Diberdayakan oleh Blogger.
  • Home
  • About
  • Lifestyle
  • Personal
    • Opini
    • Thoughts
    • Slice of Life
    • Poetry
    • Intermeso
  • Podcast
  • Review
instagram LinkedIn Spotify YouTube Email

Notes of Little Sister



Fenomena ghibah dan menjadi individu


Sejak kecil gue termasuk anak yang super pemalu, gak mau kenal orang dan sangat pilih-pilih mana kiranya orang yang cocok sama gue dan bisa dijadiin temen. Beranjak remaja, karena merasa pertemanan gue kurang luas dan gitu-gitu aja, gue akhirnya decided untuk aktif di organisasi. Semua aspek dalam kepribadian gue yang kuper gue ubah abis-abisan waktu SMA, yang tadinya mungkin gue cuma jago ngomong di depan kelas pas pelajaran, gue coba beraniin diri untuk ngomong di depan orang-orang yang literally baru gue kenal dan bukan temen sekelas gue. Alhasil meluaslah lingkar pertemanan gue saat itu. Gue punya cukup banyak temen hampir dari semua kelas. Dari anak IPA sampe IPS, dan sejak saat itu gue yakin sama diri sendiri bahwa gue senang bersosialisasi. Menurut gue, seru aja gitu rasanya bisa kenal orang dan nambah temen dari latar yang berbeda-beda. Gue pikir semua orang menyenangkan kalau kita bisa kenal dan deket sama mereka. Tapi untuk beberapa alasan, semua perspektif itu agaknya terpatahkan ketika gue beranjak dewasa. Ketika gue meninggalkan keluguan anak SMA yang mungkin emang udah hobinya memperbanyak teman.

Semakin kesini gue semakin kembali ke wujud asli gue. Awl yang males basa basi sama orang, males dengan keramaian, males dengerin celotehan orang lain yang nyeritain temennya sendiri, dan Awl yang berakhir di kamar, nyaman dengan dunianya sendiri. Gue pikir orang-orang akan selalu menyenangkan, tapi ternyata nggak when it comes to discuss people, when it comes to interfere their problems, when it comes to prevent them to be what they wanna be. 

Gue pernah bilang sebelumnya di postingan yang satu ini, bahwa alasan kenapa hidup kita seperti dituntut untuk sama seperti kacamata orang lain adalah, karena udah menjadi tabiat manusia untuk punya indera ketujuh dengan mengkotak-kotakan tindakan manusia lain yang gak sejalan dengan pandangannya. It really is.

Gue beberapa kali punya pengalaman gak asik ketika lagi kumpul atau diem di suatu tempat, dimana ada aja sekumpulan orang yang ngomongin kejelekan orang lain, padahal objek yang diomongin adalah temennya sendiri. Layaknya udah jadi kegiatan wajib, si bahan obrolan ini seenaknya aja dicap sesuai dengan apa yang mereka lihat, entah doi anaknya pemalas, gasuka gawe, suka ngerokok, banyak gaya, dsb. Seakan-akan orang yang diomongin itu bener-bener salah dan gak patut untuk ditemenin. Hal ini membuktikan bahwa orang bisa dengan mudahnya memberi penilaian kepada orang lain yang menurut mereka tidak sesuai dengan norma dan nilai-nilai bagi mereka—without knowing who actually the person is.

Entah apa yang mendasari manusia-manusia ini untuk pingin tau urusan orang lain dan bahkan menjustifikasi mereka sesuka hati. Okay, mungkin mereka gak benar-benar nge-judge. Gak benar-benar mau tau. They're just being kepo. Mungkin keren aja kayaknya bagi orang Indonesia ketika isi kepalanya penuh dengan informasi seputar hidup orang lain, si A begini, si B begitu. Karena dengan begitu, dia akan dapat dengan mudah diterima oleh society. Lihat aja acara gosip di televisi, contohnya. Instead of nonton acara yang lebih bermutu dan berisi, kita kadang lebih milih nonton acara gosip saking pingin tau gimana perkembangan artis kesukaan kita atau apa yang happening di Indonesia. Tampaknya kebiasaan itupun berlaku dan berkembang di lingkungan sosial. Gak semua orang memang, tapi sebagian besar begitu.

Saking udah malesnya menghadapi situasi memilukan kayak gitu, kadang gue memilih untuk misahin diri, fokus sama apa yang mau gue kerjain. Walau nyatanya yang ada gue dicap tidak setia kawan, apatis, kurang kumpul dan ujung-ujungnya gue juga yang jadi bahan empuk buat diomongin. Pernah suatu ketika gue nimbrung nimpalin ghibahan mereka. Emang dasar yang namanya dosa, kadang bikin asik dan lupa diri kali ya, gue seakan terbawa dengan obrolan itu dan ikut bahagia menghakimi orang yang dimaksud dengan sesuka hati. Namun lantas gue tau ini gak bener. 

Dari sisi agama pun, udah jelas yang namanya ghibah sangat dilarang. Selain kita membicarakan sesuatu yang belum tentu benar adanya, ghibah itu sama sekali gak ada manfaatnya. Informasi yang didapat gak bikin kita pinter, yang ada bikin kita terus berpikiran negatif sama orang lain. Kita jadi seperti disihir untuk gak nemenin orang yang udah diomongin, gak boleh deket sama mereka, dan memandang mereka sesuai dengan apa yang terlihat dan apa kata rumor yang beredar. Kemudian jadi gak sehat lah cara berpikir kita, karena kita hanya fokus untuk mengurusi orang lain dari ujung kepala hingga kaki. Kita jadi takut untuk berteman karena khawatir teman baru nanti akan sama dengan orang-orang yang kita pandang buruk, atau takut kita juga akan jadi bahan omongan di kelompok yang baru nantinya. Akibatnya, kita pun jadi terbiasa bermuka dua.

To be honest, i don't feel i have the urge to interfere someone's life, like commenting her or his photos (for example) on social media just to shaming them—yeah, give such a bad comment even means interfering their lives IMO, apalagi lebih dari itu. I believe everyone has their own lives, has their own privacies dimana kita gak punya hak untuk mencoba masuk ke dalamnya. As long as they would take any responsibility of what they did to the community, it doesn't matter. Dan selama mereka punya komitmen yang bisa dipertanggungjawabkan untuk kemaslahatan society, harusnya gak masalah.

Lagipula, apa hak kita untuk mengomentari dan mencampuri urusan orang lain? Gue sih jujur gak mau segala macam kepentingan gue dicampuri atau bahkan dikomen sama orang yang notabenenya gak tau seluk beluk hidup gue. Itulah kenapa gue pun selalu berusaha untuk gak bersikap demikian kepada orang lain, karena sangat gak enak rasanya ketika ada orang yang berusaha mencampuri urusan pribadi gue seakan mereka sudah sangat mengenal siapa diri gue sebenarnya, like dude, you kno' nothing about me but you're act like you kno' everything? Yah, meski pada akhirnya, still, people has their own shit to invade other people's privacy.

Budaya ini secara gak sadar bikin kita jadi sulit untuk menerima kepribadian orang lain. Menerima keputusan orang lain. Ketika ada orang yang memilih jalan berbeda di dalam suatu kelompok, akan dianggap berbeda dan kurang piknik sama mereka yang merasa dirinya baik-baik aja. Padahal setiap orang punya hak untuk memilih jalannya sendiri. Bukan berarti kurang akrab, bukan juga kurang solid. Mungkin dia memang kurang cocok ada di kelompok itu, atau ada sesuatu yang lebih penting yang harus dikerjain.

Kadang gue suka iri sama orang-orang yang tinggal di luar negeri. Masyarakat disana tergolong individualis. Hidup masing-masing, dan lebih mengutamakan kepentingan pribadi serta mandiri. Silaturahminya gak seerat orang-orang Indonesia, memang. Bagi gue pribadi yang cenderung sangat menghargai privasi dan urusan orang lain, itu jelas jadi keuntungan. Gue gak perlu ribet sama orang yang suka misuh-misuh akibat tindakan orang lain yang berseberangan. Gue juga gak perlu takut dijulidin atau dinyinyirin karena budaya itu mungkin gak akan berlaku keras seperti halnya di negara gue.

Untuk di Indonesia sendiri, mungkin karena memang budaya gotong royong atau kekeluargaannya yang begitu melekat, kita jadi merasa punya tanggung jawab untuk ngebantu setiap orang yang mungkin sedang ada masalah. Kita seperti punya tekanan sendiri untuk selalu ada buat siapapun yang membutuhkan teman. Ini gak salah. I totally agree, tapi sayangnya budaya itu harus merambah juga pada hal yang negatif dimana kita seakan gak memberi ruang untuk orang-orang yang membutuhkan privasi, karena semua hal dengan mudahnya bisa dicampuri.

Gue tau, kita mungkin merasa punya keluarga kedua, atau ketiga di beberapa tempat. Hal kayak gini sering banget gue temuin di organisasi-organisasi atau komunitas di kampus dan atau luar kampus. Namun jangan lupa juga bahwa kita masing-masing adalah individu. Ada banyak hal yang gak mesti semua orang tau, bahkan orangtua kita sendiri. Ada beberapa hal yang cukup jadi rahasia antara diri kita dan Tuhan. Menjadi individualis pun bukan selamanya mementingkan diri sendiri.

Bagi gue, memisahkan diri dengan melihat diri sendiri sebagai individu adalah tindakan menghargai individu lain yang punya privasi dan problema berbeda dengan gue. Punya kepentingan yang berbeda dari gue, dan punya kepribadiannya sendiri. Bukan hak gue untuk selalu mengomentari tindak tanduk dan pandangan individu yang berseberangan dengan gue, karena manusia hakikatnya memang berbeda satu sama lain. Kita yang harus menerima. Kita yang harus mendengarkan. Bukan kita yang asik nyinyir di belakang.

Satu hal yang mesti gue lurusin, gue gak sedang mengajak kalian untuk hidup menjadi apatis dan egois, nggak. Gue pun banyak belajar dari pengalaman, dimana gue pernah menjadi keduanya. Jadi orang yang egois, dan orang yang sosialis. Gue cuma pingin kalian tau bahwa peduli itu ada batasannya. Gak semua hal bisa kita peduliin, gak semua hal harus kita usik, karena masing-masing udah ada porsinya. Mana yang bisa di-handle sendiri dan mana hal yang bisa dilakukan bersama-sama. Peduli, berarti mau melibatkan diri dan bertindak proaktif dalam suatu persoalan. Peduli, berarti menjadi individu yang gak menutup mata dari kondisi apapun. Peduli, bukan menjadi individu yang senang ngurusin hidup orang lain dan sibuk memberi komentar atas apa yang begitu saja terlihat.

Basically we are all the same human beings with the same potential to be a good human being or a bad human being. The important thing is to realize the positive side and try to increase that; realize the negative side and try to reduce. That's the way.

Share
Tweet
Pin
Share
5 komentar

Pulang, selalu menjadi hujan di tengah kemarau 45 hari yang tak kunjung basah
Pulang, selalu menjadi penghangat di kala dingin tak berkesudahan
Pulang, selalu menjadi pengingat jitu untuk kembali menyetir di jalur yang benar
Pulang, selalu menjadi alarm yang tak bisa digubris untuk bangun memperjuangkan mimpi
Pulang, selalu menjadi penawar untuk hati yang kosong
Pulang, selalu menjadi obat untuk jiwa yang sedang mabuk
Pulang, selalu menjadi tanda bahwa jauh bisa memberi ragam cerita untuk manusia

Sedih, kalut, bahagia, rindu.. bahkan lebih dari ini.

Aku tak tahu mengapa tentang rumah selalu begitu hangat untuk dirindukan. Mungkin Tuhan ingin agar kita selalu ingat bahwa hidup ini adalah penantian..
dan pengantrian menuju rumah yang kekal.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Harusnya gue gak banyak cingcong disini, harusnya gue gak cuma merenung, harusnya gue inget lagi tujuan gue sebelum ini apa, harusnya gue tau apa yang mesti gue lakuin sekarang, langkah mana yang harus gue ambil. Harusnya gue do more, work harder, belajar tiga kali lipat lebih banyak dari orang-orang, harusnya gue gak menyesal dan ngabisin waktu dengan percuma, dan harusnya-harusnya yang lain. 

I know.

Lagi-lagi mungkin lo pada udah capek denger bacotan gue soal permasalahan hidup yang gak ada abisnya, yang terlalu typical buat dibicarain. Tp justru karena itu, saking typicalnya terkadang orang-orang gak sadar bahwa permasalahan hidup soal motivasi dan tujuan itu bener-bener gak bisa kita anggap remeh. Dan lagi, gue sedang mengalami fase itu.

Entah kenapa usia segini kayaknya rentan banget buat sedikit-sedikit mempertanyakan hidup, mempertanyakan eksistensi diri terhadap diri sendiri dan orang-orang di sekitar dalam rentang waktu yang sangat sebentar. Belum dua tiga bulan gue merasa bersemangat menjalani hidup, ketemu masalah-masalah baru lagi udah keok.

It shouldn't be me actually. Gue bukan tipe orang yang menganggap masalah tertentu sangat besar sejak gue sendiri dipertemukan dengan berbagai masalah yang kadarnya beda-beda. Dari soal akademik, percintaan, keluarga, pertemanan, dan organisasi. Buat yang udah baca blog gue sebelumnya tentang hidup itu penuh kebohongan, pasti tau prinsip gue ketika lagi merasa terpuruk dalam menghadapi masalah itu apa. "Selalu ingat bahwa setiap orang punya masalah yang lebih besar daripada gue, dan gue harus bersyukur dan ikhlas."

Tenang, gue masih menanamkan itu dalam diri gue. Tapi untuk saat ini, raga gue ragu. Ragu bahwa gue yang sekarang adalah gue yang sebenarnya. Gue merasa tau harus ngapain, tapi gue juga gak tau mesti gimana. Seandainya pikiran bisa keliatan dan terdeteksi waktu di-scan, mungkin kalau kepala gue dibelah yang keluar bukan otak, tapi pikiran ini itu yang amburadul.

Please jangan ceramahin gue bahwa gue harus bertindak, bahwa gue gak boleh stuck, bahwa gue harus usaha, harus inget lagi tujuan gue kuliah apa, perjuangan gue sebelum-sebelumnya gimana, bahwa gue harus inget lagi bahwa ini semua amanah dari Allah dan tanggung jawab yang harus gue emban, bahwa dunia ini hanya titipan, bahwa gue harus berjuang melawan diri sendiri, bahwa gue harus inget ucapan diri gue sendiri soal life is jihad. Seperti yang udh gue garis miringin di atas, gue sangat tau bahwa kebisuan dan kebodohan yang sedang gue lakukan sekarang ini sangat gak etis dan gak seharusnya dipertahanin. Gue cuma merasa butuh sesuatu yang bisa bikin gue menumpahkan semua hal yang ada di kepala ke dalam tulisan. Supaya ini bisa jadi reminder, gak cuma buat orang-orang, tapi utamanya buat diri gue sendiri, bahwa i've been there. We all are might feel the same way about crisis of life. Bahwa gue berkali-kali ada di situasi ini, dan berkali-kali merasakan hal yang sama.

Mungkin udah naturalnya manusia, yang namanya gak ada motivasi buat belajar, dan menjalani hari-hari seperti biasa seakan-akan udah jadi masalah ter-basic yang pasti aja terjadi. Gak cuma disitu, gue jadi teringat sesuatu setelah mencoba mundur beberapa hari ke belakang, tentang penilaian dan komentar orang-orang terhadap kita itu dampaknya bisa sangat mempengaruhi mood. Akhir-akhir ini, gue gak cuma merasa tertekan dengan diri gue sendiri yang terseok-seok buat mau kuliah, tapi juga merasa tertekan dengan omongan orang-orang di luar sana yang bisanya cuma kasih komentar berdasarkan kacamata pribadi.

Gue jadi mengerti, rupanya kehidupan dimana tindakan kita seperti dituntut harus sesuai dengan kacamata orang lain itu gak hanya dialami oleh influencer-influencer. Tapi sebagai orang normal, gue juga merasa demikian. Kenapa? Karena udah menjadi tabiat manusia untuk punya indra ketujuh dengan mengkotak-kotakan tindakan manusia lain yang gak sejalan dengan pandangannya. Seseorang di twitter bilang ke gue bahwa penilaian-penilaian itu udah pasti ada dan akan selalu ada, mau gak mau kita harus terima dan ngedengerin, karena gue sebagai manusia juga ya ujung-ujungnya pasti pernah melakukan hal yang sama. I did. Gue setuju. Gue juga seneng ngomentarin orang, tapi gue tau etika memberi penilaian dan mengomentari orang. Ketika gue tau bahwa penilaian gue sangat subjektif dan gak patut diomongin, gue akan diem. Gue malah lebih baik ngomongin hal-hal lain yang bisa bikin gue pinter, bisa ngebuka wawasan gue instead of ngomongin hasil pengamatan gue terhadap berbagai orang dan sebaliknya.

Tuhkan ngalor ngidul gini gue. Jadi, kesimpulannya apa?

Gue gatau. Namanya juga ngemeng sendiri. Mungkin agan-agan ada yang bisa menyimpulkan? Monggo.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

kenapa anak-anak Indonesia saat ini krisis moral?


Kepeningan gue minggu ini gak cuma disebabkan oleh tugas-tugas kuliah yang lumayan nguras tenaga dan pikiran, tapi juga dipersembahkan oleh sebuah thread di linimasa twitter seputar siswa korban pengeroyokan di salah satu pesantren yang berujung meregang nyawa setelah berhari-hari koma.

Setelah sebelumnya media sosial cukup geger sama video empat siswa SMP beserta bapak salah satu anak yang ngeroyok seorang petugas kebersihan di sekolahnya, dan video seorang siswa SMP yang ‘berani’ megang kerah gurunya sendiri, berita tentang kematian santri di Padang itu gak kalah miris kalau mengulik betapa rendahnya morality anak bangsa jaman sekarang. Tahun 2019 baru mau lewatin Februari, tapi kasus tentang kebodohan-kebodohan murid nowadays udah menuhin timeline kepolisian gue rasa. Ngeri, udah pasti. Miris. Gerah. Gak ngerti lagi sama etika dan moral manusia-manusia abad ini. Diri seorang guru aja udah gak ada harganya, apalagi nyawa, gue berani taruhan kalau orang-orang macem gini memberi label mahal pada harga diri sendiri dibanding nyawa orang lain.

Murid persekusi guru, murid tikam perut guru di kelasnya sendiri setelah dinasehati—camkan, dinasehati cuy—, murid pukul kepala guru pake kursi sekolah, murid keroyok guru, murid lapor guru gara-gara gak terima diceramahi, seorang santri korban bully dikeroyok teman satu asramanya hingga meninggal, adalah beberapa dari sekian kasus yang berhasil tercium media. Iya, kasus santri asal PonPes di Padang Panjang itu bukan kasus pertama yang terjadi dalam kurun waktu empat bulan. Masih di daerah Sumatera, kasus yang sama juga terjadi di salah satu Pondok Pesantren di Ogan Ilir, Palembang, dan pelakunya berusia kisaran 14 tahun.

Kasus-kasus itu bikin otak gue merembet kilas balik ke tahun sebelumnya, tentang kasus anggota the jack yang habis dikeroyok sampai meninggal sama bobotoh waktu dia mau nonton pertandingan antara persib lawan persija. Bunuh-membunuh kemudian bukan menjadi hal tabu di telinga gue. Isu sosial tentang nyawa yang seakan dianggap murah oleh orang-orang yang ‘kerasukan’ ini pada akhirnya bukan cuma terjadi di lingkungan sekolah, antara murid dan guru, junior atau senior, bahkan sesama teman sendiri, tapi juga terjadi di lingkungan masyarakat—so pasti. Dan bisa dipastikan faktor lingkungan masyarakat ini yang secara langsung memberi andil sangat besar terhadap krisis moral hingga di ranah pendidikan.

Sebelum gue lanjut, here’s some informations that i think we all need. Faktor-faktor yang bisa menjadi penyebab kerusakan moral di lingkungan sosial:
  1. Peran media massa dan perkembangan teknologi,
  2. Pendidikan di dalam keluarga,
  3. Pengaruh lingkungan,
  4. Perkembangan nalar tidak dimanfaatkan dengan baik atau bahkan tidak berkembang sama sekali,
  5. Hilangnya nilai-nilai kehidupan yang bisa diamalkan, seperti kejujuran dan rasa tanggung jawab, serta rendahnya disiplin,
  6. Tidak berpikir jauh kedepan,
  7. Memudarnya kualitas keimanan.
Gue jadi teringat ketika gue di sekolah dulu, yang namanya pendidikan karakter, etika, moral yang diajarin guru-guru disana masih berasa kerasnya sampai sekarang. Pernah beberapa kali gue ngalamin yang namanya kontak fisik ringan semacam dicubit, ditempeleng waktu kelas 4 SD gara-gara nggak bisa ngerjain soal matematika di papantulis, dilempar penghapus+spidol, sampai ditunjuk-tunjuk depan muka (ini masuknya verbal sih). Yash, gue anak yang lumayan bego dan bandel waktu itu. SMP lebih seringnya. Bukan karena ngelakuin hal-hal gak wajar dan terlarang, tapi karena gak ngerjain tugas, entah itu tugas yang ada di buku atau LKS. Alhasil gue beberapa kali dikeluarin dari kelas dan gak boleh ikut pelajaran yang bersangkutan sama sekali selama satu minggu itu. Mostly cuma di pelajaran IPA sih, that’s why kalo di matpel Bahasa guru-guru gue gak percaya sebadung itu Aina ini sampe berani gak nyentuh buku sama sekali. Oke, lanjut. Anehnya gue gak merasa ditindas sama sekali. Malahan gak kepikiran yang namanya lapor ke polisi hanya untuk balas dendam—yang secara nalar itu semua justru karena ulah gue sendiri. Jangankan lapor ke polisi, ngadu ke orangtua aja kagak. Bisa-bisa gue sendiri yang justru kena marah emak babeh.

Selain pengalaman pribadi, gue juga sering banget dapet cerita dari tante gue tentang gimana killernya guru-guru dia di sekolah. Ketauan melamun dikit, lempar penghapus yang segede gaban, atau nggak disuruh diem di depan kelas, nerangin pelajaran. Malunya udah setengah mati. Bener-bener gak kebayang kalau sistem pengajaran di sekolah-sekolah sekarang masih keras kayak dulu. Gue rasa laporan di polisi penuh sama murid-murid yang merasa diinjak-injak dan tidak terima dengan perlakuan gurunya.

Kalau dipikir-pikir, kurang baik apa guru-guru jaman sekarang. Kenapa mental kita harus terbiasa dengan istilah semakin dibaikin maka semakin ngerunjak? Lo cuma dinasehatin men, dikasih tau mana yang baik dan buruk—padahal kalau untuk merokok di dalam kelas menurut gue anak SD juga udah paham perbuatan itu salah, tapi nyatanya masih ada siswa yang bahkan belum paham bagaimana menghargai orang yang lebih tua, menghormati guru. Apa karena lagu hormati gurumu sayangi teman udah hilang ditelan bumi, jadinya anak-anak jaman sekarang nggak kenal yang namanya moral dan attitude?

Kalau melihat secara general, memang, usia remaja itu paling rentan nggak bisa mengontrol emosi atau perasaannya, jiwa mereka masih labil, masih menggebu-gebu dan cenderung egois, hanya peduli dengan emosional diri sendiri, tapi itu tidak berarti mereka belum tau mana yang baik dan buruk. Usia remaja cenderung melakukan sesuatu karena keinginannya, terlepas dari perbuatan yang dia lakukan itu salah atau benar, yang mereka tau mereka bisa menentukan sendiri mana langkah yang ingin diambil. Dan hal-hal yang mendorong keinginan untuk memilih atau berbuat sesuatu yang salah itu ada di faktor-faktor yang udah gue sebutin di atas.

Globalisasi, as we all know, jadi biang kerok dari menurunnya morality generasi muda sekarang ini. Media sosial, terutama. Sebuah platform dimana orang-orang bisa sesuka hati mendapatkan apa yang mereka mau, dan selebihnya bisa dengan mudah diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, but in negative ways. Dari penggunaan smartphone dan media sosial, peran orangtua bisa sangat sangat berperan untuk membentuk karakter anak mereka di lingkungan sekitar. Gue gak perlu ngejelasin lagi kalau sekarang anak kelas 3 SD juga banyak yang bawa gawai ke sekolah. Seringkali anak-anak muda yang labil dan bener-bener clueless soal etika ini justru kurang mendapat pengawasan dari orangtua mereka.

Para orangtua seperti belum sadar betul bahwa teknologi ini ibarat penyakit, virus yang bisa kapan saja hinggap di badan anaknya. Gak cuma soal pengawasan, pendidikan yang dibentuk dalam keluarga itu sendiri memberi pengaruh besar terhadap sikap sang anak. Ketika ada seorang siswa yang bersikap tidak sopan dan semena-mena kepada gurunya, maka bisa dipastikan ada yang salah dari sistem pembentukan karakter di keluarga mereka. Entah karena masalah broken home, situasi rumah yang kurang harmonis, atau orangtua yang sama-sama sibuk bekerja sampai gak ada waktu untuk anak mereka. Sehingga apa yang mereka bawa ke sekolah itu murni hasil dari yang dia dapatkan selama di rumah.

Tapi, gue harus akui, kondisi ini gak melulu diakibatkan dari lingkungan keluarga. Ada yang didikannya keras, tapi anaknya jadi kebawa keras. Ada juga yang keluarganya religius, tapi si anak bertindak berseberangan. Biasanya hal itu disebabkan oleh lingkungan sosial. Lingkar pertemanan yang dipilih nggak membantu dia untuk mengamalkan apa yang diajarkan orangtua dan guru di sekolah. Sisanya seperti yang gue sebutkan, nilai-nilai kehidupan terkait rasa peduli, tanggung jawab, kejujuran dan kedisiplinan menjadi timpang, yang dengan munculnya hal tersebut jadi bisa mempengaruhi perkembangan nalar si anak. Seiring dengan tingkat intelektualitas yang semakin tinggi, maka seharusnya kemampuan untuk berpikir kedepan, dan menimbang segala konsekuensi atas sikap yang ditunjukannya menjadi lebih besar. Sayangnya, rata-rata siswa yang di ambang batas itu kurang baik dalam mengelola perkembangan nalar mereka.

Jadi, apa dong yang mesti diubah?

Setiap kali kita bikin rumusan masalah, yang jadi jawaban pasti adalah tujuan dari mengapa rumusan masalah itu dibuat. Menurut gue, beberapa aspek yang gue sebutkan tadi sudah cukup menjadi jawaban bahwa itulah yang sedang menjadi krisis dalam pendidikan karakter anak bangsa. Artinya ranah itu yang bisa kita gali, yang bisa kita perbaiki. Dimulai dari pembenahan pada sistem pendidikan karakter di dalam lingkungan keluarga, ruang lingkup pertemanan atau pengaruh masyarakat, penggunaan smartphone, dan perubahan pola pikir remaja yang mesti selalu diarahkan. Bagaimana siswa ini mampu memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan baik, memperluas wawasan dan pengetahuan dalam ranah ilmu pengetahuan dan kehidupan sosial.

Melihat dari kasus yang baru-baru ini viral, gue pikir orangtua lah yang harus bertanggung jawab mendidik anaknya, bukan cuma apa-apa menyalahkan guru yang ada di sekolah. Pola pikir orangtua yang terlalu memanjakan anaknya harus berhenti menganggap bahwa sekolah itu tempat penitipan anak, karena sama sekali bukan. Sekolah bukan tempat dimana lo numpang membesarkan anak dan cuma diempanin materi pelajaran, setelah itu gak tau akan jadi apa anaknya nanti ketika bersosialisasi di lingkungan sosial. Sekolah itu tempat mencari ilmu, sebuah sarana dimana anak dituntut untuk memiliki moral dan etika yang tidak menyimpang, tempat mereka dibina dan didik.

Ketika mereka melakukan kesalahan, guru yang berhak menegur dan memperbaiki. Dan ketika anak mengadu kepada orangtua mereka terkait beberapa treatment pendidikan yang diberlakukan di sekolah, maka orangtua harus memberikan pengertian dan pendidikan tambahan yang semestinya di dalam keluarga. Kalau salah, ya salah. Kalau gurunya yang salah, ya bantu ingetin. Bukan asal main keroyok, atau lapor atas isu penganiayaan. Padahal salahnya sendiri kalau si anak gak bisa kooperatif dengan lingkungan dan norma-norma sosial di sekitarnya. 

Anyway, gue baru aja baca-baca soal pendidikan karakter, etika, moral, dan budi pekerti di sekolah. Sebenarnya semua hal yang menyangkut pendidikan sikap itu udah ada dari kapan tau. Hampir keseluruhan ada di setiap mata pelajaran yang ada di sekolah. Hanya saja kebanyakan apa yang disampaikan masih berupa pengenalan nilai-nilai atau norma, belum secara optimal menyentuh tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Intinya, pendidikan moral itu penting untuk memupuk sikap siswa agar menjadi pribadi yang tidak buta tata krama dan sopan santun. Dalam hal ini, gue jadi merasa setuju dengan senioritas secara general. Yang namanya menghormati dan menghargai seseorang yang lebih tua atau lebih tinggi dudukannya di atas kita adalah sebuah wujud dari etika yang mencerminkan moralitas bangsa.

Ini gue udah kayak nulis makalah daritadi, gak sadar udah 1600 lebih kata bray. Ada yang menyadari sesuatu gak? Atau menyadari ada yang kurang, gitu? Yep.

In the end, pendidikan agama lah fondasi yang teramat penting dan perlu untuk terus diberikan kepada anak-anak sejak dini, agar ketika mereka kehilangan arah, ada batasan yang bisa dihindari, ada hati yang bisa dijadikan pegangan. Islam, kristen, katolik, hindu, buddha. Terlepas dari pandangan masing-masing penganutnya, gue percaya semuanya mengajarkan kebaikan, dan menjadi pijakan dalam setiap tutur kata dan perbuatan penganutnya.

Akhir kata, gue ingin mengungkapkan rasa terimakasih dan syukur gue karena besar dan lahir di dalam keluarga yang cukup keras didikannya. Entah itu secara sosial atau agama. Berkaca pada segala problema yang gue alami sampai detik ini, mungkin gue udah jadi anak nakal dan brandal andai kata fondasi itu gak gue dapatkan sepanjang proses gue hidup.

Walaupun gak mungkin, karena mengingat dunia yang udah makin tua, tapi gak ada salahnya berharap. Semoga Indonesia bisa bangkit dari krisis moral. Aamiin.
Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar

Bukti permasalahan akan sistem pendidikan di Indonesia

Tulisan ini seharusnya udah nangkring dari sebulan yang lalu, tapi akibat berbagai kesibukan dan kemalasan (again), akhirnya baru bisa gue publish sekarang. Berhubung hampir satu bulan kemarin pikiran gue seakan dicekokin dengan isu tentang pendidikan, keinginan untuk punya bahasan soal ini akhirnya terpecahkan.

Bicara soal pendidikan, jelas gue bukan satu-satunya orang yang langsung berpikir bahwa hal itu ibarat fondasi dan sangat sangat penting dalam kehidupan kita, walaupun setiap orang punya ukuran tersendiri tentang seberapa penting persentase pendidikan dalam hidup mereka. Apakah hanya untuk dapetin ijazah atau bener-bener ingin jadi orang yang berpendidikan? Who knows. Tetapi kalau kita bicara soal pendidikan di Indonesia, satu hal yang muncul di kepala gue adalah, kompleks. Kenapa? Karena saking banyaknya permasalahan yang ada terkait isu pendidikan. Mungkin beberapa dari kalian, begitupun gue, cuma tahu soal pendidikan yang kurang merata, pendidikan yang stuck di tempat walau anggaran mencapai lebih dari 400 triliun rupiah, kualitas pendidikan yang tertinggal 128 tahun dari negara lain, dan pendidikan yang seperti tidak berjalan seimbang dengan infrastruktur. Kenyataannya, permasalahan kita lebih dari itu.

Pada tanggal 21 – 25 Januari kemarin, gue baru saja mengikuti kegiatan PengMas atau pengabdian kepada masyarakat di daerah Parongpong, Lembang yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa di jurusan gue. Selama lima hari disana, ada banyak hal baru yang gue temukan seputar kehidupan masyarakat di daerah terpencil. Gue serasa diingatkan dengan sebuah artikel yang pernah gue baca di majalah digital online asal Australia, Inside Indonesia, tentang sudut pandang seorang ahli epidemiologi, penulis, dan petualang Elizabeth Pisani yang memilih cuti dari pekerjaannya pada akhir tahun 2011 untuk berpetualang di Indonesia, dan sampai saat ini telah melewati puluhan pulau di 27 provinsi. A Nation of Dunces merupakan salah satu hasil pengamatannya dalam isu pendidikan selama ia berada di pulau-pulau terpencil di Indonesia, dan artikel ini diterbitkan sekitar tahun 2013, yah, waktu yang sangat lama untuk gue baru menemukan situs ini di tahun 2018 kemarin, like, you need five years to know this kind of thing is existed! Buat yang pingin baca, gue taruh linknya di bawah, yep.

Pengalamannya selama tinggal di sebuah desa di Sulawesi Tengah, Palu, membawa Elizabeth pada keprihatinan dan kekhawatiran ketika melihat bagaimana sistem pendidikan Indonesia berjalan. Dari mulai sistem pengajaran termasuk komponen-komponen di dalamnya, sarana dan prasarana, dan sebagainya. Dari masyarakat pedesaan, pengajar, siswa, sampai berakhir di tangan pemerintah sendiri. Ternyata tanpa kita sadari, masih sangat banyak masyarakat disana yang buta huruf, dan gak ada sama sekali kesadaran dan kemauan untuk setidaknya bisa membaca. Gak cuma itu, mereka benar-benar bergantung dengan yang namanya kalkulator, bahkan hanya untuk penghitungan yang bagi kita selama ini mungkin udah ada di luar kepala sekalipun.

Elizabeth was sitting at ‘warung’, waiting to pay for her coffee. Two coffees, in fact, and two cakes. The warung owner whips out a calculator and starts to punch numbers into it: 2000 + 2000 + 1000 + 1000 = 6000. She gave him a 10.000 rupiah note. ‘Clear’, he punches. Then 10.000 - 6000 = 4000, and he counts out two 2000 rupiah notes and gives Eli her change. Meanwhile, other clients wait for their coffee. Is it really possible that he can’t do these sums in his head?

See?
Situasi lain yang juga berhasil bikin gue miris adalah ketika Elizabeth tinggal di salah satu rumah warga, dimana pemilik rumah tersebut adalah seorang guru. Yang beliau tahu, sekolah di Indonesia rata-rata masuk pukul 07.00 pagi, tapi saat itu ibu pemilik rumah bahkan belum siap-siap untuk berangkat ke sekolah dan masih sibuk di dapur. Elizabeth ini merasa, mungkin itu salahnya karena dia udah mengganggu kenyamanan dan ketenangan keluarga tersebut selama tinggal di rumah. Oleh karena itu dia inisiatif bertanya tentang jam berapa sekolah mulai KBM, tapi jawaban ibu tersebut justru berbanding terbalik dengan kehusnudzonannya. Intinya secara nggak langsung ibu bilang walaupun sekolah dimulai pukul 7 pagi, gak masalah kalau dia datang terlambat. Dan karena dari sekian guru yang biasa dateng cuma seperempatnya, bahkan kurang, maka sudah biasa kalau dia gak datang tepat waktu, murid-muridnya pasti bisa memaklumi. Elizabeth kemudian ikut ibu ke sekolah untuk bantu ngajar bahasa Inggris, dia kebagian kelas empat dan enam. Sementara ibu ngajar di kelas peganggannya, yaitu kelas satu. 

Terus gimana sama kelas dua, tiga, dan lima? Murid-murid yang usianya kisaran 7, 8 sampai 10 itu dikasih instruksi untuk masuk ke kelas mereka, ngerjain sesuatu lewat buku ajar, dan disuruh nunggu sampe guru mereka datang. Tapi pada kenyataannya, gak ada satupun guru yang terlihat mengajar atau datang ke sekolah, kecuali ibu.

Jadi, di sekolah tersebut satu guru biasa megang dua atau tiga kelas. Bukan karena jumlah pengajarnya kurang, tapi karena dari sekian guru, hanya sedikit yang bela-belain datang ke sekolah untuk mendidik anak-anak di desa tersebut. Situasi ini kembali mengingatkan gue dengan kondisi sekolah di daerah perbatasan, Entikong, Kalimantan Barat. Walaupun gue gak lolos seleksi tahap II untuk jadi volunteer di kegiatan PengMas disana, tapi sedikit banyaknya gue dapet cukup informasi lewat media sosial Beasiswa 10000. Sama sekali gak berbeda jauh, bahkan situasi di Entikong lebih parah. Pada satu sekolah, bisa dipastikan hanya ada dua guru yang mengajar dan beliau-beliau ini harus membagi antara kelas 1-3 dan kelas 4-6, tentu, dengan gaji yang ala kadarnya.

Iya lah, apa sih yang lo harapkan dari ngajar di suatu daerah perbatasan dan terpencil yang sama sekali gak mendapat perhatian pemerintah?

Kembali ke topik soal jumlah pengajar yang kasarnya udah sedikit, tapi justru gak semua dari mereka bersedia mengabdi untuk pendidikan. Cukup miris kalau ingat apa sebenarnya tujuan mereka jadi guru. Apa cuma untuk dapet jabatan dan supaya gak diledek sebagai pengangguran? Kalau gue sih kayaknya lebih milih jadi pengangguran dibanding punya profesi guru, tapi justru gak berkontribusi apa-apa di dalamnya. Dan ini juga yang sebenarnya jadi masalah cukup serius. Ada banyak orang yang kuliah untuk jadi guru, tapi justru nggak niat jadi guru. Mereka hanya mengandalkan profesi dan jabatan, akibat label PNS yang menggiurkan. Akhirnya yang bisa dihasilkan hanyalah dateng ke sekolah seminggu sekali tanpa memberi pengajaran apapun, alias cuma kasih materi yang ada di buku, terus siswa-siswanya disuruh nyalin, deh. Gak heran kalau masih ada masyarakat yang ngitung 2000 + 2000 + 1000 + 1000 aja masih pake kalkulator.

Tapi sih, usut punya usut, para pengajar yang gak dateng ke sekolah itu bertindak bukan tanpa alasan, tapi karena memang bantuan dan kepedulian dari pemerintah disana dirasa sangat kurang, seperti yang udah gue sebut-sebut sebelumnya. Segala fasilitas baik untuk pengajar dan siswa, serta tunjangan tidak begitu diperhatikan, padahal banyak dari mereka yang jarak antara rumah dan sekolah cukup jauh. Jadi, yang dituntut untuk berjuang bukan hanya murid, tetapi juga pengajar itu sendiri.

Situasi-situasi kayak gitu lagi-lagi gak jauh berbeda dengan apa yang gue alami ketika PengMas kemarin. Di SDN Tunas Karya, satu kelas dari setiap angkatannya rata-rata cuma ada 16 – 20 murid. Ketika gue tanya sama salah satu guru kenapa hanya sedikit siswa yang dateng ke sekolah tersebut, beliau bilang kalau orangtua anak-anak di sana ternyata masih kurang peduli akan pentingnya pendidikan. Di antara mereka masih ada yang berpikir, kalau wong cilik, wong deso ya jadi wong ndeso aja, gak perlu sekolah tinggi-tinggi, apalagi perempuan. Mereka lebih sering menyuruh anak-anak mereka untuk ngurus hewan ternak, ngasuh adik, atau ikut berkebun dan berjualan. Karena itu juga akhirnya guru-guru disana yang harus turun tangan dari rumah ke rumah untuk memberi pengertian kepada setiap orangtua supaya mau menyekolahkan anaknya. Gue yang awalnya suudzon sama guru-guru yang nggak datang ke sekolah dan cuma mengandalkan jabatan itu agak terketuk karena ternyata masih ada juga yang peduli dengan murid-muridnya, terkhusus dengan kondisi yang memprihatinkan tentang masyarakat yang kurang memperhatikan pendidikan anak mereka di saat situasi udah meng-global seperti sekarang. Terus beliau juga cerita, kalau total pengajar di SD tersebut ada 8 orang, tapi yang biasa dateng cuma setengahnya, maksimal lima. Most of them juga rumahnya cukup jauh dari sekolah. Again.

Setelah gue pikir-pikir, sebenarnya semua masalah saling berkaitan. Gak cuma tertumpu pada pemerintah, serta para birokrat yang cuma mengejar jabatan dan lupa pekerjaan, tapi juga terletak pada tingkat kesadaran masyarakat terhadap pendidikan yang rupanya masih belum merata sempurna. Situasi ini udah kelewat memprihatinkan, apalagi kalau melihat bahwa kita udah bukan tinggal di era 60-an dimana nggak sekolah karena sekolah jauh dan sulit itu masih suatu kewajaran. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, jantungnya masalah itu ada di akar. Akar dari sebuah tindakan itu ada pada pemikiran, bukan? Dan ini yang harus ditanam pada masyarakat pedesaan yang kurang peduli akan pendidikan. Supaya anak-anak mereka gak tumbuh jadi pribadi yang apatis dan nggak mewarisi kebobrokan orang-orang di birokrat.

Omong-omong, gue bukan mau sok idealis. Gue juga gak bener-bener amat jadi orang. Lempeng aja. Gue cuma percaya bahwa sesuatu yang buruk itu bisa diubah, bisa dipoles, karena gue peduli dengan kondisi lingkungan dan masyarakat gue bertahun-tahun yang akan datang. Gue gak mau tinggal di suatu negara yang stuck, karena masyarakatnya cukup setia dengan label negara berkembang, yang sebenarnya gak berkembang-berkembang amat. Gue juga gak mau negara gue dicap gagal padahal kita terlalu besar untuk itu, hanya karena terlalu banyak guru, tetapi terlalu sedikit yang diajarkan.

There is as yet no system for rewarding people who work harder, who teach better, who inspire kids to think, to explore, to develop their potential.

Mengutip dari artikel tersebut, menurut gue negara kita memang masih belum sadar betul bahwa yang namanya timbal balik dan penghargaan itu dibutuhkan dalam suatu pekerjaan. Bukan, gak melulu harus tentang gaji. It's not aall about money. Gue yakin ada yang lebih membahagiakan dari sekadar memberi tunjangan atau gaji yang naiknya gak seberapa. Ada perkara yang lebih besar dari itu. Kalau gue boleh sedikit puitis, contohnya menunduk ke bawah, melupakan sejenak kerusuhan yang dibuat orang-orang tamak di depan sana, dan menyadari bahwa kita kelak akan tua. Ada wajah-wajah baru yang harus menelan kepahitan karena kita. Ada semangat baru yang harus menyongsong bumi pertiwi. Minimal peduli aja dengan masa depan anak-anak bangsa, gue rasa dengan itu udah jadi semangat untuk guru-guru di daerah pedalaman sana yang hopeless dengan kondisi pendidikan mereka.

Karena tanpa disadari, akhir-akhir ini kita itu terlalu sibuk cuap-cuap soal presiden, pemerintahan sekarang, orang-orang yang tahu hukum saling sindir dan lapor akibat ucapan mereka sendiri, seakan-akan hanya itu permasalahan negara. Asal kalian tau aja, orang-orang yang tinggal di desa terpencil sana mana peduli sama pemilu. Gak sedikit dari mereka yang nggak kenal sama salah satu paslon, atau keduanya, atau bahkan pemimpin mereka yang sekarang. Yang mereka tahu, mereka cuma harus berjuang tiap hari buat makan, melangsungkan hidup. Yang mereka harap cuma pemerintah yang lebih maju, yang nggak cuma cuap-cuap pas lagi kampanye, yang gak cuma ngomong depan kamera selayaknya artis.

Akhir kata, gue harap pemerintahan yang baru nantinya bisa lebih aware dengan kondisi pendidikan, alias gak cuma bangun ini itu hanya supaya bisa bersaing dengan negara lain. Jumlah dan kualitas pengajar di setiap desa baik di daerah-daerah terpencil atau perbatasan bisa sama rata, tentunya dengan penghasilan dan tunjangan yang lebih baik. Gue harap juga kualitas pengajaran yang diberikan bisa sesuai dengan keadaan jaman sekarang dimana para siswa dituntut untuk berpikir lebih kreatif dan inovatif, jadi problem solver dari sejak dini dan gak melulu dikasih ceramah sama guru. Gue rasa akan lebih membanggakan kalau anak-anak muda kita yang justru nangkring di deretan universitas-universitas bergengsi di luar negeri, atau kompetisi-kompetisi bertaraf Internasional dengan segudang prestasi mereka. Apalagi kalau di dalamnya diisi oleh mereka-mereka yang datang dari pedalaman, yang selama ini gak mendapat pendidikan setaraf dengan mereka yang tinggal di perkotaan. Terharu gue ngebayanginnya:') Semakin terharu kalau ngebayangin tentang negara gue yang, sayang, terlalu besar untuk gagal. Sekian.

Link:
http://www.insideindonesia.org/a-nation-of-dunces





Share
Tweet
Pin
Share
3 komentar
Newer Posts
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Bukan Salah Indonesia
  • Childfree yang Diperdebatkan
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Just Listen
  • Terlalu Besar Untuk Gagal

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

My Podcast

Newsletter

Get new posts by email:

Popular Posts This Week

  • Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
  • Just Listen
  • Bukan Salah Indonesia
  • 36 Questions Movie Tag
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Di Balik Angkasa
  • Goodbye Wasteful Life, Welcome Minimalism
  • Generasi Hobi Bercanda
  • Menjadi Individu
  • Luka Dalam Lentera

Blog Archive

  • ▼  2024 (2)
    • ▼  Oktober 2024 (1)
      • Posture Perfect: How Wearing a Waist Trainer Can I...
    • ►  Agustus 2024 (1)
  • ►  2023 (1)
    • ►  Februari 2023 (1)
  • ►  2022 (9)
    • ►  November 2022 (1)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (1)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  Maret 2022 (2)
    • ►  Februari 2022 (2)
  • ►  2021 (30)
    • ►  Desember 2021 (1)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  Juli 2021 (3)
    • ►  Juni 2021 (2)
    • ►  Mei 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  Maret 2021 (5)
    • ►  Februari 2021 (1)
    • ►  Januari 2021 (5)
  • ►  2020 (46)
    • ►  Desember 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  Oktober 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (10)
    • ►  Juli 2020 (8)
    • ►  Juni 2020 (4)
    • ►  Mei 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  Desember 2019 (3)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Agustus 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Februari 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Pengikut

Categories and Tags

Intermeso Krisis 1/4 Abad Opini Perempuan Podcast Poetry Review Thoughts digital marketing karir lifestyle slice of life

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.