Bukan Salah Indonesia

by - Agustus 22, 2020

Disclaimer: Tulisan ini hanya berisi misuh-misuh yang dilandasi kegerahan seorang rakyat akan berbagai hal yang terjadi di sekitarnya, maka dari itu mungkin isinya tidak cukup informatif dan bahkan tidak didukung oleh riset. Segala riset yang berkaitan dengan isi tulisan telah tersimpan sepenuhnya di memori hingga membentuk opini penulis. Karenanya mohon maaf kalau kurang berkenan di hati. Tadinya post ini ingin gue publish tepat di tanggal 17 Agustus, tapi karena fokus terbagi-bagi jadi tulisan gak rampung hari itu. Anyway, selamat membaca!

o-o

"Ketika merdeka berakhir hanya sebuah seremoni.."

Bukan Salah Indonesia

Tumbuh dan besar di sebuah kota kecil di Jawa Barat membuat gue banyak belajar tentang kehidupan. Benar-benar "kehidupan". Bertemu dengan orang-orangnya yang punya beragam kesulitan, mulai dari gaya hidup, keuangan, pendidikan, hubungan sosial, sampai persoalan berpikir. Gue merasakan betul berbagai ketimpangan antara mereka yang tinggal di pedesaan dan di perkotaan (specifically wilayah tempat gue tumbuh). Terkadang lucu membayangkan, orang-orang elite dan berpendidikan di perkotaan sana yang—mari kita garis bawahi—lupa dimana mereka berpijak, sibuk berkoar-koar bahwa "kita harus menstabilkan perekonomian bangsa!", "tidak boleh ada kesenjangan antara rakyat ekonomi ke bawah dengan menengah ke atas!", padahal mereka yang hidupnya serba terbatas mana peduli sama pidato-pidato kosong mereka? Yang orang-orang kecil tahu, mereka hanya harus cari uang setiap hari supaya bisa makan. Yang mereka pikir, mereka hanya harus berjuang untuk dirinya sendiri karena orang-orang di luar sana pun sibuk ngenyangin perut mereka sendiri, sibuk suap sana sini supaya bisa bekerja di tempat yang mereka mau, supaya bisa ada di tempat yang mereka incar. 

Isu kesetaraan gender pun gak hanya sebatas gaji yang tidak sesuai antara laki-laki dan perempuan meski posisinya sama, juga tidak hanya soal pelecehan seksual, pemerkosaan, catcalling dan serangkaian kekerasan seksual lainnya, tapi lebih luas lagi. Banyak sekali pabrik-pabrik yang mempekerjakan wanita bahkan dengan jam kerja yang melebihi seharusnya, dan menyempitkan lapangan pekerjaan buat laki-laki. Sebagian bekerja atas kemauan sendiri, sebagian bekerja karena ada opresi bahwa dia harus mencukupi kebutuhan rumah tangga, atau kebutuhan keluarga, karena suaminya sebagai kepala keluarga tidak memiliki pekerjaan tetap alias serabutan, atau bahkan lebih parahnya nggak bekerja sama sekali. It really happens, dan gue tahu gak hanya terjadi pada satu atau dua orang. I saw it. I observed it, and i've heard of many.

Bukan hanya itu, persoalan nikah muda karena orangtua yang udah nggak sanggup buat ngasih makan anaknya dengan dilandasi pemikiran bahwa si anak sudah pantas mengurus suami/istri (padahal usianya masih sangat muda) pun menjadi sesuatu yang terlihat normal dan seakan memang diwajarkan secara nggak langsung. Padahal seharusnya pendidikan anak mereka lebih penting daripada sibuk ngurusi pesta pernikahan, ini dan itu, sementara dari segi kesiapan baik mentally and financially belum bisa disanggupi oleh mempelai pria. Lucunya, memiliki pernikahan dengan resepsi yang "ramai" dan "megah" adalah goals-nya, bukan masa depan pernikahannya. Mereka bahkan sepertinya gak sadar bahwa masalah patriarki dan RUU P-KS yang belum juga disahkan itu ada di negara ini. Iya, gue sadar betul bahwa beberapa hal yang gue sebutkan di atas adalah sesuatu yang sifatnya privat, ranah pribadi sebab menyangkut pilihan individu, bukan hak gue melarang siapapun, bahkan tetangga gue tersebut untuk menikahkan anaknya. Pada akhirnya mereka tetap menikah dan punya kehidupan masing-masing, dan gue pun mengerjakan segala urusan gue sendiri. Hanya saja, gue menyayangkan suatu kondisi dimana banyak sekali orang-orang yang bertindak bukan karena mereka telah paham, tapi karena tindakan itu sudah dilakukan oleh orang banyak dan menjadi terlihat normal, seperti perkara menikah muda tadi.

Belum lagi saat melihat banyak sekali berita-berita di ranah pendidikan tentang guru honorer di pedalaman sana, seperti berita seorang ibu di Flores.

Ketika merdeka hanya sebatas seremoni

Beliau hanya digaji kurang lebih sebesar Rp. 200.000 per bulannya, itupun seringkali nunggak, bahkan pernah tertunda sampai delapan bulan. Sekalinya gaji turun, yang dibayarkan hanya tiga bulan pertama. Padahal beban beliau dalam mengemban tugas, apalagi di daerah pedalaman tentu gak ringan, tanggungjawab sama besarnya dengan guru-guru di luar sana, mendidik anak-anak di desanya yang semata-mata untuk memenuhi sebagian Undang-Undang 1945,  yakni mencerdaskan anak bangsa. Apalagi dengan situasi pandemi yang mengharuskan sekolah ditutup, nggak sedikit guru-guru yang terpaksa menyambangi rumah beberapa anak didiknya untuk mengajar sebab murid mereka tak punya fasilitas yang dibutuhkan untuk belajar daring. 

ketika merdeka hanya sebuah seremoni

ketika merdeka hanya sebuah seremoni

Baca Juga: Terlalu Besar Untuk Gagal

See, ini hanya sekian persen dari kenyataan yang terjadi. Berapa banyak berita semacam ini yang harus gue temui selama pandemi—yang seperti baru menguap tampak di permukaan?

"Gak ada gunanya kamu berkoar-koar disini."

"Kalau mau mengkritik pemerintah bukan disini tempatnya."

Gue menulis ini memang bukan untuk tujuan politis, apalagi ingin agar pemerintah melirik tulisan ini (hmm mana sempat mereka baca blog abal-abal, iyaa mana sempat), oleh sebab itu mungkin memang gak ada gunanya. I just want to share my thoughts. Toh gue percaya selama ini sudah banyak sekali media, aksi, tulisan dari asosiasi atau instansi tertentu yang bergerak di bidang sosial yang menyuarakan dan mewakili masyarakat, namun pada kenyataannya pun gak banyak didengar, kan? Sekarang mengkritik pemerintah  bukan dimana-mana tempatnya sebab pemerintahan kita sendiri sudah anti-kritik. Ada influencer sindir aparat negara soal kasus penyiraman air keras Novel Baswedan langsung diserang buzzer, dituduh narkoba. Ada juga wartawan yang aktif dengan kritik tajamnya di media sosial malah diserang hacker, difitnah atas masalah pencemaran nama baik sampai diancam kena UU ITE. Apa itu bukan mengarah fasis namanya?

Belum beberapa lama ini gue juga dibuat jengkel dengan berita Gilang pelaku pelecehan seksual fetish kain jarik yang kemungkinan hanya dikenai ancaman pelanggaran UU ITE pasal 27 ayat 4 dan pasal 29 tentang pengancaman atas tindakannya, sementara yang merujuk pada KUHP sendiri hanya pada pasal 335 tentang perbuatan tidak menyenangkan. Perbuatan tidak menyenangkan lho ya, yang mana tidak sesuai dengan laporan korban yang sejak awal sudah menekankan bahwa kasus ini adalah pelecehan seksual, yang jika bisa diusut dengan UU Penghapusan Kekerasan Seksual seharusnya dapat lebih lugas, plus dapat lebih adil dalam mengayomi korban baik memberi perlindungan secara psikis atau fisik. Pihak kepolisian bilang bukti-bukti yang diberikan kurang kuat untuk bisa menjebloskan tersangka dengan pasal-pasal asusila yang ada di KUHP, sebab banyak ambiguitas di dalamnya. Huft. Bahkan mereka sendiri sebagai aparatur negara berharap agar pemerintah segera mendiskusikan kelanjutan nasib RUU P-KS agar ada payung hukum jelas mengenai isu ini. 

Karena hal itu pula, gue semakin jengkel dengan kenyataan bahwa RUU P-KS tampaknya masih dianggap main-main oleh segelintir penguasa. Beberapa dari beliau-beliau ini sering berkomentar bahwa isi dari RUU P-KS terkesan ambigu dan cenderung mengarahkan hukum menjadi lebih liberal dengan konsep LGBT atau legalisasi prostitusi dan aborsi yang secara implisit tertulis. Iya iya, gue mengerti. Tapi mbok ya kalau memang ambigu kan didiskusikan gitu lho harusnya ya? Bukan cuma diperdebatkan ambigu atau nggaknya, bahkan dilempar sana sini. Seharusnya perlu ada pembahasan lebih lanjut yang substansial untuk mencari solusi dari permasalahan yang ada, bukan cuma ribut memperebutkan siapa yang mengusulkan ini dan itu (seriously, beberapa fraksi awalnya rebutan mau jadi pengusung RUU ini, mungkin kalau nanti goal biar nama partainya bisa ikut naik kali yaa auk ah).

Seringkali gue sedih dan gak jarang bisa langsung sakit kepala hanya dengan melihat segala macam kerumitan yang ada di negara ini, bahkan jika hanya lewat berita sekalipun. Lebih parah lagi, kalau dalam sehari ada lebih dari enam berita yang gue baca, gue bisa menangis saking sedihnya. Gak jarang merasa menyesal juga, "kenapa sih gue harus dilahirkan di negara yang budayanya santuy, malas dan korup?" Kenapa gue harus tinggal di negara yang sama sekali nggak pro-rakyat? Kenapa gue harus tinggal dengan pemandangan berita-berita bodoh para penguasa? Kenapa gue harus menyaksikan betapa terinjak-injaknya mereka yang ada di bawah? Kenapa gue merasa iri dengan negara lain yang bisa mensejahterakan rakyatnya? Kenapa gue harus merasa aneh dengan negara sendiri sebab orang yang warasnya nggak kelihatan? Kenapa gue harus ditampakan wajah-wajah lugu calon generasi di masa depan yang harus hidup di jalanan dan mengais untuk makan? Kenapa juga gue harus tinggal di negara yang mana orang-orangnya bebal dan egois, dan terlihat seperti saat pandemi? Kenapa gue harus hidup di tengah-tengah pengguna media sosial yang bahkan gak tau caranya menginform diri mereka dengan segala pengetahuan yang seharusnya mereka lahap sebelum berbicara? Kenapa gue harus bertemu dengan orang-orang yang bahkan gak tau caranya berperilaku dengan baik dan tau caranya memanusiakan manusia? Kenapa gue harus mendengar ada wakil rakyat yang sibuk berkoar menjunjung pancasila tapi bahkan kelima sila-nya aja nggak mereka penuhi? Kenapa gue harus tinggal di Indonesia? Kenapa?

Berbagai hal yang gue temui dari sejak kecil sampai saat ini telah membentuk diri gue yang sekarang, yang sedikit-sedikit merasa gerah tinggal di Indonesia, dan yang sedikit-sedikit mempertanyakan kenapa sih orang-orang bebal itu nggak bisa hidup selayaknya manusia normal? Sehingga nggak jarang gue menyalahkan Indonesia karena menjadi negara yang nggak cukup nyaman untuk gue tinggali, terkhusus secara mental. Ditambah adanya segala pressure yang membuat timpang salah satu gender. Iya, dengan segala kerumitan ini, hidup menjadi perempuan bukan sesuatu yang mudah sebab masyarakat kita masih begitu kental budaya patriarkinya.

Lalu bertemu dengan nepotisme lah, korup dimana-mana lah, hukum yang patut dipertanyakan lah, suara-suara rakyat yang nggak didengar lah, pemerintah yang selalu sibuk membuat RUU baru dengan dalih memberi solusi padahal sebagian isi Undang-Undangnya menekan rakyat menengah ke bawah lah. Jujur gue jadi kasihan sama pejabat-pejabat pemerintah yang masih punya hati namun tergeser tempatnya sama mereka yang punya kepentingan pribadi untuk bertengger di kursi tinggi sana. Gue malah melihat sekarang rakyat semakin nggak punya pegangan dan tempat yang bisa dituju untuk menyuarakan apa yang menjadi keresahan kami. Wong wakil rakyat aja nggak punya, mau mengadu ke siapa lagi kalau bukan Yang Di Atas? 

Beberapa bulan gue pun melepas diri dari media sosial yang selama ini cenderung menjadi penyumbang nomor satu atas kesedihan dan kegelisahan gue. Paling sesekali gue buka twitter untuk cari tahu isu apa yang lagi hangat. Kayaknya tiap hari tuh ada aja kasus aneh yang trending, dan lagi-lagi membuat gue geleng-geleng kepala. Akhirnya berbaur dengan alam menjadi salah satu obat untuk gue beristirahat sejenak. 

Sebetulnya, gue bersyukur sekali bisa hidup di sebuah negara yang kaya akan sumber daya alamnya. Apalagi gue sendiri memang tinggal di sebuah kota yang bisa dibilang masih asri dibandingkan ibukota. Dalam proses perenungan ini, gue juga prihatin melihat alam kita yang semakin kesini semakin tidak asri, semakin kotor dan sepertinya jauh sekali dibandingkan saat dulu sebelum banyak infrastruktur berdiri. Sampah dimana-mana, banyak pohon yang ditebang untuk kebutuhan komoditas dan lahan-lahannya yang dibangun untuk perhotelan, gedung-gedung tinggi, dll.

Setelah gue pikir-pikir, ternyata semua ini bukan salah Indonesia. Bukan salah Indonesia kalau negara ini isinya hanya orang-orang yang bebal, santuy dan korup. Bukan salah Indonesia kalau rakyatnya nggak bisa sejahtera dan terbelenggu dalam kemiskinan struktural bahkan kultural. Bukan salah Indonesia kalau hukum yang berlaku di negara ini tajam ke bawah. Bukan salah Indonesia kalau berita yang muncul selalu tentang kebodohan para penguasa. Bukan salah Indonesia kalau nepotisme ada dimana-mana. Bukan salah Indonesia kalau alamnya menjadi rusak dan hewan-hewan langka semakin punah, bahkan yang nggak langka pun menjadi langka sebab banyak perburuan liar. Bukan salah Indonesia kalau rakyatnya gak tau cara menginform diri dengan benar meski dimudahkan dengan gadget dan internet. Bukan salah Indonesia kalau keadilan sosial yang bahkan ada dalam pancasila gak berlaku di negara ini. Bukan salah Indonesia kalau masih banyak anak-anak yang terlantar meninggalkan bangku sekolah. Bukan salah Indonesia kalau orang yang waras nggak kelihatan, simply karena orang yang waras nggak akan mau membuang waktu dan tenaganya dengan berkomentar buruk dan melakukan tindakan yang gak ada gunanya juga, also simply karena mereka terlalu sibuk untuk bergulat memenuhi tanggungjawab. Bukan salah Indonesia kalau negara ini masih patriarkis dan belum cukup aman untuk ditinggali. Ini semua bukan salah Indonesia. Indonesia, ibu pertiwi ini hanya korban dari bobroknya perlakuan manusia-manusia yang berkacak pinggang di atas kepentingan mereka.

Salah siapa kalau negara ini tidak cukup mensejahterakan rakyatnya? Salah mereka yang dibutakan mata dan hatinya untuk bisa berlaku sebaik-baiknya manusia. Salah mereka yang hidupnya dimakan oleh egoisme sendiri. Salah mereka yang nggak berusaha mengisi otak dengan segala pengetahuan dan haus akan banyak hal. Salah mereka yang nggak pakai hati di balik isi kepala yang dianggapnya sudah banyak itu. Salah mereka yang lupa bahwa diri mereka adalah seorang hamba, yang tak ubahnya hanyalah penghuni di dunia yang fana, yang diberi mandat oleh Tuhan untuk berbuat sebaik-baiknya ciptaan. 

You May Also Like

23 komentar

  1. Entahlah Awl, saya capek bahasin pemerintah dan semua kinerjanya, even we know ngga semua aparat negara itu bejat, tapi dalam implementasinya masih kurang kelihatan. Belakangan saya cuman mau tahu sekedarnya doang Awl, karena issue perempuan, anak, dan pendidikan gampang banget bikin saya stress, so demi kesehatan mental, saya stop dulu buka-bukain tab tentang issues di atas.

    Menurut saya pribadi, mulai dari terbentuknya negara ini udah fucked up banget Awl, mulai dari penjajah yang bisa masuk kesini dan semacamnya. Even seorang Soekarno-Hatta pun tidak sesempurna itu Awl. Masih ingat sama peristiwa Sepuluh November yang diperingati sebagai hari pahlawan? Yang katanya peristiwa ini dipicu oleh tewasnya Brigjen A.W.S Mallaby, sampai sekarang pun belum tahu pastinya siapa yang membunuh Mallaby, pikiran jorok saya malah mikirnya ini bagian dari politik. Baiklah, saya tidak akan membahas pandangan pribadi saya tentang sejarah di sini karena memang tidak etis.

    Oh ya, kalau Awl suka sama issue politik saya saranin Awl nontonin "Designated Survivor" keren Awl, disana sedikit banyaknya Awl akan paham bagaimana politik bekerja kepada pribadi seseorang, jadinya Awl ngga akan kaget sama prilaku pejabat yang dibilang ngga punya hati di atas.

    Terakhir saya seneng banget bahwa issue perempuan dan pendidikan bisa mengusik Awl, hehehe. Jadi, orang-orang diluar sana yang juga peduli ngga perlu stress sendirian. Dengan menuliskan ini dan mempostingnya, secara tidak lansung Awl mengajak orang lain untuk ikutan peduli atau minimal tahu, bahwa negara kita belum cocok buat jadi negara maju, lhaa gimana? Kok ngga nyambung sih, haha.

    Jujur saya kurang setuju kita dinobatkan sebagai negara maju, even saya tahu negara lain juga tidak mungkin sebagus kelihatannya, behind that closed door, siapa yang tahu? Tapi beneran kita belum cocok, apalagi pendidikannya. Okelah kayaknya saya udah kepanjangan ngocehnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha, saking udah capeknya kalau baca berita2 yg ngeselin tuh cuma bisa diketawain kalau nggak tepok jidat ya mba, hadeuuh. Sebetulnya pikiran jorok saya pun kadang nyasar sampe ke G30S mba, ini pasti ada persoalan2 politik di baliknya, walaupun gak bermaksud ngedismiss fakta juga bahwa P*I emg ngeri ideologinya. Kadang saya juga kepikiran mba, kayaknya negara ini kaget saat dapet kemerdekaan, ibarat orang terkukung selama ini terus sekalinya dikasih kebebasan dan hak untuk berdaulat, kita kelimpungan sendiri:'). Sebagai contoh, kalau kita bandingin sama Korea Selatan, kenapa mereka bisa maju pesat padahal hari kemerdekaannya cuma beda sehari di bulan dan tahun yg sama, karena mereka sejak dulu sudah berdiri sendiri sebagai negara, dari mulai jaman Dinasti Goryeo, Joseon, Kekaisaran Han Raya, sampe akhirnya Republik seperti sekarang. Jadi ketika ada invasi dari negara2 seperti Jepang pun memang mereka kondisinya sudah menjadi sebuah negara yg teratur dengan raja sebagai kepalanya, maka dari itu gak bisa dibandingkan sama kita yg memang sudah dijajah ratusan tahun. Pun kalau sebelum itu ada kerajaan2 yg memimpin, cenderung terpecah belah kekuasaannya, ada Mataram, Majapahit, banyak dah. Lah jadi gak nyambung juga ini ya wwkwkwk, kayaknya kalau udah ngomongin negara dan sejarah emg bakal rumit ya mba, pasti makin lebar kemana mana:D

      Anyway, kenapa saya akhirnya tertarik untuk ingin selalu membahas isu seputar ini, karena lihat postingan mba juga tentang perempuan, kebebasan, dll nya yg juga bikin saya nggak ngerasa stress sendirian, haha *tos dulu mba!*. Jadi, yap, saya pikir hal ini memang harus disuarakan supaya minimal kita bisa berbagi dan tau satu sama lain gimana sih Indonesia sebetulnya dari berbagai perspektif.

      Entahlah memang persoalan maju ini saya jg pengen ketawa pas denger beritanya beberapa waktu lalu. Kenapa ini ujug ujug US menobatkan Indonesia jd negara maju? wkwk, keliatan banget kayaknya maksud2 terselubungnya. Meski gak mungkin dalam waktu dekat ini, saya tetep berharap semoga suatu saat kita bisa maju ya mba, walaupun entah kapan. Btw as always saya suka kalau liat mba Sovi udh ngoceh tentang isu2 semacam ini wkwk, jadi gapapa mba, sering2 aja kita bercengkrama seperti ini ya mba, biar saya jg nambah insight baru:D

      Oh, iya mba, lastly, makasi banyak buat rekomendasinya! Noted:D

      Hapus
  2. sangat tercerminkan sekali, amarah yang lu punya di tulisan ini. :XD

    gue sampai ke tahap, yaudah. negara nya emang begini. mari coba kita liat, apa yang sekiranya bisa gue bantu untuk sekitar terlebih dahulu.

    sebenarnya menjadi manusia yang baik itu enggak susah untuk dilakukan, tetapi para penguasa, mungkin emang... yah, enggak tau deh. mereka membawa amanat 'orang' banyak dan harus disejahterakan terlebih dahulu, mungkin?

    setidaknya, kita orang-orang yang sadar akan hal ini, berusaha mencoba perubahan kecil dan tidak meniru orang-orang yang tida berperikemanusiaan.

    masih pagi banget.
    gue enggak tau barusan gue nulis apa.
    pertama kali nya juga main ke blog ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahaha iya nih bang!xD

      emg bener ya kata pepatah, bahwa tingkat marah tertinggi itu di saat kita udh gak bisa berkoar lg sama hal itu alias bodo amat yaudah gimana aja dah:D
      entah sebetulnya apa yg terjadi di dunia politik, sebab gw jg sering denger kalau org baik gak akan bisa bekerja di sana, karena memang sekeras itu persaingan, dllnya.

      semoga kita gak termasuk menjadi bagian dari orang2 yg seperti ini ya, anyway makasi bang fauzi udh mampir! Haha pagi2 bacain postingan kayak gini bikin pala mendidih yak, semoga gak kapok buat bolak balik main sini bang

      Hapus
  3. Sekalipun punya harapan, saya cuma pengen lingkungan saya damai, asik, dan penuh tawa. Ini bukan masalah yang bisa diperbaiki 1-2 dekade. Saya sangat ingin juga berbuat baik, bicara ini-itu tentang hal baik, tapi saya yakin masih ada tetangga yang tidak baik-baik saja, masih ada teman yang butuh bantuan, dan itu lebih jadi prioritas saya saat ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Exactly, bukannya pesimis ya Rahul, tapi memang sih, saya jg percaya masalah negara adalah sesuatu yg pelik yg nggak bisa selesai hanya dalam kurun waktu beberapa dekade kalau memang tidak dilakukan secara gotong royong. Jadi, sebaik2nya berbuat skrg ini adalah bermanfaat bagi sesama dalam hal kebaikan. Semangat untuk menyebarkan energi positifnya ya, Rahul!

      Hapus
  4. Saya pikir, saya baru ketemu Awl yang sebenarnya dalam tulisan ini. Berarti tebakan saya tidak salah kalau Awl itu sebenarnya "frontal" dan bletak bletok.

    Kok yah saya senang membaca anak muda seusia Awl tertarik pada topik sosial dan politik seperti ini. Justru kalau dipikir saya berharap banyak lagi yang mau seperti ini.

    Pada saatnya nanti, pandangan kritis dan penuh nuansa "amarah" seperti ini bergabung dengan kedewasaan akan berujung pada seseorang yang "peduli" dan mau bergerak untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik.

    Sesuatu yang dibutuhkan Indonesia di masa datang.

    Indonesia menjadi seperti sekarang bukan karena tidak memiliki orang pintar atau kaya, tetapi Indonesia miskin dengan orang yang "peduli".

    Tetaplah menjadi kritis dan "peduli" Awl, sambil tetap belajar dan mengembangkan diri. Sampai suatu saat nanti, Awl menemukan jalan untuk menyalurkan energi yang ada menjadi bentuk yang riil dan akan membawa Indonesia, setapak lebih baik.

    Nice writing Awl...


    #btw, kuliah di Sastra Jepang Unpad kah?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ternyata setelah dipikir-pikir, baru-baru ini juga saya sadar kalau saya terlalu frontal orangnya, kak Anton😂 Untuk bersuara akan sesuatu yg penting mungkin bagus, tapi ternyata setelah direnungi ada bagian-bagian dari diri saya jg yg harus perlahan dihindari sifat frontal ini, biar gak berujung "kasar" sama orang, hehe.

      Saya pun berharap semoga bisa dipertemukan dengan teman-teman lain yg juga memiliki ketertarikan yg sama dalam menyuarakan isu-isu yg penting sebagai anak muda, sebab saya tau banyak dari mereka yg jg bletak bletok di twitter nih kak, semoga suatu saat bisa buat blog jg dan berbagi sudut pandang lebih banyak😁

      Aamiin, semoga apa yang disemogakan oleh kak Anton tidak lantas membuat saya tinggi hati dan egois, melainkan menjadi pribadi yg lebih peduli lagi dan lebih berani untuk bertindak, nggak hanya speak out lewat platform blog, tapi juga bergerak nyata lewat kegiatan-kegiatan sosial yg aktif di luar sana, Aamiin. Terima kasih banyak untuk semangat dan dukungannya, kak Anton!😊🙏🏻

      Oh iya, btw jurusan saya Pendidikan Bahasa Jepang di UPI kak, jadi konsentrasinya memang lebih ke ranah pendidikan😁.

      Hapus
  5. Duh mba saya pun sedih dan miris melihat negara kita sendiri. Padahal sya juga hidup di dalamnya. Skarang sepertinya kita harus berpijak pada kemampuan sendiri. Apalagi pandemi seperti ini. Katanya bantuan melalui Bpjs akan turun ya ? Kita lihat saja ya mba semoga benar adanya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mba, nyatanya pandemi ini memang bukan menambah masalah baru, tapi sebetulnya memperkuak masalah yg selama ini gak muncul di permukaan, termasuk ya bagaimana kita diperlihatkan oleh beberapa pejabat pemerintahan yg "childish". Pada akhirnya sebagai individu kita harus bertumpu dengan kaki sendiri untuk bisa hidup di negeri ini.

      Semoga sehat selalu untuk mba, ya🤗

      Hapus
  6. Tahun ini aku memilih untuk membaca bentuk kekecewaan ketimbang glorifikasi dari kemerdekaan kita, dan salah satunya adalah tulisan ini.

    Well said, I can't agree more.
    Apalagi hidup sebagai perempuan di Indonesia, dilingkungan yang notabene anak kandung patriarki, setahun terakhir ini aku resah. Tahun 2017-2019 aku masih sempat traveling dan mostly solo dalam perjalanan. Ada beberapa orang yang bertanya, kok berani? Awalnya aku pikir, ini pertanyaan kok gini sih. Ya berani lah. Tapi setahun terakhir ini pemikiranku berubah, aku akhirnya paham kenapa mereka bertanya seperti itu, ada kekhawatiran, khususnya untuk perempuan karena rentan menjadi korban kejahatan seksual.

    Isu-isu yang kamu bawa pun adalah isu benang ruwet, mau diurai satu-satu tapi rasanya nggak yakin bakal terurai dengan cepat bahkan mungkin sudah putus asa duluan. Aku sempat berpikir, kalau perlu aku ngumpulin duit sebanyak-banyaknya biar bisa pindah ke New Zealand atau Nordic Countries. Yah ngimpi dulu deh.

    Nice post Mbak Awl!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha, pikiran nekatku juga gitu mbak😆 kalau punya uang banyak pingin tak pindah aja rasanya ke Swiss, atau Scandinavia gitu yg adem adem😂. Karena sebetulnya memang udh terlalu ruwet masalah-masalah di negara ini, dan aku rasa orang pemerintahan sana pun kelimpungan sendiri kalau disuruh menguraikan satu persatu, sampai akhirnya bersikap yaudah dan yolo dianggap menjadi jalan terbaik.

      Dan bagiku sendiri perayaan hari kemerdekaan sebetulnya hanya sebatas menghargai jasa para pahlawan dan mensyukuri akan freedom yg diberikan oleh Tuhan lewat perantara para pahlawan yg gugur ini. Sebab kalau bicara soal kemajuan, terlalu banyak yg harus dievaluasi dan membuat kita refleksi, sejauh mana Indonesia sudah berdiri menjadi negara yg berdaulat. Semoga suatu saat berita-berita baik dapat selalu menyelimuti Indonesia ya mbak, walau entah kapan terjadinya.

      Anyway makasi banyak mba Pipit!😍

      Hapus
  7. Saya pun kadang suka resah dan sebel kalau lihat berita yang aneh-aneh mbak. Kayaknya nggak hanya di indonesia tapi di seluruh dunia ini tindak kejahatan mulai berevolusi jadi lebih nggak manusiawi. Kalau udah sebel palingan saya ketawa trus ngomong kenceng-keceng di dalam rumah "ya ampun. Zaman saiki kok soyo aneh" dalam hati lebih banyak ngocehnya😂
    Oleh sebab itu saya jarang nonton berita, apalagi soal politik. Takut nanti jadi kepikiran juga. Palingan bahas politik secara ringan sama bapak yang lebih ke arah kemanusiaan aja😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul banget mbak Astri, kalau baca2 berita sebetulnya dimana-mana pasti bikin pusing, nggak cuma di Indo🙍‍♀️. Mungkin memang takdirnya skrg sudah mendekati kiamat, jadi semakin banyak orang-orang irasional yg nggak lg bertindak sebagaimana seharusnya manusia. Kalau dibilang mirip binatang, malah udh lebih keji daripada binatang. Masalahnya binatang bertindak keji karena memang naturenya begitu, sementara manusia kan diberi akal untuk bisa berpikir😟. Walaupun kalau kita bicara soal humanity dan logika kehidupan, gak sepatutnya ulah2 manusia di luar batas ini dibiarkan.

      Memang kalau sudah terlampau stress, baiknya cukup diketawain aja ya mbak😂 yah, kalau koar2 terus juga kadang jd pegel hati sendiri abisnya🤦🏻‍♀️.

      Hapus
  8. Hai mbak, saya bisa memahami kegelisahan dan kekesalanmu, namanya juga negara berflower ya. Masih banyak yang perlu dibenahi.

    Sebetulnya kalau mau tarik garis kesebalan, saya sebetulnya lebih sebal sama eks negara-negara imperialis yang dulu sudah menghancurkan semua tatanan yang ada secara adat. Hehehe. Sekarang mereka maju berkat kerja keras mereka, tapi atas dasar penderitaan yang pernah ditoreskan ke bangsa lain. Makanya saya netral saja bila ada yang bilang negara maju X bagus. Sumber daya alam di dunia itu sedikit, ketika ada negara yang kaya pasti karena ada yang termiskinkan..

    Indonesia dalam sejarahnya sendiri tidak pernah jadi imperialis jadi bisa dibilang tidak punya musuh dan dosa sejarah. Beda dengan Jepang, Jerman, yang generasi muda negara yang dihancurkannya hingga sampai kini masih menyimpan rasa benci. Ini kenyataan saat saya ketemu mahasiswa Cina di rantau. Mereka benci banget sama orang Jepang. Padahal generasi yang bermasalah kan sudah beda. Namun mereka masih ingat peristiwa Manchuria mungkin karena sejarah negaranya dipelajari.

    Hanya saja kita memang masih mewarisi pola pikir sekian abad lalu. Sebagai contoh, dengan diberlakukannya semacam sistem kasta di masa Belanda dulu diimana kasta tertinggi kulit putih, lalu tionghoa, dan terakhir pribumi akhirnya membawa semacam sentimen yang berusia panjang.

    Dan seperti yang pernah saya cerita di blog, bahwa negeri kaya itu pasti yang berebut banyak, termasuk yang didalam sendiri. VOC saja pernah nyaris ambruk karena korupsi yang gila-gilaan. Dan mari lihat kondisi negara-negara sumber minyak bumi.

    Negara maju juga sebetulnya banyak persoalannya, cuma beda bentuk saja. Saya punya kenalan di Barat yang masih beranggapan bahwa di Indonesia masih jadi tempat membesarkan anak yang lebih baik (bukan soal sekolahnya loh tapi environmentnya).

    Walaupun di Indonesia banyak yang menyebalkan, tapi orang-orang yang bagus juga banyak. Kenal banyak diantara mereka. Saya fokus kepada mereka ketimbang yang lain. Walaupun seperti never ending battle it's worth to fight. Daripada battle tapi untuk negara lain hehehe...

    Benar bukan salah negaranya, tapi salah negaranya juga karena terlalu kaya hihihii...Just kidding...

    Tulisan yang menarik btw.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya juga ya mba, setelah dipikir-pikir, kita terlalu fokus sama kehidupan skrg yg cuma terlihat enaknya aja. Jadi, apa-apa berkaca ke negara-negara maju yg memang notabenenya bisa ada di garis terdepan seperti skrg ini karena sejarah yg memang suram. Indonesia ini jg sebetulnya mungkin korban yg sudah terlampau lama dijajah, dan ketika merdeka murni tampak masih polos dan bingung bagaimana mendirikan sebuah negara, makanya setelah kemerdekaan pun masih banyak huru hara yg terjadi dan berlangsung sampai skrg—tanpa disadari. Sementara penjajah-penjajah ini kan lepas tangan angkat kaki, padahal udh buat kocar kacir suatu negara. Dan kalau dilihat lg, kita tuh terlalu baik kayaknya ya mba untuk bisa memaafkan dan ramah tamah sama orang-orang asing yg datang kesini,
      berbanding terbalik sama negara-negara lain yg masih marah sama nenek moyang dari negara penjajah.

      Sebetulnya konsep seperti ini jd balik lg ke pepatah, bahwa rumput tetangga lebih indah daripada rumput sendiri. Hanya karena banyak hal gak mengenakan yg terjadi di sekitar kita, nggak lantas negara lain jg nggak ada hal yg gak enaknya😂. Saya jd inget sama obrolan beberapa waktu silam sama teman saya, mba. Kita tuh kalau dengar ada bule atau org asing datang, pasti mindset-nya langsung tertuju bahwa mereka itu orang cerdas, tinggi, hebat. Padahal banyak jg "bule-bule" yg gak pintar dan sebetulnya sama aja kayak kita, banyak org cerdas, ya banyak org jg orang bodohnya. Mungkin karena efek dari kebiasaan-kebiasaan yg dibawa sejak zaman imperialisme itu yg membuat kita mengagung-agungkan bangsa kulit putih😟. Padahal yap, di negara sendiri pun banyak orang hebat dan terpelajar. Memang sudah seharusnya kita fokus membenahi diri sendiri, sebelum melihat jauh keluar.

      Makasi banyak mba Phebie untuk insightnya! I learned a lot from your thoughts, very interesting😍😊

      Hapus
  9. Kalau ditelisik lebih jauh lagi, siapa yang salah dengan kondisi negeri yang seperti ini? Nampaknya setiap warga negara punya kesalahan. Tapi kadarnya tentu berbeda-beda antara warga negara biasa, anak-anak, remaja, dewasa, dan warga negara yang punya kuasa untuk mengatur negeri ini.

    Saya sendiri yang bekerja di instansi pemerintahan kadang jengkel dengan situasi seperti ini tapi tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa menuruti arahan pimpinan (yang tertinggi adalah presiden) dan menjalankan tugas dengan baik, menghindari perilaku koruptif, tapi tetap memposisikan diri sebagai warga negara yang belum sejahtera.

    Sama halnya dengan situasi di tengah pandemi ini. Kondisi saya mungkin tak seburuk mereka yang terdampak, kehilangan sebagian atau seluruh penghasilan, kehilangan pekerjaan, atau bahkan ditambah dengan kondisi kesehatan yang kurang baik. Tapi di sisi lain saya juga warga negara, yang ingin menuntut kepada pemerintah untuk melakukan tindakan yang jelas dan konkrit.

    Kata orang negeri ini punya segalanya untuk membahagiakan warga negaranya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pada dasarnya setiap warga negara punya andil dan tanggungjawab untuk menertibkan negara ini ya mas Agung, meski kadarnya lebih dibebankan kepada yg memegang penuh kendali tersebut. Sebab dalam kerja kelompok pun, kalau ketua kelompok kerjanya gak bener pasti ke bawah-bawahnya jadi kacau dan nggak terkendali😟.

      Sangat disayangkan memang dalam kondisi pandemi seperti ini banyak hal yang seakan tampak semakin meruak dan bertubrukan harus diatasi, hingga akhirnya membuat kepercayaan kita sbg warga negara agaknya meluntur karena beberapa kebijakan pemerintah yg dirasa kurang konkrit dan teratur.

      Senang rasanya bisa mendengar juga perspektif dari mas Agung, yg memang bekerja di instansi pemerintahan. Saya berharap semoga pandemi ini benar-benar cepat berlalu, pun kondisi perekonomian bangsa dan warganya dapat segera stabil. Serta kita semua semoga selalu diberikan kesehatan juga kekuatan dalam menghadapi ini semua, Aamiin😇. Saya percaya masih ada bagian dari negeri ini yg bisa membahagiakan kita semua, meski tidak bisa diketahui secara sadar dan spesifik😅.

      Sehat selalu untuk mas Agung dan keluarga, terima kasih banyak sudah mampir🙏🏻.

      Hapus
  10. kalau udah baca berita soal nasib guru honorer, perjuangan adik adik sekolah yang menempuh perjalanan lama bahkan sampe nyeberangi sungai buat menuntut ilmu, aku trenyuh, nggak jarang berkaca2 bacanya, semangat mereka luar biasa tinggi, demi ilmu, demi pendidikan, apapun rintangannya tetep dijalani.
    kalau memperhatikan sikap pemikiran egois dari beberapa pihak (terutama pihak yang berkuasa di sana), ngga habis pikir aja, kesannya kayak "menjatuhkan" pihak lainn untuk kepentingan dia sendiri, yang entah apa pengennya kok sampe begitu caranya
    aku sendiri terlalu sering berandai-andai, coba indonesia ini maju kayak singapur, atau selevel jepang, pasti rakyatnya makmur, sejahtera, sentosa, damai, tapi memang banyak hal yang perlu dipikirkan pemerintah dan itu perlu waktu juga, nggak bisa sulapan langsung jadi
    semoga negeriku ini tetep damai, baik dimata dunia, rakyatnya saling dukung

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mba Ainun, kadang kalau lihat berita-beritu gitu aja nggak jarang aku jd ikut menangis dan tertampar. Antara bersyukur bahwa kehidupanku setidaknya lebih baik dan lebih mudah untuk bisa mendapatkan akses ini itu, tapi di sisi lain kesal jg ternyata banyak masalah terkait pendidikan yg seperti nggak terjamah oleh pemerintah😟. Kadang akupun jd penasaran, bagaimana sih, sistem kerja pejabat-pejabat pemerintah di sana? Kok kayaknya yg kelihatan cuma orang-orang yg hobi buat onar aja di depan media. Padahal aku jg yakin mereka orang-orang terpelajar dan terpilih yg mestinya nggak menjalankan negara ini dgn seenaknya. Rasanya sedih kalau yg tampak selama ini selalu berita-berita tentang keburukan. Tapi yah, seperti kata mbak, namanya jg negara pasti banyak yg hal perlu dipikirkan dan diurusi. Pada akhirnya yg bisa kita lakukan skrg memang menjadi sebaik-baiknya warga negara aja ya mba😅, sebab kalau lihat keluar terus pasti nggak ada habisnya berandai-andai🙁.

      Aamiin Aamiin, semoga negara ini tetap dikelilingi oleh orang-orang baik yg nggak berhenti untuk mau berbuat baik ya mba😟😇. Sehat selalu untuk mba Ainun💕.

      Hapus
  11. Simple aja si menurutku, semua yang terjadi adalah demi keseimbangan dunia, semuanya baik tidak mungkin dan begitu juga semua nya jelek atau buruk tidak mungkin gtu aja hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Memang kalau mau berpikir lebih sederhana sih ada benarnya, bahkan semua yg terjadi di sekitar kita mungkin sudah takdirnya begitu, baik dan buruk, atau di tengah keduanya. Tapi sebagai makhluk yg berakal, kadang kita perlu untuk berkontemplasi dan mengkritisi hal-hal yg memang masih berada dalam jangkauan kita, supaya menjadi bukti bahwa setidaknya masih ada orang-orang waras despite dari bobroknya manusia-manusia yg merusak tatanan kehidupan manusia lain😁

      Hapus
  12. Kak Awl,, part di "kenapa gue harus dilahirkan di Indonesia" pernah ada di kepalaku. Aku pun gemes banget sama negara ini. Kenapa ya kayaknya yang selalu ke blow up tu yang jelek-jeleknya aja? Kenapa gitu susah banget mencontoh negara lain yang punya budaya lebih baik.

    Malesnya itu loh, telatnya itu loh, beneran Indonesia tu santuy banget. Aku sendiri meski kadang masih suka males-malesan, tapi berusaha untuk memperbaiki sedikit demi sedikit.

    Enggak tau Kak, desperate banget kalo ngomongin masa depan bangsa. ��

    BalasHapus