Diberdayakan oleh Blogger.
  • Home
  • About
  • Lifestyle
  • Personal
    • Opini
    • Thoughts
    • Slice of Life
    • Poetry
    • Intermeso
  • Podcast
  • Review
instagram LinkedIn Spotify YouTube Email

Notes of Little Sister




Waktu terasa cepat berlalu
jengah masih dilanda lelah
padahal tubuh telah butuh rebah
"kenapa aku melakukan ini?"
"kenapa harus bekerja disini?"

berbagai tanya tak henti menghiasi hari
sembari menuntun kaki lewati garasi
terpaksa menjalani rutinitas dengan masam
meski mulut tak juga berhenti bergumam
"aku ingin berhenti"

namun henti tak kunjung tiba
sebab rutinitas telah mengaburkan keterpaksaan
tanda tanya berganti tanda seru
"aku terlambat!"
"oh ya ampun, aku ada janji dengan klien!"

sepertinya kita memang harus belajar dari diri sendiri agar bisa mengerti
nyatanya tak semua hal bisa dimulai dengan hati
ada yang dengan terpaksa hingga akhirnya terbiasa
ada yang dengan senyuman namun berakhir tangisan

bisa jadi yang buruk bagimu menjadi berarti, pun sebaliknya begitu.
percayalah kita selalu punya pilihan
meski pada nyatanya berjalan menyeret paksa bukan sebuah pilihan
namun menentukan untuk menjalani adalah bagian dari memilih

selain berkeluh "kenapa aku harus begini?"
tampaknya kita pun harus berpikir,
"kenapa memilih?" dan,
"kenapa mau?"
bukankah pada akhirnya menentukan langkah terburuk pun juga sebuah pilihan?

Share
Tweet
Pin
Share
23 komentar

Kenapa sih generasi 90-an suka meromantisisasi masa-masanya?

Bahasan tentang masa-masa kecil atau masa remaja yang indah sepertinya nggak pernah bosan buat jadi topik utama dalam sebuah obrolan. Seringkali saat sedang reuni, obrolan tentang mengingat masa-masa lampau selalu menarik buat dikenang. Apalagi untuk generasi 90-an dan 2000-an, atau generasi milenial yang tumbuh di antara dua era, rasanya membandingkan antara zaman mereka dimana teknologi tidak semasif seperti sekarang adalah sebuah ulasan wajib yang gak bisa dihindari.

Gue sebagai anak yang tumbuh di tahun 2000-an dan dekat dengan generasi 90-an ini merasa relate kalau udah membahas tentang zamannya MTV nge-trend banget di TV, mulai dari MTV Bujang, MTV Salam Dangdut, MTV Getar Cinta, MTV Global Room, dan MTV Ampuh yang semuanya senantiasa diisi sama VJ-VJ keren nan hits, pun kalau membahas soal program televisi lain yang sifatnya anak muda abis atau bahkan anak-anak dan keluarga, seperti Planet Remaja: Peace, Love, aand *kecup jari* Gaul! (siapa nih yang suka ikut-ikutan gaya ini kalau di sekolah?😂), Komunikata, Tralala Trilili, Kring....kring Olala, Berpacu Dalam Melodi, Kuis Siapa Berani, Who Wants to be Millionaire yang dipandu oleh Tantowi Yahya (beberapa termasuk acara 2000-an banget sih, karena gue anak 2000-an jadi referensinya banyak disana hehe maafkan✌🏻), dan kartun-kartun di hari minggu, telenovela yang merajalela, sinetron-sinetron hits semacam Tersanjung, Cinta, Bidadari, Tuyul dan Mbak Yul, Keluarga Cemara, Jin dan Jun, Disini Ada Setan, 

serta sitkom-sitkom legendaris kayak Bajaj Bajuri, Spontan Uhuy!, sampai ke acara masak di hari minggu yang selalu ditunggu mama-mama seperti Aroma yang dibawakan oleh bu Sisca Soewitomo, Selera Nusantara, Rahasia Dapur Kita, dll, ditambah nama-nama permainan yang gak kalah nge-trend menghiasi zaman itu seperti Yoyo (ingat banget dulu sering banget diketawain sama tante gara-gara main yoyonya gak bener haha), Dakocan, mainan gelembung karet yang bentuknya mungil-mungil dan kalau udah ditiup biasa ditempelin ke wajah, mainan BP/boneka kertas, kapal-kapalan yang bunyinya tok-keletok-keletok, lompat karet, kelereng, ketapel bambu yang pelurunya diisi sama kertas yang dibentuk bulat kecil, gameboy (ini entah kenapa gue dulu nyebutnya jimbot), Nintendo, Tamagotchi, permainan ular naga yang dilakukan ramai-ramai, engkle, egrang, congklak, sampai bola bekel, rasanya kita seperti diajak berlomba-lomba supaya bisa menyebut satu nama dari sekian nama yang ada. Banyak banget, kan, ternyata! Segini masih banyak yang belum ditulis, fiuh.

Kenapa sih generasi 90-an suka meromantisisasi masa-masanya?

"Kenapa sih generasi 90-an begitu meromantisisasi masa-masanya?" tanya si Generasi Z.

Sebelum itu gue mau ngasih tahu dulu, kenapa gue pakai kata romantisisasi instead romantisasi? Awalnya gue terbiasa bilang romantisasi sih, tapi sebetulnya ini salah. Setelah gue cari-cari di KBBI, yang benar adalah romantisisasi. Karena kata romantisisasi sendiri berasal dari kata serapan bahasa Inggris romanticization yang ketika diubah ke dalam bahasa Indonesia menjadi lebih pas romantisisasi, sama seperti spesialisasi dan generalisasi. Dalam KBBI, hanya dapat ditemukan imbuhan -isasi yang konon sudah ada sejak zaman Belanda, yang kalau diartikan maknanya menjadi pengidealan, atau perlakuan sebagai sesuatu yang romantis. Jadi, yang lebih tepat adalah romantisisasi, bukan romantisasi, karena kalau romantisasi maka imbuhannya adalah -asi yang mana tidak ada dalam KBBI.

Anyway, tulisan ini nggak ada kaitannya dengan buku Generasi 90-an karya Marchella FP. Gue justru terinspirasi dari karya-karya beliau dan bertanya-tanya, kenapa sih topik soal ini justru banyak sekali peminatnya? Bahkan beberapa kali ada event yang berkaitan dengan nostalgia dengan tema mesin waktu yang juga diusung oleh komunitas generasi 90-an yang digagas oleh Mba Marchella.

Well, sebetulnya gue merasa adanya generasi X, Y, Z dan lainnya secara nggak langsung mengkotak-kotakan kubu antara usia sekian dan usia sekian, juga zaman sekian dan zaman sekian—walaupun memang tujuannya itu. Maksud gue, gue merasa dengan adanya generasi-generasi tersebut kita jadi menjauhkan diri satu sama lain dari orang-orang yang generasinya berbeda dengan kita dan bahkan membangun batasan setinggi-tingginya. Gak jarang ada orang-orang yang skeptis duluan kalau mendengar asal seseorang dari generasi dan lahir di tahun yang berbeda dengan dirinya, seakan-akan generasi itu otomatis bisa membentuk pemikiran dan karakteristik seseorang. Namun di saat yang bersamaan, menyebut tentang generasi dan mengenang sesuatu yang lahir di eranya adalah sesuatu yang menyenangkan buat dibahas.

Gue personally, seringkali merasa semangat kalau ngomongin tentang masa-masa di bawah tahun 2010-an, ketika gadget dan internet nggak mem-booming seperti sekarang. Siapa sih yang waktu kecilnya nggak senang main petak umpet, main sondakh, main tamiya, main barbie, main kucing-kucingan sampai maghrib baru pulang? We were all have those childhood moments weren't we?

Tapi seperti apa yang ditanyakan oleh Gen Z, gue pun seringkali mempertanyakan hal tersebut ke diri gue. Kenapa sih senang banget kalau ngebahas tentang hal-hal menarik zaman dulu? Apa iya gue nggak bisa lari dari masa lalu? Apa iya gue terlalu mengglorifikasi era 90-an dan era 2000-an, bahkan overproud sama masa-masa pertumbuhan gue?

Ternyata jawabannya sederhana. Gue terlalu lelah dengan kondisi di zaman sekarang yang membuat semuanya tampak terlihat jelas karena internet dan platform seperti media sosial. Gue pun merindukan kejayaan tayangan televisi yang gak lebay, edukatif, dan berkualitas. Seringkali gue mengeluh karena melihat tayangan televisi kita yang semakin kesini tampak semakin tidak kreatif. Oleh karena itu, gak bosan-bosan gue mengeluh soal pertelevisian beberapa kali di blog ini.

Baca juga: Manusia Kaleng

Aneh, kan? Bukannya berkembang maju, justru nilai-nilai dari tontonan yang ada malah masih terasa sama seperti sepuluh tahun lalu, dan sedihnya seperti berkurang. Mungkin keberadaan platform seperti YouTube dan Instagram yang menawarkan lebih banyak keunggulan bikin para kreatif di industri pertelevisian ini kewalahan buat ngikutin. Akhirnya tontonannya banyak yang hanya mencomot dari hal-hal viral yang terjadi di dunia maya. Instead of fokus membenahi tayangan yang tidak sedap dan selalu terkesan dipaksakan tayang, malah fokus mengejar rating, rating, dan rating, dengan dalih mengikuti selera pasar. Padahal statement tersebut sama saja beranggapan bahwa masyarakat kita terlalu bodoh untuk dikasih tayangan yang variatif seperti drama Korea dengan banyak genre dan sinematografi yang mumpuni. Bukan soal selera masyarakat, tapi memang jiwa kapitalisnya aja yang sulit berubah. Padahal logikanya kalau tahu selera masyarakat buruk yaa diubah dong biar jadi lebih bagus. Iya gak, sih? Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Mas Roy, pendiri Remotivi di salah satu artikelnya, Menguji Logika Pandji.

Mungkin karena hiburan kita dulu benar-benar terbatas antara main di luar atau main di rumah, dan sisanya nonton TV, gue pribadi merasa siaran televisi benar-benar memberi pengaruh dalam proses tumbuh kembang gue. Sehingga apapun yang berkaitan dengan nostalgia 90-an atau 2000-an, mungkin kalian pun ingatnya gak jauh-jauh tentang tayangan televisi favorit di zaman dulu. Sebab memang jenis-jenisnya sendiri penuh warna. Bayangin, dulu tuh kayaknya dari usia balita sampai tua ada tayangan favorit masing-masing, dan isinya gak melulu infotainment gosip yang menayangkan hidup artis, tapi banyak pilihan. Acara anak ada (bahkan lagu anak-anak juga bisa dengan mudah kita jumpai), acara anak tanggung sampai remaja pun ada, acara orang dewasa yang tayang di jam-jam tengah malam pun ada, bahkan sampai acara memasak, yang semuanya konsisten tayang hampir di setiap stasiun televisi dan di jam yang sesuai.

Sebetulnya, setelah mengobservasi dan mencari tahu lebih lanjut, selain keluhan di atas, gue nggak menemukan jawaban lain kecuali hanya untuk bernostalgia atau mengenang masa-masa remaja. Dulu orangtua kita pun sepertinya sering menceritakan bagaimana kehidupan mereka di era 70-an dan 80-an berjalan, bahkan gue sering juga diceritakan oleh eyang gue sebelum tidur tentang masa mudanya dulu saat tinggal di zaman Presiden Soeharto, dimana Jakarta masih banyak pohon-pohon besar dan banyak kuntilanak yang berkeliaran (sekarang mungkin udah terhalang gedung-gedung tinggi), dan dimana kejahatan pun rasanya selalu melekat di telinga masyarakat. Yah, walaupun sampai sekarang kejahatan yang dilakukan manusia, entah bunuh-membunuh atau perampokan masih merajalela, dulu lebih parah karena dipengaruhi juga oleh situasi politik yang tampak jelas tidak sehatnya, *kayaknya memang separah itu ya zaman orde baru.

Gue pun sering membicarakan masa kanak-kanak ini dengan teman-teman juga kerabat dekat, bahkan seringkali tenggelam di dalamnya, saking banyak sekali cerita tentang kami yang tidak ditemukan pada anak-anak generasi sekarang.

“Dulu tuh kayaknya kita kecil bahagia banget ya, main lompat tali sama petak umpet gak tau waktu."

"Kayaknya anak-anak dulu pada jadi ekstrovert kali ya. Jangankan sama temen di komplek dalam, sama anak komplek luar aja sampe kenal saking sosialisnya!”

“Eh iya, lho! Kalo anak sekarang sih mainnya gadget, boro-boro kenal yaa sama anak-anak komplek.”

Gue cuma bisa "hmm" aja sih kalau udah sampe situ obrolannya. Tanpa bermaksud membandingkan, sebenarnya perbedaan zaman itu memang gak bisa dipungkiri. Sekarang memang eranya teknologi, gadget dimana-mana, semua dilakukan serba daring, gaya hidup pun pasti akan berubah mengikuti alur ini. Wong namanya juga globalisasi, nggak cuma Indonesia, semua negara mengalami hal yang sama. Bahkan gue juga sering menemukan postingan orang-orang luar di media sosial yang kerap bernostalgia dengan membagikan memes tentang hal-hal yang dilakukan anak kecil di era 90-an dan 2000-an.

Sebab gue sering juga nih nemu orang-orang yang merasa dirinya adalah generasi emas karena tumbuh atau lahir di era 90-an, kocaknya justru yang mengaku generasi emas ini adalah barisan orang-orang yang lahir di 90-an tapi tumbuh di tahun 2000-an, padahal era 2000-an ini masuknya udah zaman milenium walaupun teknologi memang gak langsung pesat perkembangannya.

"Generasi 90-an emang terbaik!"

"Kasihan sama generasi sekarang, gak punya masa kecil yang bahagia."

"Gue dong, masa kecil gue bahagia, gak banyak main gadget, tapi udah gedenya melek teknologi!"

Iye, malih, terserah lo aja dah. Bernostalgia boleh banget kok, tapi akan lebih bijak kalau kita gak merendahkan kaum lain atau generasi lain yang memang berbeda zamannya dengan kita, hanya karena merasa superior dan punya segalanya yang gak dimiliki si Gen Z ini. Lagi-lagi "superior" penyebabnya. Kenapa ya manusia hobi banget ngerasa lebih tinggi derajatnya daripada orang lain🤦🏻‍♀️. Padahal 90-an sendiri ogah kali dibawa-bawa tahunnya sama orang yang ke-PD-an macam gitu.

Namun, berkaitan dengan keluhan gue yang kecewa dengan program-program televisi yang effortless, dan gue yang lelah dengan paparan internet yang seperti tiada henti menghiasi hari, gue melihat ajang bernostalgia ini sebetulnya bisa merupakan bentuk sindiran, atau bahkan peringatan. Untuk apa? Untuk kita refleksi atas berbagai hal. Apakah kondisi dulu dan kini membawa perubahan yang baik atau nggak? Apakah tayangan televisi yang berjalan sekarang ini masih produk yang sama seperti dulu atau justru berubah ke arah yang lebih baik? Dan perubahannya sendiri apakah sejalan dengan waktu yang sudah dilewati? Seberapa banyak? Gak cuma untuk program televisi aja sih, ya. Untuk semua aspek, seperti gaya hidup yang kita jalani sekarang. Apakah kehidupan virtual ini benar-benar memberi pengaruh baik dalam kehidupan kita? Apa justru kita malah jadi lupa caranya berkehidupan sebagai makhluk sosial yang harus berbaur juga dengan alam sesekali dan makhluk sosial lainnya?

Kok terlalu banyak pertanyaan ya, hehe. Ya memang gue rasa penting untuk kita selalu mempertanyakan tentang hidup ini, semata-mata agar masing-masing dari kita bisa mengevaluasi untuk berubah menjadi lebih baik lagi. So, kegiatan meromantisisasi ini seharusnya nggak cuma jadi cerita kenangan alias ajang nostalgia saat reuni yang hanya jadi angin lalu, melainkan bisa jadi bahan refleksi atas apa-apa saja yang sudah berjalan sejauh ini. Apa yang harus diperbaiki dan apa yang harus ditingkatkan. Berkembang dan hidup mengikuti zaman memang gak ada salahnya, bahkan sebuah keharusan supaya kita bisa terus beradaptasi untuk kejutan-kejutan lain di masa yang akan datang, namun gue harap kita juga nggak begitu saja melupakan nilai-nilai baik yang sudah ada sejak zaman dulu. Kalau sekarang kita berkutat dengan media sosial terus, gak ada salahnya sesekali simpan gadget kita dan menikmati permainan-permainan yang dulu sempat menghiasi masa kanak-kanak kita, entah dengan teman, anak, suami, atau saudara. Toh sekarang masih ada kok beberapa permainan zaman dulu yang dijual dan dikemas secara modern. Buat para orangtua pun, mungkin bisa memperkenalkan anak-anak sesekali saat di luar jam belajar dengan beberapa permainan tradisional yang bisa dilakukan dengan keluarga. Omong-omong, apa sih hal-hal favorit kamu semasa kecil di era 90-an atau 2000-an dulu?


Rekomendasi artikel terkait:

Mengapa Manusia Gemar Bernostalgia? - Tirto.ID

Apa Benar Generasi 90 Adalah Generasi Emas?

Share
Tweet
Pin
Share
29 komentar
Kenapa kita wajib punya sneakers putih?

Firstly, white shoes and sneakers are so hot because of the fashion trends. Designers of big fashion brands like Balenciaga and Louis Vuitton take this trend to the show stage. Young people are always ready to embrace the fashion trends, and soon people found it everywhere. 

Terhitung sudah tiga tahun ini gue senang pake sepatu putih tiap pergi kemana-mana. Pertama kali decided untuk pakai sneakers putih itu karena gue udah bosen sama sneakers yang warnanya hitam atau abu-abu. Gue kalau beli sepatu memang gak jauh-jauh dari warna itu, entah kenapa lebih suka warna yang netral dan cari aman aja buat outfit sehari-hari, inipun berlaku untuk kerudung, kemeja dan jenis pakaian yang lain. Apalagi itu adalah barang-barang yang memang dipakai untuk jangka panjang kan, jadi harus benar-benar bisa bikin kita nyaman karena gak salah pilih. I prefer to wear earth tone or classic colors to make it look simple as possible. Dan dari sejak saat itu gue selalu setia sama sepatu putih. Saking setianya, kalau ganti sepatu pasti warna putih lagi putih lagi. Padahal udah berapa kali dibikin repot pas nyuci karena susah banget bookk buat bener-bener bisa kinclong seratus persen hiks.😖

Why is the white sneakers trend never fade?

  • Kind of neutral color

Bukan karena trend, tapi karena warnanya yang netral! As i mentioned before, warna-warna seperti putih, hitam, cokelat tua dan abu-abu adalah tipe warna utama yang netral dan bisa banget dipadupadankan dengan warna lain untuk urusan pakaian. Mau warna atasan dan bawahannya gak matching pun, sneakers putih bakalan tetep masuk di outfit kalian. Pokoknya, black and white are always in! Ngomong-ngomong soal netral, band Netral sekarang apa kabar ya🤔

  • ‌Easy matching alias cocok dengan segala jenis outfit!

Saat pakai sneakers berwarna putih, kita gak perlu sibuk kebingungan nentuin mau pakai pakaian kasual atau formal sekalipun! Karena secara teknis sepatu putih bakalan cocok dengan gaya berpakaian kalian. Mungkin satu-satunya yang perlu kita pertimbangkan dengan serius hanyalah occasion-nya. Untuk acara apa nih si outfit itu dikenakan? Pantes gak ya kalau gue pakai ini di kegiatan itu? Semacam itulah.

Kalau gue pribadi, setiap ngampus dulu pasti owowtidi-nya antara pakai kemeja sama celana bahan, kadang kulot, atau kemeja sama celana jeans, dan semuanya sama-sama cocok buat sneakers putih IMO. Malahan gue seringnya pake celana bahan atau chino pants gitu buat keluar, atasannya terserah, kadang pakai kemeja, kadang sweater atau hoodie, kadang cuma kaos stripe kebanggaan aja, and again, it does indeed go with everything mixed, either white sneakers or any kind of white shoes (i've never tried this one tho, but as what google said it looks good too). 

Kok gue demen banget yak sama celana hitam😅

Pernah beberapa kali waktu magang/PPL di sekolah beberapa bulan lalu, gue pakai sneakers putih walaupun atasan dan bawahannya pakai kemeja dan juga celana bahan yang memang biasa dipakai untuk ngajar. Terus waktu itu gue bandingin sama pas pake pantofel, hasilnya berasa langsung ke-switch total gitu🤣 Kalau sebelumnya bener-bener muncul vibe guru, eh setelah ganti sepatu vibe gurunya jadi ilang.

  • ‌Simple

Percayalah, pakai sepatu putih bakalan bikin looks kita terlihat lebih simple. Karena sepatu-sepatu ini gak banyak diberi tambahan warna dan hiasan seperti halnya sepatu-sepatu lain yang terkadang selalu dikombinasikan dengan warna lain, membuat sepatu putih menjadi lebih sederhana. Kalau lo males kemana-mana nih dan bingung mau pakai baju apa, tinggal ganti celana jeans, pakai hoodie atau kaos, udah deh cukup!

5 Alasan Kenapa Wajib Punya Sneakers Putih

Lho, kan banyak tuh sepatu warna lain yang juga simple dan desainnya gak macem-macem?

Iya sih, tapi coba lihat gambar di atas. Walaupun sepatu dengan warna lain yang design-nya nggak ribet juga banyak di pasaran, gue masih ragu kita bisa dengan mudah mencocokan outfit sehari-hari dengan sepatu tersebut, dan sebetulnya spektrum warna yang ada ini memberi kesan lebih ramai dan penuh. Sementara warna putih cenderung lebih natural dan soft, ibaratnya kalau cat tembok yang paling dasar dan pale itu pasti putih. So, it's very simple to wear!

Baca juga: Goodbye Wasteful Life, Welcome Minimalism

  • ‌Bikin kita tampil lebih muda dan energetic

Since white shoes are the common shoes that some people wear in school, most of them feel like they wanna go back to school, dan karena sepatu jenis ini simple dan bikin kita tampil lebih ceria, otomatis kita akan lebih terlihat muda dan segar, apalagi kalau sepatunya masih baru atau udah dicuci, image yang ditampilkan menjadi "bersih". Tampilan yang sporty dari sepatu kets juga akan membuat kita tampak lebih energetic.

  • ‌Timeless

Abadi, yap! Karena alasan-alasan yang ada di atas, menjadikan sepatu ini nggak pernah ketinggalan zaman sekalipun sepatu yang lagi nge-trend sekarang sepatu kuda, misalnya. Orang-orang gak akan lantas mengatai kalian cupu hanya karena pakai sepatu putih, as long as kita sendiri gak berlebihan dalam berpakaian. Meski sudah ada dari beberapa dekade, gayanya gak akan pernah pudar dan tetap bagus mengikuti zaman. Terbukti kan sekarang beberapa brand sepatu ternama masih ada yang produksi white shoes or sneakers, apalagi brand olahraga, rasanya gampang banget ditemukan sepatu berwarna putih.

Of course, trend sepatu putih yang gak juga hilang ditelan zaman ini nggak menjadikan sepatu warna lain inferior. Selama kita pandai mix and match atau memadukan outfit kita sehari-hari dengan sepatu kesayangan, it makes us pretty and incredible even more!

Jadi, gimana nih? Ada yang suka pakai sepatu putih juga? Yuk sharing!😄



Share
Tweet
Pin
Share
30 komentar

Beberapa minggu lalu, saya melihat orang-orang ramai membicarakan public figure yang berselingkuh.. 
Saling berdebat karena tak cukup cantik ia yang dipilih 
Kalah jauh menawan dengan yang ditinggalkan, katanya 
Layaknya memiliki pasangan adalah sebuah persaingan 
Kalau kau sendiri, maka itu artinya kau tak cukup laku 
Atau tak cukup menarik untuk dilirik 

Oh, bahkan sudah sejauh itu level berkompetisi mereka 
Padahal, kata cinta dan pasangan bukan hanya tentang merasakan dan mendapatkan, lebih jauh dari itu 
Ini soal memberi, mengasihi, belajar memahami, dan memaklumi 
Cinta tak hanya dirasa saat asmara tengah membara 
Kisahnya panjang, lebih rumit dari yang kau kira 

Bukankah cinta hanya tentang memberi dan menerima? Mengapa serumit itu?

Oh, ya..

Karena memberi dan menerima dengan tulus
Menyadari hendak melakukannya sepanjang hayat
Tak semudah itu jika kita selalu menuntut yang tak ada
Menginginkan kesempurnaan, membiarkan diri digerogoti ekspektasi tentang sosok yang bisa bertransformasi
Dari buruk menjadi baik, dari yang biasa saja menjadi luar biasa, dari yang main-main menjadi disiplin, dari yang berandal menjadi andal
Yang saat semuanya tak didapatkan, lantas boleh bosan dan mencari pelarian

Bukan begitu..

Lagi-lagi mencintai dan membersamai harus disandingi dengan persaingan
Padahal, kalau memang dia cinta, tak perlu lah kita yang kebingungan
Lagipula, ini bukan soal rupawan dan menawan
Bukan soal cantik atau tak cantik
Kalau memang dia cinta, dia tak akan meninggalkan
Tak akan ada persaingan, sungguh

Jangan lah menekan diri dengan kompetisi yang membelenggu tak ada arti
Soal rasa memang tak bisa dideteksi
Tapi tak ada urusannya dengan arogansi yang tak pernah habis mencari kesempurnaan
Perihal cinta dan pasangan, bagaimana pun, sebaik dan setulus apapun, seburuk dan sekejam apapun keduanya
Tampaknya manusia tidak pernah menyadari
Bahwa kita tak pernah bisa sempurna meski sama-sama menyempurnakan


Dengarkan juga postingan sebelumnya: Paham Makna

Share
Tweet
Pin
Share
9 komentar

Ketika normalisasi sekadar egoisme semata


Akhir-akhir ini gue sering menemukan kata normalisasi dilontarkan oleh orang-orang di linimasa twitter—lagi-lagi twitter. Entahlah, platform yang satu ini kayaknya sering banget memunculkan banyak diskusi-diskusi yang gak jarang menimbulkan “war” antar sesama pengguna. Sebagian karena merasa pendapatnya benar, sebagian karena merasa tidak ingin terlihat bodoh dan kalah. Contoh dari bahasan soal normalisasi ini adalah, pernikahan tanpa resepsi, normalisasi menikah saat sudah siap atau di luar dari usia yang selama ini dijadikan standard oleh masyarakat, normalisasi pakaian wanita bukan sebagai simbol sex supaya bisa meng-counter narasi yang menyalahkan pakaian sebagai sebab pemerkosaan, normalisasi mengejar karir di usia 25, sampai dukungan untuk menormalisasi pernikahan sesama jenis.

Dalam KBBI, normalisasi sendiri berarti tindakan menjadikan normal (biasa) kembali; tindakan mengembalikan pada keadaan, hubungan dan sebagainya yang biasa atau yang normal. Well, technically, normalisasi adalah kegiatan menormalkan sesuatu yang sebelumnya sudah normal, namun karena berbagai alasan, menjadi rusak dan harus dikembalikan kondisinya.

Sementara normal sendiri memiliki arti: menurut aturan atau menurut pola yang umum; sesuai dan tidak menyimpang dari suatu norma atau kaidah; sesuai dengan keadaan yang biasa; tanpa cacat; tidak ada kelainan: bayi itu lahir dalam keadaan normal.

Gue tahu, pada praktiknya normal hanyalah sebuah kata yang dibangun oleh masyarakat itu sendiri berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku, yang beberapa bisa saja tidak sesuai dengan norma dan aturan. Normal adalah sesuatu yang hanya bisa dibuat jika terlihat di permukaan. Gue pribadi pun setuju dengan beberapa narasi yang digaungkan, since we live in toxic society that is always trying to control our lives which shouldn’t be their concern whatsoever. Tetapi yang membuat ini tampak lucu adalah, gak sedikit orang-orang yang ikut-ikutan mendukung berbagai normalisasi hanya karena merasa segala apapun yang berlaku di masyarakat sekarang ini adalah sucks. Sehingga tagar-tagar yang berseliweran itu kebanyakan didukung oleh opini yang kurang jelas dan argumentasi yang hanya mengandalkan arogansi, serta egoisme yang dilindungi dengan ketidaktahuan, karena orang-orang tampaknya tidak terlalu paham apa saja aturan-aturan atau stereotip yang tanpa alasan dinormalisasi oleh masyarakat sejak lampau, dan mana saja yang memang sudah normalnya begitu, namun dipaksakan untuk normal agar sejalan dengan egoisme.

Normalisasi independensi untuk memilih kehidupan sendiri

Cuitan tentang beberapa contoh normalisasi di atas adalah sesuatu yang sangat gue dukung, karena sepertinya segala macam pressure bahwa kita harus menikah di usia sekian, sukses sebelum berusia 40 tahun, harus punya anak saat sudah menikah, perempuan gak boleh bekerja saat sudah menikah, adalah aturan-aturan yang memang dibuat sendiri oleh masyarakat karena orang-orang terbiasa untuk melakukannya. Padahal persoalan semacam ini gak bisa kita generalisasikan. Di negara-negara maju, Jepang contohnya, nggak ada tuh sekarang para orangtua yang memaksa anak mereka untuk menikah sebelum usianya mencapai 30 tahun (mungkin ada, tapi kasusnya sangat jarang), bahkan pasangan yang memiliki anak pun persentasenya sangat sedikit dibandingkan mereka yang tetap mengejar karir dan hidup berdua saja. It means, normal yang satu ini memang diberlakukan tergantung dari kebiasaan si masyarakatnya, tidak terpaku pada aturan atau norma tertentu. Tapi memang gak menutup kemungkinan banyak juga orang-orang yang bersikap demikian karena adanya anjuran bahwa anak perempuan harus berdiam diri di rumah demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di luar sana. Walaupun begitu, anjuran ini seharusnya gak menjadi pengekang untuk seseorang berkarir dan melakukan pekerjaan di luar rumah, karena toh ada juga ayat lain yang menjelaskan untuk kita mengejar pendidikan setinggi-tingginya, baik laki-laki maupun perempuan.

Namun yang menjadi concern gue soal normalisasi ini adalah, gerakan mendukung pernikahan sesama jenis, which in my honest opinion, di Indonesia sendiri memang bukan sesuatu yang bisa dikatakan normal, baik secara norma sosial, agama, dan hukum negara mengenai Undang-Undang Perkawinan.

Tadi katanya normal itu hanya sebuah kata dan kondisi yang dibuat-buat oleh masyarakat umum, aturan-aturan yang berlaku dalam hukum mestinya bisa diubah dong? 

Terlalu kolot, konservatif.

Yaa nggak begitu juga. Gak semua hal yang sudah dibuat dari beberapa puluh tahun lalu, bahkan ratusan tahun lalu, bisa kita ubah mentah-mentah hanya karena mengikuti zaman. Memangnya kita mau mengikuti arus zaman yang jelas-jelas makin keras dan menyimpang? Apa orang-orang zaman dulu sebodoh itu sampai apa-apa yang diciptakan dari dulu disebut kolot dan gak sejalan? Bagaimana tentang agama yang memang sudah ada dari zaman dulu kala? Gak bisa dipakai juga untuk kehidupan sekarang?

Undang-undang, norma sosial, agama, regulasi, pokoknya segala aturan yang dibuat perihal perkawinan ini tidak bisa disamakan dengan stereotip yang beredar tentang karir, pilihan untuk memiliki anak atau tidak, dll, karena dibuat dengan proses yang matang dan gak main-main. Sementara aturan bahwa kita harus menikah muda, harus lulus kuliah umur sekian sekian, dan sebagainya, adalah sesuatu yang memang berasal dari stereotip masyarakat, yang lama-lama dijadikan normal.

So, lo accusing penyintas LGBTQ sebagai orang yang nggak normal, begitu?

Merujuk pada pengertian di atas, dan melihat kondisi di Indonesia yang sebagian besar heterogen, gue bisa bilang begitu. Dari sisi biologis pun, baik manusia maupun binatang, alamiahnya dipasangkan sebagai laki-laki dan perempuan, betina dan jantan, yang dapat menghasilkan keturunan dan generasi baru. Meski pada akhirnya ada berbagai dinamika yang terjadi dalam proses evolusi, seperti yang kita lihat sekarang. Oleh karena itu ditemukanlah orang-orang yang—baik secara alami atau tidak—memiliki orientasi seksual berbeda dengan identitas gendernya, yang kemudian dikelompokan menjadi heteroseksual, homoseksual, biseksual, dan aseksual. Beberapa asosiasi ilmuwan, seperti American Academy of Pediatrics (AAP) dan American Psychological Association (APA) pun berpendapat, bahwa orientasi seksual merupakan kombinasi kompleks yang melibatkan banyak faktor. Beberapa di antaranya adalah faktor biologis, psikologis, dan lingkungan. 

Baca juga: How I See Feminist as a Muslim

BUT, gue nggak semata-mata menjadi homophobic dengan bilang seperti itu. Setiap orang tentu punya pendapatnya sendiri tentang hal ini. Terserah mau mengambil kesimpulan dari mana, logika, agama, atau science. Gue sendiri berusaha untuk berpikir lebih bijak dan mencampurkan ketiganya, bahwa kita juga perlu yang namanya batasan. Tapi dari batasan-batasan itu bisa kita pilih yang mana yang memang berdasar dan yang mana yang tidak. Gue hanya khawatir kalau kita sembarangan menggunakan kata normalisasi, hingga kemudian orang-orang benar menormalkan sesuatu hanya karena ramai diperbincangkan, nilai-nilai moral, budaya dan agama pun akan luntur secara perlahan. 

Gimana sama masa depan cucu dan cicit-cicit kita jika hal yang dinormalisasi adalah semacam ini? Ngeri gak sih ngebayangin kalau nanti ada banyak anak yang lahir tanpa tahu siapa ayah dan ibu kandungnya karena dia diadopsi oleh pasangan-pasangan non-hetero, kemudian terbiasa dengan kondisi seperti itu dan membenarkan apa yang dia lihat. Yaah, walaupun kenyataannya banyak juga anak-anak dari pasangan berbeda jenis yang menderita dan tidak tumbuh dengan baik karena treatment dan didikan yang salah dalam keluarga. I just can't imagine what's worse than all of this.

Again, it's all just my opinion. Gak semua orang harus sependapat dengan gue, toh seperti yang gue bilang di postingan ini, gue sama sekali nggak bermaksud mendiskriminasi orang-orang di komunitas LGBTQ, masalah perbedaan konsep dan sudut pandang adalah sesuatu yang natural sebagai manusia. I know this may be very difficult for them to be different from the people they used to be, and they may have been struggling a lot to be accepted in their circle. Sepertinya gue gak akan bosan untuk mengatakan ini, we can disagree their concept to be the way they are and to live the life they want, but it doesn't mean we can't respect each other to be the better version of ourselves. 

Sejujurnya gue sangat menyayangkan orang-orang di media sosial yang menuduh seseorang homophobic hanya karena berseberangan dengan perspektif mereka soal ini. Dalam kasus berpakaian pun, ada juga cerita menarik yang gue temuin di twitter kemarin. Jadi, ada seorang cewek yang diperkosa di salah satu hotel setelah diajak minum-minum sama dua laki-laki—salah satunya si pelaku, yang sebetulnya gue gak tau motif mereka minum-minum di hotel itu apa. Kemudian orang-orang meributkan soal laki-lakinya yang gak bisa menahan diri dan menjaga pandangan, terus membela si perempuan yang jelas menjadi korban pemerkosaan. Ada juga yang menyalahkan si korban karena dia yang udah mabok dan mau aja diajak ke hotel sama cowok—walaupun cuma ngobrol dan gak pesen room misalnya. Dari perdebatan itu juga muncul narasi untuk jangan menyalahkan pakaian korban pemerkosaan, kalau memang cowonya yang nafsu ya dia yang salah. 

Honestly, gue melihat dua-duanya gak ada yang benar, sih. Kalau gue pribadi, minum sama cowok di restoran hotel dan ceweknya cuma gue sendiri aja udah kelihatan gak beres. But yash, gak lantas gue juga membela si cowok lah. Rapist gak pernah bisa dibenarkan apapun alasannya, tapi kita sebagai warga negara khususnya masyarakat beragama pun tahu bahwa alkohol bukan sesuatu yang diperbolehkan. Apalagi berurusan sama hotel-hotelan, serem sih gue ngebayanginnya. Yah, gak ada habisnya memang kalau ngomongin soal kelakuan-kelakuan pengguna medsos zaman sekarang yang meng-counter argumen orang lain untuk jangan bawa-bawa agama, dll. Padahal negara dan agama itu dua variabel yang terkait, karena kita tinggal di sebuah negara yang berpancasila, punya batasan dan bukan liberal—seharusnya.

Intinya, semua orang berhak melakukan apa yang dia suka, apa yang dia mau dengan responsibility yang dipegang masing-masing. Tapi, please jangan memaksakan sesuatu yang berada di luar batas daripada yang kita yakini selama ini. Kalau lo merasa nggak nyaman dengan suatu aturan dan berharap society menerima hal yang menurut lo nyaman, jalannya gak serta merta harus dinormalisasi. Ada proses yang panjang di dalamnya. Kita juga perlu memikirkan dampak jangka panjang, apakah yang kita suarakan itu memberi pengaruh positif untuk keberlangsungan masa depan, atau justru meninggalkan kesan buruk.

Mending lo menormalisasi got atau gorong-gorong yang banyak sampah dan kotor lah misalnya, menjadi saluran irigasi yang diisi banyak ikan koi dan ramah lingkungan kayak di Jepang. That would be great! Kira-kira ada ide-ide lain?

 

Share
Tweet
Pin
Share
31 komentar
Newer Posts
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Bukan Salah Indonesia
  • Childfree yang Diperdebatkan
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Just Listen
  • Terlalu Besar Untuk Gagal

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

My Podcast

Newsletter

Get new posts by email:

Popular Posts This Week

  • 36 Questions Movie Tag
  • Di Balik Angkasa
  • Goodbye Wasteful Life, Welcome Minimalism
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • How I See Feminist as a Muslim
  • Kejar Passion itu Omong Kosong
  • Silent Treatment: Diam Yang Menyiksa
  • Lika Liku Jadi Career Shifter dan Tips Memulainya
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek Yang Regresif

Blog Archive

  • ▼  2024 (2)
    • ▼  Oktober 2024 (1)
      • Posture Perfect: How Wearing a Waist Trainer Can I...
    • ►  Agustus 2024 (1)
  • ►  2023 (1)
    • ►  Februari 2023 (1)
  • ►  2022 (9)
    • ►  November 2022 (1)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (1)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  Maret 2022 (2)
    • ►  Februari 2022 (2)
  • ►  2021 (30)
    • ►  Desember 2021 (1)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  Juli 2021 (3)
    • ►  Juni 2021 (2)
    • ►  Mei 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  Maret 2021 (5)
    • ►  Februari 2021 (1)
    • ►  Januari 2021 (5)
  • ►  2020 (46)
    • ►  Desember 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  Oktober 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (10)
    • ►  Juli 2020 (8)
    • ►  Juni 2020 (4)
    • ►  Mei 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  Desember 2019 (3)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Agustus 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Februari 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Pengikut

Categories and Tags

Intermeso Krisis 1/4 Abad Opini Perempuan Podcast Poetry Review Thoughts digital marketing karir lifestyle slice of life

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.