Sedang Asbun

by - Maret 29, 2019


Harusnya gue gak banyak cingcong disini, harusnya gue gak cuma merenung, harusnya gue inget lagi tujuan gue sebelum ini apa, harusnya gue tau apa yang mesti gue lakuin sekarang, langkah mana yang harus gue ambil. Harusnya gue do more, work harder, belajar tiga kali lipat lebih banyak dari orang-orang, harusnya gue gak menyesal dan ngabisin waktu dengan percuma, dan harusnya-harusnya yang lain. 

I know.

Lagi-lagi mungkin lo pada udah capek denger bacotan gue soal permasalahan hidup yang gak ada abisnya, yang terlalu typical buat dibicarain. Tp justru karena itu, saking typicalnya terkadang orang-orang gak sadar bahwa permasalahan hidup soal motivasi dan tujuan itu bener-bener gak bisa kita anggap remeh. Dan lagi, gue sedang mengalami fase itu.

Entah kenapa usia segini kayaknya rentan banget buat sedikit-sedikit mempertanyakan hidup, mempertanyakan eksistensi diri terhadap diri sendiri dan orang-orang di sekitar dalam rentang waktu yang sangat sebentar. Belum dua tiga bulan gue merasa bersemangat menjalani hidup, ketemu masalah-masalah baru lagi udah keok.

It shouldn't be me actually. Gue bukan tipe orang yang menganggap masalah tertentu sangat besar sejak gue sendiri dipertemukan dengan berbagai masalah yang kadarnya beda-beda. Dari soal akademik, percintaan, keluarga, pertemanan, dan organisasi. Buat yang udah baca blog gue sebelumnya tentang hidup itu penuh kebohongan, pasti tau prinsip gue ketika lagi merasa terpuruk dalam menghadapi masalah itu apa. "Selalu ingat bahwa setiap orang punya masalah yang lebih besar daripada gue, dan gue harus bersyukur dan ikhlas."

Tenang, gue masih menanamkan itu dalam diri gue. Tapi untuk saat ini, raga gue ragu. Ragu bahwa gue yang sekarang adalah gue yang sebenarnya. Gue merasa tau harus ngapain, tapi gue juga gak tau mesti gimana. Seandainya pikiran bisa keliatan dan terdeteksi waktu di-scan, mungkin kalau kepala gue dibelah yang keluar bukan otak, tapi pikiran ini itu yang amburadul.

Please jangan ceramahin gue bahwa gue harus bertindak, bahwa gue gak boleh stuck, bahwa gue harus usaha, harus inget lagi tujuan gue kuliah apa, perjuangan gue sebelum-sebelumnya gimana, bahwa gue harus inget lagi bahwa ini semua amanah dari Allah dan tanggung jawab yang harus gue emban, bahwa dunia ini hanya titipan, bahwa gue harus berjuang melawan diri sendiri, bahwa gue harus inget ucapan diri gue sendiri soal life is jihad. Seperti yang udh gue garis miringin di atas, gue sangat tau bahwa kebisuan dan kebodohan yang sedang gue lakukan sekarang ini sangat gak etis dan gak seharusnya dipertahanin. Gue cuma merasa butuh sesuatu yang bisa bikin gue menumpahkan semua hal yang ada di kepala ke dalam tulisan. Supaya ini bisa jadi reminder, gak cuma buat orang-orang, tapi utamanya buat diri gue sendiri, bahwa i've been there. We all are might feel the same way about crisis of life. Bahwa gue berkali-kali ada di situasi ini, dan berkali-kali merasakan hal yang sama.

Mungkin udah naturalnya manusia, yang namanya gak ada motivasi buat belajar, dan menjalani hari-hari seperti biasa seakan-akan udah jadi masalah ter-basic yang pasti aja terjadi. Gak cuma disitu, gue jadi teringat sesuatu setelah mencoba mundur beberapa hari ke belakang, tentang penilaian dan komentar orang-orang terhadap kita itu dampaknya bisa sangat mempengaruhi mood. Akhir-akhir ini, gue gak cuma merasa tertekan dengan diri gue sendiri yang terseok-seok buat mau kuliah, tapi juga merasa tertekan dengan omongan orang-orang di luar sana yang bisanya cuma kasih komentar berdasarkan kacamata pribadi.

Gue jadi mengerti, rupanya kehidupan dimana tindakan kita seperti dituntut harus sesuai dengan kacamata orang lain itu gak hanya dialami oleh influencer-influencer. Tapi sebagai orang normal, gue juga merasa demikian. Kenapa? Karena udah menjadi tabiat manusia untuk punya indra ketujuh dengan mengkotak-kotakan tindakan manusia lain yang gak sejalan dengan pandangannya. Seseorang di twitter bilang ke gue bahwa penilaian-penilaian itu udah pasti ada dan akan selalu ada, mau gak mau kita harus terima dan ngedengerin, karena gue sebagai manusia juga ya ujung-ujungnya pasti pernah melakukan hal yang sama. I did. Gue setuju. Gue juga seneng ngomentarin orang, tapi gue tau etika memberi penilaian dan mengomentari orang. Ketika gue tau bahwa penilaian gue sangat subjektif dan gak patut diomongin, gue akan diem. Gue malah lebih baik ngomongin hal-hal lain yang bisa bikin gue pinter, bisa ngebuka wawasan gue instead of ngomongin hasil pengamatan gue terhadap berbagai orang dan sebaliknya.

Tuhkan ngalor ngidul gini gue. Jadi, kesimpulannya apa?

Gue gatau. Namanya juga ngemeng sendiri. Mungkin agan-agan ada yang bisa menyimpulkan? Monggo.

You May Also Like

0 komentar