atas, semua ini tentang sudut pandang gue terhadap stigma mengenai posisi masing-masing anak dalam keluarga. Narendra adalah kepala keluarga atau ayah dari Angkasa, Aurora, dan Awan. Mereka ini adalah tiga bersaudara dalam film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini, salah satu film bertema keluarga yang tayang pada awal Januari lalu. Meski secara pribadi gue nggak terlalu relate sama isi cerita film ini karena menggambarkan kehidupan keluarga di kelas menengah atas dan memperlihatkan keluarga yang utuh, gue tetap mengapresiasi keseluruhan cerita yang secara garis besar  dapat menggambarkan intrik yang selama ini terjadi dalam sebuah keluarga. Ditambah dengan fokus utamanya yang memang tidak lepas dari penggambaran karakter masing-masing, dimana Angkasa adalah anak pertama, Aurora adalah anak kedua, dan Awan sebagai anak bungsu. Tadinya gue ingin menamai tulisan ini sebagai; Di Balik Keluarga Narendra, tetapi karena semua tulisan ini adalah tentang sudut pandang gue, si anak sulung yang berusaha untuk melihat lebih luas tentang sosok Aurora, Awan, dan Langit, maka gue ubah menjadi Di Balik Angkasa. 
 Sumber gambar: Swara Tunaiku

Karena semua ini adalah tentang sudut pandang gue, maka apa yang tertulis mungkin tak lebih baik dari kenyataannya. Bisa saja benar, atau bahkan bisa saja salah. Namun gue pribadi murni hanya ingin berbagi tentang apa yang gue dapat selama ini dari proses belajar dalam memahami dan mendengarkan cerita-cerita mereka sebagai sesama anak sulung, lalu mendengarkan cerita si anak tengah, bungsu, bahkan tunggal, orang-orang terpenting dalam hidup gue yang pastilah punya sisi berbeda dalam perjalanan hidupnya. Toh bukankah kenyataannya stigma yang selama ini hidup dalam lingkungan kita memang selalu terkesan mengungguli salah satu dan membanding-bandingkan satu dengan yang lainnya?

Oleh karena itu juga, gue ingin menjelaskan bahwa sepanjang tulisan ini dibuat, gue sama sekali gak bermaksud menyudutkan para orangtua—atau orangtua gue sendiri. Gue sama sekali nggak menyalahkan mereka atas berbagai problema yang gue dan adik-adik sendiri alami. Gue tahu, mereka hanya sesosok manusia yang tidak sempurna, punya salah dan kekhilafan, mereka juga gak selamanya bisa memahami perasaan dari masing-masing anak mereka, dan gue yakin pasti seburuk apapun mereka berkeinginan agar anaknya menjadi versi terbaik dari dirinya.

Berangkat dari pembelajaran-pembelajaran itu, gue yang tadinya menutup mata dan selalu merasa menjadi yang paling kuat dan tegar di antara tiga bersaudara pun perlahan bisa membuka mata selebar-lebarnya. Gue berusaha untuk mengerti, bahwa bahkan gak hanya seorang anak dalam sebuah keluarga saja yang boleh sedih dan merasa terpuruk, tetapi kita, sebagai manusia, pada dasarnya semua merasakan sakit dan punya masalahnya masing-masing. Nggak perlu merasa tinggi hati dan merasakan bahwa sakit itu hanya kita yang punya seorang diri—mungkin sebetulnya sah-sah saja, but let me tell you, terus beranggapan bahwa hanya diri sendiri yang merasakan sakit hanya akan membuat diri kita selamanya tinggal dalam rasa sakit itu sendiri. Sesekali kita perlu menengok, melihat, mendengar dan mengamati kehidupan di luar sana. Karena semua orang sudah ada porsinya, bahkan untuk merasa sedih dan bahagia. Gak ada anak pertama yang lebih kuat, gak ada anak bungsu yang lebih dimanja, gak ada anak tengah yang hidupnya penuh kasih sayang, gak ada anak tunggal yang bebas dari tanggungjawab karena serba difasilitasi. Kita semua kuat, tangguh dengan caranya masing-masing. Sebab semua manusia sudah punya bagiannya, untuk menikmati hidup yang sebenar-benarnya. Tidak ada yang lebih dan kurang. 

Mungkin menjadi anak pertama memang berat, selalu ada beban yang besar menanti di barisan paling utama. Namun, kita lupa bahwa berada di barisan tengah dan terakhir pun punya beban yang harus ditanggung yang tak kalah beratnya. Apalagi menjadi satu-satunya orang yang berdiri di barisan tersebut, kebayang kan hampa dan takutnya bagaimana? Hanya saja, kita terlalu asik untuk bisa menengok ke belakang dan ke samping. Bahwa ternyata anak tunggal, tengah dan bungsu pun punya ceritanya masing-masing.

Untuk Angkasa-Angkasa lain di luar sana, Aurora, Awan, dan Langit, this is about us. I know it's been always tough for you. Apa yang dibilang orang lain tentang kalian, segala komentar atas perbandingan, gak selamanya benar dan harus diterima. Setiap anak punya cerita dan peranannya masing-masing. Gak ada yang lebih inferior dan superior. Pun rasa sedih yang selama ini tidak bisa dibagi, bukan tanggungjawab orang lain untuk menilai siapa yang patut disandingkan dan dianggap pemenang, karena sejatinya hidup ini adalah tentang memaknai dan memahami, bukan persaingan untuk menjadi yang paling berat hidupnya. Kenapa pula menjadi yang paling sengsara pun harus dinilai sebagai persaingan?

You May Also Like

49 komentar

  1. Ini tulisan untuk Paid Guest Post?

    Kok agak mirip yah dengan topik yang saya angkat. Namun fokus topiknya lebih ke tanggungjawab sebagai seorang kakak, sulung, dan manusia dan struggle-struggle yang mengikutinya. Kadang saya berpikir untuk tidak mengumbar rasa sedih yang berlebihan karena kita punya struggle masing-masing.

    Tulisannya keren Aina

    BalasHapus
    Balasan
    1. Baru aja aku mikir, kayaknya Mba Eno pernah jelasin singkat di komen, salah satu ceritanya tentang tanggung jawab sebagai kakak. Ternyata tulisan Mas Rahul ya yg dimaksud.. 😁

      Hapus
    2. Iya mas Rahul, ini salah satu yg saya ikutsertakan untuk Paid Guest Post di blog kak Eno😁

      Memang sepertinya banyak pelajaran hidup yg disadari atau nggak sebetulnya berangkat dari pengalaman sendiri. Seperti tulisan Rahul yg juga berangkat dari peran diri sendiri sebagai seorang kakak, anak sulung dengan seabrek tanggungjawab yg dipikul. Ada kalanya kesedihan memang sebaiknya cukup disimpan sendiri antara kita dengan Tuhan, untuk meghargai bahwa masing-masing dari kita adalah individu yg tumbuh dengan struggle masing-masing. Meski kalau ingin diceritakan pun bukan suatu masalah, sebab seringnya dari situlah kita bisa belajar tumbuh dan termotivasi dengan cerita orang lain. Yah, betul seperti kata Rahul, asal jangan diumbar secara berlebihan saja. Tahu porsinya ya😊

      Thanks, Rahul! Rahul juga boleh dong diposting tulisannya hehehe, saya pingin belajar juga dari cerita dan sudut pandang teman-teman yg lain😄 *gak maksa tp ngarep wehehe*

      Hapus
    3. Tunggu saja Aina. Saat bukunya sudah disebar kak Eno, tulisannya akan saya publish.

      Hapus
  2. Ya terkadang sebagai anak pertama. Memiliki suatu "beban".
    Harus jadi yg "terbaik", biar bisa dicontoh adek-adek.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepertinya porsi beban besar menjadi yang "utama" secara gak sadar jg terbangun dalam kehidupan sehari-hari ya kak Dodo, harus jd contohlah, harus sukses, rasanya selalu diharuskan menjadi yang "harus" namun hanya bagian baiknya aja yg bisa diterima.🙄 Padahal biar bagaimanapun semua sudah ada porsinya masing-masing.

      Hapus
  3. Mba Awl, luar biasa pengalamannya sebagai seorang anak sulung. Bahkan bisa menjadi sosok yg melindungi adik2 saat ga ada ibu yg terus bisa mendampingi, walau tidak ada yg menuntut seperti itu..

    Cerita tentng kakak adik gini memang ga ada habisnya ya. Setiap anak punya challenge nya masing2. Baik itu sulung, anak tengah maupun anak bungsu.. Semoga kita bisa tetap bisa berbakti dan bermanfaat, apapun peranan kita ya 💖💖

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasi banyak mba Thessa! Alhamdulillah saat itu saya diberi kekuatan oleh Allah dengan keluarga besar yg selalu mensupport, saya nggak tau lagi rasanya kalau saat itu
      harus berjuang dengan diri sendiri:')

      Betul mba, intrik di antara keluarga dengan peranannya masing-masing seperti gak ada habisnya untuk diceritakan, karena setiap keluarga punya siklus nya masing2 untuk menghadapi hal yg kurang lebih serupa. Struggle anak pertama begini, anak tengah begitu, dan sebagainya, means selama ini kita tidak sendiri, karena semua org punya porsi kesedihannya. Aamiin ya Allah, semoga kita tetap bisa menjadi sosok yg juga bermanfaat untuk keluarga dan sekitar ya mba. Sehat selalu untuk mba Thessa🤗💕💕

      Hapus
  4. Awl, tau nggak sih. Semalam aku baru banget lho nonton film ini, eh pagi ini malah baca tulisan kamu. Kisah keluarga mereka bikin aku menangis karena somehow aku pernah ada di posisi yang sama dengan Angkasa, karena aku pun anak paling besar juga di keluarga.

    Sebagai kakak paling besar, secara nggak langsung aku 'dituntut' menjadi role model untuk kedua adikku. Seakan-akan aku nggak boleh ada celah untuk berbuat salah, supaya adik bisa belajar yang baik dari kakaknya. Karena alasan ini, sampai dewasa aku punya kecenderungan untuk menjadi sempurna, nggak boleh ada salah, termasuk waktu aku menjadi seorang ibu. Makanya, ketika aku berbuat salah sama anak, kecewaku berkali lipat karena ngerasas gagal T_T

    Namun, sebagai manusia, menurutku kita harus merasakan dan melepaskan segala macam bentuk emosi, termasuk kesedihan. Aku nggak menyalahkan orangtuaku atau siapapun karena kita yang seperti ini. Aku juga nggak bisa menyalahkan Narendra yang menyimpan kesedihannya sendiri supaya dia bisa move on dan melanjutkan hidup bersama anak-anaknya.

    Tetap semangat yaa, Awl! Semoga kita tetap bisa menjadi manusia yang baik dan utuh, apapun peran kita di masyarakat dan keluarga 😊

    BalasHapus
    Balasan
    1. What a coincidence mba Jane😢 Kisah mereka memang relatable banget rasanya untuk siapapun yg menonton dan pernah ada di posisi itu, akupun ikut bisa merasakan apa yg dirasakan Angkasa di dalam film sampe tau2 mata udh luber aja😭 Perjuangan yg dilalui papa Narendra jg salah satu yg berhasil bikin aku sesek dada😟.

      Menjadi role model untuk adik-adik seperti mba Jane juga aku bisa mengerti rasanya, kalau dipikir-pikir mungkin yg adik-adik aku tau sampai saat ini hal-hal baik dari kakaknya aja, karena hanya itulah yg berusaha ditonjolkan. Padahal kalau lg sendiri di kamar bisa gak tidur semalaman karena memikirkan banyak hal, seperti "gimana kalau besok aku nggak bisa anu ya, gimana kalau nanti aku gagal, dll". Begitupun jg mungkin dengan mba Jane. Terkadang memang kebiasaan-kebiasaan itulah yg secara gak sadar menuntun kita menjadi seseorang yg seperti sekarang. Dan aku sepakat dengan mba, seharusnya kita berani dan bisa untuk melepaskan emosi yg terbentuk dalam diri. Karena dari situlah nantinya proses healing bisa kita peroleh, sebab nggak baik kalau harus menyimpan kesedihan dan tekanan terlalu lama😢.

      Aamiin mba Jane, semoga dengan segala struggle yg dialami apapun yg terjadi kita bisa tetap rukun di dalam keluarga masing-masing dan selalu diberikan kekuatan oleh Tuhan🤗💕

      Hapus
  5. Mbak Awl, peluk virtual buat kamu 🤗
    I feel you, rasanya sebagai anak sulung perempuan memang begini.

    Yang terjadi di aku, aku sulit untuk mengekspresikan emosiku pada keluarga. I mean, sebisa mungkin kalau susah dan sedih tuh nggak ditunjukin.

    Pernah tiba-tiba Bapak nyeletuk, “Kamu itu kalau ada masalah nggak pernah terbuka.”
    Itu rasanya nyelekit. Karena you know, bukan nggak mau terbuka tapi ada rasa, kalau kita cerita gimana dengan mereka, apakah ini akan semakin membebani orang tua atau saudara kita? Kalau ingat ini aku nangis..

    Bahkan dalam relationship ku pun, keadaan ini masih kebawa. Kadang masih mikir, ok g sih cerita? Nanti partner ku terbebani nggak ya? Aku coba menepis dan mulai belajar, it’s ok kok berbagi cerita dengan partner ku, dia pun akan merasa senang karena merasa dibutuhkan dan bisa menolong.

    Sebenernya kalau melihat adikku sendiri, akupun tahu dia punya beban yang dia tanggung. Aku pun nggak berharap aku jadi anak bungsu atau adikku yang jadi anak sulung. Aku cukup legowo diberikan kesehatan batin yang lebih. Menemukan pelampiasan lain dengan menulis, fotografi, dan dance. Setidaknya ini lumayan melepas penat kalau ada isu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasi banyak mba Pipiit *also sending virtual hug*😢🤗

      I feel the same way, mbaa😭 Selama ini akupun gak pernah bisa mengekspresikan segala emosi ke keluarga sendiri, bahkan dari hal yg remeh temeh sampai hal yg besar. Sekalipun sering dinasehati "km kalau ada apa-apa ngomong", tapi tetep aja rasanya sulit. Melihat berbagai struggle yg juga dirasakan keluarga membuat aku pada akhirnya berusaha nge-handle semua masalah sendiri, membangun benteng setinggi-tingginya supaya aku bisa mendiri. Entah sampai kapan aku bisa bertahan dengan seperti ini.

      Thank God mba bisa bertemu dengan seseorang yg mau untuk mendengarkan dan berbagi ya mba. Karena sebetulnya itu sih yg diperlukan, sosok yg mau mendengarkan keluh kesah kita, membuat kesedihan ini gak sepenuhnya dirasakan sendiri. It's okay untuk mba bercerita dengan seseorang yg sudah mba anggap percaya, meski jalannya nggak mudah, yg penting berproses. Akupun skrg sedang berproses untuk setidaknya mau membuka diri dan bercerita sedikit aja dari apa emosi yg sdg aku rasain ke orang terdekat. Mungkin kalau ke keluarga kan terkadang terlalu berat untuk terbuka, apalagi mengetahui ada masalah-masalah yg sedang dihadapi, rasanya enggan menambah pikiran baru.

      Semoga apapun kondisinya mba selalu diberikan kekuatan untuk bisa menghadapi semua itu oleh Allah, dan semoga kita bisa lebih terbuka dengan orang-orang terkasih agar gak selamanya menyiksa dan memendam kesedihan sendiri ya mba😢
      Peluk hangat untuk mba Pipit🤗 Semoga mba sehat dan sukses selalu❤️.

      Hapus
  6. Aku-pun selama ini berpikir bahwa anak pertama adalah yang mempunyai beban terberat, padahal sebenarnya, semua anak mempunyai bebannya masing-masing, hanya saja cara pengungkapannya, cara mengatasinya dan hasil dari beban itu sendiri berbeda-beda akan tiap anak. Si bungsu, yang cenderung terlihat "dimanja" sebenarnya dia juga ada beban mental yang nggak mudah, karena cenderung "dibandingkan" dengan kakak-kakaknya ya :(

    Beberapa bulan lalu, aku juga nonton film ini, Awl. Dan, dari film ini, aku juga sadar akan banyak hal yang kemungkinan besar dialami saat hidup bersaudara. Bersyukur banget bisa menonton film ini :)

    Awl, semangat selalu ya dalam menjalani hidup! :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya kak Lia, betul bangettt. Aku sebagai anak sulungpun seringkali merasa menjadi yg "lebih", baru-baru ini sadar bahwa aku gak berhak melabeli diri sendiri sbg satu-satunya yg superior sebab aku tahu adik-adiku pun punya beban dan struggelnya masing-masing, hanya saja ada yg bisa ditunjukan dan ada yg nggak😢.

      Film ini memang sangat sangat worth watching, apalagi kalau nonton bareng keluarga, mungkin bisa jadi perantara untuk mereka ngobrol satu sama lain dan curhat sebagai sebuah keluarga. Terus tema keluarga dengan porsi peran masing-masing ini sesuatu yg belum aku temuin sih di film Indonesia *gak tau kalau film keluarga Cemara gimana karena belum pernah nonton😂. Bersyukur juga bisa nonton ini sebelum corona ya kak invade Indonesia ya kak, huhu:')

      Kak Lia juga semangat teruus dalam menjalani kehidupan yg keras inii, semoga selalu sehat dan selalu diberkahi oleh Tuhan, Aamiin!😍❤️

      Hapus
  7. Dari judulnya sih aku udah ngira tadi, ini pasti si Angkasa di NKCTHI. Aku sendiri sebagai anak kembar aja punya perbedaan, terutama dari hal sikap. Aku yang lebih perasa, dan kembaranku yg lebih cuek. Disatu sisi kami punya kakak perempuan yang seterong abis. Mungkin karena memang dia sebagai si sulung ya.

    Semua memang punya karakternya masing-masing. Salut deh buat kamu sebagai si sulung Awl. Semangat ya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. i also have twins and older sister hahaha

      Hapus
    2. Hehe bisa ketebak ya kak😂. Bahkan dalam saudara kembar pun masing2 sudah punya porsinya ya kak Rizky, berhubung aku nggak tau rasanya punya saudara kembar, jadi gak kepikiran tentang ini. Kalau dipikir-pikir, kakak dan kembaran yg bagai pinang dibelah dua aja masih banyak perbedaan yg harus diterima, apalagi saudara2 yg lain. Maka sudah seharusnya kita menghargai karakter dan stuggle masing2.

      Makasi banyak kaaak, semangat juga untuk kak Rizky!🤗❤️

      Hapus
    3. @mambin Nah lho, jangan2 ini kembarannya😂

      Hapus
  8. Makasih kak, sebagai anak pertama aku jadi sedikit tersadar, ternyata sudut pandangku selama ini terlalu sempit.Jadi merasa bersalah sama adikku, yang sering banget dibandingkan denganku sementara dia punya passion dan kemampuan yang berbeda denganku. Gak kebayang gimana perasaannya:(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kembali kasih, Rani! It's okay, people grow, mba🤗 Akupun berangkat dari keegoisan itu dan butuh waktu bertahun-tahun sampai akhirnya ada di tahap menyadari bahwa kita semua sebagai saudara punya bebannya masing2. Semoga dengan pikiran dan hati yg lebih terbuka ini, kita bisa semakin terbuka jg dengan anggota keluarga dan saling support untuk setiap hal baik yg sedang diperjuangkan. Semoga mbak Rani dan keluarga sehat selalu🤗💕

      Hapus
  9. in my position , even i'm not the first child i have been treated as ' anak harapan ' in family . my parents always said to me personally that they really put a high hope to me . Now i'm lost and depressed after graduating. I could feel they disaapointed with me . Idk what to do anymore , i feel hopeless , i wish magic do happen in my life sooner . I want make my parents happy , i kinda feel pressure but i hope this would give me positive push . Pls pray for me :')

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo, kak mambin (is it okay to call you mambin? cuz i don't know what your real name is😂). I know it's also been so hard for you being the one whom your parents put expectation for. We all are sometimes get depressed too, overthink about things we haven't even tried yet, and afraid we can't be what they want us to be. It's okay to feel hopeless, but all i can say is just don't push yourself too hard onto this. Pressure-nya pasti udah terlalu tinggi sampai kita merasa bingung harus gimana lagi, karena itu jangan biarkan diri kakak semakin menanggung opresi yg terkadang sebetulnya ketakutan kita sendiri yg ciptakan. Dalam situasi seperti ini, satu2nya yg bisa menenangkan diri sendiri untuk bangkit adalah diri sendiri. I don't know if it works for you or not, tapi aku selalu coba untuk ngobrol dengan diri sendiri kalau sdg dihadapkan pada hal seperti ini. "Apa yg kamu takutkan?", "Aku pasti bisa, kan?", "Gapapa kalau pada akhirnya kamu gagal, yg penting kita usaha dulu yuk." Mungkin kalau bisa, kakak juga mulai ngobrol dgn orangtua, semisal minta maaf sebelumnya kalau kakak gak bisa memenuhi ekspektasi mereka nantinya, tp kakak akan selalu mencoba jd anak yg bisa membanggakan mereka. Aku yakin orangtua seharusnya mengerti dan luluh jika kita berusaha menjalin komunikasi seperti itu. Semoga tidak terkesan menggurui ya kak, sebab akupun masih banyak 'PR' yang harus dilakukan😁. I just wanna share apa yg menurutku penting untuk saling menguatkan, dan semoga ini bisa menambah semangat untuk kita berkembang menjadi individu yg lebih baik dari sebelumnya🤗. Take care, kak!💕

      Hapus
  10. Saya juga tumbuh sebagai anak pertama, orangtua dua2nya anak pertama. Tekanan untuk menjadi sosok yang terbaik rasanya ngena banget. Gak tau deh rasanya gimana lagi, udah terbiasa dari kecil hidup mandiri, jangan manja, kamu harus kuat, kamu harus pinter, kamu harus begini dan begitu.

    Kadang-kadang saya pernah berpikir, enak yah jadi anak sulung. Dimanja, kerjaannya lebih nyantai, dll. Tapi, memang betul sih setiap posisi yang diberikan tuhan memang sudah sesuai kadarnya. Sudah ada tanggung jawabnnya masing2. Semangat selalu anak sulung !!😀

    BalasHapus
    Balasan
    1. Memang kita selalu mudah mendambakan sesuatu yg tidak kita miliki ya kak😢. Karena merasa terlalu sering mandiri dan 'harus kuat', dengan mudahnya mendambakan si bungsu yg dimanja dan kelihatan lebih disayang, tanpa sadar sebetulnya posisi yg sedang kita miliki ini jg sebetulnya bisa aja diinginkan si bungsu. "Enak ya jadi kakak, mandiri, gak dikekang dan dilarang ini itu gara2 jd anak bungsu". Kalau dipikir-pikir, sebenernya ada syukurnya jg terbiasa dengan didikan seperti kata kakak, yg harus mandiri, jangan manja, harus kuat, blablabla, karena itulah pada akhirnya yg membentuk diri kita yg sekarang.😄 Semoga sehat selalu untuk kita semua ya kak, ehehehe semangatt anak sulung!😁💪🏻

      Hapus
    2. Wah btw itu saya typo, harusnya "Kadang-kadang saya pernah berpikir, enak yah jadi anak bungsu..."

      Siap semangat juga ka hehe

      Hapus
  11. Hi Non, what a coincidence...
    untuk pr fiksi kelas menulis kemaren, aku bikin cerita tentang kehidupan anak kedua, yang ngerasa terjepit diantara 3 saudaranya yang lain. Betul seperti yang ditulis sama dirimu, setiap anak punya bebannya masing masing, juga berpengaruh dari cara bagaimana dibesarkan dan kehidupan yang dia alami. Yang pasti semua sudah diatur besaran porsinya sesuai kesanggupan kita... klise sih dan pasti sering banget denger yang seperti ini, tapi itu bener banget.

    Anw, kagum sama tulisan ini karena kamu sudah nulis tentang masa lalu, yang mungkin ngga mudah bagi sebagian orang, terutama jika kamu bilang pernah terbiasa memendam perasaan dan kesedihan.

    Take care

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo kak Renoov, maaf baru sempat balas komen kakak, minggu ini aku gak bisa fulltime buka blog soalnya huhu.

      Entah kenapa banyak kebetulan yg mempertemukan kita lewat tulisan ya kak (jiaah), kebetulan mba Jane, seperti komen di atas, baru nonton film NKCTHI sebelum baca postinganku:D
      Pasti berat ya menjadi anak tengah yang tumbuh dengan kondisi "terjepit" seperti kakak, entah terjepit secara perasaan atau keadaan. Tapi begitulah kalau kita bicara tentang hidup, semua org sudah ada porsinya, bahkan peranan di dalam keluarga masing2:').

      Terima kasih banyak kaak hehe, Alhamdulillah aku belajar banyak dari masa itu hingga akhirnya bisa bercerita dan berbagi disini, semoga ada pembelajaran yg bisa dipetik. Take care juga untuk kak Renov, dan stay safe di Jerman ya kak!<3

      Hapus
  12. Kesimpulannya, menjadi anak dalam keluarga itu punya tantangannya sendiri ya :" Baik buat anak sulung, tengah, bungsu, maupun tunggal. Sebagai anak tunggal sendiri, aku juga sering denger stereotipe anak tunggal itu lebih sering dimanja (karena ibaratnya kasih sayang orang tua gak dibagi-bagi, cuma untuk dirimu seorang). In a way, mungkin iya sih. Tapi di sisi lain, aku ngerasa bahwa ekspektasi untuk jadi sukses & berprestasi juga jadi lebih besar (ngerasain sendiri soalnya wkwk). Malah aku lebih sering dituntut untuk jadi mandiri, dan akhirnya seperti yang juga kamu sebutkan di tulisan, jadi rentan ngerasa kesepian karena gak ada saudara buat dijadikan teman berbagi perihal urusan keluarga.

    Bagaimanapun tantangan kita menjalani peran anak di keluarga, semoga kita semua bisa lebih berdamai dengan kondisi yang sudah ada dan bisa menemukan outlet yang tepat dan sehat untuk mengekspresikan semua emosi kita ya. Semangat buat kita semua ��

    BalasHapus
    Balasan
    1. Exactly! Setiap anak punya tantangan dan tanggungjawabnya masing2, apapun posisinya di dalam keluarga:". Aku gak bisa membayangkan gimana rasanya kalau ada di posisi km, yg mana menjadi satu2nya harapan orangtua dan disamping itu harus menyimpan semuanya sendiri sebab gak ada kakak atau adik yg bisa diajak berbagi.

      Aamiin, semoga sesulit apapun beban atau perasaan yg dialami, masing2 dari kita bisa menemukan kembali ketenangan dan berdamai dengan semua itu. Anyway, kalau km sedang merasa kesulitan, jangan ragu untuk sharing dan cerita dgn ayah dan ibu ya, jangan menanggung semuanya sendiri! Semangaatt!<3

      Hapus
  13. Mba Awl, saya juga kemaren sebenernya pengen nulis tentang ini. Tapi kayaknya, entahlah.

    Berbeda dari Mba Awl, karena saya adalah anak kedua. Dengan Orangtua yang dua-duanya anak bungsu, lalu kemudian pernah suatu hari sebelum masuk SD saya pernah mengemban tugas untuk menjaga kakak saya, yang kesehatannya tidak optimal dibanding anak-anak lain. Mungkin pengambarannya sedikit banyak seperti cerita drama It's Ok to be not Okay, hanya saja Ortu saya masih lengkap namun dengan kondisi perang setiap hari.

    Bedanya dari drama itu, waktu kecil saya tidak bisa mengungkapkan tekanan batin itu ke Ortu. Sampai almarhum KK saya meninggal pun, saya masih memendam dan merasakan penyesalan terdalam. Bukan ke Kakak tapi ke Orangtua. Kalau saja begini, kalau saja begitu maka kakak saya tidak akan begitu cepat pergi meninggalkan kami.

    Namun sayangnya, saya harus menunggu jadi Orangtua dulu, baru akhirnya bisa menyadari rasa penyesalan paling dalam yang pernah Orangtua saya rasakan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo mba Rini, maaf baru sempat balas komen mba:(

      Saya belum nonton It's Okay Not to be Okay sih mba, dan kebetulan ini pertama kalinya saya mendengar langsung dari mba sebagai anak kedua yg memiliki cerita harus mengemban juga tugas untuk justru menjaga alm. kakak mbak. Meski saya tidak tahu rasanya seperti apa, tapi saya yakin mba sangat hebat untuk bisa melalui ujian berat itu, you're very strong!:') Salut dengan perjuangan mbak yang harus menggantikan posisi kakak bahkan saat masih kecil, *sending virtual hug untuk mba Rini*.

      Terkadang kita memang harus mengalami sendiri posisi seorang lain untuk bisa mengerti apa yg mereka rasakan ya mba, semoga sehat selalu untuk mba dan keluarga. Dan semoga di usia saat ini hingga seterusnya kebahagiaan juga kedamaian senantiasa mengiringi langkah mba dan keluarga, Aamiin. Terima kasih sudah berbagi mba Rinii<3

      Hapus
  14. Awl, waktu baca tulisan Awl yang ini, kakak relate banget sama perasaan Awl karena kakak juga anak pertama hehehe. Dan kakak sempat membahas tulisan Awl sama pasangan karena pasangan kakak anak ke dua. Dari situ kakak bisa lebih paham perihal sudut pandang anak pertama dan ke dua dan anak-anak lainnya. Dan ternyata, sama seperti yang Awl tuliskan, setiap anak punya kesulitan personal yang mungkin nggak bisa dibayangkan satu sama lainnya ~

    Terima kasih banyak Awl sayang sudah mau mengirimkan tulisan indah ini ke kakak, dan menerbitkannya juga. Semoga semakin banyak yang bisa relate dan membaca karya indah Awl 😍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih juga kak Eno sudah memberi wadah untuk aku menulis ini, hehe. Sebetulnya sudut pandang mengenai peran anak2 di dalam keluarga inipun baru aku dapatkan saat ngobrol dengan teman2 yg seringkali curhat masalah keluarga dan posisinya di dalam keluarga. Sepertinya kita memang harus sering ngobrol, berdiskusi atau berbagi perihal emosi atau perasaan ini dgn orang2 terdekat ya kak, nggak hanya untuk lebih mengerti peranan masing2, tapi jg agar kita gak memendam perasaan ini seorang diri:')

      Aamiin, sekali lg terima kasih banyak kak Eno!<3 xx

      Hapus
  15. Hi Awl, hehe. Thank you udah menyapa duluan yaaa 😇😇.

    Kayaknya tulisan ini bisa relate sama semua orang deh, karena kita sebagai manusia pasti pernah menganggap diri kita superior dari yang lainnya.

    Saya juga datang dari keluarga yang relasinya kurang sehat, dulu saya malu banget kalau teman-teman saya tahu, kalau bapak sama ibuk nggak akur, karena social norms yang ada di masyarakat bahwa keluarga itu harus utuh dan hidup bahagia.

    Sampai akhirnya di bangku kuliah, saya bisa melihat dunia lebih luas, bahwa ternyata it's okay kalau kita berasal dari keluarga yang divorced, nggak ada masalah dengan itu dan itu adalah hal yang manusiawi.

    Sama seperti Awl, dulu saya juga suka kegeeran, bahwa saya adalah perempuan paling menderita di dunia haha. Saya suka ngerasa masalah orang nggak ada apa-apanya dibanding saya, sampai akhirnya saya sadar pemikiran macam ini ngga benar, hanya karena cara Tuhan dalam mendewasakan kita berbeda-beda bukan berarti kita bisa mengklaim diri kita lebih superior dari yang lain.

    Lastly, saya mau kutip perkataannya om Brad Meltzer "Everyone you meet is fighting a battle you know nothing about. So, be kind. Always"

    Terimakasih sudah mau berbagi dan Semangat Awl 😇😇

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hi, mba Sovia! Hehe, kembali kasih. Terima kasih jg mba sudah mampir kesini!:D

      Kalau saya waktu SMP lebih ke merasa bingung mba daripada gak PD, karena kalau ada isi formulir dari sekolah atau darimana pun yg mencantumkan tentang orangtua atau tempat tinggal, bingung harus isi bagaimana sementara ayah dan ibu udh gak bersama, sungguh polosnya haha padahal meski bercerai kita tetep anak2 mereka dan harusnya saya gak perlu bingung2:D
      Tapi dari hal2 yg seperti itulah kita akhirnya jd tau dan belajar yg mana yg benar dan salah, serta yg mana yg perlu dikhawatirkan atau nggak ya mbak, seperti mbak yg asalnya malu lama kelamaan jd lebih terbuka bahwasanya nggak perlu ada yg dipermasalahkan dari menjadi anak "broken home".

      Anyway, sepertinya ingin saya garis bawahi tulisan mba di atas, "hanya karena cara Tuhan dalam mendewasakan kita berbeda beda bukan berarti kita bisa mengklaim diri kita lebih superior dari yang lain", bener2 nanclep di hati. Pelajaran banget buat siapapun yg pernah atau sedang superior, bahwa semua org punya masalahnya masing2, it's okay kalau at some point kita pernah merasa berada di titik terendah dan merasa paling menderita, tapi jangan terlalu lama berada di jurang itu dan jangan sampai menjadikan diri kita congkak hanya karena masalahnya "merasa" lebih besar.

      Such a sweet quote and so bold, kaya akan makna. Sepertinya kutipan ini jg akan jd kutipan favorit saya mba huhu:"

      Terima kasih jg mba Sovia sudah berbagi, semangat dan sehat selalu untuk mba dan juga keluarga ya! *sending virtual hug* <3

      Hapus
  16. Saya anak bungsu😁
    Cewek sendirian.
    Meskipun begitu dulu pernah juga merasa bahwa kasih sayang orangtua nggak adil buat saya. Padahal saya dimanja. Bukan dimanja dalam artian semua yang saya minta dikasih. Pernah dulu minta jajan aja kudu nangis dulu.
    Bisa dibilang saya nggak pernah disuruh melakukan sesuatu yang membuat saya terpaksa melakukannya. Dan efeknya baru kerasa saat saya dewasa. Dimana saya jadi pribadi yang lembek, yang nggak paham harus gimana dalam mengambil keputusan. Bener-bener sesuatu yang bikin saya jengkel sama diri sendiri. Makanya saya suka salut sama orang-orang yang bisa bersikap galak sama orang lain. Yang bisa tegas gitu. Sementara saya terlalu baper sama segala hal.
    Tapi lambat laun saya sadar bahwa orangtua nggak pernah memaksa anak-anaknya melakukan sesuatu. Nggak cuma saya tapi juga kakak-kakak. Itu karena ketika kecil bapak saya sering dihukum dengan pukulan jadi dia nggak mau anaknya merasakan yang sama.

    Semangat untuk mbak awl Sebagai anak sulung😊💪

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ternyata apa yg kita pikir seringkali gak sesuai dengan kenyataan ya mba. Terhadap orangtua gak jarang kita merasa marah, suudzon jika apa yg seharusnya diberikan kepada kita itu gak tercapai, padahal sebetulnya mereka pun sedang berusaha menjadi sebaik-baiknya orangtua yg nggak mau membuat kita merasakan hal buruk yg mereka pernah alami. Dan begitupun yg terjadi dengan orangtua saya sepertinya😢

      Bagaimanapun, semoga kita bisa menjadi keluarga yg rukun dan saling terbuka jika ada suatu masalah ya mba:') Semangat juga untuk mba Astriii sbg si bungsu😍, btw saya jg anak perempuan satu2nya nih meski sulung😂

      Hapus
  17. Awl, makasih atas keterbukaan dan kejujuran mengenai masa lalu keluargamu. Semoga perlahsn kamu bisa berdamai dengan situasi dan perasaan yg mungkin tidak nyaman.

    Aku anak pertama dan punya satu adik cewe. Jelas sebagai anak pertama, ngerasain banget apa yg kamu tulis. Sering juga di minta ortu untuk jadi contoh yg baik buat adikku. Kadang aku bingung, contoh yg baik itu seperti apa.

    Makin diperparah dg kenyataan bahwa sekolahku adalah sekolah adikku juga. Jadi otomatis beberapa guru akan tahu kami kakak beradik. Jelas terjadi banding-bandingkan antara aku dan dia. Biasanya dia yg jadi"korban" perbandingan sama guru-guru. Contohnya "kakak kamu bisa, masa kamu ga". Ujung-ujungnya jadi perdebatan antara kami berdua.

    Saat kuliah psikologi, aku jadi sadar mungkin sebagai anak pertama identik dengan "beban berat". Karena kita adalah awal pelajaran utk orangtua kita. Jelas orangtua akan bingung pada waktu itu. Jadi naruh harapan dan menekan kita untuk bisa ini dan itu.

    Apapun dan anak urutan ke berapa pun, kita perlu bersyukur atas hidup yg dijalani. Karena tiap anak mau berapa urutanya dalam keluarga tetap punya jalan beda-beda.

    Semangat ❤️

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin, terima kasih banyak mbak Dev!🤗

      Persis sekali dengan kondisiku mba, adik yg pertama jg saat ini sekolah di tempatku dulu, tapi semoga aja nggak mengalami "banding-membandingkan" yg seperti mbak Dev dan adik. Sebetulnya kan setiap anak atau saudara adalah individu yg kalau dia sekolah berarti hanya merepresentasikan dirinya. Sangat disayangkan kalau masih ada guru yg selalu menekan siswa dgn bawa2 background keluarga. Saya salut dengan kakak dan adik yg bisa melalui masa2 perdebatan, entah di sekolah itu atau di kehidupan sehari-hari😊. Biasanya pada akhirnya sehebat apapun pertengkaran adik dan kakak, pasti akan dikalahkan org sayang sebetulnya ya mba😁.

      Bagaimanapun meski menjadi anak sulung identik dengan beban berat, semua pada akhirnya harus bisa survive dan bertanggungjawab atas diri masing-masing ya mba. Semoga untuk menghadapi itu semua kita selalu diberikan kekuatan dan keberkahan oleh Tuhan, Aamiin😊.

      Semangat juga untuk mba Devinaa!💕

      Hapus
  18. Dengan kata lain rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau ya mbak...
    Kita nggak pernah ngerti kesulitan orang lain karena tidak berada dalam posisinya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya kak Phebie, betul sekali. Kita selalu berpikir dan berperilaku seolah orang lain nggak pernah sedih dan terpuruk, padahal setiap orang sudah punya porsinya masing-masing. Memang sudah sebaiknya kita belajar dari pengalaman diri sendiri kalau gak bisa mendapatkan itu dari orang lain.

      Anyway, terima kasih sudah mampir ya kak Phebie!:D

      Hapus
  19. sepertinya kalau hidup dibanding-bandingkan dengan orang lain, orang tersebut juga nggak akan suka, apalagi jika terjadi di dalam keluarga yaitu dengan saudara sendiri
    aku sendiri dari kecil merasa nggak dibanding-bandingkan dengan adik aku, meskipun aku sama adik aku beda warna kulit, palingan orang lain yang menilai "kok ga sama ya, padahal beda setaun atau malah dikira anak kembar karena pakai bajunya kadang samaan terus sampe SMP kalau ga salah"
    pas udah gede kayak sekarang, aku melihat keluarga aku sepertinya nggak memberikan suatu tanggung jawab untuk memikul beban keluarga, karena bapak ibuku kalau ada masalah soal apapun kadang nggak cerita juga, karena memang yang pertama nggak ada sangkut pautnya dengan aku.
    waktu aku kuliah di luar kota dulu, sekalinya balik pulang, baru tau kalau tangan bapakku digendong karena habis kecelakaan, itupun aku nggak dibilangi kalau bapakku kecelakaan pas hari H. pikirnya biar kuliahku nggak terganggu dan nggak kepikiran

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kadang kita memang hobi merasa diri lebih tinggi derajatnya daripada orang lain dan sibuk menilai mereka, tapi sekalinya kita dibanding-bandingkan juga nggak mau ya mba😂. Ego manusia memang seakan gak ada habisnya.
      Btw, sebagai anak yg sekolahnya jauh dari keluarga, aku mengerti kenapa banyak hal yg nggak diceritakan, baik dari keluarga atau dari aku sendiri. Alasannya semata-mata karena nggak ingin merepotkan, atau membuat khawatir. Aku jg kalau lg desperate sama kuliah dan tiba-tiba ditelpon seringnya bilang baik2 aja, karena nggak ingin membuat orangtua khawatir dan sedih😟. Untuk beberapa alasan memang baik sebetulnya, kita sama2 nggak ingin menjadi beban. Tapi di sisi lain jg alangkah baiknya kalau diceritakan supaya bisa terbuka satu sama lain, setidaknya kalau sakit jd ada yg mendo'akan😄. Tapi kalau dalam kasusku sih emg anaknya susah terbuka aja jd nggak pernah cerita😂, dan mungkin memang setiap keluarga punya caranya masing-masing untuk merangkul satu sama lain😊.

      However, apapun kondisinya, semoga mba Ainun dan keluarga selalu sehat dan hangat ya mbaa, Aamiin😁💕

      Hapus
  20. Auto senyum aku baca kalimat trakhir, iyaa kenapa juga hrs lomba2an jadi siapa yg paling sengsara :p.

    Ngerasain banget yg mba tulis ini, apalagi aku sulung dari 4 sodara. Di kluarga Batak, anak cowo itu udh kayak kewajiban. Sebagai penerus marga, dia paling ditunggu2. Sayangnya, 3 anak pertama di kluarga, berturutan cewe semua :p. Jadi papa ngerasa blm puas sampe anak cowo terlahir. Alhamdulillah yg bungsu akhirnya cowo :p. Barulah mama bisa stop melahirkan -_- . Mungkin ini yg bikin aku sedikiiit takut utk menikah dgn laki2 Batak :). Sebagai anak dari kluarga Batak, dan melihat papa mengagung2kan anak laki2, rasanya aku ga bisa punya suami seperti itu hahahahaha. Thank God dapetnya pak suami yg bener2 ga mentingin anaknya cowo ato cewe , yg penting sehat :D.

    Tapi untungnya, hubunganku Ama adek2 lumayan Deket . Kami samasekali ga keberatan liat si bungsu LBH dimanja, Krn mungkin jarak ukur yg jauh, jd nya kakak2nya yg cewe ini jg pada sayang Ama si bungsu :p.

    Tapi biar gimana, aku ga pengen anak2ku sampe ngerasa begitu. Ga ada yg namanya siapa yg LBH disayang, semua sama. Perlakuanku sama ke si Kaka ato adek. ;).

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin saking udh kerasnya persaingan di dalam hidup ini mba Fanny, jadi sampai persoalan sedih pun harus dianggap sebagai perlombaan😂.

      Syukurlah mba bisa lepas dari belenggu akan ketakutan itu ya mba, btw aku udh ngikutin cerita-cerita travelling mba bareng suami (walaupun belum baca semua muanya sampai habis😂), karena itu ikut bersyukur dengarnya😍. Terkadang sebetulnya pressure yang terbentuk itu nggak datang secara langsung dan jelas memaksa, tp bisa muncul dari observasi kita terhadap hal tersebut ya. Dalam pernikahan pun, saya cenderung takut karena seperti tidak menemukan role model yg ideal bagaimana pernikahan yg sebetulnya, plus berangkat dari pengalaman sbg anak broken home jg. Padahal orangtua saya pun berkali-kali mewanti-wanti saya untuk jangan terlalu memikirkan pernikahan, dan cukup menjadi apa yg saya mau aja. Kalau ingin berkarir ya fokus saja berkarir😁.

      Semoga sehat selalu untuk mba Fanny, suami, dan keluarga besarnya ya mba. Senang bisa membaca cerita mba dengan adik2 yg kelihatannya rame, apalagi kan kalau orang Batak katanya keras-keras kalau ngomong, pasti seru ya di rumah mba Fanny kalau lg pada ngumpul😂💕.

      Hapus
  21. Kak, aku pun beneran bisa relate sama kakak. Cause I'm the first, dan aku juga broken home :) So, tanpa perlu banyak berkata-kata lebih panjang lagi, aku merasakan juga seperti apa yang kakak rasakan :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. I know, Syifa.. life must have been really hard for you to thru too. Sebagai sesama produk broken home, aku hanya bisa saling menguatkan dan mendo'akan, semoga semesta bisa bersahabat dengan baik dengan kita di tahun-tahun berikutnya, yaa. Karena pasti akan banyak hal-hal tak terduga yang mungkin akan triggered aku dan kamu di masa depan, and if that really happen, tetap semangat dan ingat bahwa you're the strongest person that ever been in your life. Semangatt!!

      #brokenhomefellas😬🤗

      Hapus
    2. But, but, aku salut sama kakak masih bisa berpikiran postif tentang kedua orang tua kakak. Apalah aku yang masih suka berburuk sangka, dan sering ngeluh sama keadaan. Orang tua yang nggak bisa hadir pas momen-momen penting di hidupku lah, dan yaahh aku berjuang untuk nggak terkungkung sama toxic family ku ini :) It's really painful kak, 😭 So, aku cari hal yang bisa aku lakuin supaya nggak mikirin beban hidup haha, curhat malah. U are strong too, kak!!!

      Hapus
    3. It's okay sharing disini, Syifaa. Bahkan kalau mau email juga boleh banget dengan senang hati, in case Syifa lagi butuh teman cerita suatu saat, ehehe😍

      Akupun melalui proses yg lumayan panjang untuk bisa punya kesimpulan yg lebih mindful tentang hidup, growing up in a broken home family, dan tentang orangtua. Mungkin ini juga salah satu proses yg lagi Syifa jalanin. Dan of course, akupun masih harus selalu mencoba untuk stay positive. Karena yg namanya manusia pasti sometimes ada momen-momen dimana kita lelah dan menyalahkan keadaan, hikss🤧 Tapi semoga hal-hal tersebut bisa kita hindari ya. Yok semangat kitaahh!💪🏻✨

      Hapus