Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek Yang Regresif

by - September 26, 2020

marah-marah virtual kegiatan ospek di tengah pandemi
Photo by Life Matters from Pexels 

Pertama-tama, sebetulnya gue nggak punya kapasitas yang cukup untuk berkomentar soal ini—ospek virtual adegan marah-marah yang baru-baru ini viral. Namun berhubung gue pernah punya pengalaman di sana, sebisa mungkin gue akan mencoba untuk melihat dari dua sisi. Penulisan tentang ini tergerak setelah gue baca artikel "Merdeka Belajar" Gaya Menteri Nadiem: Apanya Yang Merdeka? yang ditulis oleh Ben Laksana pada Indo Progress. Meski terlihat seperti nggak berkaitan, terdapat tali yang sebetulnya saling berkesinambungan kalau menilik pada konsep dan garis besar pemahaman. Apabila tulisan ini dirasa lebay atau bias bagi beberapa teman mahasiswa, silahkan, bebas untuk menginterpretasikan, kok. Semua yang gue tulis disini murni pendapat gue dan berangkat dari pengalaman serta riset kecil-kecilan di media sosial dan beberapa artikel kependidikan. Jadi, sebisa mungkin gue sudah menjauh dari bias tersebut.

Kedua, sepengetahuan gue, ospek sendiri bisa terbagi menjadi beberapa bagian, di antaranya ospek universitas, ospek fakultas, dan ospek jurusan. Ospek universitas dan ospek fakultas biasanya disatukan dalam rangkaian ospek di awal semester secara umum yang mana tujuannya memang untuk mengenalkan mahasiswa pada kampus, sebagaimana kepanjangan ospek; Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus, meski lagi, hal ini juga tidak bisa disamaratakan karena setiap instansi pasti berbeda kebijakannya, pun dalam hal penamaan. Berdasarkan pengalaman pribadi, keseluruhan ospek di kampus gue sebetulnya termasuk ospek yang sangat menyenangkan, walaupun beberapa aturan semacam harus berangkat pagi buta—bahkan sebelum adzan shubuh—masih dirasa cukup merepotkan. Selebihnya, aksi marah-marah senior dari divisi terkait memang sekadar untuk menertibkan.

Namun masa-masa "dididik" oleh kakak senior yang galak ini berlaku saat ospek jurusan dimulai, yang rata-rata salah satu tujuan diadakannya hal ini bermaksud menyaring anggota baru untuk kepengurusan selanjutnya. Pada bagian ospek jurusan inipun bisa berbeda-beda nama kegiatannya, sebab memang sudah memisahkan diri dari acara ospek universitas. Kegiatan di dalam ospek jurusan tersebut lah yang terbilang cukup keras, setidaknya begitu menurut kesaksian beberapa kerabat dari jurusan dan universitas yang berbeda.

Permasalahan tentang "senioritas", perpeloncoan, dan pembodohan mahasiswa baru dalam setiap kegiatan ospek sebetulnya akan selalu jadi pembicaraan, baik di dalam institusi terkait, maupun pembahasan secara nasional—seperti sekarang—kalau belum juga ada pembaharuan yang dirasa cukup solutif dan adaptif untuk bisa diimplementasikan. Sebagai contoh, di jurusan gue, menjelang penerimaan mahasiswa baru, nggak jarang panitia dari himpunan kami harus gontok-gontokan dengan dosen untuk meyakinkan mereka bahwa acara dalam ospek jurusan ini (re: adanya komdis) bertujuan baik dan segala tindakannya diatur dalam peraturan yang sah secara organisatoris—tentunya peraturan ini berbeda setiap departemen atau instansi. 

Adegan marah-marah yang sering disalahpahami inipun sering menjadi fokus utamanya.

"Mahasiswa kok gak kreatif! Masih zaman woy bentak-bentakan?"
"Kita bukan lagi sekolah militer."
"Mental itu gak dibentuk dalam waktu singkat cuma karena bentakan."

Gue sangat setuju, meski gue tahu, tindakan tersebut nggak semata-mata memarahi maba. Sederhananya, mereka ini ingin agar mahasiswa baru tersebut dapat lebih kritis dan punya mental "nggak mau diinjak-injak" supaya si komdis ini bisa dilawan.

Lho, bagaimana bisa?

Iya, memang begitu tujuannya (setidaknya yang gue tahu ya, mungkin treatment setiap kating di univ lain akan berbeda), karena itu gue bisa bilang ini klise. Kenapa klise? Karena pola seperti ini terlalu sering digunakan sehingga membuat tujuan atau makna asli dari hal tersebut pada kenyataannya memudar seiring berjalannya waktu. Sebetulnya konsep pemikiran inipun tergantung pada masing-masing si kakak senior, apakah dia murni ingin "membuat mental dan cara berpikir maba tersebut kritis" atau memang hanya ingin melampiaskan kekesalan mereka saat dibodoh-bodohi senior dulu—kebanyakan sih yang kedua ini kayaknya. It depends.

Namun secara keseluruhan, gue nggak bisa membenarkan bahwa adegan marah-marah yang selama ini melekat dalam kegiatan ospek di tiap universitas di Indonesia adalah sesuatu yang benar dan relevan. Gue melihat rata-rata dari pelaku dan dalang di balik itu terjebak dalam konstruksi berpikir "ospek" yang telah ada sejak puluhan tahun lalu, baik era Soeharto maupun sejak awal era reformasi, yang bahkan memang telah diwariskan sejak zaman kolonialisme dulu. Mereka masih belum tahu apa solusi yang tepat untuk membuat suatu kegiatan ospek dengan tujuan dan misi yang sama, namun berbeda metode. Jadi, pada praktiknya yang dilakukan ya gaya ospek yang seperti itu lagi, itu lagi. Marah lagi, marah lagi. Oleh karena itu, meski beberapa modifikasi perpeloncoan dan "senioritas" telah dihapuskan sepenuhnya di beberapa perguruan tinggi, nyatanya beberapa mahasiswa banyak yang masih terjebak dalam skema "marah-marah dan bentakan" yang dianggap harus ada dalam setiap acara penerimaan mahasiswa baru.

Ospek Tidak Sepenting itu Dalam Perkembangan Nalar Seseorang 

Melihat dari serangkaian kasus yang viral beberapa tahun kebelakang ini, dimana contohnya ada beberapa mahasiswa baru dari U** dan beberapa univ lain yang meninggal dan celaka saat ospek, dan ada pula kegiatan dimana maba disuruh merangkak melewati selangkangan seniornya lalu ramai-ramai minum air bercampur ludah, lalu video siswa disuruh makan makanan yang sudah dicampur dalam satu ember secara ramai-ramai (gue lupa liat video ini dimana), sampai ke persoalan marah-marah virtual kemarin, menurut gue ini sudah keterlaluan. Apa bedanya kita sama para diktator dan pemerintah yang sering didemo oleh mahasiswa itu sendiri jika konsep meng-ospek seperti ini masih dipertahankan? Supaya mahasiswa baru ini tahu rasanya diinjak-injak dan memberontak? Supaya mahasiswa yang menjadi agen perubahan ini mampu berpikiran maju dan mendobrak sistem yang bobrok? Begitu?

Konsep seperti ini justru kontraproduktif dengan teori yang telah dikenalkan sejak tahun 1900-an oleh Thomas Lickona bahwa pendidikan karakter mencakup tiga unsur pokok, di antaranya mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (desiring the good) dan melakukan kebaikan (doing the good). Mencoba "membentuk" karakter seseorang dengan cara yang keras untuk menghasilkan reaksi yang bertentangan dengan maksud melahirkan pemikiran yang baik, kritis, dan bijak bukanlah suatu cara yang benar. Bisa saja benar dan berhasil, jika reaksi tersebut mampu dihasilkan oleh maba-maba yang kritis dan "berani" tersebut, bagaimana jika tidak? Bagaimana jika aksi tersebut hanya melahirkan ketakutan-ketakutan baru akan hilangnya kebebasan berpendapat dan malah membentuk generasi yang manut-manut saja, sebab "kebenaran" tersebut telah diakuisisi maknanya?

Jika cara ini dianggap efisien untuk melahirkan "pemberontak-pemberontak" atas sistem yang bobrok, coba kita lihat sejenak. Mereka yang berdiri di kursi pemerintahan sana juga berangkat dari seorang mahasiswa yang kritis dan aktif, dilatih dengan ospek yang katanya lebih keras, tapi apakah hal tersebut menjamin bisa membentuk karakter "pemimpin-pemimpin" ini menjadi lebih progresif dan sadar diri rasanya di bawah? Tidak juga. Bahkan posisinya saat ini kontradiktif, mereka yang dulunya di bawah dan diinjak, berbalik menginjak. Apakah hal ini karena dipengaruhi oleh gaya ospek yang kejam? Tidak juga. Menurut gue, tindakan semacam ini pada akhirnya tidak terlalu mempengaruhi seseorang untuk bertindak sebagai seorang intelek, atau bahkan sebagai bagian dari masyarakat nantinya di dalam kehidupan sehari-hari, karena esensi yang diterima oleh masing-masing anak tentu berbeda.

Dimarah-marahi senior tidak lantas membuat mental kita seperti baja, tidak lantas membuat cara berpikir kita bisa kritis pula, sebab kedua hal ini sifatnya sustainable, yakni terus berkelanjutan selama individu tersebut masih memiliki peran di dalam lingkungannya, dan tentu ada proses panjang yang menggiring kita untuk bisa sampai di tahap tersebut. Bahkan jika seseorang sudah kritis pun, hal tersebut harus selalu diimbangi dengan latihan yang intens. Bagaimana contohnya? Membaca, banyak berdiskusi dan mendengarkan. Latih otak kita untuk berpikir.

Mahasiswa-mahasiswa tersebut kemudian seolah hanya menyontek dan menerapkan tindakan tradisional dalam teori tindakan sosial Max Weber, yakni mengamalkan tradisi atau kebiasaan di dalam lingkungan tersebut tanpa perencanaan dan dilakukan secara repetitif, tidak benar-benar mengelaborasi konsep keseluruhan tindakan sosial yang berorientasi nilai, rasional dan afektif.

Senioritas yang Disalahgunakan

Manusia pada dasarnya adalah makhluk individu yang memiliki kebebasan untuk berpikir dan menentukan mana hal yang menurut mereka baik atau tidak, pun jika hal tersebut bertentangan dengan norma, kegiatan ospek yang bergaya militer dan keras (baik secara verbal dan non-verbal) tidak termasuk ke dalam norma-norma yang berlaku dalam kehidupan sosial. Disinilah kita kemudian perlu membedakan senioritas dan perpeloncoan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan para ahli bahasa, senioritas menggambarkan situasi yang sifatnya perihal junior dan senior (bukan hanya merujuk pada perguruan tinggi) dimana terdapat keadaan seseorang lebih tinggi pangkat, pengalaman, dan usianya; serta prioritas status atau tingkatan seseorang yang diperoleh dari umur atau lamanya bekerja. Sementara perpeloncoan adalah praktik ritual dan aktivitas lain yang melibatkan pelecehan, penyiksaan, atau penghinaan saat proses penyambutan seseorang ke dalam suatu kelompok. Berdasarkan KBBI, aktivitas ini menjadikan seseorang tabah dan terlatih serta mengenal dan menghayati situasi di lingkungan baru dengan penggemblengan, yang jika ditelaah pada kasus-kasus ospek tersebut seringkali dibenarkan dengan dalih senioritas dan adaptasi. Padahal perlakuan dalam ospek yang terbilang keras tersebut tidak selamanya menggambarkan lingkungan baru secara utuh yang perlu diadaptasi oleh mahasiswa baru, dan senioritas itu sendiri kini bergeser maknanya. Sebab tindakan menghargai seseorang atau lawan bicara yang lebih tua dan lebih tinggi secara pangkat, jabatan, pengalaman dan usia tersebut bagian dari norma dan tata krama yang memang sudah semestinya kita terapkan. Sayangnya marah-marah pada ospek ini seringkali hanya dibungkus dengan istilah senioritas.

Mengutip pada artikel dari indoprogress tersebut, nilai-nilai seperti "hierarki, keteraturan, struktur, formalitas, paternalisme dan patriarki" merupakan nilai-nilai kunci dalam upaya rezim Presiden Soeharto yang sebagaimana disebutkan Bourchier dalam bukunya, Illiberal Democracy in Indonesia: The Ideology of the Family State (2015), terus dilegitimasi oleh negara sampai hari ini, bahkan hingga lingkup universitas sebagai alat ideologi pada ranah pendidikan. Bisa dibilang pola melatih dalam ospek yang terus dinormalisasi seperti ini sama saja dengan mengiyakan tatanan kehidupan yang regresif dan terlalu "kolot".

Hierarki ini digambarkan sebagai senior yang terlalu memposisikan dirinya dan junior sebagai di atas, di bawah, atau mengkategorikannya "pada tingkat yang sama" dengan kategori lain. Keteraturan dan struktur, yang mengarah pada pola didik yang keras yang dapat tergambarkan melalui paternalisme; sistem kepemimpinan yang berdasarkan hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin, seperti hubungan ayah dan anak, yang mengungkapkan perilaku superioritas jelas termasuk di dalamnya. Sementara formalitas dapat ditunjukan dengan tujuan klise yang kini menyimpang yang gue sebut pada paragraf sebelumnya, serta patriarki seringkali digambarkan melalui tindakan meremehkan dan menganggap mahasiswi lebih lemah daripada mahasiswa, harus selalu dilindungi dan diayomi seolah perempuan tidak bisa memiliki kendali atas dirinya sendiri. Padahal, tidak sedikit juga perempuan yang justru lebih berani untuk bersuara saat "dimarahi" tersebut.

Perlu diingat, bahwa gue tidak sedang menyoroti kegiatan pada ospek-ospek tertentu secara spesifik, apalagi bermaksud menyinggung. Gue melihat ini secara lebih general yang memang berlaku dalam lingkungan kampus, seperti yang baru-baru ini kembali meruak lewat ospek online di beberapa universitas.

Kekerasan pada ospek ini yang kemudian sama saja membentuk warga negara atau civitas akademika agar tunduk, serta secara sukarela dan secara aktif merangkul nilai-nilai yang telah dibentuk oleh negara—active consent of manufactured consent (Gramsci, 1971; Herman & Chomsky, 2008; Wright, 2010). Strategi atau pola pembentukan karakter ini termasuk menjustifikasi tindakan-tindakan opresif yang dilakukan negara (sebagai aktualisasi nilai-nilai negara) dan melihat hal tersebut sebagai sebuah kewajaran atau "akal sehat" (common sense) dalam keseharian kita. Semua dilakukan demi terwujudnya "kemajuan dan keteraturan" negara di mana definisinya pun telah dimonopoli oleh negara (dalam hal ini kata negara merujuk pada sistem dan pola tindakan kekerasan fisik dan non-fisik yang diberlakukan dalam kegiatan ospek).

Pola asuh otoriter yang diterapkan dalam ospek selama bertahun-tahun sebagai wujud dari hierarki, keteraturan, struktur, formalitas, paternalisme dan patriarki tersebut pada akhirnya hanya akan melahirkan komitmen dan pola pikir yang juga otoriter, sebab sifatnya memaksa untuk tunduk pada aturan-aturan yang telah dinormalisasi, terlepas dari tujuannya baik atau tidak. Lebih dari itu, memaksakan tradisi tanpa inovasi sama saja dengan mengamalkan ideologi Orde Baru yang selama ini dikemas dalam reformasi. Pendidikan bukan lagi bersifat emansipatoris, hanya menurunkan nilai-nilai yang tunduk dan patuh pada sistem negara dan kapitalis. 

Gue pikir Revolusi Industri 4.0 yang selama ini dielu-elukan, serta transisi digitalisasi di era pandemi ini bisa membuat perspektif kebanyakan pemuda menjadi lebih progresif dan kreatif, ternyata nggak. Pandemi ini hanya membuat beberapa kelompok terjebak di dalamnya, dan mendaur ulang konsep-konsep yang telah ada sebelum pandemi dengan gaya lebih "kekinian", yakni secara virtual.

You May Also Like

16 komentar

  1. Awl, selalu suka sama opini kamu. Lugas dan di serta teori-teori yg relevan.

    Aku ga pernah merasakan ospek di marah-marahi saat kulian. Kalo dulu SMP dan SMA sih pernah tapi biasanya pas baris berbaris, atau topi kurang sesuai ketentuan, dll.

    Pas kuliah terbilang ospeknya nyaman. Khususnya ospek fakultas. Kita memang camping tapi lebih di tekankan bagaimana saat camping itu kita bisa resourcefullnes. Jadi memang akal kita yg diasah dengan serangkaian kegiatan saat camping. Ga ad acara marah-marah, malah yg ada kita nari bersama karena tarian itu emg tarian wajib dari fakultas. Jd dari senior turun ke junior juga diajarin tarian itu.

    Setuju dengan pendapat kamu, bahwa dimarah2i bukan melatih berpikir kita. Namun hal itu tidak berubah dari tahun ke tahun.

    Sepertinya memang generasi baru bukan sekedar butuh di marahi, namun butuh di latih dalam berbagai hal yg berhubungan dengan dunia luas. Keterampilan dan kemampuanlah yg perlu di latih. Semoga nanti ada perubahan dalam hal ospek.

    Makasih Awl sudah di angkat topik ini dan kamu ulas dengan lengkap 😊

    BalasHapus
  2. Oh ini yang lagi tren ya, kalo tak salah bang Dodo kemarin juga cerita di blognya tentang kegiatan ospek waktu masuk kampus.

    Menurutku memang kurang tepat jika mahasiswa baru dimarahi dengan harapan agar maba itu jadi kritis dan berani mendobrak sistem yang ada. Tapi tiap orang kan beda-beda pemikirannya, siapa tahu dia malah dendam. Dan begitu dia jadi senior maka akan melampiaskan pada maba, jadinya seperti lingkaran hitam ya.

    Menurutku lebih baik ospek ditiadakan atau diganti dengan kegiatan baru yang lebih baik. Bisa misalnya diganti dengan kegiatan yang mengasah kemampuan dan keterampilan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waah namaku di-mention Om Agus. Om Agus everywhere :D

      Hapus
    2. Aku sepakat. Baiknya, Ospek itu dilakukan baik-baik saja. Pengenalan kehidupan kampus tidak harus marah-marah gajelas. Kalo dibikin asyik, penuh kekeluargaan dan ramah tamah. Pasti akan menghasilkan sesuatu yang berbeda. Hubungan kakak tingkat dan adik tingkat akan selalu baik. Kalo marah-marah mah, pasti bakal ada dendam.

      (Termasuk aku yang masih dendam sama senior smpe sekarang! *ups)

      Hapus
    3. Waduh, kok kang Dodo bisa ada disini.😂😂😂

      Hapus
  3. Wah, waktu jaman ospek kuliah nih bnyk kaka tingkat yg sok banget, ada yg mau tenar dan cari muka sama junior. Tapi. Pas di lihat lagi kok pas sudah lulus nggak tenar dan sok lagi ya wkwk mungkin karna udah masuk ke dunia yg sesungguhnya ya jadinya mereka diem wkwkw
    Mereka cuman bisa pas waktu di kuliah aja. Setelah lulus pada diem hehe

    BalasHapus
  4. Saya sendiri tidak pernah merasakan ospek yang marah-marah begitu. Waktu pertama kali masuk kuliah di tahun 1998 (sengaja sebut tahun buar keliatan senior, haha), ospek yang saya alami tidak seperti yang saya bayangkan. Walaupun masih ada sanksi fisik untuk setiap kesalahan, tapi saya masih bisa menggoda/mengusili kating cewek yang memandu kami.

    Saya ingat, kating mendekati saya dan membentak saya karena melakukan kesalahan. Dia tanya, kenapa saya sering sekali salah. Saya jawab: sengaja kak, biar kamu marah tapi jadi mendekat ke saya.

    Saya tidak tahu apa yang akan terjadi kalau ospek yang saya ikuti isinya marah-marah semuanya. Setelah itu saya tidak pernah terlibat dalam ospek sebagai senior.

    Padahal seharusnya ospek ya, mengenalkan mahasiswa baru dengan kampusnya. Siapa dosen-dosennya, dimana ruang kelas, kantin, tempat fotocopy, dsb.

    Eh, begitu tidak ya?

    BalasHapus
  5. She is back.. hahahaha.. nice to have you back sis..

    Tepat sekali Awl. Pola ospek yang seperti ini sebenarnya sudah kedaluwarsa dan tidak akan memberikan nilai tambah apa-apa.

    Konsepnya pada dasarnya berdasarkan pada hirarki kemiliteran yang sangat menekankan pada "posisi", "jabatan", "pangkat". Nilai-nilai yang sebenarnya sudah usang dan tidak cocok di zaman sekarang.

    Masyarakat sekarang sedang menjurus pada terbentuknya masyarakat jaringan yang lebih egaliter dengan bentuk hirarki yang lebih luwes. Penggunaan ospek dengan pola seperti ini sebenarnya bentuk ketidakpahaman bahwa masyarakat sudah berubah.

    Ospek sendiri selama ini lebih merupakan wadah "pemuasan ego" dan "balas dendam". Para senior ketika menjadi junior pernah diperlakukan seperti itu dan mereka merasa bahwa itu adalah hak mereka untuk melampiaskan "dendam" mereka pada juniornya karena mereka tidak bisa melakukannya pada senior mereka.

    Pola yang terus berulang dan seperti dipelihara.

    Butuh keberanian dari pihak universitas maupun dari kalangan mahasiswanya sendiri untuk memutus rantai dari tradisi yang sudah memakan korban banyak ini.

    Mereka harus mulai merelakan ego dan keinginan balas dendam kepada juniornya.

    Pertanyaannya adalah maukah? Karena hal itu seperti kehilangan "hak" membalas, yang sebenarnya tidak pernah ada.

    Saya dulu pernah diperlakukan seperti itu dan saya menentang. Pada akhirnya tidak bisa melawan dan harus mengikuti.

    Hanya saja, ketika menjadi senior dan diajak untuk melakukan perploncoan, saya menolak. Bagi saya menjaga lisan dan tindakan itu penting. Jadi karena saya merasa ospek seperti ini sebagai sebuah kesalahan, saya menolak melakukannya.

    Tidak peduli apa kata teman-teman lain, saya menolak bergabung saat ospek dilaksanakan. Saya tidak bisa mencegah dan merubah, tetapi setidaknya saya bisa menerapkannya kepada diri sendiri.

    Saya pikir Awl pasti akan berani memutus mata rantai yang seperti ini.

    Sekali lagi, senang membaca tulisanmu Awl. Lugas, tegas, logis, walau saya cukup yakin kamu pasti akan mendapat nyinyiran yang banyak dengan berpikir seperti ini.. hahahahaha

    BalasHapus
  6. Suka dengan tulisan ini karena diulas dengan bahasa yang lugas dan disertai dengan teori-teori yang mendukung.

    Aku masih merasakan trauma saat ospek, terutama ospek jurusan yang membekas. Membuatku sedikit trauma ketika ketemu sama kakak tingkat huhu.

    Bagiku, ospek dimarah-marahi dan menjadikannya sebuah ajang balas dendam senior ke junior ini justru malah nggak membuat berkembang sih. Malah meninggalkan trauma dan membuat gap antara senior dan junior.

    Tulisan yang baik, Kak Awl! Terima kasih untuk tulisan dan opininya yang keren ini. Ditunggu tulisan selanjutnya yak <3

    BalasHapus
  7. Aku suka sekali sama tulisannya😍. Artikelnya cocok banget buat mahasiswa baru yang lagi ospek bahkan para mahasiswa senior juga🤗🤗🤗. Jadi ingat dulu sewaktu ospek, alhamdulillah senior udah gak menerapkan gaya ospek regresif seperti itu....

    SEMANGAT BERKARYA YA KAK. SALAM KENAL KAK AWL🤗

    BalasHapus
  8. Dulu aku dibentak senior waktu masih jadi mahasiswa baru. Budaya kampusku memang begitu dan sudah ada semenjak kampusku berdiri.

    Tapi, jurusanku baru berumur muda pada saat itu. Dalam hatiku, harusnya masih ada yang bisa diubah.

    Tahun pertama, aku terjebak di dalam ospek yang mengerikan. Benar-benar sepanjang tahun pertama. Tahum kedua, aku ikut dalam kepanitiaan ospek. Walau aku ikut bentak-bentak, tapi aku tau apa yang harus dibenahi. Tahun ketiga, aku menjabat dan memegang kendali atas ospek. Kuubah semua sistem walaupun dicaci maki teman-teman dan senior sendiri, namun untuk regenerasi yang lebih baik, aku tetap lakukan.

    Sekarang, aku dapat laporan dari adik tingkat bahwa ospek sudah perlahan berubah dan dibawa ke arah yang lebih positif.

    Intinya, membawa perubahan itu ngga mudah. Semoga mahasiswa Indonesia mengerti dan mau berjuang untuk menghilangkan ospek-ospek buruk yang bahkan tidak punya landasan dan tujuan yang konkrit dan jelas.

    BalasHapus
  9. Kebetulan aku menjadi saksi salah satu kejadian bentak membentak online yg viral ini, krna adikku salah satu yg mengalami.

    Tapi disini aku mencoba memberikan pemahaman kepada adikku dan org tuaku yg juga mulai geleng2 dengar si senior marah2 itu bahwa mungkin tujuannya memang baik, anggap saja ini adalah latihan menahan ego atau berlatih dibawah tekanan krna waktu kuliah nanti tekanannya bisa jadi lebih dr sekedar spertitu.

    Tapi mau bagaimanapun tujuannya, sistem seperti ini tetap tidak layak untuk diterapkan. setuju banget sama mbak owl bahwa gak semua maba itu bisa menangkap tujuannya. Bahkan cendrung melahirkan dendam atau bahkan bukan malah menguatkan mental tapi menjatuhkan mental.

    BalasHapus
  10. kayaknya aku mengalami masa ospek yang agak "berat" ketika SMA dan lebih berat lagi waktu masuk kuliah
    kalau SMA kadarnya masih biasa aja menurutku, nggak ada yang bentak bentak gimana, aku lupa lupa soalnya awl hahaha
    nahh kalau kuliah ini, astagaaaa tugas ga kelar kelar, malem sibuk sana sini nyari jawaban dari tugas tugas senior, yang kadang ga masuk akal.
    malah katanya aku denger, kalau ga ikut ospek, ga bakalan lulus sidang. ehh ternyata itu cuman ancaman. temenku yang ga ikutan ospek, malah lulus cumlaude

    taun berikutnya, giliran aku yang jadi senior dan panitia ospek, mungkin semacam balas dendam hahaha, tapi bukan itu juga alasannya, karena biar tau alur kegiatan dan proses dari acara ospek ini apaan, dan maksudnya dibuat tugas tugas yang ajaib itu buat apaan.

    waktu berita ini muncul, kaget juga taunya, masih ada ternyata ospek beginian, dan kok ya sempet dibuat virtual, ga kepikir aja sampe kesana

    BalasHapus
  11. Masih trauma juga sih pas ospek kemaren itu. Cuma kepikiran takut ga lulus aja kalo ga ikut.

    BalasHapus
  12. Saya dulu kuliah di kampus "terkenal". Waktu awal masuk kampus dan masih musim ospek saya udah kenalan dengan beberapa senior.

    Suatu hari ada senior yang ngajak ke perpustakaan karena dia pengen ngasih tahu fasilitas apa saja di perpustakaan.

    Lha tau2 dicegat panitia ospek, dimarahi karena belum saatnya maba ke perpus.

    Yah, dulu zamannya juga beda sih ya. Jaman sekarang kalo ketahuan kaya gitu bisa viral. Kosan/rumah sang panitia bahkan sampai ke rumah orang tuanya bisa digerebeg netijen :D

    Alhasil saya ga lanjut ospek, malas. Nothing happen.

    Sebenarnya ide dasar ospek kalau lah memang benar ada niat baiknya, maka tak jarang ide tersebut sudah jauh panggang dari api.

    Contohnya, ada ospek yang tonjok perut misalnya. Sebenarnya buat saya tonjok perut itu hal yang biasa karena saya pernah ikut pencak silat. Itu memang untuk melatih kekuatan, tapii itu kita udah dilatih dulu berkali2. Jadi ga bisa maba yang ga punya basic beladiri tahu2 ditampar atau ditonjok, itu zalim namanya. Ga ada baik2nya sama sekali ospek yang kaya gitu.

    Menurut saya jika ide dasar ospek yaitu memperkuat mental maba udah ngga bisa terdeliver lagi lebih baik hentikan saja.

    BalasHapus
  13. Dulu saat ospek diancam. Kalau gak ikut, bakalan gak bisa lulus kuliah. Harus dapat sertifikat ospek lalu tunjukkin saat mau lulus kuliah. Tapi nyatanya gak ada tuh. Nyesal ikut begituan. Sertifikatnya pun aku buang karena gak guna

    BalasHapus