Diberdayakan oleh Blogger.
  • Home
  • About
  • Lifestyle
  • Personal
    • Opini
    • Thoughts
    • Slice of Life
    • Poetry
    • Intermeso
  • Podcast
  • Review
instagram LinkedIn Spotify YouTube Email

Notes of Little Sister




Pernah nggak sih lo ngalamin keserimpet atau ketubruk-tubruk pas lagi jalan di suatu tempat yang padatnya bukan main? Gue sering, dan saking seringnya, gue selalu nggak betah berjalan lama-lama atau secara lamban di ruang publik.

Mungkin karena kebiasaan gue yang selalu ingin cepat dan nggak suka berlambat-lambat ria ketika berada di ruang publik, baik itu di trotoar, mall, jalan lebar, pasar, dsb.nya, jadi gue selalu nggak betah kalau berada di sana lama-lama dan selalu nggak sabar untuk mendahului. Ingin langsung syung syung syunggg gitu. Ini serius. Sampai-sampai sambil berjalan gue suka heran dan mikir sendiri, ini orang-orang yang lelet emang jalannya santai atau mereka lagi banyak pikiran jadi jalan sambil melamun? Ataukah mereka simply memang nggak peduli kalau jalannya terlalu ke tengah dan menghalangi jalanan orang lain? Sambil ngobrol cekakak cekikik pula? Saking cepatnya, pernah ketika gue lagi jalan sama tante gue, beliau ketinggalan jauh di belakang dan gue dibilang kayak orang Jepang karena cara jalannya yang nggak santai. Jiaah, kuliah bahasa Jepun bukan berarti jadi orang Jepun juga bund😆

"Emangnya mau kemana sih, neng, buru-buru amat!"

"Mau pulang lah, pak. Demen kalik saya lama-lama di jalanan😫."

Sebetulnya bisaa sih, santai, rileks, nggak perlu buru-buru. Namun hal itu hanya bisa dilakukan saat gue ingin menikmati momen-momen tertentu, misalnya saat lagi jalan pada Minggu pagi di kampus atau di CFD, dan saat mau pilih-pilih baju atau buku di toko—itupun sambil merhatiin situasi di sekeliling gue, apakah lagi ramai sentosa atau nggak. Kalau lagi ramai ya mending balik aja guehh😰. Suwer, berada di kerumunan lama-lama bikin sakit kepala. Gue susah fokus!

Setelah beberapa bulan ini merasakan, tinggal di kota kecil nyatanya nggak jauh berbeda dengan kota-kota besar yang macetnya terkenal bukan main. Apalagi pada jam-jam istirahat dan pulang kerja. Dan di masa-masa mendekati lebaran kayak gini, nih, justru menurut gue macet dan riweuhnya lebih parah daripada ketika gue masih di Bandung bulan puasa tahun-tahun sebelumnya. Berarti kebayang, kan, semacet apa? Kalau sebelumnya gue lebih sering kesal sama lampu merah yang lamanya bikin males dan pusing, justru sekarang gue lebih sering kesal sama perilaku manusia-manusianya. Dahlah jalanan nggak lebar, trotoar sempit, angkutan umum bertebaran dari yang sebelah jalan paling pinggir sampai yang paling tengah sekalipun, banyak pula orang-orang yang malah berdiam diri atau mengobrol ria di trotoar yang sudah sempit itu, ditambah prokes dilakukan alakadarnya karena nggak semua orang masih aware dengan covid-19 yang belum usai ini.

"Lah terus, ente sendiri ngapain ikut-ikutan ngeramein jalanan?"

Kebetulan ada beberapa barang yang harus gue beli, dan sejujurnya gue sendiri jarang keluar kemana-mana karena males, terbukti dengan udara panas dan macet yang nggak karuan bikin makin enggan untuk keluar. 

Nggak terhitung berapa kali rasanya gue ingin teriak dan punya kekuatan super yang bikin orang-orang ini jadi langsung tertib. Wushh! Tapi, siapa gue?

Lambat laun, sambil merasakan badan yang dicolek ibu-ibu dari belakang karena beliau tampaknya buru-buru juga (saya pun sama buu, bentar ya, sabar ya buu, orang depanku ini lama kalik bu😭), gue belajar bahwa ternyata our responses are all matters. 

Beberapa kali gue agak menyahut tak sabar saat orang di belakang gue menuntut untuk lebih cepat, sementara jalanan di depan fully tertutup dan nggak bisa ditembus lagi oleh orang yang memang selalu ingin cepat seperti gue. Beberapa kali juga gue terpaksa menerobos supaya orang yang menghalangi jalan itu sadar bahwa mereka berdiri terlalu ke tengah dan mengganggu kenyamanan orang lain. Semua respon atas situasi tidak menyenangkan itu gue tanggapi selalu dengan emosi, dengan ego yang memaksa untuk nggak mau jalan berlama-lama. Gue nggak memberikan ruang untuk kepala gue bersikap lebih dingin dan melihat dari sisi positif.

Padahal, di depan gue ada anak perempuan dan ibunya yang lagi semangat ngobrolin soal baju model apa yang mau mereka beli—mungkin hari raya jadi momen langka untuk mereka bisa punya baju baru. Nggak jauh dari sana, ada pasangan suami istri dan anaknya yang masih kecil yang tampak sesak kepanasan dan kebingungan untuk menentukan, akan ke arah mana lagi mereka pergi, ditambah barang belanjaan di kanan kiri mereka. Di depan gue juga ada banyak sekali tukang dagang yang hopeless menawarkan dagangan mereka untuk pejalan kaki yang abai begitu aja. 

Di antara mereka ada tukang sandal, tukang peci/kopiah, tukang mainan, tukang celana, tukang cilok, tukang rujak, sampai pedagang asongan yang giat nawarin minuman ke anak kecil dan mbak-mbak yang mungkin saja lagi nggak shaum. Gimana kalau dagangan mereka terinjak-injak atau terjatuh karena gue yang serabat serobot dan egois ingin cepat-cepat terbebas dari hiruk pikuk? Belum lagi ada nenek-nenek yang jalan sambil bawa kantong kresek di tangannya, dan anak kecil yang lagi jongkok sambil nangis menunggu mamanya karena mungkin juga sudah gerah ingin cepat pulang. Gimana kalau kepala anak kecil ini kesenggol sama kantong belanja gue yang lumayan berat hanya karena gue ingin buru-buru dan nggak ngeh dengan kehadirannya yang kurus dan kecil itu?

Sebagaimana hidup kita yang nggak lepas dari lalu lalang orang melintas, ada kalanya kita nggak bisa melawan hal-hal yang memang berada di luar kontrol kita. In this case, gue memaksa ingin cepat, menegur orang dengan cara nggak baik seolah-olah terlihat gue memikirkan juga kondisi orang di belakang gue padahal kenyataannya gue hanya mementingkan urusan gue sendiri, sementara perihal kecepatan berjalan atau cara orang berjalan dan kesadaran mereka tentang situasi sekitar bagaimanapun adalah sesuatu yang nggak bisa gue kontrol. Sekalipun bisa, mungkin hanya berlaku untuk satu atau dua orang yang gue tegur tadi. Selebihnya, gue bukan polisi, bukan security atau petugas dishub yang punya wewenang untuk mengatur keadaan disana. Itulah kenapa, respon gue menjadi segalanya. Karena satu-satunya orang yang bisa gue kontrol adalah diri gue sendiri, pola pikir gue.

Detik itu juga gue berusaha mengubah respon gue dengan senyuman. Walaupun senyum gue mungkin nggak terlihat karena tertutup masker, paling tidak senyuman itu berguna untuk bisa menenangkan diri sendiri. Menyiram api-api yang sedari tadi nggak berhenti menyala di kepala gue. Awalnya susah memang, apalagi kalau situasi nggak menyenangkan itu masih berlangsung gue rasakan. Bahkan pada respon berikutnya gue hampir menggerutu lagi, tapi sesaat kemudian gue harus mengingatkan diri sendiri untuk bersabar. Toh pada akhirnya gue hanya bisa maklum. Karena gue bukan sedang berada di Shibuya crossing yang meskipun tempat penyeberangan disana merupakan yang paling sibuk di dunia, semua pejalan kaki yang melintas patuh pada aturan. Gue juga bukan sedang berada di Jerman yang memang terkenal sebagai negara ramah pejalan kaki dengan infrastruktur yang baik. Bukan pula sedang berada di Korea Selatan yang termasuk negara dengan mobilitas tinggi, tanpa harus menyaksikan mobil-mobil dan angkutan umum chaos di sisi jalan. Gue hanyalah anak manusia yang berada di belahan dunia lain di Indonesia, yang kondisinya jauh sekali dari apa yang gue sebutkan di atas. Maka yang bisa gue lakukan adalah bersabar, dan maklum.

"Tapi apa itu artinya sah-sah aja kalau seseorang menghalangi jalanan bagi pejalan kaki yang lain?"

Bagi gue sendiri, punya rasa peka dan kepedulian yang tinggi, serta nggak menjadi ignorant saat lo sedang berada di public place semacam trotoar, mal, dsb.nya adalah sesuatu yang penting. Meski kenyataannya sulit, gue sendiri masih berusaha untuk nggak semata-mata memikirkan diri sendiri saat berada di jalan. Barangkali, kan, ada orang yang membutuhkan bantuan gue saat di tengah perjalanan itu. Gue maklum nggak semua orang punya awareness ini, tapi gue juga berharap bahwa kita bisa lebih tertib lagi ketika berbaur atau bersosialisasi dengan orang lain di ruang terbuka. Karena nggak semua orang bisa santai di jalan, nggak semua orang juga jalan-jalan untuk berlibur dan beli baju. Ada kok, yang semata-mata keluar hanya untuk beli bahan makanan buat buka puasa.

Tulisan kali ini gue dedikasikan sesuai dengan tema "Jalan" untuk awal bulan dari #1minggu1cerita. Entah kebetulan atau memang sudah "direncanakan", peristiwa kecil yang gue alami hari ini dan gue ceritakan di atas seperti kembali menyadarkan gue bahwa jalan untuk bersabar itu ternyata banyak cabangnya. Dan seringkali disitulah ia hadir, berdampingan dengan sesuatu yang kita benci dan sangat tidak ingin kita jumpai. Gue jadi belajar untuk nggak egois, dan nggak memaksakan apa yang selama ini menjadi kebiasaan gue. Karena bagaimanapun, disinilah kaki gue menapak saat ini. Di tempat yang masih banyak terletak kekurangannya, yet in fact menjadi tempat yang juga memberi satu pelajaran tambahan untuk gue bisa lebih bersabar. Sebagaimana hidup yang dihiasi hilir mudik cerita manusia, bersabar ketika di perjalanan sesungguhnya bisa menjadi jalan lain untuk kita mengenal diri sendiri dan kondisi di sekitar kita.

Akhir kata, semoga sehat selalu untuk kita semua. Lebaran sebentar lagi, manteman! Sedih, nggak? Gue sih so pasti sedih banget. Banyak faktor yang membuat suasana Ramadhan tahun ini menjadi tak ada bedanya dengan tahun lalu, if you know what i mean🤧

Eniwey, ada yang pernah merasakan pengalaman buruk jugakah saat sedang di perjalanan? Coba ceritakan versimu, ya😁 Let's sharing! xx.

Share
Tweet
Pin
Share
22 komentar
Owari

Akhirnya setelah sekian drama dan purnama yang harus gue lalui selama setahun lebih ini, tanggal 28 April kemarin gue selesai yudisium tanpa harus ada revisi tambahan ini itu. Sebelumnya gue pernah bilang di postingan Cuma Cerita #3 , bahwa dari sejak akhir bulan Maret lalu skenario hidup gue terasa benar-benar plot-twist. Alasannya karena berdasarkan jadwal yang seharusnya, kemungkinan gue nggak akan bisa ujian sidang bulan April ini. Dimana pada saat akhir Maret itu gue masih proses pengolahan data. Lha, gimana maksudnya, Awl?

Hm, ceritanya begini.. dari bulan Maret awal gue udah nargetin untuk bisa sidang bulan April karena biasanya ujian sidang selalu dilaksanakan pada akhir bulan. Sementara pendaftarannya dibuka pada pertengahan bulan. Mengingat saat itu gue masih berada di pertengahan Maret, gue pikir gue bisa menyelesaikan semuanya sampai di akhir Maret. Tapi ternyata, berita mengejutkan tiba-tiba muncul dan meruntuhkan dunia dan segala rencana gue.

Jadi, yang semula gue kira ujiannya dijadwalkan pada akhir bulan April, ternyata dimajukan jadi awal bulan, tepatnya tanggal 7 April. Dimana pendaftarannya sendiri dibuka lebih cepat, yakni tanggal 23 – 28 Maret, yang mana pada saat itu udah tanggal 21 dan gue masih on progress mengolah data🙃.
 
Entah mungkin alasannya karena memasuki bulan Ramadhan atau apa, sehingga jadwal yang biasanya di akhir bulan lalu dimajukan menjadi awal bulan, yang pasti saat itu gue kaget dan lemas sejadi-jadinya. Gimana nggak? Waktu seminggu nggak mungkin cukup untuk gue bat bit bet kelarin skripsi beserta perintilannya. Mungkin bisa, tapi isinya bakalan hancur, dan gue nggak mau seperti itu. Hanya karena gue telat lulus, bukan berarti gue mau merelakan konten skripsi gue yang asal-asalan itu diuji alakadarnya. Dengan semangat yang langsung anjlok, gue sempat berhenti untuk beberapa hari. Padahal waktu itu sisa pembahasan data kuesioner, dan gue udah bisa lanjutin BAB V. Tapi tetep, gue nggak akan bisa ngejar jadwal yang ada, pikir gue. Karena sekalipun skripsi gue bisa selesai, waktunya nggak cukup untuk dipakai bolak balik Bandung dan urus persyaratan ini itu. Pokoknya bakal mepet nggak karuan, deh.

Akhirnya selang seminggu setelah pengumuman itu diedarkan, gue yang sudah berusaha ikhlas kalau ujian sidangnya diundur ke bulan berikutnya dapat kabar lagi dari teman gue yang sebelumnya memang berencana akan daftar sidang bareng, bahwa jadwal ujian sidangnya kembali dimundurkan jadi tanggal 28 April, dengan pra-sidang tanggal 21, dan pendaftaran dibuka tanggal 13 – 17 April, dengan alasan agar bisa memberikan kesempatan untuk mahasiswa yang lain yang memang berencana sidang di bulan itu. Waddd! Gue langsung seneng dong! Dari yang tadinya baterai gue cuma 10%, tiba-tiba langsung naik 100% dan tepat tanggal 30 Maret itu akhirnya gue langsung gas lagi untuk melanjutkan apa yang sempat tertunda, dan buru-buru deh kabarin kedua dosen pembimbing gue saat progress-nya sudah selesai gue kerjakan.

Dengan masukan-masukan dari beliau, gue akhirnya mengantongi izin untuk daftar dan cuss ke Bandung untuk mengumpulkan persyaratan plus daftar sidang saat hari pertama puasa, yakni tanggal 13 April 2021. Kebayang, kan, mana panas terik, hari pertama puasa, macet pulak di jalan. But i was really grateful karena pada akhirnya kesempatan ini datang juga. Ingin rasanya gue teriak saat itu, AKHIRNYA GUE GAK JADI WISUDA OKTOBER! Wkwkw. Karena bulan April ini adalah ujian sidang terakhir untuk wisuda gelombang II, yakni bulan Juni. Selebihnya sudah otomatis masuk gelombang III di bulan Oktober, karena jarak setelah yudisium dengan wisuda itu minimal harus satu bulan, nggak bisa berdekatan. Yaa walaupun waktu itu gue belum pasti lulus, tapi yang penting PD aja dulu!😝.

Alhamdulillah, walaupun selama empat hari di Bandung itu juga nggak lepas dari drama, setidaknya semua terasa dipermudah oleh Allah. Tanda tangan sama Kadep lancar tanpa hambatan, begitupun para dosen pembimbing gue yang sangat perhatian dan nggak horror seperti pengalaman kebanyakan orang. Mungkin yang bikin agak dramanya cuma sedikit aja, itupun karena slow response, huhu. But yeah, namanya juga hidup yang seperti roller-coaster, nggak mungkin dramanya cuma secuil-cuil aja. Pada saat hari pra-sidang beberapa hari kemudian, gue ngerasa bener-bener digodok dan jadi orang paling bodoh sedunia. Udah kebayang lah yaa kenapa, wkwk. BIASALAH. Walaupun maksud dosen penguji mungkin ingin mendengar gue mempertahankan argumen atas penelitian yang susah payah gue kerjain, tetep aja pas hari H-nya mah metong, kaget. Ditambah badan gue masih kerasa sakit abis perjalanan dari Bandung sebelumnya. Alhasil sejak hari pra-sidang itu gue melo terus bukan main. Muka nggak kerawat, even cuci muka aja sampe lupa, makan pun nggak nafsu, mana kebetulan lagi sariawan juga (nah lho triple combo dah), yang ada bisanya cuma pingin nangis aja kepikiran nanti pas ujian gimana. Apalagi gue harus ngomong bahasa Jepang, kan. Ini dia nih, bisa dibilang jadi salah satu ketakutan terbesar gue kenapa kemarin-kemarin takut lulus.

Singkat cerita, setelah seminggu no life, hari ujian pun tiba dan semuanya serba dilakukan secara virtual, dari mulai pembukaan sampai presentasi dengan masing-masing dosen penguji. Ujian pertama dilakukan jam 7 pagi dengan salah satu dosen penguji gue, dan begitu seterusnya sampai pukul 9.30 WIB. Alhamdulillah, kekhawatiran gue selama seminggu kebelakang itu ternyata nggak terjadi karena semuanya berasa dilancarkan dan dimudahkan atas seizin Allah. Gue yang tadinya berdo'a agar bisa selesai ujian minimal pas sebelum dzuhur, justru malah yudisiumnya yang selesai pada saat dzuhur karena gue dan teman-teman yang lain juga selesai lebih cepat.

So, begitulah cerita gue yang super duper singkat dari bulan April yang paling ditakuti ini. One of my biggest fear in life sudah terlewati, masih banyak ketakutan-ketakutan terbesar lain yang mungkin akan gue hadapi nanti. Maka dari itu, kalau ada yang tanya apa rencana setelah ini? Yaa mungkin itu, menghadapi "ketakutan-ketakutan" terbaru dalam hidup. Yang pasti harus keep moving forward dan menata hidup, kan😁.

Beberapa teman mungkin ada yang merasa selebrasinya belum lengkap kalau belum wisuda, but for me personally, gue merasa lebih release pada saat setelah sidang. Karena sesungguhnya saat itulah beban-beban gue menjadi mahasiswa terangkat perlahan. I don't think i need any celebration since we are in the midst of a pandemic. Mungkin hanya toga dan selembar foto yang bisa gue jadikan kenangan dari sana. Selebihnya adalah hadiah yang gue harap bisa gue berikan untuk keluarga gue.

これで私は社会人になって、学生生活はもう終わりました😭!皆ブログで応援してくれてありがとうございました♥️。これからもよく頑張りまーす💪🏻。

Anyways, apa kabar teman-teman semuanya? How's your day? 

P.S: Belakangan ini kok gue merasa dunia blog jadi agak sepi yaaa.. Apa teman-teman merasakan hal yang sama, ataukah ini cuma perasaan gue aja karena baru nongol lagi?😂
Share
Tweet
Pin
Share
43 komentar
 
Hola, first of all, i'm really sorry if the last podcast was too deep or too dark to hear, that maybe some of you were a little surprised by the topic. Gue harap teman-teman mengerti maksud gue, bahwa selayaknya episode yang lain, Rasanya Jadi Tuhan juga tidak lain hanyalah salah satu bahan refleksi, khususnya buat gue pribadi. Sesederhana itu. Sekarang, gue ingin menyampaikan sesuatu yang lebih ringan untuk teman-teman. Mungkin tidak istimewa, tapi semoga memberi arti.

Ah iya, sebelum itu.. selamat menunaikan ibadah shaum bagi teman-teman semua yang menjalankan! Semoga hari-hari kita semakin terisi dengan lebih penuh dan bermanfaat untuk orang-orang di sekitar. Jangan lupa untuk selalu jaga kesehatan, dimulai dari aktivitas sehari-hari seperti pola makan dan pola tidur yang cukup ya, mantewman😊. 

Now, enjoy!

Sepasang Sepatu


Kau tahu, tidak? Kadang kala, di balik sosok yang kuat, mandiri dan tegar, ada bayangan lain sebagai penyangga di belakangnya. Seperti sebuah kanvas yang bersih nan suci, atau kanvas yang sudah terisi penuh dengan warna, pasti selalu ada kayu penyangga di baliknya, agar siapapun yang melihat, bisa mengamatinya dengan jelas. Sosok yang menjadi rumah, di kala ia lemah. Yang menjadi tempat berteduh, di kala hatinya terasa keruh. Yang menjadi tempat bercerita, di kala ia sedih dan bahagia. Dan yang menjadi tempat bersandar, di kala pundaknya tak sanggup lagi berpura-pura tegar.

Kurasa kita semua punya sosok ini. Bahkan jika itu adalah diri sendiri. Dan dalam kondisimu, mungkin pada awalnya seperti ini. Kemana-mana sendiri, sepi, setiap kesedihan dirangkul sendiri, ditahan seorang diri. Hanya carik diari yang menemani. Sebab hanya kesenangan yang bisa dibagi. 

Tak ingin jadi benalu, atau jadi penghalang atas bahagia orang lain. Bukan berarti keluarga tak penting lagi. Hanya saja, kau tahu.. Ada banyak peristiwa dalam hidup kita yang mana tak ingin kita bebankan pada orang-orang terkasih, kepada orangtua, kakak, atau adik. Sudah terlalu berat masing-masing porsi hidup kita. Maka seringkali kita berusaha menyimpannya seorang diri. Berdiri sendiri pada satu kaki, sampai lupa memakaikan satu buah sepatu lagi di kaki kita yang lain.

Hingga pada kondisi dimana akhirnya, sosoknya itu kau temukan.. kau seperti kembali belajar berbicara, berjalan, dan belajar meletakan hati dengan bijak. Bahwa tak segalanya hidup tentang diri sendiri. Kadang, kurasa kita perlu untuk menuntun, atau dituntun. Karena sekuat-kuatnya diri kita menampung, kita pasti butuh untuk mengeluarkan separuh rasanya sedikit demi sedikit, agar porsi kita pada diri ini tak kepenuhan, tak membuat jenuh pada akhirnya. Yah, sedang-sedang saja. Tapi tentu, berpasangan.. tak selamanya tentang kekasih, bisa saja tentang sahabat atau kerabat, yang selalu menemani sampai pagi buta, saat segala topik yang dibicarakan sudah menguap di udara.
 
Bagaikan sepasang sepatu yang kemana-mana selalu beriringan, dan selalu sejalan seirama. Jika salah satu bercecer atau hilang, maka fungsinya tak lagi sama. Bahkan, ia akan sama-sama kehilangan guna bagi si pemilik kaki. 

Mengingat bahwa.. mungkin kita terlalu banyak berceloteh tentang masalah kita kepadanya, aku ingin agar kau sampaikan pada sosok ini. Berterima kasih lah. Terima kasih atas telinga, mata, hati, dan tangan yang dengan tulus diulurkan saat raga sedang tak baik-baik saja. 

Terima kasih karena tanpa disadari, kau telah mengajarkan bagaimana untuk menjadi manusia seutuhnya. Manusia yang mengenal lelah, yang tak lepas dari salah, dan manusia.. yang selalu butuh dimanusiakan.
Share
Tweet
Pin
Share
17 komentar


 
Pernahkah kau berpikir, bagaimana rasanya jadi Tuhan?

Tidak, aku sedang tidak mengajakmu berandai-andai kemudian melampaui batas dari apa yang keyakinanmu ajarkan. Ini hanya, metafora. Pertanyaan yang memang tak perlu jawabannya. Tapi kurasa, perlu kutuliskan disini.

Sebab menurutku, manusia adalah makhluk paling kompleks, yang hanya tak diberi mandat untuk menjaga ketertiban alam semesta, tapi juga untuk menjalani kehidupan sebaik-baiknya, dengan segala macam bentuk perasaan yang sepertinya tak pernah berhenti menggerogoti manusia itu sendiri.

Bagaimana ya rasanya jadi Tuhan?

Dia yang melihat gerak gerik kita setiap hari, dia yang menjadi sutradara, sekaligus penulis cerita yang terlihat seperti tak pernah ada episode akhirnya, untuk hidup kita dan makhluk lainnya di muka bumi, yang mungkin sebetulnya bagi kita tak berarti apa-apa. Dia bak nakhoda yang tak akan pernah berhenti berlayar, membawa kami dalam lautan-Nya yang luas untuk mempelajari tentang laut, bumi, dan dasar-dasarnya, hingga cara survive di dalam kapal yang tak ada pintunya, sampai waktunya tepat untuk berlabuh. Tapi, tentu, Tuhan lebih Agung dari apa yang bisa tergapai oleh nalar kita.

Bagaimana ya rasanya jadi Tuhan?

Menyaksikan makhluk-makhluk ciptaannya yang berakal dan berperasaan ini, mengarungi hidup dengan cerita yang beragam. Dari hidup anak tak berdosa, sampai hidup seseorang yang bejad dan kejinya tak masuk akal bagi pikiran kita. Aku penasaran.. sebab, kau tahulah.. Bagi manusia dangkal seperti kita, saat menjumpai seseorang yang kita cintai sepenuh hati, memiliki kelemahan atau pemikiran-pemikiran yang tak selamanya bisa sejalan dengan apa yang menurutmu benar. Kau pasti kecewa, bukan?

Sementara, bagaimana dengan Tuhan yang harus menyaksikan tingkah-tingkah hamba-Nya yang melampaui batas ini setiap detiknya? Melihat kita yang selalu berpaling dari-Nya saat tengah berlimang kenikmatan, melihat manusia-manusia yang berkhianat dan mempersekutukan-Nya, melihat manusia-manusia tak bersyukur yang bahkan tak meletakan Sang Pencipta di hatinya.

Dalam kondisi-kondisi dimana manusia terlihat menjadi makhluk yang paling hina dan dibenci, di sisi lain.. Dia akan tetap menjadi Dzat yang penuh kasih sayang dan menuntun kita dengan plot rancangan-Nya, untuk kemudian belajar memperbaiki diri dan mengenal diri dengan sebenar-benarnya.

Sedang aku..

Kenapa aku harus selalu sedih dan kecewa saat menemui manusia-manusia yang menurutku tak dapat sejalan dengan pemikiranku? Kenapa aku harus selalu marah saat mengetahui akan fakta bahwa manusia adalah makhluk dengan segudang pemikiran yang berbeda dan isi hati yang sulit ditelusuri, adalah kenyataan yang paling menyakitkan? Kenapa aku harus kecewa saat menyadari bahwa kita memang tak bisa sama?

Ya, aku memang bukan bandingan untuk Tuhan. Seperti yang kubilang di awal, ini hanya metafora. Dan poinku bukan ingin disamakan dengan Tuhan.

Justru itu.. kalau kupikirkan, sudah berapa banyak seharusnya Tuhan kecewa dengan tingkah manusia-Nya yang melampaui batas ini? Sudah berapa kali seharusnya Tuhan lebih berhak marah atas keputusan-keputusan hamba-Nya yang menyimpang? Namun Dia tak pernah benar-benar lepas tangan atas kenakalan kita, sebab rasa cinta-Nya yang lebih luas dari planet manapun.

Sedang aku, menemui satu atau dua sesama manusia saja.. yang kompleksnya bukan main, rasa sudah tak karuan. Mengaku cinta, sayang, tapi banyak kekurangan yang kadangkala tak bisa kuterima saat mengetahui kenyataannya. Apa hakku berbuat demikian? Toh Tuhan saja Maha Memaafkan. Dia tak pernah lari sekalipun, jika harus kembali menuntun hamba-Nya untuk yang ke 100.000 kalinya.

Aku sadar itu. Bahwa pada akhirnya, masing-masing dari kita hanyalah persinggahan satu sama lain. Sebab kita sama-sama manusia, yang tak akan bisa sempurna. Selalu punya titik kelemahan, dan titik itu.. yang seringkali tak bisa kita terima, bukan hak kita untuk tak menerima. Bukan hak kita untuk mengatur.

Disinilah aku.. melepas pemikiran-pemikiran idealisku tentang manusia yang hidupnya penuh persimpangan. Karena sudah bukan ranahku lagi untuk memaksakan ini. Maksudku, aku bukan Tuhan yang bisa selalu mencintai dan menerima hamba-Nya yang ingin kembali, dalam kondisi apapun. 

Yah, siapa aku? 

Karena aku tak pernah tahu, dan tak akan bisa tahu, rasanya jadi Tuhan. 
Share
Tweet
Pin
Share
7 komentar
 
Cuma Cerita #3

Halo, guys! Nggak terasa sudah memasuki bulan April. Bulan Maret lalu tuh rasanya kayak roller-coaster buat gue. Gimana nggak? Orang emosi gue berasa diaduk-aduk tiap hari. Hari ini happy, besok bisa sedih, bingung, stress seketika, begitupun sebaliknya. But you know what? Akhir bulan Maret kemarin, hidup gue bener-bener plot-twist! Why? Mungkin nanti gue akan ceritakan dalam satu post khusus. Iya, nanti, kalau waktunya sudah pas😳

Beberapa plot-twist yang bisa gue ceritakan sekarang adalah, selain gue dapat hadiah sebagai juara kedua dari CR Challenge ke-3 nya kak Eno (thank you kak Eno!😍), akhir bulan kemarin gue dapat kiriman buku dari Mbak Thessa yang nggak pernah gue kira sebelumnya. Ada yang bisa tebak?

Cuma Cerita #3

Yuhuuu i got JK Rowling's Wizarding World's book for creatures edition y'all! I was so excited waktu pertama kali dapat email kalau mbak Thessa mau kirim sesuatu untuk gue, dan semakin excited saat paketnya sampai beberapa hari kemudian. How sweet mbak Thessa🤧

Beberapa creatures dari film Harry Potter di bawah ini mungkin familiar buat teman-teman yang udah pernah nonton seri Harry Potter. Sebenernya gue juga punya sih favorite magical creatures dari film Fantastic Beast, contohnya Bowtruckle (si tanaman kecil ijo-ijo itu yang suka masuk coat si Newt😆), tapi gue lupa foto😭 sawry.


Hedwig!

Dementors, makhluk yang pingin banget gue temuin, tapi juga gue takutin. Gimana dong?:(

Merpeople, atau putri duyung (bukan temannya dombah). Walaupun lebih mirip siren dan serem, somehow gue selalu suka sama duyung-duyungan. Keren aja gitu bisa napas di dalem aer, apalagi gue nggak bisa berenang😬

Hippogrif, yeay! Atau kalau dalam film Harry Potter and the Prisoner of Azkaban, namanya Buckbeak😍

Gue nggak pernah terima hadiah apapun related to Potter(head)-World sebelumnya, jadi gue nggak bisa berkata-kata waktu terima hadiah buku ini. Dan sejujurnya buku ini bener-bener bisa jadi obat melek gue dari skripsi yang belum juga kelar, ehe. Terima kasih untuk gift-nya mbak Thessaa, it means a lot to me😍🤧💕

Anyway, dengan dimunculkannya kembali segmen Cuma Cerita, udah jelas lah yaa bahwa ini artinya gue lagi kehabisan topik buat dibagiin😆. Maka dari itu, hari ini gue purely mau cerita aja. Lebih tepatnya, mau misuh-misuh kali ya. *HWEELPP izinkan gue misuh-misuh hari ini.

Yang pasti bulan ini gue mulai bakal ilang-ilangan lagi seperti sebelumnya, karena banyak hal yang harus gue urus dan selesaikan. Seperti hari ini, gue lumayan menyesal karena lambat mengerjakan sinopsis atau summary skripsi gue yang harus ditulis dalam bahasa Jepang (padahal udah disuruh dari minggu kemarin). Sejujurnya, awalnya gue cuma mau istirahat sebentar aja setelah kirim-kirim email untuk ngasih lihat progress gue, eh tapi malah bablas angine, rek! Sama seperti quotes dari IG yang gue screenshot dan gue simpen di galeri hape tapi nggak pernah dilihat lagi: once you quit, it will becomes a habit. *kurang lebih begitulah yaa.

Indeed, almost in eeeeeevery aspect.

Itulah, kalau sekalinya jeda atau istirahat, pasti bakal keterusan. Sebenernya nggak apa-apa juga sih, it's really necessary for you take a breath while doing something important. Sejam, dua jam, sehari, it's okay. Asal jangan nambah jadi dua hari, tiga hari, kayak gue. Akhirnya gue pun harus bergelut melawan monyet-monyetnya Tim Urban di kepala gue yang maunya cuma leha-leha aja. Apalagi ngebayangin tulisan-tulisan kanji dan kumpulan pola kalimat buat penulisan ilmiah yang udah lama banget nggak gue jabanin, berasanya udah meledak duluan otak gue. Tapi mau gimana lagi, ya harus dikerjain duoonggg. Gue juga kesel sendiri soalnya, kalau semakin banyak hari yang dilewatin tanpa hasil. Jadilah, sesuai dugaan gue, pada 400 kata pertama kepala gue mumet cekat-cekot kayak mau pecah. Masalahnya udah satu tahun lebih cuy sejak terakhir kali gue belajar Bunsho Sakuseiho dan kawan-kawannya di semester 7. Itu semester 7 lho, sekarang udah lewat berapa semester. Alemong gimana gak bodoh gue🙃

Dengan demikian, gue cuma mau bilang, bulan April ini mungkin akan jadi bulan berikutnya yang penuh dengan plot-twist, which i completely have no clue what it is. Jadi, mungkin gue akan kembali ilang-ilangan seperti sebelumnya. *Eh, perasaan gue udah bilang ya di atas? 

I also need to figure out all the plans ahead, karena semakin dekat kita dengan pertengahan tahun, semakin besar juga tanggungjawab dan rencana yang harus gue susun untuk masa depan.

Semoga kita bisa melalui bulan ini dengan lebih mindful, ceria dan penuh kesabaran ya, teman-teman! Jangan lupa dengarkan episode terbaru podcast gue di postingan yang sebelumnya, dan mungkin postingan setelah ini. Karena sepertinya untuk sementara waktu gue bakal lebih sering update podcast, daripada tulisan baru. You know what i mean😔 Yeah, gue punya lumayan stok tulisan untuk podcast soalnya. So, sorry banget kalau gue belum sempat balas komen teman-teman, ya😟

Akhir kata, terima kasih sudah mau mendengarkan keluh kesah gue. Selamat beraktivitas, gengs!
Share
Tweet
Pin
Share
7 komentar
Newer Posts
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Bukan Salah Indonesia
  • Childfree yang Diperdebatkan
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Just Listen
  • Terlalu Besar Untuk Gagal

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

My Podcast

Newsletter

Get new posts by email:

Popular Posts This Week

  • Di Balik Angkasa
  • by.U: Solusi #SemuanyaSemaunya
  • Become a Fighter
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Goodbye Wasteful Life, Welcome Minimalism
  • Unlock the Key: Karya Neoclassical Metal Versi Isyana Sarasvati?
  • Menjadi Manusia
  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • How I See Feminist as a Muslim
  • Series Review: The Billion Dollar Code, Pelanggaran Paten Terhadap Google Earth?

Blog Archive

  • ▼  2024 (2)
    • ▼  Oktober 2024 (1)
      • Posture Perfect: How Wearing a Waist Trainer Can I...
    • ►  Agustus 2024 (1)
  • ►  2023 (1)
    • ►  Februari 2023 (1)
  • ►  2022 (9)
    • ►  November 2022 (1)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (1)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  Maret 2022 (2)
    • ►  Februari 2022 (2)
  • ►  2021 (30)
    • ►  Desember 2021 (1)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  Juli 2021 (3)
    • ►  Juni 2021 (2)
    • ►  Mei 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  Maret 2021 (5)
    • ►  Februari 2021 (1)
    • ►  Januari 2021 (5)
  • ►  2020 (46)
    • ►  Desember 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  Oktober 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (10)
    • ►  Juli 2020 (8)
    • ►  Juni 2020 (4)
    • ►  Mei 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  Desember 2019 (3)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Agustus 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Februari 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Pengikut

Categories and Tags

Intermeso Krisis 1/4 Abad Opini Perempuan Podcast Poetry Review Thoughts digital marketing karir lifestyle slice of life

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.