Kenapa Kita Misoginis?

by - Desember 10, 2019

I'm not like the other girls


Entah kenapa pikiran gue malam ini random sekali. Something about misogynist has just popped up into my head for no reason—since it's become a real thing now. Bagi yang masih kurang familiar dengan kata ini, secara umum misogini didefinisikan sebagai kebencian atau rasa tidak suka terhadap perempuan, dan dapat diwujudkan dalam berbagai cara; diskriminasi seksual, fitnah perempuan, kekerasan terhadap perempuan, dan objektifikasi seksual. Sederhananya, misogini ini semacam tindakan menyepelekan dan merendahkan kaum perempuan, seperti yang kalian sering dengar bersamaan dengan budaya patriarki.

Mungkin kita lebih sering dengar kasus-kasus diskriminatif terhadap perempuan dan tindakan-tindakan mengobjektifikasi lainnya yang dilakukan oleh laki-laki. Tapi tahukah kita? Bahwa misoginis itu gak selamanya dilakukan oleh kaum laki-laki. Gue, kita, khususnya perempuan, justru berkemungkinan besar untuk melakukan hal yang sama terhadap sesama perempuan. Ini yang dinamakan misoginis terinternalisasi, atau bahasa kerennya internalized misogyny.

According to Cultural Bridges to Justice, internalized misogyny or sexism is defined as the involuntary belief by girls and women that the lies, stereotypes and myths about girls and women that are delivered to everyone in a sexist society ARE TRUE.

Seseorang dianggap mengidap internalized misogyny ketika dia secara nggak sadar sudah membenarkan stereotip, mitos dan kebohongan yang berkembang di society bahwa perempuan itu inferior, lemah, nggak bisa apa-apa, pantas diobjektifikasi, sudah kodratnya buat ngelayanin cowok, being the one to be blamed when she is literally a victim, terus berakhir di dapur—mau setinggi apapun pendidikannya, dan maaasih banyak lagi.

Apa kalian salah satu di antaranya?

Kalau iya, lebih baik refleksi diri, deh. Ingat-ingat lagi, coba sadari, apa kita sering merasa spesial dengan menjadi berbeda dari yang lain? But wait, we're not gonna end this topic here. There are sooo many interesting things to talk about. Tapi sebelum itu, here are some memes that you might have seen on social media:

i'm not like the other girls





That's quite ironic, isn't it?

Gue jadi teringat dulu sering banget self-proclaimed bahwa gue berbeda, gue nggak sama dengan orang-orang, hanya karena gue nggak suka warna pink seperti halnya kebanyakan perempuan. Gue memandang perempuan lain sebagai inferior sebab gue lebih bangga menjadi tomboy, karena itu artinya gue nggak sama dengan cewek-cewek stereotipikal yang hobinya dandan dan belanja. Gue juga cenderung julid saat ngeliat cewek lain yang gampang nangis hanya karena masalah sepele, hanya karena luka kecil. Gue merasa kuat  sebagai cewek hanya karena gue gak pernah pingsan dan terkapar di UKS. Terkadang gue prefer temenan sama cowok karena ngumpul bareng ciwi-ciwi somehow rempong dan banyaknya ngeghibahin orang (walaupun kadang cowok ghibahnya bisa lebih parah sih kyknya). Gue suka lebih percaya diri dengan make-up natural karena kalau make-up nya tebel-tebel, gue akan dicap centil dan dianggap "attention seeker". Gue merasa superior to other women karena gue nggak suka nontonin yucub yang isinya beauty vlogger dan beauty enthusiast,  walaupun pada akhirnya gue menikmati juga kok beberapa channel kecantikan. Dan serangkaian narasi "i'm not like other girls" lainnya.

Pada saat yang sama, ketika gue mulai suka beli skincare, suka beli barang-barang which i think it's too girly to buy or to wear before, gue jadi merendahkan diri sendiri. Gue malah mempertanyakan diri sendiri, "do u really wanna buy this women's product?". When actually i, myself, is naturally a woman. 

What's so damn wrong with being an average woman, tho? Why am i worrying those stereotypes too much? Gue pun seakan perlahan menjauh dari "menjadi perempuan" yang gue mau, padahal nggak ada yang melarang dan mendoktrin gue untuk secara konstan melakukan itu. Semua itu akibat internal misoginis gue yang nggak mau disamakan dengan perempuan manapun.

Pandangan seksis macem gini udah lama banget bertengger dalam diri gue, tanpa gue sadari, dan mungkin begitu juga kalian. Gue bisa aja bilang kalau cowok tuh nggak boleh begini begitu sama perempuan, nggak boleh mengobjektifikasi sesuka hati dengan ngomongin hal-hal yang berbau seksual, tapi gue lupa bahwa gue juga terkadang belittling mereka yang secara teknis ada dalam komunitas yang sama dengan gue. As a woman.

Maka dari itu, gue pun mencari tahu apa sih yang bikin kita-kita ini dengan mudahnya membenci dan merendahkan perempuan? Either laki-laki atau sesama perempuan sekalipun. Beberapa artikel bilang bahwa, dalam buku seorang pakar psikologi dari Universitas Cornell, yaitu Professor Kate Manne, lelaki yang misoginis bukannya membenci wanita. Mereka hanya tidak suka jika dominasi mereka sebagai lelaki terancam sehingga mereka menghukum, menyakiti, dan membenci wanita yang cenderung mendominasi dalam sebuah hubungan. Alasan yang pertama bisa jadi karena mereka punya trauma masa lalu atau masalah dengan ibunya. Kedua, para lelaki ini merasa frustrasi dengan definisi maskulinitas dan feminisme yang ada di masa sekarang. Ketiga, banyak mendapat penolakan romantis dari perempuan, sehingga perlakuan misoginisnya bisa berarti ajang balas dendam, etc. Ngeri banget, sih. Terakhir, mereka nggak mengerti tentang perempuan-perempuan yang selalu membawa paham feminisme dan bermain sebagai korban dalam aspek apapun, karena again, budaya patriarkial yang kuat yang masih mereka pegang.

Sementara untuk internalized misogyny sendiri, berdasarkan artikel yang gue baca, women are educated from infancy both explicitly and implicitly on “appropriate” ways to act, think, and feel. These cultural conceptions of womanhood are so deeply ingrained that they dictate performances of femininity, even behind closed doors.

Dari sejak kecil kita memang sudah dicekokin dengan berbagai perbedaan yang jelas antara laki-laki dan perempuan. Contoh kecilnya dari warna pakaian. Baju-baju anak perempuan identik dengan warna pink, sementara anak laki-laki adalah biru. Treatment yang berlaku di lingkungan sekitar pun memberi batasan apa yang harusnya dilakukan oleh anak laki-laki, dan mana yang harusnya dilakukan oleh anak perempuan. Mungkin untuk beberapa alasan, perlakuan itu penting dalam membatasi gerak si anak agar orientasi seksualnya nggak menyimpang. Tetapi, negatifnya, budaya itu jadi bikin kita nggak bisa lepas dari pandangan seksis yang ada. Sehingga ketika ada golongan perempuan yang merasa beda dengan perempuan kebanyakan, they will say that "i'm different!". "Nggak kayak lo pada yang suka pake rok mini dan liptint warna terang."

Salah satu contoh yang kentara banget di saat kita sudah beranjak dewasa, yaitu adanya oppresion yang menghubung-hubungkan harga diri dengan penampilan. Sebagai cewek, kalau mau gampang cari kerja dan gampang dapet relasi, penampilan itu nomor satu. Good looking itu suatu keharusan. Apalagi kalo cantik, beuuhh. Intinya sesuatu yang berkaitan dengan kecantikan, it all belongs to woman. Dan kalau penampilan lo dianggap buruk, kemungkinan harga diri lo akan dipandang rendah karena lo tidak cukup baik untuk menjadi seorang wanita. Akibatnya, sudut pandang itu jadi mengakar pada diri kita bahwa perempuan harus cantik, dan kalau nggak cantik-cantik amat ya berarti beda dari yang lain.

But then, it doesn't surprise me at all. Karena memang kenyataannya kebohongan, mitos dan stereotip itu sendirilah yang bikin internal misogini muncul, seperti yang sudah gue mention sebelumnya. Gue kemudian mencari-cari akar dari semua ini. Apa, sih? Apa yang menyebabkan pola pikir kita menjadi sebegitu dangkalnya mengekspresikan perbedaan?

Ternyata jawabannya cuma satu. Dan ini berlaku untuk semua orang. Gak cuma perempuan, tapi juga laki-laki. Can y'all guess it?

Ya, jawabannya ego. Manusia punya sifat natural yang ada dalam dirinya, yang gak mau dibandingkan ketika ada orang yang lebih baik dari dirinya—paling tidak menurut pandangannya. Ketika dia menemukan sesuatu yang terlihat biasa, dia akan menertawakan hal itu, meremehkan dan menganggap dirinya superior. Sesederhana itu jawabannya. Satu kata bisa mengubah jutaan mindset orang-orang terhadap femininity dan masculinity. I know this is super ironic!

Menjadi berbeda memang selalu terdengar mengesankan, karena itu berarti lo gak sama dengan orang lain.

"Lo unik!"
"Gak semua orang kayak lo."

Tetapi ketahuilah bahwa semua kata-kata itu menipu. Kita cenderung nggak menjadi diri kita yang sebenarnya, karena satu pujian itu bikin kita puas terhadap diri sendiri dan menyangkal keberagaman.

Di saat yang bersamaan, orang-orang yang merasa beda ini ketika dipuji cantik, mereka nggak bisa bohong kalau dari lubuk hati yang terdalam juga seneng ngedengernya (yah, namanya juga perempuan. Ujiannya itu ada di telinga, paling seneng kalo udah dipuji). Padahal itu artinya mereka sama dengan perempuan-perempuan di luar sana yang cantik, yang punya karakter dan keunikan tersendiri, and who's come with different shapes and sizes.

Jadi, masih gak mau disamain sama perempuan lain?

Pada awalnya mungkin sulit melepaskan diri dari internal misoginis yang selalu datang di pikiran kita tanpa diprediksi. Tapi kalau bukan diri sendiri yang berubah, siapa lagi?

Gue juga terkadang masih sekelebat menganggap orang lain inferior karena beberapa alasan. Tapi lantas gue tahu ini gak bisa selalu dibiarkan begitu aja. Karena dengan menyadari bahwa internalized misogyny adalah sesuatu yang harus dihindari, itu mengartikan bahwa kita menghargai setiap orang apapun dan bagaimanapun dirinya.

Gue pun sekarang bisa beli apa aja yang sebelumnya gue anggap 'terlalu cewek', karena pada akhirnya gue sadar, memiliki sesuatu yang 'terlalu cewek' tidak merusak citra diri gue sama sekali sebagai perempuan. Ketika merasa jadi cewek yang kuat pun, gue sadar mungkin itu suatu petunjuk bahwa gue harus bisa merangkul mereka-mereka yang tidak sekuat gue. Dengan menyadari semua itu, sekarang apapun terasa lebih jelas dan terang. Because basicly women are women. Gak ada spesialisasi perempuan yang begini dan begitu. Kalaupun beda, apa yang beda? Lo mau bilang, "apa cuma gue yang blablabla?"

Oh, no no no. Gak cuma lo yang beda, gak cuma gue yang beda. Kita semua pernah ada di posisi mempertanyakan itu kepada diri sendiri. Dan jawabannya nggak, bukan cuma lo yang beda karena lo nggak sendiri.

Anyway, kalau ada di antara kalian laki-laki yang pernah merasa demikian terhadap teman sesama lelaki, mungkin kalian juga mengidap internalized misandrist atau misandry. Dorongan maskulinitas yang berkembang dalam society sama halnya dengan femininitas yang berasal dari stereotip gender bahwa cewek itu biasanya begini, cowok biasanya begitu, dan tanpa disadari mungkin menimbulkan insecurity terhadap diri sendiri. I don't know how this happens to men tapi intinya sama, siapapun kamu di luar sana yang merasa minder atau merasa superior karena berbeda, laki-laki atau perempuan, sebaiknya ubah mindset kalian selayaknya dunia yang nggak sempit ini. Planet kita luas. Ada miliyaran orang di muka bumi ini dan kita bukan satu-satunya orang yang diciptakan berbeda.

You May Also Like

10 komentar

  1. Ah setuju banget :(( Aku pun juga ngerasa punya tendensi untuk jadi "not like other girls" pas masa remaja dulu, sekarang jadi berusaha untuk di-unlearn hehe. (Oiya, jadi inget juga sama monolog tentang "cool girl" yang ada di film Gone Girl.)

    taniapandia.wordpress.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepertinya masing2 dari kita ada tendensi untuk gak mau disamain sama cewe lain ya, huhu. Btw film Gone Girl tentang apa? Aku baru denger hehe kalo rame pengen nonton:D

      Hapus
    2. ijin nimbrung, Gone Girl film thriller psikologi gituu
      bagus!! Tonton deh

      Hapus
    3. Ok noted, ehehe makasi rekomendasinya mba! Udah lama ga nonton film thriller😁

      Hapus
  2. Ku juga pas remaja gituuuu. Berasa superior karena ngeliat temen yang dikit-dikit nangisss... Dan emg dulu juga tomboy dan ga suka meapan sampai akhirnya menginjak dunia kuliah, mulai deh dikit-dikit pakai lipgloss dan bedak...Eh tapi kalau skincare sih aku uda peduli ya sejak dari SMA juga..

    Kalau sekarang, uda ga mikir superior lagi sih. Karena emang masing-masing pribadi punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing sih. Hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo mbaa, sorry for very late reply😭 aku lagi bebenah postingan yg lamaa dan ternyata ada komen mba disini, maaf kalau aku gak rajin cek ya mba, soalnya kependem kayaknya notifnya😢

      Anyway, kayaknya hampir setiap cewek ada masa2 kyk gitu ya mba kalau dilihat dan diperhatikan. Mungkin karena kita tumbuh dengan stereotip2 yg membentuk perilaku gender / ekspresi gender bahwa perempuan begini, dan laki-laki begitu, sehingga gampang banget merasa superior hanya karena gak mau sama dengan kebanyakan orang🤦🏻‍♀️

      Well, fortunately skrg sudah bisa lebih bijak menyikapi hal ini ya mba, sepertinya dari hal itupun kita harus beranjak dewasa dulu untuk bisa mengerti bahwasanya masing2 orang punya keunikan, dan kelebihan serta kekurangannya masing-masing😁

      Stay healthy and stay safe neechan!🤗

      Hapus
  3. Holaaa Awl-san
    It’s ok kok hehehe
    大丈夫🙆🏻‍♀️

    Iya karena suka didikte dari kecil, cewe tuh pake rok
    Cewe tuh maen boneka
    Jadi pas aku sukanya pake clana terus dan main mobilan ato bola tu berasa superior aja padahal mah “apa sih?!”

    Betull pas beranjak dewasa baru deh ngerasa “gw so iye benerr pas kecil, dasar cah ingusan”
    Hahaha 😂

    Stay healthy and safe too Awl-san 🤗

    BalasHapus
  4. I don't know what did I just read today but tulisan kakak keren bgt serius!

    Saya dulu juga pernah berperilaku superior karna ngerasa berbeda dengan perempuan lain, tpi saya sadar klo itu cuma ego doang huhuu. Setelah baca tulisan ini jadi agak tercerahkan hehe.

    Tadi saya tiba-tiba random nyari tulisan soal 'misoginis' dan akhirnya nemu tulisan kakak hehe, btw makasih yaa atas pencerahannya :))

    BalasHapus
  5. kak, makasih udah tulis ini. aku izin pakai tulisan kakak untuk public speaking dikelas ya kak. have a nice day!

    BalasHapus