Diberdayakan oleh Blogger.
  • Home
  • About
  • Lifestyle
  • Personal
    • Opini
    • Thoughts
    • Slice of Life
    • Poetry
    • Intermeso
  • Podcast
  • Review
instagram LinkedIn Spotify YouTube Email

Notes of Little Sister



Minggu yang Sibuk (Belajar Digital Marketing)
 
Knock knock!! Apa kabar semuanya? Baru semingguan melipir dari dunia blog serasa udah berminggu-minggu! Mungkin karena gue sempat vakum lama sampe sebulan lebih sebelumnya, jadi kalau ngilang sebentar tuh rasanya kayak udah lama banget😅
 
Anyway, minggu ini bisa dibilang minggu yang lumayan hectic (plus jadi sebuah pencapaian buat gue). Dua minggu terakhir ini gue baru aja mengikuti beberapa kelas tentang content-making skill dan digital marketing, two fields that I am very passionate about these days. Dari content making ini, fokusnya adalah menyiapkan peserta agar menjadi seorang video creator yang baik dan kreatif. Sementara untuk digital marketing, gue belajar banyak hal baru, karena ternyata cabang dari bidang ini tuh banyak banget. Di sekitarnya ada product marketing, dan marketing communications. Nah, digital marketing masuk ke dalam marketing communications, yakni online marketing dan satu line dengan offline marketing.

Lewat online marketing sendiri kita diperkenalkan dengan banyak tools dan skillset yang mesti dimiliki seorang digital marketer. Dari mulai SEO (definitely), SEM, Social Media Ads dan Organic, Display Ads Network, dan CRM (Customer Relationship Management) yang mana di dalamnya juga masih ada beberapa cabang, seperti email marketing, push notifications, dan sebagainya yang masing-masing memiliki fungsi tergantung kebutuhan dan objective campaign dari sebuah brand. Fiuhh. 

Melalui kelas-kelas ini, gue jadi tau bahwa ada perhitungan tersendiri bagi sebuah brand untuk memasarkan produk mereka lewat jaringan online. Oleh karena itu, munculah yang namanya Organic dan Paid Search. Kedua strategi marketing ini punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing yang bisa ditentukan oleh Scalability, Targeting, dan C-A-C (Customer Acquisition Cost). Ketiga elemen inilah yang akan membantu seorang digital marketer dalam menentukan nasib iklan produk dari brand mereka. Tentunya elemen-elemen ini juga akan sangat panjang kalau dijabarkan lagi😅 

Jujur gue salut dan berterima kasih banget sama akademi yang ngadain kursus ini, meski materinya super padattt, tapi gue masih bisa nangkep berbagai informasi dan elemen penting yang dijelaskan. Bahkan dalam waktu yang pendek ini, gue bisa belajar tentang Facebook Ads (which is mencakup Instagram sebagai anak perusahaannya), dan bagaimana caranya beriklan sesuai dengan guidelines, Facebook Policy, dan kebutuhan customers serta brand terkait agar goals dari iklan tersebut bisa tercapai sesuai yang diharapkan. 

Sebab, tiap brand pasti punya alasan tersendiri kenapa mereka mau mengiklankan produk mereka lewat Facebook Ads (yang termasuk Social Media Ads). Misalnya, ada brand yang baru saja mengeluarkan produk baru dan ingin menjangkau new customer dengan cara meningkatkan brand awareness terlebih dahulu, ada pula brand yang berusaha menjangkau orang-orang dengan demografi yang spesifik, kedua hal ini bisa dilakukan dengan memilih Social Media Ads. Dan sejujurnya masih ada banyaaak lagi contoh kasus dan berbagai skema digital marketing yang bikin gue enlightened tentang bidang ini. Tapi terlepas dari itu, satu hal yang juga nggak kalah menarik dari kursus ini adalah, gue juga bisa dapat ilmu tentang copywriting, yang mana bidang ini masih sepupuan dengan content writing. Hopefully, gue bisa aplikasikan semua ilmu yang gue dapat nantinya. 

Namun di balik sisi positif, tentu disitu ada juga sisi negatifnya yang mesti gue rasakan. Akibat mantengin terus layar monitor selama lebih dari 10 jam (I guess?) sampai gue tidur—kelasnya selesai jam 9 malam, gue jadi mudah pusing dan sakit mata. Alhasil gue nggak sempet ceki-ceki blog gue, karena selama itu sisa waktu yang ada gue pakai untuk pelajari tentang assignment dan case study yang diberikan. Actually it was fun though! Mungkin karena udah lama nggak ngerasain dapet tugas dan masuk kelas, jadi ketika dapat assignment, gue ngerasa excited banget buat belajar. Yah, walaupun ujung-ujungnya satu case study nggak berhasil gue kumpulin karena gue salah lihat waktu batas pengumpulan. Hiks🤧. 

Overall, gue sangat menikmati kesibukan ini, karena gue bisa belajar banyak sekali hal baru apart from my major at college. Hitung-hitung sambil mengisi kekosongan, lebih baik otak gue diajak buat mikir soal pelajaran, kan, daripada mikirin hidup dan takdir yang nggak ada habisnya😂

Kalau teman-teman, seminggu ini ngapain aja? Ada yang spesial kah?🤭 Yok, sharing! xx
Share
Tweet
Pin
Share
26 komentar
 

Review Serial Netflix Squid Game

Mugunghwa kkochi pieotseumnida..

Apakah kamu sudah nonton serial Netflix terbaru: Squid Game, yang baru-baru ini nangkring di daftar tiga besar serial top Netflix US mengalahkan Money Heist? Atau jangan-jangan ada yang belum tahu? Kita ulik sama-sama, yuk!

Kutipan berbahasa Korea di atas adalah sebuah penggalan dari salah satu permainan tradisional Korea Selatan yang muncul dalam serial netflix Squid Game. Permainan ini terdiri dari penjaga pos dan pemain. Selama kalimat tersebut diucapkan oleh penjaga pos, pemain berusaha mendekatinya sehati-hati mungkin agar tidak ketahuan bergerak saat penjaga pos berhenti mengucapkannya dan menoleh ke belakang. Pada permainan aslinya, semua pemain berlari bila punggung penjaga pos berhasil ditepuk. Sekilas kelihatannya seru dan menyenangkan, ya? Tapi ternyata tidak berlaku demikian, folks, untuk drama Korea Squid Game ini!

Squid Game adalah sebuah serial yang bertemakan survival game alias permainan bertahan hidup yang didesain ulang berdasarkan permainan tradisional anak-anak di Korea dengan genre survival-thriller. Nama Squid Game diangkat dari salah satu jenis permainan yang dimainkan, disebut squid atau cumi-cumi, karena lapangan yang digunakan untuk bermain memiliki bentuk seperti cumi-cumi.

Secara garis besar menceritakan tentang kehidupan Song Gi Hun, seorang single-parent yang kehilangan hak asuh atas putrinya karena tidak punya pekerjaan, terlilit utang ratusan juta won, dan hidup luntang lantung tanpa privilese. Ia senang berjudi pada olahraga pacuan kuda dan hanya menumpang di rumah sang ibu yang justru tengah menderita penyakit diabetes akut dan bekerja sebagai pedagang. 

Dalam keputusasaannya itu, suatu hari dia bertemu dengan salah seorang agen yang menawarkannya untuk ikut bergabung dalam sebuah permainan misterius, dimana permainan ini mempertaruhkan uang sebesar 45,6 milliar won. Tidak perlu kerja keras menghabiskan waktu sekian tahun untuk menabung, cukup memainkan enam permainan selama enam hari, menang (selamat), terus dapat uang, deh.

Song Gi Hun akhirnya penasaran dan tergiur untuk bermain dan bergabung bersama ratusan orang lainnya yang ternyata juga memiliki kesulitan hidup dan sedang dikejar-kejar utang. Disana, ia bertemu dengan teman kecilnya, Cho Sang Woo, yang selama ini mengaku tengah melakukan perjalanan bisnis di Amerika, namun nyatanya terlibat utang dan menjadi incaran polisi karena kegagalan investasinya. Ia juga dipertemukan dengan seorang kakek pengidap tumor otak, gadis asal Korea Utara, Kang Sae Byeok, dan seorang imigran gelap asal Pakistan, Ali. 

Mereka membentuk tim untuk bisa bertahan dan melindungi satu sama lain, meskipun pada akhirnya berbagai pengkhianatan pun tak mampu terelakan di dalam ruang kubus yang besar dan antah berantah itu. Di dalamnya, serial ini juga memperlihatkan tentang seorang polisi muda yang berjuang mencari kakaknya yang ia curigai tengah bergabung dalam Squid Game. Berbagai rencana cerdik ia jalankan yang mana malah membawanya pada satu masalah besar. 

Review Squid Game Serial Netflix
Spoiler alert🚨🤫

Sebagaimana sebuah film dengan genre survival-thriller, berbagai pertumpahan darah seakan menjadi hal yang lazim disini, dari mulai tembak menembak hingga tusuk menusuk. Serial ini mulai terasa menegangkan saat permainan pertama dimulai, yang mana adalah permainan Lampu Merah, Lampu Hijau yang telah dijelaskan sebelumnya. Semua orang tampak terkejut dengan twist yang dihadirkan dalam game tersebut. Mungkin mereka pikir permainan anak-anak yang dipakai hanya sebatas permainan biasa, yaa. 

Squid Game sebetulnya bukan satu-satunya serial atau film yang mengusung konsep survival game. Produksi Netflix sebelumnya, Alice in Borderland, juga menyuguhkan tema cerita demikian. Ada juga beberapa judul dengan jalan cerita yang memiliki genre serupa, seperti The Hunger Games, Escape Room, Ready or Not, The Hunt, Battle Royale, dan film Jepang As the Gods Will, yang bahkan dituduhkan menjadi inspirasi plagiarisme yang dilakukan oleh penulis Squid Game (namun beliau telah mengkonfirmasi bahwa ia sudah menyusun naskah ini sejak tahun 2008, adapun kemiripan dalam permainan ialah karena kedua negara tersebut memang memiliki jenis permainan yang sama).

Bukan Sekadar Survival-Thriller Drama

Namun bukan drama Korea namanya jika tidak bisa mengambil hati penonton dengan segala kompleksitas cerita, plot-twist dan pendalaman karakter yang brilian. Sama seperti film Parasite, Squid Game secara tidak langsung menyorot isu sosial yang mengakar terjadi dalam kehidupan sehari-hari, contoh sederhananya ditunjukan melalui diskriminasi kaum perempuan yang dianggap lemah dan terpinggirkan ketika menyangkut pertarungan, lalu dijadikan alat pemuas hasrat belaka yang mana ketika telah terpenuhi malah dibuang begitu saja.

Kelas sosial juga ditampilkan melalui tugas para staff berseragam merah dan bertopeng yang bekerja dalam pengaturan Squid Game, masing-masing memiliki simbol segitiga, segi empat dan lingkaran pada topengnya. Menurut Hwang Dong Hyuk sang sutradara, simbol lingkaran mewakili para pekerja, mereka tidak diperbolehkan untuk berbicara atau menjawab ketika tidak dipinta, hanya menjalankan perintah atasan. Lalu segitiga adalah simbol untuk tentara, mereka yang bertugas khusus mengeksekusi pemain. Sementara segi empat untuk manajer, para kaki tangan bagi The Front Man, sang pemimpin yang berhubungan langsung dengan Host, mastermind dari permainan misterius tersebut. 

Tidak hanya peran masing-masing staff bertopeng, adanya Squid Game ini sendiri menyandung isu kapitalisme dan kelas sosial yang lebih besar. Orang kaya yang memiliki terlalu banyak uang kebingungan bagaimana agar bisa menemukan kesenangan. Hausnya kebahagiaan hakiki yang mereka rasakan menjadikan orang-orang kelas bawah—dalam hal ini para pemain yang terlilit utang piutang dan persoalan hidup lainnya—sebagai objek penghibur mereka layaknya kuda di tengah arena.

Cerita ini ditampilkan oleh para VIP yang menonton mereka dari balik kaca saat permainan tengah berlangsung, dan bertaruh untuk sesuatu yang mereka sebut kebahagiaan. Sebuah ironi yang nyata berkebalikan dengan kisah Song Gi Hun, yang bertaruh untuk mendapatkan uang demi mencicil utang dan membelikan hadiah ulangtahun bagi putrinya.

Mengulik lebih jauh tentang kapitalisme, menurut Karl Marx, kapitalisme adalah sistem dimana harga barang dan kebijakan pasar ditentukan oleh pemilik modal supaya mencapai keuntungan yang maksimal. Tentu saja realitanya sistem ini hanya menguntungkan sebagian kalangan selaku pemilik modal, menekan para pekerja atau buruh dan menyeret mereka pada sistem sosial yang menyeluruh, lebih dari sekadar sistem perekonomian, sebagaimana yang disebutkan Ebenstein (1990) dan Ir. Soekarno. 

Para VIP, termasuk Host dari penyelenggara Squid Game mengabaikan sikap kemanusiaan karena hegemoni kapitalis dan individualisme yang dianutnya. Mereka tidak percaya dengan manusia, oleh sebab itu tidak ada belas kasih dalam aturan-aturan di setiap permainannya, bahkan termasuk dalam management-nya sendiri. Sekali saja tertangkap melanggar, nyawa adalah taruhannya. Mereka pikir tujuan utamanya adalah uang dan kebahagiaan, yang bisa ditukar macam simbiosis mutualisme.

Tidak Lepas Dari Oknum

Di balik isu kapitalisme dan kesenjangan sosial, jalan cerita yang apik ini semakin kompleks dihadirkan oleh para oknum yang memanfaatkan keadaan manusia lain. Beberapa staff yang memiliki akses terhadap ruang-ruang rahasia disana memanfaatkan momen krusial ini dengan menjadi penyalur organ tubuh para pemain yang telah mati untuk diperjualbelikan. Oknum-oknum ini, yang juga datang dari kalangan pekerja, mencari segala cara untuk kepentingan dirinya sendiri meski mereka tahu risikonya sangatlah besar. Tentunya sikap ini tidak menjadi akhir yang memuaskan bagi mereka, karena secerdik apapun strategi yang dimiliki, pada akhirnya kita tidak bisa melawan para 'pemilik modal' yang berkuasa. 

Dalam realitas sosial, keseharian kita juga tidak lepas dari oknum-oknum yang mengutamakan kepentingan pribadi, baik dari skala kecil hingga besar. Kalau di Indonesia, contoh paling nyata ditampakan lewat korupsi dana bansos yang dilakukan mantan menteri Juliari Batubara untuk bencana Covid-19. Belum lagi calo-calo yang mengambil keuntungan dari vaksinasi di beberapa daerah, serta harga SWAB Test yang diklasifikasikan untuk golongan-golongan tertentu. Meningkatnya pengangguran dan PHK, juga berbanding lurus dengan bertambahnya kekayaan para petinggi di tengah pandemi.

Berbagai konflik yang dibangun dalam Squid Game sesungguhnya benar-benar menampar kita akan realita sosial yang sering terjadi. Mungkin faktor-faktor tersebut lah yang membuat serial ini menjadi sangat terkenal di beberapa negara. Ia bukan hanya berisi tentang perjuangan hidup dan permainan anak-anak yang berubah mengerikan. Lebih jauh dari itu, keseluruhan plotnya membungkus kisah manusia secara umum dengan segala sistem yang mencekik dan menguntungkannya, didukung oleh pendalaman karakter dan pengkhayatan para aktor membuat problema yang dialami masing-masing tokoh menjadi terasa sangat dekat dengan penonton. 

Mungkin saja memang Hwang Dong Hyuk sebagai penulis dan sutradara tidak sedetail itu mengaitkan semuanya ke dalam sistem sosial dan sebagainya, namun dengan tersadarnya kita akan refleksi ini tentu menjadi nilai tambah tersendiri untuk Squid Game, bahwa waktu panjang penulisan naskah rupanya berhasil menampilkan drama kehidupan yang sarat akan makna dan pesan moral.

Squid Game seakan menyadarkan kita, seseorang bisa 'gila' jika terlalu kekurangan dan terlalu kelebihan. Kira-kira setelah menonton ini, apa kamu masih percaya manusia?
Share
Tweet
Pin
Share
34 komentar
 
Jalan-Jalan ke Floating Market Lembang

Hi, folks!! Kayaknya gue belum sempat betul-betul menyapa sejak terakhir kali gue posting tulisan terbaru, itupun lewat podcast cuma sebentar😅. Oleh karena itu, hari ini gue ingin berbagi cerita sedikit soal how i spent my weekend last week.

Hari Jum'at minggu lalu, kebetulan gue lagi ada keperluan untuk urus perihal akademik ke Bandung, selagi ada kesempatan dan considering bahwa teman-teman gue pastinya libur kerja di akhir pekan, maka gue memutuskan untuk mengajak mereka meet up dan hasilnya kita memilih jalan-jalan ke Floating Market Lembang yang terjangkau dari segi jarak dan money. Walaupun dari delapan gengs yang bisa ngumpul cuma empatan termasuk gue karena yang lainnya nggak sedang di Bandung, but it's still fun! Mengingat udah setahun lebih kita nggak ketemu, hiks. 

By the way, ini pertama kalinya lho kita ke Floating Market. Salah satu sobat gue ada yang udah pernah kesana sih, tapi sisanya nope! Iya, tinggal hampir lima tahun di Bandung nggak berarti lo bisa bebas ke tempat wisata manapun sampai dijabanin satu per satu😆. Gue sendiri aja belum pernah ke Farm House, padahal dari kost yang dulu jaraknya deket banget, dengan menggunakan motor paling cukup menempuh perjalanan selama 12–15 menit. Rata-rata anak kost-an disini, saat libur yang dicari bukan tempat wisata yang crowded dan bikin pusing, tapi justru tempat-tempat makan atau bahkan sekalian aja ke tempat yang teduh dan menenangkan macam coffee shop (yang nggak banyak orang ofc) dan wisata alam. Tentunya wisata alam yang nggak terlalu ramai, toh di Bandung banyak banget kok tempat-tempat terbuka yang nggak bersinggungan langsung sama wisatawan. 

Harga masuk ke Floating Market itu sebesar Rp. 25.000. Selain pasar terapung dan wisata perahu, ada macam-macam wahana dan wisata yang bisa kita kunjungi, misalnya Swimming Pool + Pemandian Air Hangat, Rainbow Garden, dan Kota Mini. Namun tentu biaya masuknya masing-masing berbeda dari Floating Market. Nah, untuk Kota Mini sendiri harga tiketnya (jika hanya ingin melihat-lihat dan nggak menikmati wahana yang ada) sama dengan biaya masuk Floating Market, yakni sebesar Rp. 25.000. Sebetulnya pada papan iklan di pintu masuk ada informasi bahwa kalau kita ingin masuk ke Floating Market dan Kota Mini sekaligus, harganya diturunkan dari yang seharusnya Rp. 50.000 masing-masing tiket, jadi Rp. 40.000. Hanya saja karena waktu itu gue termakan trik marketing mas-mas yang ngasih tiket (dia nggak nawarin paket Floating Market dan Kota Mini, melainkan Floating Market aja), gue jadi harus bayar lagi pas mau ke Kota Mininya. Lesson learned. Gue sangat anjurkan buat teman-teman yang mau kesana dan ingin masuk ke kedua tempat ini, alangkah baiknya bilang di ticketing pas awal masuk biar nggak bayar dua kali😅.

Oh iya, tiket masuk ini juga sudah include voucher minuman yang bisa kita tukarkan tepat di area pasar terapung, pilihannya ada orange juice, latte, moccachino, milo, atau susu coklat. Karena waktu itu udaranya lagi mendung dan dingin, so pasti kami pesan minuman selain juice (gue pilih milo). 

Jalan-Jalan ke Floating Market

Di dalam kawasan Floating Market sendiri ada wisata jejepangan yang namanya Kyotoku, disana teman-teman bisa sewa yukata (pakaian tradisional Jepang) dan berfoto ala-ala Jepang di area khusus yang bernuansa Jepang. Berhubung harga sekali sewa dan foto bisa lebih dari seratus ribu, gue nggak masuk ke dalam dan cuma berjalan melewati area Kyotoku aja, lalu terus lanjut ke pasar terapung untuk icip-icip kuliner disana dan jalan-jalan ke destinasi yang lain. Teman-teman bisa lihat rangkuman wisata perjalanan gue dan teman-teman yang super duper singkat ini di mini vlog (yang juga zuperrr singkat) di bawah😁


Tapi sowry banget gue malah nggak videoin secara full bagian kulineran di pasar terapungnya, karena situasi disana waktu itu ramai banget. Saat jalan pun inginnya cepet-cepet aja biar nggak berdekatan sama orang banyak, jadi gue nggak sempet bikin video, maklum masih amatiran😅 

Disana gue cobain sate kelinci + lontong, dan ketiga teman gue pesan mie aceh sama ramen. Bagi yang belum tau, metode pembayarannya pun cukup unik, yakni pake koin. Tapi jangan bayangin koin yang logam kayak uang gopean ya, menurut gue koinnya lebih mirip koin krambol wkwk. Temen gue sampe ketawa pas gue bilang "kayak mau main karambol", karena memang semirip itu buat gue🤣. 

By the way, ini pertama kalinya gue makan sate kelinci. Sebelumnya nggak pernah berani untuk makan karena nggak tega. Buat gue, kelinci itu sama imutnya kayak kucing. Gue nggak bisa bayangin hewan peliharaan seimut ini disembelih untuk dimakan, maka dari itu sebelumnya gue nggak pernah mau coba. Tapi di satu sisi, gue juga penasaran pingin cicip. Berhubung waktu itu gue bingung mau makan apa, ditambah gue memang belum makan berat, yaudah deh gue pesen sate aja. Ternyata rasanya mirip-mirip kayak sate ayam, cuma lebih kenyal dan juicy. Selama makan itu, i swear i was trying so hard not to imagining how innocent and sweet rabbits are🐰. 

Selepas dari sana, seperti yang ada di video, kita lanjut keliling-keliling Kota Mini and took a lot of pics. Untuk Kota Mini sendiri konsepnya ialah pedesaan Eropa, nggak heran bangunan-bangunannya terkesan mirip dengan bangunan Eropa. Sebetulnya Kota Mini ini lebih cocok untuk keluarga yang membawa anak-anak, karena sebagian besar wahananya juga bertema edukasi profesi yang ditujukan untuk anak-anak, seperti Cooking Class, Farmers Market, Police, Science Center, Fire Rescue, Baby Clinic, Barbie Salon, ada juga Bear House dan Playground. Waktu itu wahana yang bisa gue masukin cuma Rumah Ilusi (yang banyak kacanya itu). Sisanya gue kurang tau apakah bisa dimasuki juga oleh orang dewasa atau nggak. 

So, begitulah cerita gue di hari Minggu sebelumnya. Meski singkat dan cukup melelahkan karena gue nggak berhenti beraktivitas sejak hari Jum'at di Bandung itu, but i felt content. I truly were. Waktu beberapa jam bersama teman-teman setidaknya bisa mengobati kerinduan kami setelah setahun lamanya nggak ketemu terhalang pandemi. Sumpah, kita tuh terakhir ketemu saat masih di kampus di bulan Februari 2020. Sisanya cuma komunikasi lewat WhatsApp. Sebetulnya dengan kedua teman yang lain gue memang udah sempat ketemu beberapa kali, tapi untuk bisa kumpul tuh moment yang jaraaaang banget. Gue bersyukur akhirnya bisa diberikan kesempatan untuk ketemu mereka lagi dan ngumpul bareng meski nggak semuanya. Semoga setelah pertemuan ini, kita bisa ketemu dan hangout bareng lagi secara lengkap di lain waktu, AAMIIN!! 

Terima kasih teman-teman udah baca sampai habis, hihi. Maaf kalau story kali ini kurang informatif, mengingat gue bukan traveler dan juga udah lupa beberapa informasi seputar Floating Market😅 Tapi semoga bisa menghibur, ya😉 Sampai jumpa di postingan berikutnya!! 


P.S: Thanks to masker karena gue jadi lebih PD nongolin muka di video, LOL. 

Share
Tweet
Pin
Share
17 komentar

Halo semua!! Podcast Notes of Little Sister kembali lagi. Well, sebetulnya episode ini bukan yang baru gue tulis, melainkan memang sudah pernah gue rekam di bulan Juni lalu. Rencananya akan dipakai untuk bahan collab dengan teman gue yang seorang illustrator design. Namun berhubung gue masih kehabisan ide dan nggak mau podcast gue terlunta-lunta, maka sambil menunggu inspirasi datang, gue memutuskan untuk publish ini sebagai episode ke-13. Semoga teman-teman suka, merasa relate, dan terakhir.. selamat mendengarkan!🥰

o-o

Hidup di zaman penuh jerat
Rasanya semua berlomba-lomba menjadi kuat
Media sosial layaknya sirkus penuh akrobat
Semakin dilihat, semakin membuat penat

Beribu kekuatan ditonjolkan
Bahkan jika disana tampak kesedihan
Rasanya esok harus bahagia dengan instan
Seakan-akan kita semua robot tak berperasaan

Lelah juga ya jadi manusia super
Walaupun kadang tak ada yang meminta
Dengan sukarela kita berlelah ria
Padahal mungkin saja hidup kita tak ubahnya seperti joker

Manusia memang begitu
Suka lupa bahwa lemah adalah watak kita
Sia-sia waktu perhatikan yang hebat saja
Tinggalkan nyata demi yang semu

Harus berapa kali diingatkan
Bahwa tak apa menjadi lemah
Sesekali kita perlu jujur terhadap diri
Sebab bukan kau saja yang merana

Mungkin sudah tabiat manusia pandai menyembunyikan rasa
Namun kita juga tak boleh lengah
Tak selamanya lemah adalah kekurangan
Kuat pun bisa jadi kelemahan, kalau kita menggantungkan semuanya disana

Kau bukanlah mesin yang sesamamu ciptakan, yang dipaksa terus berjalan
Hidup kita punya batas
Pun segala rasa dan emosi yang valid dialami
Karena kita hanyalah manusia..

Kini coba tarik napasmu, lalu embuskan
Tanya diri, bagaimana emosi hari ini?
Apakah kuatmu datang tanpa paksa?
Atau lemahmu justru memberi kekuatan?

Share
Tweet
Pin
Share
6 komentar
Saipul Jamil dan Cancel Culture

Postingan ini dibuat pada tanggal 7 September 2021 dan gue muat juga dalam Kompasiana update "Balada Glorifikasi Saipul Jamil dan Sisi Positif Cancel Culture", karenanya isi berita tidak mengikuti perkembangan terkini perihal kasus terkait (mungkin akan gue tulis pada postingan berikutnya). 
o-o

Lima tahun yang lalu, artis Saipul Jamil ditangkap karena kasus pelecehan yang ia lakukan terhadap dua anak di bawah usia 18 tahun. Meski kedua korban tersebut sudah memasuki usia pubertas, tindakan seperti ini tergolong ephebophilia dan tidak bisa dianggap sepele. Kemudian baru-baru ini, berita keluarnya ia dari penjara justru menimbulkan beragam komentar di media sosial. Mengapa? Ini nih kelucuan negara kita yang bikin geleng-geleng kepala.

Setelah masa hukumannya itu habis, rupanya ia mendadak tenar lagi dan dipastikan kembali ke ranah entertainment setelah mengantongi beberapa kontrak kerjasama dari stasiun TV yang menunggu kepulangannya. Bahkan yang lebih ngadi-ngadi lagi, dia disambut bak pahlawan olahraga yang baru pulang dari Olimpiade Tokyo kemarin. Dikalungi bunga, diarak, dan dipertontonkan di frekuensi publik kita. Sungguh miris.

Perlakuan istimewa yang didapatkan Saipul Jamil selepas dari penjara seakan mengingatkan kita bahwa Indonesia benar-benar masih menganggap remeh kasus kejahatan seksual. Tampaknya kita memang belum siap mengalami kemajuan berpikir karena orang-orangnya mudah sekali memaafkan para pelaku kejahatan, terkhusus bagi selebriti tanah air. Mungkin mereka pikir, yang penting hukumannya sudah dijalankan, dan semua permasalahan sudah diselesaikan 'secara kekeluargaan'.

Lho, memangnya iya keluarga korban sudah betul-betul memaafkan? Pun kalau sudah dimaafkan, apakah dia pantas wara wiri di siaran publik yang mana mungkin saja akan memancing trigger korban? Lalu kita sebagai masyarakat, apakah benar kita yang punya hak untuk memaafkan pelaku dan membiarkannya "menebus" dosa dengan memperkaya diri di program-program televisi?

Perlu diketahui, dampak psikologis yang dialami korban kejahatan seksual itu bukan sesuatu yang bisa kita pinggirkan hanya demi rating dan engagement. Para pelaku industri hiburan harus menyadari tanggungjawabnya sebagai media massa, bukan semata-mata untuk melindungi psikis korban, namun juga untuk mengedukasi masyarakat bahwa tindakan pelecehan seksual ini menunjukan adanya sebab-akibat.

Terlepas dari apakah pelaku sudah menjalankan hukumannya atau belum, sudah dimaafkan atau belum, kita juga perlu bersimpati kepada korban kalau-kalau ia mengalami gangguan mental yang parah sebagai akibat dari tindakan cabul Saipul Jamil. Terlebih ketika mengetahui bahwa pelaku bisa menjalani produktivitasnya dengan bebas, dan bahkan mendapatkan simpati dari masyarakat, dapat membuat para korban kekerasan seksual (tidak hanya korban Saipul Jamil) merasa dikucilkan sebab tidak ada yang memihak dirinya.

Dikutip dari Ade Iva Wicaksono, seorang dosen bidang psikologi sosial UI lewat laman Twitter-nya menyatakan bahwa pemaafan pelaku pelecehan seksual hanya bisa dilakukan oleh keluarga korban, bukan masyarakat. Selain itu, pemaafan dan penerimaan pelaku berdasarkan kelompok sosial atau masyarakat (bukan korban) justru menunjukan adanya jaminan untuk menekan korban agar tetap diam dan memunculkan gangguan terhadap kesejahteraan korban.

Sayangnya, dalam merespon berita ini, KPI selaku lembaga yang menaungi dan bertanggungjawab dalam hak siar program-program televisi malah bersikap acuh tak acuh. Ketika ditanya kenapa mantan narapidana ini tak juga dicekal, Komisioner KPI hanya menjawab, "Saipul tidak menginspirasi orang melakukan tindakan asusila saat tampil di TV."

Lah, lalu tindakan seperti apa yang bisa memunculkan tindakan asusila? Apakah hanya tontonan yang mengandung adegan pornografi yang bisa menginspirasi tindak asusila? Itupun tidak mungkin lolos sensor, mengingat di negara kita "payudara" Sandy dalam kartun Spongebob dan tayangan yang ada sapi perahnya saja diblur seburam mungkin sampai tokohnya tidak kelihatan sama sekali—kecuali wajah dan kakinya.

Lagipula, munculnya komentar ini sekali lagi malah menunjukan ketidakberpihakan publik terhadap korban pelecehan, mengabaikan akibat dari perbuatan pelaku selama ini. Eits, tapi tunggu, pantas saja sepertinya KPI masa bodoh, wong pegawainya sendiri mengalami perundungan dan kekerasan seksual oleh sesama rekan kerja selama 10 tahun saja dibiarkan, kok.

Untungnya, menyusul sentimen publik yang terus meningkat tajam atas tayangan Saipul Jamil ini, terhitung pada tanggal 6 September lalu KPI telah melayangkan 18 surat kepada Lembaga Penyiaran dan meminta agar seluruh lembaga ini tidak terkesan merayakan atau mengglorifikasi eksistensi Saipul Jamil pasca menjalani hukuman yang dapat berupaya membuka kembali trauma korban di masa lalu. Kita tunggu saja kelanjutannya.

Namun, kalau ternyata Saipul Jamil masih tampil wara wiri di saluran YouTube meski sudah tidak muncul di televisi, saya rasa memang ada yang salah dengan pola kerja media di Indonesia, bahkan influencer yang sesungguhnya punya privilese dalam mempengaruhi khalayak umum.

Kalau dipikir-pikir, sejujurnya dalam hal ini gue agak iri dengan Korea Selatan. Mengapa? Karena negara ini dikenal menjadi salah satu negara yang tidak ramah terhadap pelaku-pelaku kejahatan atau kriminalitas. Bukan hanya dari kebijakan institusi terkait, namun netizen negeri ginseng sendiri memang dikenal sebagai yang cukup sadis dalam meng-cancel artis-artisnya ketika tersandung masalah hukum.

Misalnya saja kasus Burning Sun dua tahun lalu yang sempat geger karena mengungkap kasus penyerangan, kekerasan seksual, peredaran narkoba, dan prostitusi. Tidak hanya menguak sejumlah nama artis seperti Seungri BigBang sebagai pemilik Burning Sun, Jung Joon Young, dan Choi Jong Hoon, kabarnya banyak pula chaebol (konglomerat), politisi, hingga aparat penegak hukum yang ikut berperan aktif dalam pembungkaman kasus ini.

Hasil dari terungkapnya kasus tersebut membuat Seungri mengundurkan diri dari grup BigBang dan industri hiburan secara menyeluruh pada 11 Maret 2019. Jangan tanya soal Jung Joon Young dan Choi Jong Hoon yang divonis tujuh tahun penjara. Mereka tentu mendapat kecaman publik yang begitu besar hingga diboikot dari berbagai program televisi (begitu juga yang terjadi dengan tersangka-tersangka sebelumnya yang datang dari kalangan artis).

Cancel culture atau budaya pengenyahan ini sudah ada dari zaman Yunani dan diterapkan pada sistem demokrasi Athena. Istilah yang digunakan untuk itu adalah ostrakisme, dimana seseorang dipaksa untuk keluar dari lingkaran sosial atau professional—baik secara daring melalui media sosial, ataupun secara langsung.

Entah apakah ini bisa dikatakan sebagai hal yang positif atau tidak? Namun yang jelas bagi masyarakat luas dan korban kasus kejahatan seksual, tindakan ini bisa menjadi bentuk preventif dan bukti perlindungan, bahwa negara melalui lembaga-lembaganya paham betul akan sensitivitas dan etika publik. Mereka menyadari bahwa kejahatan apapun tidak bisa ditoleransi, meski dilakukan oleh akademisi, politisi, hingga figur publik sekalipun. Sesuatu yang masih belum disadari secara penuh oleh negara kita, terutama pelaku-pelaku media yang berorientasi pada bisnis dan sistem kapitalis.

Kalau saja orang Indonesia mampu memisahkan antara bersikap rendah hati dan tegas, kemudian bijak menilai kasus seperti apa yang bisa ditolerir dan tidak, isu ini sepertinya tidak akan terjadi. Jika dalam lingkup sosial, tak ada salahnya memang memberikan kesempatan bagi pelaku untuk berkegiatan dengan normal dan bebas sebagaimana mantan napi yang lain.

Namun memberi ruang untuknya berdiri di hadapan publik dengan baju tahanan diiringi gurauan-gurauan tak berkelas khas acara varietas Indonesia adalah sama saja dengan menormalisasi pelaku pelecehan seksual. Sikap seperti ini juga berarti semakin melemahkan kesadaran masyarakat dan perjuangan aktivisme yang tak berhenti menyuarakan perlindungan dan pendampingan untuk para korban kejahatan seksual.
Share
Tweet
Pin
Share
16 komentar
Newer Posts
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Bukan Salah Indonesia
  • Childfree yang Diperdebatkan
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Just Listen
  • Terlalu Besar Untuk Gagal

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

My Podcast

Newsletter

Get new posts by email:

Popular Posts This Week

  • Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
  • Just Listen
  • Bukan Salah Indonesia
  • 36 Questions Movie Tag
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Di Balik Angkasa
  • Goodbye Wasteful Life, Welcome Minimalism
  • Generasi Hobi Bercanda
  • Menjadi Individu
  • Luka Dalam Lentera

Blog Archive

  • ▼  2024 (2)
    • ▼  Oktober 2024 (1)
      • Posture Perfect: How Wearing a Waist Trainer Can I...
    • ►  Agustus 2024 (1)
  • ►  2023 (1)
    • ►  Februari 2023 (1)
  • ►  2022 (9)
    • ►  November 2022 (1)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (1)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  Maret 2022 (2)
    • ►  Februari 2022 (2)
  • ►  2021 (30)
    • ►  Desember 2021 (1)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  Juli 2021 (3)
    • ►  Juni 2021 (2)
    • ►  Mei 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  Maret 2021 (5)
    • ►  Februari 2021 (1)
    • ►  Januari 2021 (5)
  • ►  2020 (46)
    • ►  Desember 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  Oktober 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (10)
    • ►  Juli 2020 (8)
    • ►  Juni 2020 (4)
    • ►  Mei 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  Desember 2019 (3)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Agustus 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Februari 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Pengikut

Categories and Tags

Intermeso Krisis 1/4 Abad Opini Perempuan Podcast Poetry Review Thoughts digital marketing karir lifestyle slice of life

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.