Diberdayakan oleh Blogger.
  • Home
  • About
  • Lifestyle
  • Personal
    • Opini
    • Thoughts
    • Slice of Life
    • Poetry
    • Intermeso
  • Podcast
  • Review
instagram LinkedIn Spotify YouTube Email

Notes of Little Sister



Childfree yang Diperdebatkan

Belum lama ini ramai fenomena gaya hidup tanpa-anak a.k.a childfree/childless menghiasi linimasa media sosial. Saya yang sudah mendengar konsep ini wara wiri sejak beberapa waktu lamanya, agak tergelitik ketika mengetahui fakta bahwa yang membuat isu ini menjadi trending adalah netizen yang bukan penganut childfree yang seolah kebakaran jenggot ketika menemukan prinsip yang bertentangan dengan kebanyakan orang (kedepannya saya akan gunakan kata childless karena preferensi pribadi).
Padahal, sudah cukup lama dan seringnya influencer Gitasav yang mengangkat isu ini bicara tentang pilihannya untuk childless. Yah, memang kenyataannya pro-kontra akan selalu ada, sih. Terlebih untuk negara kita yang mayoritas muslim konservatif, pemikiran-yang-dianggap tabu sebab datang dari negara barat nggak ubahnya ibarat pemahaman anak SD yang mentah dan seakan-akan nggak lolos "sertifikasi" ketika masuk ke Indonesia.
Sama seperti isu feminisme yang dianggap melekat dengan embel-embel LGBT, kita pikir paham ini hanya berlaku untuk para non-binari yang kehilangan haknya dalam bermasyarakat di segala aspek kehidupan. Padahal, feminisme jelas datang sebagai penyelamat bagi kawan-kawan puan yang tertindas dan mendapat perlakuan nggak adil berdasarkan budaya misoginis dan sistem patriarki yang dianut sebagian besar bangsa-bangsa di dunia. Hak-hak untuk mendapat keadilan dalam lingkup politik, pendidikan, pekerjaan, sosial dan masyarakat itulah yang menjadi tujuan mereka sesungguhnya. Namun ibarat peribahasa nila setitik rusak susu sebelanga, beberapa kelompok seakan menihilkan mimpi besar ini.
Mungkin mereka lupa, R.A Kartini juga bagian dari pergerakan feminisme, yang sering kita bungkus dengan istilah emansipasi. Begitu pun dengan konsep childless. Kelompok-kelompok penentang ini bersikukuh bahwa gaya hidup tanpa-anak hanyalah trend atau gaya-gayaan orang luar negeri saja yang memang malas nggak mau punya anak. Padahal tentu kenyataannya nggak semudah seperti apa yang dibayangkan. 
Lagi-lagi sebagaimana childless adalah konsep pemikiran yang dianggap melenceng, orang-orang yang memiliki prinsip yang berbeda ini juga dapat dengan mudahnya dicap nggak cukup Islami oleh beberapa kalangan.
"Halah darimana itu pemikiran! Jelas-jelas jadi orangtua itu ibadah untuk mendapat ridho Allah."
"Kasihan satu amalan jariyahnya terputus."
"Perempuan kok melawan kodrat. Punya rahim tuh ya dimanfaatkan. Nggak kasihan apa sama perempuan lain yang pingin punya anak tapi nggak bisa? Respek dong!"
"Jangan menikah kalau takut punya anak. Apalagi ketakutan gara-gara lingkungannya gak cukup nyaman untuk ditinggali. Kalau begitu Anda nggak percaya sama Tuhan."
Dan masih banyak lagi.
Rasa-rasanya nggak habis manusia dicekoki beragam tekanan yang datang dari sesamanya sendiri. Belum menikah, disuruh cepat menikah. Ketika sudah menikah, seolah dipaksa untuk memiliki anak—walaupun itu bukan satu-satunya tujuan setiap pasangan dalam pernikahan. Seakan-akan kalau nggak memiliki anak adalah dosa besar yang bisa menimpa seisi dunia. Padahal agama Islam sendiri agama yang rahmatan lil 'alamin. Manusia diberi akal agar mereka bisa berpikir dan memilih sendiri jalan yang menurutnya baik dan benar—meskipun pada akhirnya pilihan kita yang barangkali menentukan takdir kedepannya yang memang sudah Allah tetapkan di Lauhul Mahfudz.
Kita diberikan kebebasan untuk menentukan mana yang baik dan nggak untuk diri kita sendiri berdasarkan berbagai pertimbangan. Memang semua ada hisabnya, baik memiliki anak atau nggak. Namun kenapa pula, sih, situ yang panik ngurusin hisab (pertanggungjawaban) orang lain? Pilihan kita tanggung jawab masing-masing, kok.
Daripada sibuk mengkonfrontasi prinsip hidup pasangan-pasangan anti-mainstream ini, lebih baik bantu tingkatkan kesadaran di lingkungan sekitarnya soal keadaan bumi yang semakin kesini semakin rusak ditinggali manusia-manusia serakah. Supaya kehidupan anak cucu kita bisa sejahtera. Itu termasuk menjalankan ibadah dan tugas sebagai orangtua, bukan?
Konfrontasi yang bermunculan di publik ini alhasil hanya menimbulkan kebencian dan permusuhan antar sesama komunitas muslim itu sendiri—sesuatu yang jelas nggak merepresentasikan agama yang penuh kedamaian dan toleransi. Tindakan semacam inilah yang membuat orang lain bisa-bisa punya anak bukan karena keinginan dan atas kesadaran sendiri, tapi semata-mata untuk memenuhi kewajiban sosial.
"Memangnya ada ya yang begitu?"
Oh ya jelas, bung. Buktinya banyak istri-istri korban kekecewaan mertua di luar sana yang mengalami tekanan batin karena belum juga bisa "memberikan" cucu meski sudah di usia pernikahan yang kesekian. Tanpa menyarankan untuk konsultasi ke ahlinya, dengan seenaknya saja para mertua ini menyalahkan sang istri yang nggak melahirkan keturunan. Padahal bisa saja yang infertil ini justru pihak suami, toh. Okay, sepertinya saya terlalu banyak menonton mega-series Suara Hati Istri di saluran ikan terbang. Tapi, perlu diketahui, bahwa sedikit banyaknya kasus tersebut juga terjadi di kehidupan sehari-hari kita.
Lebih dari itu, sebetulnya pengkhayatan keislaman seseorang nggak bisa dilihat sekadar dari keinginannya untuk punya anak (kandung) atau tidak. Ada yang memang memiliki trauma masa kecil dan nggak ingin hal yang sama terjadi kepada anaknya kelak, ada juga yang memang sulit bergaul dengan anak-anak.
"Tapi kalau sudah jadi ibu, kan, aura keibuannya pasti akan keluar dengan sendirinya. Itu natural, lho. Jangan takut."
Iya memang, tapi disinilah masalahnya. Kita perlu mengerti bahwa nggak semua orang bisa mengambil pilihan itu. Ada orang-orang yang memang perlu untuk mempertimbangkan banyak hal sebelum bertindak. Bukan semata-mata karena nggak percaya Tuhan-Nya, namun ia tahu bahwa Tuhan juga menyukai hamba-Nya yang nggak tergesa-gesa dan berpikir bijak sebelum memutuskan. 
Bagaimana jika pasangan-pasangan childless ini ternyata banyak bersedekah dengan tangan kirinya dan memiliki anak asuh di berbagai panti atau yayasan yang tersebar di daerah tempat tinggal mereka? Bagaimana jika orang-orang yang menyuruh mereka memiliki anak justru ternyata menanggalkan banyak kewajiban yang harusnya dilakukan sebagai orangtua?
Meleknya pasangan-pasangan baru terhadap ilmu parenting, finansial, dan sebagainya yang berkaitan dengan peran orangtua adalah salah satu tanda kemajuan sekaligus bangkitnya kesadaran bahwa memang nggak semua orang bisa jadi orangtua yang baik, nggak semua orang sanggup menjadi orangtua, karena peranan ini sesungguhnya mulia dan berat sekali. Ketika ada seseorang yang sadar akan hal tersebut sehingga membantunya menentukan prinsip hidupnya, seharusnya kita hargai dan apresiasi. Mengingat banyak sekali kasus-kasus dimana terdapat ribuan anak terlantar dan dibuang oleh orangtuanya sendiri karena ketidaksanggupan mereka memenuhi kewajiban, yang mana semua itu diawali oleh kurang bijaknya suami dan istri dalam mengambil keputusan.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Yo waddap, folks!! Cukup lama gue nggak berkelana di dunia blogosphere, mungkin sekitar satu bulan lebih dua minggu? Life is challenging for me this past few months, and i'm still struggling for it. Akhir-akhir ini tuh menulis jadi sesuatu yang penuh pressure buat gue. Bisa dibilang, gue kehilangan sparks-nya dalam merangkai kata-kata. Not only for this blog, but it also happens to my podcast. Seperti yang terlihat, satu bulan kemarin gue sama sekali nggak produce satu episode. Bukannya nggak punya satu pun yang bisa dibagi, but i just thought the topics weren't good enough to be published. Maka dari itu beberapa stok hanya mengendap di draft. Ditambah dua minggu ini gue kembali jatuh sakit, makin susah pula cari waktu dan mood yang pas untuk rekaman. 

Begitu juga dengan blog, sebetulnya gue sempat nulis beberapa draft, bahkan ada yang udah setengah jadi. Salah satunya postingan berbahasa Inggris yang judulnya United by Emotion. Postingan itu gue dedikasikan untuk hari kemerdekaan Indonesia dan para atlet yang bertanding di Olimpiade Tokyo 2020. Namun karena gue kesulitan untuk mengatur fokus di blog, alhasil tulisan-tulisan ini masih juga nangkring disana. 

Nah, di tengah-tengah hilangnya mood ini, gue justru menemukan kembali semangat lewat serial favorit gue di tahun 2005 yang ditayangkan ulang di salah satu saluran TV kabel, yakni Kiamat Sudah Dekat. Ada yang masih ingat??

Sinetron Kiamat Sudah Dekat
Sumber: Citra Sinema
(Buat teman-teman yang mau nonton, selain di YouTube, Kiamat Sudah Dekat dan beberapa seri seperti Lorong Waktu, PPT, bisa ditonton di situs ini, lho. Tinggal klik aja😉) 


Secara garis besar, serial ini bercerita tentang perjuangan seorang anggota band rock, Fandy, yang jatuh cinta dengan putri Haji Romli yang bernama Sarah. Ia pertama kali menjumpai Sarah ketika Saprol, seorang bocah penggila musik rock mencuri sepatu lars miliknya saat Fandy tengah menepi di mushola untuk membasuh wajahnya yang terkena timpukan es krim saat di jalan. Fandy yang memergoki Saprol lantas mengejar Saprol yang terus berlari sampai di rumah Pak Haji dan bertemu dengan Sarah. Sejak pandangan pertama itulah Fandy menyukai Sarah dan memikirkan segala cara agar ia bisa menemui gadis itu, seperti membiarkan sepatunya dicuri lagi oleh Saprol.

Namun latar belakang Fandy yang tumbuh besar di Amerika dengan keluarga yang sama sekali tidak mengenal agama membuat perjuangan Fandy disini begitu berat agar bisa "lulus" sebagai menantu Pak Haji. Ia harus melewati serangkaian tes dari Pak Haji, yakni harus bisa membaca Al-Qur'an, sholat, dan yang paling sulit menguasai ilmu ikhlas. Terlebih ia juga harus bersaing dengan Farid, anak teman Haji Romli yang sudah dijodohkan dengan Sarah dan sedang berkuliah di Kairo. 

Serial yang terdiri dari tiga season ini sempat mewarnai masa kecil gue dan mungkin teman-teman di luar sana, khususnya ketika memasuki bulan Ramadhan. Para tokoh diperankan oleh Deddy Mizwar sebagai Pak Haji, Andre Taulany sebagai Fandy, Dwiki Riza sebagai Saprol, dan Zaskia A. Mecca sebagai Sarah. Namun di balik kesuksesan serial ini, ternyata masih banyak yang belum tahu lho, bahwa sebelum dibuat sinetron, Kiamat Sudah Dekat ini merupakan film yang dirilis pada tahun 2003.

Berkat antusiasme masyarakat dan tanggapan positif atas film tersebut, maka dua tahun kemudian beliau memutuskan untuk membuat versi drama serinya dengan beberapa perubahan dan penambahan pemain, seperti tokoh Sarah yang sebelumnya diperankan oleh Ayu Pratiwi, menjadi Zaskia Adya Mecca yang lebih kita kenal. Begitu pun dengan pergantian peran ibu Fandy, Bu Endang (ibunya Saprol) dan kedua teman bandnya, serta kehadiran Kipli yang sebelumnya tidak muncul di dalam film. Tokoh Kipli yang diperankan oleh Sakurta Ginting untuk menjadi sohib karib Saprol justru malah menambah keseruan dan kelucuan sinetron ini. Membuat alur cerita menjadi nggak bosan ketika melihat kepolosannya yang dibarengi dengan kecerdasan dan kejahilan Saprol. 

Hal ini juga yang menandai perbedaan antara versi film dengan sinetron. Jika film berpusat pada kisah cinta Sarah dan Fandy, maka lain halnya dengan sinetron yang lebih kompleks karena diiringi dengan kisah tokoh-tokoh di sekeliling Pak Haji dan Fandy. Dalam setiap episodenya, terselip banyak sekali pembelajaran hidup yang bisa kita dapat dari keseharian masing-masing karakter. Nggak cuma tentang Pak Haji yang mulai menghadapi kenyataan bahwa putri kesayangannya sudah beranjak dewasa dan gelisah menentukan mana calon suami yang terbaik untuk Sarah, tapi juga kisah sehari-hari tentang Saprol si anak yatim dan ibunya yang bekerja sebagai tukang cuci, Kipli yang nggak punya cita-cita apapun kecuali menjadi anak yatim karena ayahnya seorang pemabuk dan penjudi yang ringan tangan, hingga kisah tentang teman band dan keluarga Fandy, dari yang tadinya buta agama, menjadi seseorang yang sibuk ingin menambah pahala.

Dulu, ketika menonton sinetron ini, gue nggak mengerti apa-apa kecuali Saprol dan Kipli yang lucu, Pak Haji yang tegas tapi penyayang, dan juga tentang Fandy yang belajar agama dan Sarah yang diam-diam suka Fandy. Melihat judulnya, bahkan gue sempat bertanya-tanya, mana kiamatnya? Apa yang tentang kiamat? Wong ceritanya gini-gini aja, kok. 

Sekarang setelah gue rewatch seri ini, gue menyadari ada banyak sekali pesan moral dan makna yang terkandung lewat cerita kehidupan mereka, yang sebenarnya sangat menggambarkan judul secara keseluruhan, bahwa Kiamat Sudah Dekat. Mungkin ini pula yang membuat ceritanya sangat menarik untuk diikuti dan dekat dengan keseharian. Penulis mampu mengemas alur cerita yang sederhana menjadi apik, relatable, penuh pengkhayatan dan terasa menyentuh bagi siapapun yang menonton.

Berbagai dialog dan guyonan yang diucapkan juga terkesan sangat natural, nggak dibuat-buat, layaknya obrolan kita dalam kehidupan sehari-hari. Akting para pemain pun sangat jempolan. Gue selalu suka adegan yang ada Saprol dan Kiplinya. Meski masih anak-anak, mereka mampu mengimbangi akting para seniornya. Ada salah satu adegan favorit gue, yakni ketika Saprol menangis setelah dipukuli ibunya karena mencuri sepatu. Kalau dilihat-lihat, persis banget kayak anak-anak lain yang habis dipukuli. Gue sampe mikir, ini anak beneran dipukul apa nggak?😆 

Lalu disana nggak akan kita temukan tokoh humoris yang berusaha terlihat lucu (meski ini drama komedi religi), nggak ada pula peran si miskin yang terlihat melas banget sampai compang camping, sewajarnya saja. Justru semua itu cukup ditunjukan dengan dialog, penokohan yang pas diperankan, suasana, lingkungan perkampungan yang nyata, hingga properti, make-up dan wardrobe yang niat. Nah, kostum dan make-up yang apik ini salah satunya dimunculkan pada adegan ketika ayah Kipli mendadak memiliki gangguan jiwa. Saat itu ayah Kipli benar-benar terlihat seperti orang gila yang kita jumpai di jalanan. Begitupun tampilan Kipli sendiri yang kurus dengan baju kelonggaran dan baju seragam yang menguning sudah cukup membuat kita tahu bahwa dia adalah anak yang nggak terurus oleh orangtuanya.

Kalau boleh dibandingkan, gue malah lebih senang menonton sinetron jadul yang berkualitas seperti ini daripada sinetron zaman sekarang karena alasan-alasan di atas. Sebab sebagai penikmat film atau serial, nggak cuma alur cerita dan akting para aktor yang jadi perhatian, tapi juga aspek-aspek pendukung (termasuk sinematografi) tersebut lah yang bikin gue bisa mengapresiasi sebuah karya. Dan dari semua hal itu, gue bisa yakin bahwa sinetron ini dibuat dengan sungguh-sungguh oleh tim yang solid.

Satu hal yang juga gue suka dari sinetron ini adalah durasi yang pendek (nggak lebih dari 50 menit) dan jumlah episodenya yang nggak lebay, malah selalu terkesan gantung di setiap episode terakhir, bahkan pada season yang ketiga sekalipun. Gara-garanya, gue dibikin penasaran banget karena banyak adegan yang diharapkan ada, tapi nggak dimunculkan dalam sinetron. Misalnya, pernikahan Pak Haji dan Bu Endang, kehidupan sehari-hari Fandy dan Sarah setelah menikah (diperlihatkan sih, tapi sedikiiiiiit banget, padahal gue nge-ship mereka berdua🥺). 

Pada season satu, jumlah episodenya terdiri dari 50 episode, season dua berisi 20 episode, dan season ketiga hanya 22 episode. Singkat, padat, dan jelas banget, kaan!! Tapi di antara ketiga season itu, gue lebih suka season yang pertama karena sangat membekas di hati. Lagipula, pada season kedua dan ketiga, ceritanya nggak lagi berpusat pada kehidupan Fandy dan Sarah, juga Pak Haji, tapi lebih meluas seiring dengan bertambahnya karakter yang ada di sekitar Saprol dan Kipli. 

Di bawah ini gue cantumin video episode 1-nya buat teman-teman yang juga ingin nostalgia😁 The soundtrack was epic too though! Paling nggak, teman-teman harus nonton bagian opening-nya. Untuk ukuran sebuah sinetron yang tayang di era itu, INI KEREN! 


Nggak cuma hal-hal yang bersifat teknis yang gue kagumi dari serial ini, tapi dari segi kualitas cerita dan pembangunan karakter pun nggak main-main, jelas dan terstruktur, nggak ngalor ngidul kemana-mana. Belum lagi banyak dialog-dialog mengenai agama antar sesama tokoh, termasuk Ustadz Jamal dan keluarganya Fandy yang sangat kritis dan mengutamakan logika, membuat gue secara nggak langsung mempertanyakan keislaman sendiri. Seperti halnya papa Fandy, beliau sering sekali mempertanyakan tentang negara kita yang dikenal religius karena memiliki lima agama namun banyak korupsi dimana-mana, juga dirinya yang dikenal dermawan, sering bersedekah dan sukses meskipun tidak memiliki agama. Bagaimana bisa dia memerlukan agama kalau hidup dengan baik saja ternyata cukup? Pikirnya. 

Lalu gambaran karakter antara Fandy dan Farid yang berseberangan semacam jadi refleksi sekaligus "sindiran" untuk penonton. Fandy, yang dianggap buta agama, anak band, dan hanya lulusan SMA meski besar di Amrik, namun bersikap rendah hati, humble, dan selalu membantu sesama. Ia selalu sadar akan kekurangan diri dan merunduk di hadapan orang lain yang ia rasa memiliki ilmu jauh di atas dirinya. Sementara Farid, karena ia merasa memiliki ilmu yang tinggi dengan belajar di Kairo, secara nggak sadar membuat dirinya menjadi congkak dan kelewat PD bahwa Haji Romli pasti akan memilihnya sebagai menantu. Berbanding terbalik dengan Fandy, yang perlahan-lahan mulai mendalami agama, dan belajar mengikhlaskan Sarah ketika tahu bahwa ilmunya nggak lebih baik daripada Farid yang saat itu sudah berusaha mendekati Sarah. 

Nah, ini dia salah dua adegan favorit gue (banyak banget yak adegan favoritnya LOL) . Saat Sarah menulis surat untuk Fandy yang memberitahu bahwa dia ingin Fandy melakukan sesuatu di saat Fandy sedang ingin menyerah, dan diam-diam mendo'akannya. Nggak terkecuali moment dimana Fandy akhirnya mulai menyerah dan mengikhlaskan Sarah kepada Farid. Dialognya dengan Pak Haji saat di mushola yang menyatakan ucapan terima kasihnya dan keikhlasannya inilah yang bikin Pak Haji luluh hingga tanpa pikir panjang langsung memilih Farid sebagai menantunya. 

Fandy: "Pak Haji, saya sebentar aja ya. Saya mau ngajak Saprol dan Kipli piknik."
Pak Haji: "Nggak, lo mesti ikut denger, ikut tau, atas dasar ape gue ngambil keputusan. Supaya nggak ada prasangka di antara kite."
Fandy: "Saya percaya sama Pak Haji. Sarah saja sudah mengikhlaskan Pak Haji yang memutuskan, apalagi saya. Saya senang Pak Haji sudah menemukan calon buat Sarah. Jadi, saya kira saya langsung aja Pak Haji."
Pak Haji: "Sebentar. Gua kan belom ngambil keputusan, jadi lo mesti ikut denger."
Fandy: "Cukup, Pak Haji. Saya sudah bersyukur bisa mengenal Pak Haji dan Sarah. Itu sudah cukup buat saya, Pak Haji."
Pak Haji: "Maksud lu?"
Fandy: "Pak Haji tahu, sebelum saya mengenal Pak Haji dan juga Sarah, saya dan keluarga saya adalah orang yang tidak mengerti agama, Pak Haji. Sama sekali tidak mengerti. Apa yang saya dan keluarga saya alami, sungguh merupakan karunia yang besar dari Allah. Makasih, Pak Haji, terima kasih. (Nangis sambil cium tangan Pak Haji😭). Dan mengenai Sarah, Farid memang pantas menjadi calon suami Sarah."
Kipli: "Bang Fandy, cepet dong!!"
Fandy: "Buat saya, kebahagiaan Sarah adalah kebahagiaan saya juga. Dan bagi saya, cukuplah karunia Allah buat saya dan keluarga saya, yaitu berupa iman kepada Allah dan Rasul-Nya..."
Saprol: "Jadi kak Sarah diikhlasin begitu aja, Bang?!"
Pak Haji: (Terbengong-bengong😄) "Elo.. elo.. elo yang bakal jadi calon mantu gue. Elo BAKAL JADI CALON MANTU GUE!!"

Gue terharu pas nonton bagian ini. Mungkin kalau lewat tulisan kurang terasa ya, tapi berbeda rasanya saat nonton langsung. Mengingat dulu gue belum mengerti apa-apa saat pertama kali nonton, dan sekarang gue baru sadar akan perjuangan Fandy dan keikhlasannya yang sehebat itu untuk akhirnya bisa meminang Sarah. Pengembangan karakter yang terbangun pun nggak cuma terjadi kepada Fandy, tapi juga dialami oleh ayah Kipli setelah sembuh dari penyakitnya. Ah, teman-teman harus nonton langsung, deh, biar gue ada temennya🤭

Gue harap kualitas sinetron kita saat ini bisa kembali ditingkatkan dan bisa belajar dari sinetron yang telah tayang belasan tahun lalu ini. Bahwa sebelum ada sinetron yang fokusnya mendramatisasi toxic marriages, perselingkuhan, kisah percintaan yang cheezy, drama komedi yang lebay dan semua alur yang mudah ditebak dengan episode yang beribu-ribu dan syuting stripping tiada henti, kita pernah kok punya selera tayangan yang bagus. Percayalah, Kiamat Sudah Dekat bukan satu-satunya sinetron Indonesia yang berkualitas pada masa itu. Kalau dulu sebelum teknologi mentereng saja kita bisa memproduksi tayangan yang berkualitas, kenapa sekarang tidak? 
Share
Tweet
Pin
Share
11 komentar
35 Questions Movie Tag

Hi, guys! I've been wasted my time dealing with online job scammer recently, so that's why I'm too exhausted to stay blogging this past few days. Namun berhubung beberapa waktu yang lalu Rahul dari blog rahulsyarif.com sempat mengajak gue kolaborasi untuk segment terbarunya, Bincang-Bincang Film, gue jadi tertarik untuk bahas lebih lanjut tentang dunia perfilman yang akan dikemas dengan "Movie Questions Tag". 

So, without any further ado.. let's get started!!

35 Questions Movie Tag

1. How often do you watch a movie? 
Pretty often, usually more than three times a month. But this year I ended up only watching a few🤔 

2. What movie genre are you particularly fond of? 
I'd love to watch pretty much all genres, but Fantasy, Psychological thriller/horror, War/History, Action, Mysteri and Sci-fi are my favorites

3. What was the last movie that you’ve watched and liked? 
Soul. I just loved it! The jazz, the animation, the story, the characters, eeeeverything!!

4. What was the last movie that you’ve watched and hated? 
Ali & the Queens. Well, I don’t think I hated this movie, I just felt that something was off in some parts—I don't know if it's about the storyline or something else? And it's not that bad either, some people might love and enjoy the movie cuz the cinematography and acting among all the actors looks pretty good. 

5. What is your most favorite movie of all time? 
1917. It's been more than a year already since this movie was released but I can still feel the same excitement every time I discuss it with my friends—just like the time I watched it. This movie is really amazing, the idea of ​​a one-take camera really blows my mind. Such a masterpiece!! They deserve all the Oscar wins though.

6. Your most favorite guilty pleasure movie? 
War of the Worlds, The Purge

7. What movie/movies have you watched a million times already? 
There are so many!! Harry Potter, Sam Raimi's Spiderman, Titanic, pretty much a few Disney movie, Avengers: Endgame, Spy Kids, Charlie and the Chocolate Factory, Baby's Day Out (well, who doesn't watch it million times on Christmas holiday?🤣), The Polar Express, Mr. Bean, Zathura, etc. Seems like i got some references from holiday movie, huh? Well even so, I didn't watch Home Alone that much because I couldn't feel relate to their culture, and my 10 year-old self at the time thought it was a bit unrealistic for a child to fight against a gang of robbers who were grown men in a big house (even though they're stupid af) and doesn't even have a good neighbor (I guess?) who he can turn to for help LOL but it was all fun though😆.

8. Are you the type who watches a movie on its first day of showing? 
Not really, it depends. If there's the movie I really want to watch, I'll watch them on its first day release.

9. How often do you go to a movie house to watch a movie? 
Not very often, at least twice a month. 

10. What are the movies that made you cry? 
Canola, Kim Ji Young: Born 1982, Train to Busan (drama film and South Korean production is such a best combo of tearjerker movie), and Doraemon: Stand by Me (both movie)

11. What are your favorite foreign films?
Parasite

12. Who are your favorite directors?
Sam Mendes, Joko Anwar

13. Are you particular with movie scores, soundtracks, and musics? 
Exactly, I do think that a music can definitely enhance a movie. No matter how serious and dark the genre is, it would be weird if there's no contribution of good scores, soundtracks, etc. For example, it's very clear that one of the factors that made Harry Potter memorable was their soundtrack. Each movie must have its own characteristics, and it can be showed through the music score.

14. Do you have favorite musical movie? Yep, Les Misérables and Into the Woods

15. Have you ever watched a movie alone on a movie house? 
Yass!! Last movie I watched alone was Frozen 2.

16. Is there any movie that has changed your perspective in life?
NKCTHI. This movie is one of the reasons that made me write Di Balik Angkasa.

17. DC or Marvel movies? Marvel😁

18. What movie irritates you (but doesn't mean you hate it) when you watch it?
The Devil All the Time (just like the title, i got pissed off a lot seeing too many "devils" on the movie, poor my Tom), Extraction (i don't like the coloring they used to portray India, too orange?)

19. Do you read movie critic reviews before watching a film?  
Sometimes. Waktu masih bisa nonton di bioskop, gue sering banget nontonin video-videonya CineKrib.

20. What is the best movie adapted from a book?
Little Women, Hugo

21. Do you watch the movie before reading the book or vice versa?
If there is a book I really liked, I prefer not to watch the movie—especially if the cast and trailer don't look convincing. It might ruin my imagination of the whole plot. I also rarely read the book after watching the movie, cuz I think the main story is already explained enough—unless it's highly recommended, I might consider it. So, it's either watch after read the book, or only watch the movie without read the book.

22. Animated film?
Soul, Toy Story, Doraemon: Stand by Me, Up, Spiderman: Into the Spider-verse

24. Horror film? 
The Ring, A Tale of Two Sister, Pengabdi Setan, Solomon's Perjury, Perempuan Tanah Jahanam

25. Sci-fi? 
Outside MCU and BCU: CJ7, Children of Men. Fun fact!! I was not really into sci-fi movie back then, gabungan fiksi dan ilmiah somehow bikin gue pusing dan kurang bisa menikmati film sebagai hiburan saat itu. I've watched many, such as Rise of the Planet of the Apes, Bumblebee, Robot & Frank, Godzilla and Star Wars but none of these movie enthralled me. Mungkin hanya sedikit yang bisa gue nikmati. Barulah tiga tahun kebelakang selera genre film yang gue suka mulai diverse daripada sebelumnya. 

26. Action movies? 
Mission Impossible, John Wick (Can't wait for the chapter 4!), The Raid: Redemption, The Battleship Island, Kung Fu Hustle

27. War movies? 
1917, Greyhound, Dunkirk, The Battle of Jangsari

28. Any movie character you can relate to? I’m sure there is one, but I can’t think of any right now.

29. If you are only watch five movies for the rest of your life, what would the movies be?
Harry Potter and the Prisoner of Azkaban, 1917, Spiderman 2 (2003), In This Corner of the World, Little Women

30. Your least favorite movie of all time?
Dreadout (Indonesian horror movie: the acting was quite awful, unrealistic, better just play the game itself), Countdown (I hate horror movie that has a lot of jumpscares🙄)

31. What movie that didn't meet your expectation and vice versa? 
Expected to be good but failed:
Tenet, Mulan, The Rhythm Section, Alive, Ali dan Ratu-Ratu Queens (but honestly it's better than any other Indonesian drama movies, including➡️), Rentang Kisah
Exceeded my expectation:
1917, Kim Ji Young: Born 1982, The Call, Sabar Ini Ujian

32. Remake you wish had never been made?
A hundred percent definitely The Amazing Spiderman😂 I thought they were wasting their time making these two reboot movies when in fact they didn't work that well according to IMDb. I'd much rather watch Spiderman 4 which was already in script development around that time, letting Sam Raimi fix the producer's "mistake" that had forced the existence of venom on the third film. Even though we have Emma Stone as Gwen Stacy who is a very strong character in the film, but that's not enough. The musical score is also good, but honestly I prefer Danny Elfman's score in the original trilogy because they felt more memorable and left a lasting impression (i even put them on my Spotify playlist).

33. Right now think of any movie, what comes first? 
Alice in Wonderland🐰😂

34. Film that you can’t wait for it to come out?
Spiderman: No Way Home!!! I'm literally dying the trailer hasn't came out yet. I also get excited to see Mission Impossible considering it's been almost three years since the last movie released. And wait!! I shouldn't forget about Fantastic Beast 3 and Sri Asih🙈. Oh God, it turns out to be more than I thought..

35. TV series, books, computer games, or movies in order of interest?
Movies, TV Series, books, then video games. I rarely play video games to be honest, and when I do, I only play Counter-Strikes😆.

36. Lastly if your life story is to be made into a movie, who would you like to portray you? Who should be directing it and what would be the title?
I would have Maudy Ayunda or Cut Syifa (jujur susah nemuin aktris Indonesia sebaya gue yang bukan mixed, kayaknya 85% blasteran semua ehe🙃) and Angga Dwi Sasongko as the director. The title would be "Notes of Little Sister/Catatan Adik Kecil" and it's a gonna be a family-drama movie😍.

SO, yeah. That's all for 36 questions movie tag!! Kalau gue lihat-lihat ya, sebetulnya film-film yang nggak berhasil menurut kacamata gue tersebut rata-rata punya pengemasan cerita yang bagus pada tahap-tahap awal sampai klimaks. Biasanya setelah itu, ada standard yang semakin menurun dan terasa kurang konsisten dengan perkembangan cerita di awal. Seharusnya film yang baik nggak memberikan penonton jeda "istirahat" yang terlalu panjang meski konflik terselesaikan dan sudah memasuki tahap akhir cerita. Paling tidak, emosinya nggak dimatikan sampai di puncak konflik saja.

Teman-teman jangan lupa baca postingan Rahul juga ya!!!👉🏻👉🏻👉🏻  Nolan yang Bikin Pusing, Hingga Jokan yang Jadi Angin Segar Film Indonesia . Kenapa ya dengan Nolan dan Joko Anwar?🤔😁 Pssstt, kami banyak mendiskusikan tentang film dan TV series secara lebih detail dan seru disana😉 

Lastly, I tag everyone for this movie questions tag!! Please tell me what's your favorite movies in the comment section below😍 xoxo.
 
Share
Tweet
Pin
Share
29 komentar

 
Si pemikir.. 
Satu kepala, banyak cerita 
Memikirkan banyak hati 
Namun sendirinya haus afeksi 
 
Si pemikir.. 
Dua telinga, banyak dengar 
Jadi sampah-sampah pikiran 
Dari apa-apa yang menambah beban 
 
Si pemikir.. 
Banyak soal seperti tak henti bergulir 
Siapapun ingin bisa ia rangkul 
Tapi beban tak sanggup lagi dipikul 
 
Si pemikir.. 
Adalah penjaga setia pada waktu-waktu gulita 
Petualang pada pagi terang benderang 
Tapi upah pun tak ia dapatkan untuk itu 
 
Si pemikir.. 
Perasaan manusia lain seakan jadi tanggung jawabnya 
Tak bisa ia salah ucap sedikitpun 
Kalau salah, makan pun rasanya tak nyaman karena teringat selalu 
 
Si pemikir.. 
Merasa semua ada dalam genggamannya 
Mengatur gerak yang tak semestinya ditindak 
Percaya saja ia pada hasud-hasud tak berwujud 
 
Si pemikir.. 
Jauh pikirannya berkelana sampai di depan, bak cenayang 
Padahal ia bukan siapa-siapa 
Melainkan pikirannya telah membohongi diri sendiri 
 
Itulah si pemikir.. 
Ingin sekali saja tak berpikir 
Ingin sekali saja ia kikir 
Namun tak bisa, sebab kisahnya belum berakhir 
Share
Tweet
Pin
Share
3 komentar
 
Bahagia Perlu Uang

When i think about happiness, it's true that it comes from the smallest thing in our lives. But is it always true? Apakah konsep ini berlaku sepanjang kita hidup? Mungkin ya, mungkin saja tidak. Biasanya nih, anak muda zaman sekarang paling sering mengglorifikasi soal "rules of life" (even if this kind of thing exists), semacam; apakah kita bisa hidup bahagia tanpa uang?; atau apakah sebetulnya uang bisa memberi kita impian yang konyol dan kehidupan tanpa penderitaan? Lalu sering khawatir bahkan sebelum memulai garis start pertamanya. 

Before we move on, i need to clarify something. Gue nggak sedang membahas tentang kebahagiaan secara general. Membicarakan soal kaitan uang dengan kebahagiaan nggak berarti gue nge-dismissing fakta bahwa rasa bahagia itu besar sekali maknanya, bahkan tanpa harus diselubungi dengan hal-hal berupa materi. Also, gue rasa kita perlu meluruskan beberapa hal di awal, bahwa frasa "money can't buy happiness" yang akan gue mention di postingan ini, nggak pernah gue maksudkan secara literal. Ini hanya konotasi, after all.  If you disagree about what i writes on this topic, it's very okay. Your opinion could be different than mine, and this might sounds contradictory to my previous post which tells about finding your own happiness through the silly dreams that you might have had since you were kids, but let me explain further.

Sebagai manusia normal, rasanya kita tidak bisa mengelak bahwa hampir setiap waktu, kita perlu uang untuk memenuhi kebutuhan akan rasa aman dan nyaman dalam berkehidupan. Tidak hanya kebutuhan primer, sekunder, namun juga tersier yang seringkali perlu untuk disokong. Kita memerlukan uang untuk bayar tagihan, belanja kebutuhan seperti pangan, sandang (bahkan ketika seseorang memiliki gaya hidup minimalis), lalu untuk bayar air, bayar token listrik, kuota internet, hingga sekadar beli bensin untuk kendaraan yang digunakan sehari-hari. Semua aspek dalam hidup kita seakan-akan tidak bisa digerakan tanpa kehadiran uang, dan banyak sekali permasalahan hidup yang bisa diselesaikan dengan uang. Bahkan dalam kondisi pandemi seperti ini, perekonomian negara tidak bisa dihentikan sementara hanya untuk lockdown, karena efek jangka panjang yang ditimbulkan mungkin akan lebih buruk dari yang bisa kita kira. Mengapa? Alasan paling dasarnya semata-mata karena kita membutuhkan uang untuk hidup, terlebih dalam situasi sulit seperti saat ini. Most people do.

Kenyataan ini didukung oleh data yang dikumpulkan peneliti Universitas Princeton pada tahun 2010, bahwa rata-rata dari 450.000 orang dewasa di Amerika Serikat memiliki perasaan sedikit lebih bahagia ketika dikaitkan dengan uang atau pemasukan. Dapat dikatakan bahwa orang yang memiliki pendapatan sekitar $70.000 per tahun cenderung lebih bahagia daripada mereka yang menghasilkan sekitar $40.000 per tahun. Perbedaan yang tidak besar, namun signifikan secara statisik. Kualitas emosional ini dinilai dengan pertanyaan yang meminta mereka untuk memikirkan tentang kondisi di hari-hari sebelumnya dan menilai seberapa banyak kebahagiaan dan kenikmatan yang dialami, hingga seberapa banyak mereka tersenyum dan tertawa.

Selain itu, peneliti juga mengatakan bahwa manusia sulit untuk benar-benar bahagia jika hidup dalam kemiskinan. Jika kita selalu merasa lapar, kedinginan, dan tinggal di lingkungan yang tidak aman atau selalu berutang uang kepada seseorang, rasanya kebahagiaan bisa sulit dipahami. Contoh lain adalah ketika kita memiliki masalah kesehatan sementara tidak memiliki cukup uang untuk pergi ke dokter (tidak semua orang punya BPJS), kemungkinan besar ada dua kekhawatiran yang mesti dihadapi—kesehatan dan uang. 

Di bawah tingkat pendapatan tertentu, orang miskin sebenarnya kurang bahagia dan kurang puas dengan kehidupan mereka daripada kebanyakan orang. Terlebih ketika mereka tidak menemukan adanya quantum leaps atau penghasilan yang meningkat signifikan setiap harinya, bahagia seakan hanya jadi ilusi. Mungkin, dalam kondisi seperti inilah bahagia datang dari hal yang sederhana. Tapi, apakah pada akhirnya itu cukup untuk mengenyangkan perut kita? Apakah hal itu cukup untuk membayar tagihan yang menumpuk? Tidak juga.

Baca juga: Matre: Realistis atau Materialistis?

Uang Bikin Bimbang

Yah, kita bicara fakta saat ini. Memang, manusia sudah sepatutnya banyak bersyukur dan tabah dalam menghadapi cobaan hidup yang datang silih berganti, karena pada kenyataannya tidak semua hal bisa dinilai dengan materi. Namun, sebagaimana manusia yang selalu butuh validasi, adakalanya kita selalu berusaha untuk mencari pembenaran atas hal-hal yang kita lakukan ketika belum berusaha sepenuhnya. Misalnya, seseorang yang sering mengeluh karena mendapatkan gaji kecil dan pas-pasan, sementara apa yang didapatnya itu tak lain karena usaha yang kurang maksimal. Lantas untuk meyakinkan diri bahwa ia sudah hidup lebih baik, seseorang ini hanya berlindung di balik kata "syukur" tanpa benar-benar memaknainya. Sebab ada orang yang pandai bersyukur, kemudian bekerja lebih keras di hari esok, begitu seterusnya. Namun ada juga orang yang bersyukur, tapi tidak diiringi dengan usaha yang lebih keras karena tidak tahu caranya memberi limit terhadap diri sendiri.

Terlebih untuk yang usianya masih muda dan prima, rasanya memalukan berpikir tentang "cukup" ketika kita bisa melakukan sesuatu yang lebih lagi untuk kebaikan diri sendiri maupun lingkungan sekitar, sebagai bekal di masa depan nantinya. Iya, sebagai generasi digital, gue tahu banyak anak muda yang sedang mengalami dilema semacam ini. Go for it, or give it up. Sama halnya dengan perkara menentukan passion atau main job, dan idealisme dengan realita.

Bukan Soal Privilege

Selain bisa mengurangi kegelisahan dalam hal financial, dengan uang kita juga bisa "membeli" banyak pengalaman yang tidak terlupakan. Contohnya, traveling ke berbagai daerah atau negara, menonton pertandingan bola, menyaksikan drama musikal di suatu tempat atau bahkan di Broadway, atau kalau dikerucutkan lagi, sesederhana menikmati suasana yang menenangkan di pinggir danau seberang kota. Do we only need a cent of money? Obviously, we don't. Meskipun kita tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk membeli pengalaman tertentu, paling tidak sejumlah uang yang lebih besar bisa membantu kita menikmati pengalaman dengan perasaan nyaman.

Uang juga memungkinkan kita untuk dapat memberikan kebahagiaan dalam bentuk lain terhadap orang-orang yang lebih membutuhkan. Jadi, tidak semata-mata selalu untuk memenuhi ego manusia akan pemenuhan kebutuhannya. Serta kita juga bisa memiliki akses dalam mempelajari hal-hal baru dengan fasilitas yang lebih mendukung. Siapa disini yang senang menggambar dan tergiur ingin membeli alat berupa procreate agar hasil gambarnya dapat lebih maksimal? Atau, adakah yang ingin bisa memiliki alat rekam khusus dengan kualitas mumpuni bagi yang sedang mengolah kemampuan suara? *Ehm, itu.. keinginan gue, sih😅.

Kebanyakan orang juga menemukan kebahagiaannya tersendiri ketika bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan membahagiakan orang-orang yang disayang secara materiil dengan jerih payahnya. At the end of the day, it's about money, isn't it?

So, apakah sebetulnya uang bisa "membeli" kebahagiaan? Yap, kalau kita bisa memanfaatkan dan mengelolanya dengan cara yang benar. Namun apakah kita harus menjadi kaya untuk bisa bahagia? Ini dia yang harus gue luruskan. Kenyataannya, kebahagiaan memang bukan bersumber dari uang. Apalagi jika semakin banyak uang di dalam tabungan kita, maka semakin banyak kita berinvestasi, dan semakin besar kerugian, serta rasa stress yang mungkin akan kita dapatkan. Mungkin ini sebabnya Jeff Bezzos tidak lagi merasa antusias ketika perusahannya mendapatkan keuntungan jutaan dollar yang berkali lipat. Walaupun hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa orang yang memiliki gaji 400 juta per tahun tidak lebih menderita daripada orang yang hanya mampu menghasilkan uang sebesar 70 juta per tahun, begitupun seterusnya. Toh, banyak millioner yang ujung-ujungnya memilih "sengsara" dalam kekayaan daripada sengsara dalam kemiskinan.

Beberapa di bawah ini gue kutip sedikit potongan diskusi dari postingan Instagram influencer favorit gue, Fellexandro Ruby, yang kebetulan membahas topik serupa beberapa waktu lalu, agar postingan ini tidak terasa begitu saklek dan satu arah. Well, sharing is caring!

Bahagia Perlu Uang

Bahagia Perlu Uang
Of course, we wouldn't! Seperti yang baru saja gue bilang, in fact uang memang bukan sumber kebahagiaan. Toh, manusia hidup lebih lama daripada uang itu sendiri, kan? Begitupun perasaan bahagia, it lasts longer than the money itself. Money and happiness are two different things, but this post tries to elaborate them.

Bahagia Perlu Uang
Yes, it is the phase of our life that helps us see things clearly and takes us to the next (financial) journey.

Bahagia Perlu Uang

Bahagia Perlu Uang
I suddenly remembered what my friend once said, we don't really want stuff, we just want feelings. Like, we thought we want money, but deep down we only want the feeling of ease and comfort which we thought money could bring.

Baca juga: Menjadi Manusia

Pada intinya, ini bukan menyinggung tentang privilege atau tidak mensyukuri rezeki yang didapat, melainkan lebih kepada menyadari realita bahwa kita bisa menikmati hal-hal yang orang ber-uang miliki tanpa harus kaya dan punya privilege, dan kita juga harus yakin untuk bisa memperoleh rezeki yang lebih jika kita tidak hanya bersyukur dan berserah, tapi berusaha sebaik-baiknya kemampuan diri.

Namun dari diskusi singkat di atas, kita juga perlu mengingatkan diri sendiri untuk tidak memetakan kebahagiaan hanya pada materi. Seperti yin dan yang, alangkah lebih baik jika semuanya dilakukan dengan seimbang, tidak berlebihan. Gapapa bekerja keras selagi kuat, but just don't push yourself so hard that you can't even enjoy your hard-earned money and the time you have. Karena gue yakin mindset kita terhadap uang juga perlu untuk direm sesekali agar tidak gelap mata.

Bahagia Perlu Uang


Tulisan ini gue buat bukan untuk mengajak teman-teman menjadi money-oriented atau materialistis, gue hanya ingin mengingatkan diri sendiri dan mungkin teman-teman sebaya yang sedang mengalami quarter life crisis (atau masalah pelik soal keuangan), bahwa underprivileged bukan alasan untuk kita bertahan dalam victim mentality dan berlindung di balik kalimat "money can't buy happiness". Uang bisa "membelikan" kita beberapa hal yang membawa rasa kebahagiaan kok, ketika dilakukan dengan cara yang tepat sesuai takaran kita. Oleh sebab itu, jangan berhenti menyerah within your limit, and don't mind about other people's life—being salty about privilege, etc. 

Berhenti membandingkan diri dengan orang lain, tinggalkan medsosmu untuk sementara waktu jika perlu, dan.. jangan sampai memberi afirmasi terhadap diri sendiri dengan cara yang salah yang malah bisa mengendurkan limit yang kita punya.
Share
Tweet
Pin
Share
21 komentar
Newer Posts
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Bukan Salah Indonesia
  • Childfree yang Diperdebatkan
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Just Listen
  • Terlalu Besar Untuk Gagal

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

My Podcast

Newsletter

Get new posts by email:

Popular Posts This Week

  • Di Balik Angkasa
  • by.U: Solusi #SemuanyaSemaunya
  • Become a Fighter
  • Goodbye Wasteful Life, Welcome Minimalism
  • Menjadi Manusia
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • How I See Feminist as a Muslim
  • 2020 Wrapped: Top 3 Genre For You
  • Romantisisasi Generasi 90-an

Blog Archive

  • ▼  2024 (2)
    • ▼  Oktober 2024 (1)
      • Posture Perfect: How Wearing a Waist Trainer Can I...
    • ►  Agustus 2024 (1)
  • ►  2023 (1)
    • ►  Februari 2023 (1)
  • ►  2022 (9)
    • ►  November 2022 (1)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (1)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  Maret 2022 (2)
    • ►  Februari 2022 (2)
  • ►  2021 (30)
    • ►  Desember 2021 (1)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  Juli 2021 (3)
    • ►  Juni 2021 (2)
    • ►  Mei 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  Maret 2021 (5)
    • ►  Februari 2021 (1)
    • ►  Januari 2021 (5)
  • ►  2020 (46)
    • ►  Desember 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  Oktober 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (10)
    • ►  Juli 2020 (8)
    • ►  Juni 2020 (4)
    • ►  Mei 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  Desember 2019 (3)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Agustus 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Februari 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Pengikut

Categories and Tags

Intermeso Krisis 1/4 Abad Opini Perempuan Podcast Poetry Review Thoughts digital marketing karir lifestyle slice of life

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.