Diberdayakan oleh Blogger.
  • Home
  • About
  • Lifestyle
  • Personal
    • Opini
    • Thoughts
    • Slice of Life
    • Poetry
    • Intermeso
  • Podcast
  • Review
instagram LinkedIn Spotify YouTube Email

Notes of Little Sister





A little note untuk teman teman yang mengakses postingan ini via PC, teman teman bisa langsung klik aja gambar di bawah untuk mendengarkan. So, enjoy:)

Kenang Untuk Nanti


Semburat senyum terukir di bibirku saat membayangkan masa-masa muda yang cukup memalukan, namun indah untuk dikenang. Wajah-wajah penuh tawa mereka, kawan-kawan yang dulu senantiasa mewarna hari di komplek lestari, lalu di masa dimana cinta terasa persis seperti judul lagu band, dan kawan-kawan yang sampai saat ini masih setia bertengger di kontak whatsapp-ku,  hingga mereka yang namanya tak lagi ingin kuingat.

Waktu cepat berlalu, ya. Dalam masa-masa sulit seperti ini, rasanya kegiatan nostalgia menjadi satu-satunya hiburan yang cukup menenangkan untuk menyadarkan, bahwa hari ini akan menjadi kenangan, dan setidaknya, selama napas masih terasa di rongga-rongga hidungku, ada celah harapan di hari esok yang mesti kusongsong, pada usaha-usaha yang akan kuemban. 

Namun dalam beberapa kondisi, seringkali harapan yang menyembul itu tetap tak mengaburkan ketakutanku akan kegagalan-kegagalan yang menanti.

Apa aku bisa melewati itu? Apa aku bisa untuk tak mengulang khilaf yang disengaja atau tidak? Tanyaku pada layar imaji di dalam kepala. Bahkan sampai pada titik dimana aku takut akan ketakutan yang mungkin kualami di hari-hari berikutnya. Ya, aku takut akan takut.

Aku takut, kenangan.
Aku ragu, diri kecil.
Aku hanya ingin terus menyaksikanmu di layar pikiranku, melihat tawa-tawa tak berdosa dirimu diiringi dengan kolase video yang seolah menampilkan pertumbuhanmu seiring bertambahnya usia. Aku hanya ingin disana, menikmati masa-masa indah itu sebelum kelu seperti hari ini.

Kemudian, saat mataku tengah kosong di tengah realita, pikiran akan setumpuk tanggungjawab tiba-tiba berkelebat menutupnya. Aku takut lagi. Sesuram itukah masa depan? Sampai-sampai aku tak bisa mengintip sedikitpun peristiwa menyenangkan yang mungkin akan aku dapatkan lewat celah-celah di kepalaku?
Seperti mesin waktu milik Doraemon?

Terlalu menakutkan rupanya realita bagi manusia dewasa. Berbagai penolakan, perbandingan, penghargaan, sampai pada pertanyaan-pertanyaan kosong dari orang-orang yang tak benar-benar peduli mesti kutelan setiap hari. 

Ada kalanya telinga ini lelah, ada kalanya mulut ini juga penat meladeni tingkah-tingkah. Namun ada kalanya diri ini pun lelah, berjibaku dengan ketakutan yang berasal dari antah berantah bernama bawah sadar. Sudah jelas semua ini hanya ketakutan dan kekhawatiranku.

Mungkin seharusnya aku abai saja. Menjadi manusia merdeka yang tak peduli kenihilan, melainkan menjadikan gambar-gambar di kepalaku sebagai motivasi meski hanya secuil.

Yah.. seringkali kita terlelap dalam gemerlapnya kenangan, terlalu ingin kembali kesana, karena kenyataan yang semakin sulit untuk diterima. Padahal, kenyataanmu saat ini datang dari sebuah pemikiran dan.. mungkin saja ketakutan yang menghentikanmu dari langkah-langkah besar kehidupan. Bukan masa depannya yang menyeramkan, tapi alam itu.. pikiranmu. Pikiranku, yang selalu menjadi dalang atas cerita-cerita tanpa akhir.

View this post on Instagram

A post shared by Just Words (@notesoflittlesister)


Tak apa bernostalgia sesekali
Asal tak lupa untuk kembali
Benahi apa yang sempat terhenti 
Agar ada yang bisa dikenang nanti.. 

Kelak, ceritakan ragam juang yang tak henti
Sebagai nasihat untuk si buah hati
atau pengingat bagi dia yang di sisi
Bahwa sudah sehebat ini kita berdikari..

o.o

Backsound: Time Will Tell, Lea Lewis 
Share
Tweet
Pin
Share
8 komentar
My Top 3 Favorite Bloggers

Hi, folks! Gue kembali dengan postingan khusus untuk #CR Challenge ke-3 yang diselenggarakan oleh kak Eno. Kali ini temanya adalah 3 bloggers favorit atau idola yang bisa dibilang menjadi panutan gue dalam dunia blogging. Sebetulnya gue paling nggak bisa disuruh memilih kayak gini, guys😂. Lebih baik satu, atau nggak sama sekali. Karena semuanya bagusss dan favorit! I mean, kalau blog teman-teman bukan blogger favorit gue, gue nggak akan bolak balik berkunjung ke blog mereka, bukan? Ini serius, suwer, not gonna lie😁✌🏻

Karena itu, gue akhirnya memutuskan untuk memilih tiga blogger idola yang nggak hanya gue ikuti di dunia blogosphere, tapi juga di platform lain karena influence-nya yang menurut gue cukup kuat di beberapa platform tersebut. Here it is, kita mulai dari peringkat ketiga!

3. Innnayah

Credit: Innayah.com

Mbak Innnayah adalah seorang engineer dan blogger perempuan, yang selain aktif di dunia blog, juga aktif membuat konten di YouTube, Instagram, dan konten Podcast "Beropini". Nggak hanya itu, mbak Innnayah juga adalah seseorang yang sangat passionate di bidang videografi dan sinematografi. Karena itu, udah banyak banget penghargaan yang diraih beliau di ketiga bidang tersebut, blog, videografi dan sinematografi. Keren abizz, khan!😭

Seingat gue, gue pertama kali kenal beliau lewat IG Story Komunitas Blogger Perempuan yang pada saat itu lagi nge-share salah satu postingan blognya. Karena penasaran, gue follow dan gue ikutin juga blognya. Ternyata mbak Innayah orangnya kreatif dan asik😍. Bukan karena gue udah kenal deket sama dia, sih😁. Tapi karena konten yang diproduksinya beragam dan memang asik, dari mulai traveling, book talks, dan konten memasak. Gue ingat pernah dm beliau buat nanyain resep membuat dimsum yang mbak Innnayah share di IG Story gara-gara mupeng alias muka pengen🤣, dan dibalas ramah oleh mbak Innnayah. Sampai-sampai gue juga ngikutin hampir setiap rekomendasi netflix lewat Instagramnya, dan juga follow akun apato/apartemen minimalisnya sebagai referensi kalau suatu hari gue mau menyewa apartemen mini juga.

Bahkan yang terakhir gue ingat, mbak Innnayah sekarang lagi aktif buat konten gaming di YouTube-nya😆. Nggak tau lagi deh ini, apa resepnya mbak Innnayah bisa kreatif kayak gini😍. Kerja iya, membuat video, podcast, dan menulis di blog juga iya. Ditambah, tahun ini mbak Innnayah juga sedang berusaha mendirikan perusahaan sendiri. Mantappu djiwa👏🏻 *eh, sori gue bukan Trampolin (i  mean.. Jerome Polin😗)

Buat gue, mbak Innnayah adalah salah satu representasi blogger perempuan yang empowering dan brilliant, karena dia mampu menyesuaikan diri dengan berbagai platform di era digital dan berkontribusi di dalamnya, bahkan dapat menyeimbangkannya dengan pekerjaan utama dan pendidikan. Gue sendiri merasa susah untuk bisa balance dengan semua itu, pekerjaan, pendidikan, dan juga passion, but she nailed it. That's why, dia adalah salah satu idola gue dalam dunia blogging.

Kalau penasaran, teman-teman bisa klik link di bawah ini untuk berkunjung ke blog Mbak Innnayah!

Innnayah.com

Eh iya, mbak Innnayah juga punya situs khusus untuk passion videografi dan sinematografi-nya tersebut. Here's the link:

www.cinematic.id

2. Fellexandro Ruby

Credit: maubelajarapa.com

Iyess, yang kedua adalah Fellexandro Ruby! Seorang pengusaha dan content creator ini juga pada awalnya meniti karir sebagai seorang blogger. Kalau teman-teman tau dengan situs wanderbites.com, Fellexandro Ruby adalah orang di balik website tersebut. Ia memulai petualangan sebagai food photographer/food blogger saat dirinya masih bersekolah di Australia. Sampai tahun lalu blog-nya masih aktif, gengs! Dan sekarang ditambah satu dengan personal website-nya. Jadi, Fellexandro saat ini punya dua akun, selain fokus dengan food and travel, beliau juga fokus membagi ilmu tentang life skills di Instagram @fellexandro. Mungkin kebanyakan teman-teman kenal beliau lewat akun yang satu ini, begitupun dengan gue pada awalnya😁.

Seperti halnya konten-konten beliau di Instagram, YouTube, dan Podcast "Thirty Days of Lunch"-nya di Spotify, Fellexandro Ruby juga aktif membagikan pemikirannya di blog soal life-skills, seperti pengembangan diri, passion, karir, dan finance.

Satu hal penting yang baru-baru ini gue pelajari dari dia adalah, di saat orang-orang di internet gembar gembor untuk mengajak berinvestasi sedari muda, Fellexandro Ruby justru lebih mengajak kita, khususnya anak-anak muda untuk membuka mindset seputar pengelolaan keuangan, atau istilahnya money mindset. Bukan hanya agar followers-nya ikut-ikutan investasi, tapi agar kita bisa paham, dan punya alasan serta mindset  yang kuat, "kenapa mau berinvestasi? Kenapa investasi disitu? Apa tabungan lo udah cukup? This and that." 

Lagipula investasi itu sendiri ada banyak sekali bentuknya. Daripada maksain investasi keuangan di platform yang nggak aman dan nggak sepenuhnya kita mengerti, better investasi untuk upgrade soft-skill dan pengetahuan kita, supaya nanti ketika kita akhirnya memutuskan untuk terjun ke dunia per-investasi-an, kita punya fondasi yang kuat. Sebetulnya ini juga yang gue pelajari dari blog kak Eno, setiap kali kak Eno share pemikirannya soal financial. Jadi, untuk anak muda yang awam kayak gue, bisa lebih melek soal ini dan nggak asal ikut-ikutan trend di balik slogan "investasi sejak dini".

Here's the link:

FellexandroRuby.com

1. Tim Urban

Akhirnyaa, sampai juga di nomor satu! (Haha iya, emang sebanyak apa nomornya, Awl🤣). Pilihan nomor satu jatuh kepada Tim Urban. Ada yang penasaran, atau ada yang udah pernah dengar nama ini? Wait, Tim Urban yang gue maksud bukan aktor atau penyanyi ya😂 Siapa sih doi? 

Dugundugundugundugundugunnnn🥁🥁🥁

Kalau teman-teman pernah nemu atau nonton video Ted yang ini di YouTube: "Inside the Mind of A Master Procrastinator"


Yapp, mungkin tebakan kalian benar! Pembicara pada video itu adalah Tim Urban, salah satu pemilik blog Wait But Why dan ilustrator asal Massachusetts yang aktif menulis tentang segala hal, dengan cara yang unik dan kreatif. Ia mendirikan situs tersebut pada tahun 2013 bersama Andrew Finn, rekannya.

Wait But Why sukses mendemonstrasikan bahwa penulisan yang kompleks dan panjang masih dapat menonjol di dunia online yang saat ini dipenuhi dengan clickbait. Karena tipikal postingannya melibatkan diskusi panjang tentang berbagai topik, termasuk kecerdasan buatan, luar angkasa, dan procrastinate (menunda-nunda), bahkan hingga karir. Bisa dibilang, ia salah satu blogger yang menginspirasi gue untuk nggak takut menulis postingan yang panjang, selama itu bermanfaat dan nggak keluar dari konteks yang dibicarakan. Karena, dengan itu juga gue bisa mengekspresikan diri gue secara lebih bebas.
 
Dengan ilustrasi wry stick-figure (figur tongkat dengan ekspresi yang masam), dikombinasikan dengan prosa epik yang terkadang dituliskannya, Wait But Why, telah mengumpulkan jutaan tampilan halaman unik, ribuan pengunjung, dan penggemar terkenal seperti Elon Musk. Iyap, Elon Musk!😱 Melalui topik baru mereka yang berfokus pada science dan technology saat itu. 

Karena ketertarikannya terhadap Wait But Why, pada bulan Juni 2015, Elon Musk bahkan meminta kepada Urban apakah dia bersedia menulis tentang perusahaannya dan industri di sekitarnya, yang akhirnya memunculkan serangkaian empat seri postingan tentang Musk dan perusahaannya di situs Urban. Urban mewawancarai Musk beberapa kali, dan keduanya membahas transportasi berkelanjutan, energi matahari, dan masa depan eksplorasi ruang angkasa. Pengalamannya bekerjasama dengan Musk pertama kali ia gambarkan sebagai berikut.







Jujur gue suka banget dengan blog ini, terlebih ilustrasinya yang lucu dan menggemaskan. Terlihat effortless, tapi tentu selalu punya cerita di setiap postingannya😆. Salah satu postingan favorit gue masih dirajai oleh "Why Procrastinator Procrastinate", tema yang ia bawa pada seminar TedTalks. Tim Urban menggambarkan orang yang suka menunda-nunda dan tidak sebagai Rational-Decision-Maker (Pembuat Keputusan yang Rasional) dengan ilustrasi di bawah ini.




Seperti yang terlihat pada gambar, Pembuat Keputusan yang Rasional dalam otak orang yang suka menunda-nunda, hidup berdampingan dengan hewan peliharaan—yakni Monyet Pemuasan Instan. Monyet ini yang mengambil alih kemudi dengan mengalihkan fokus Si Rasional kepada hal-hal yang menyenangkan dan melenakan sampai dia lupa dengan tugas-tugas atau pekerjaan yang harus dilakukannya. 

Dan hal ini sering banget terjadi kepada gue. Kalau digambarkan, mungkin percakapan yang ada di kepala gue akan menjadi seperti ini:

Si Rasional: "Ah iya, gue belum ngerjain tugas! Deadline-nya kan hari Senin."

Monyet: "Sans, bro. Kita nonton YouTube dulu. Daftar tontonan lo masih banyak, nih. Hari Senin kan masih minggu depan😏."

Si Rasional: "Oh iya. Ok, bro👌🏻."

Terus kapan Monyet Pemuasan Instan ini berhenti nyetir kemudi kita?

Dia akan berhenti kalau Panic-Monster alias deadline datang mendekat.

Wkwkwkw, lucu kan ilustrasinya🤣

Setelah itu, yang terjadi adalah monyet tersebut lari meninggalkan Si Rasional yang kini harus berkutat dengan setumpuk pekerjaan dicampur kepanikan menjelang due date. 

Entah saking kreatif idenya atau menggemaskannya ilustrasi tersebut, konsep ini menjadi tertanam di kepala gue. Jadi, setiap kali gue lagi menunda-nunda pekerjaan, gue pasti akan langsung kepikiran sama si monyet pembuat onar. "Alah, ini pasti gara-gara monyet di kepala😔". Gue sampai  buat tulisan di dinding kamar gue yang tulisannya begini, "DON'T LET THE MONKEY TAKE THE WHEEL!" Efektif, nggak? Banget. Tapi hanya saat gue lagi sadar😅🤦🏻‍♀️

Anyway, gue sangat mengagumi blog Wait But Why sampai berlangganan newsletter-nya supaya nggak ketinggalan kalau ada  informasi atau postingan terbaru😍. Ini dia link-nya in case teman-teman malas scrolling lagi ke atas😂: Wait But Why

o-o

Jadi, gimana dengan kamu? Apakah ada di antaranya salah satu blogger favoritmu? Kalau nggak, yuk sharing siapa saja blogger idolamu di kolom komentar di bawah!😁
Share
Tweet
Pin
Share
18 komentar
Buku dan Kucing

Sebetulnya tulisan ini adalah rekap untuk bulan Februari, atas beberapa hal yang sangat lekat dengan gue di bulan itu. Namun seperti yang teman-teman sudah tau, gue nggak punya waktu untuk menulis postingan baru, jadilah akhirnya gue baru bisa tulis sekarang. Kalau ada yang tanya, what things i like or i miss the most from this month, jawabannya mungkin jatuh pada dua hal, yakni Buku dan Kucing. Yepp, karena bisa dibilang pada bulan itu waktu gue cukup penuh dengan kehadiran mereka.

Setelah sekian lama nggak beli buku fisik ke Gramedia, akhir bulan Januari lalu gue akhirnya menyempatkan kesana dan membeli buku self-development berjudul You Do You karya Fellexandro Ruby. Gue udah lama banget pingin beli buku ini sejak tau beliau mau menerbitkan buku. Since dia adalah satu-satunya pengusaha sekaligus content creator yang gue ikuti saat ini, gue excited banget untuk bisa membaca buah pemikirannya yang keren di dalam satu buku. Dan yang membuat gue semakin ingin membeli buku itu adalah, karena isinya per bab dan masing-masing bab punya bahasan yang sama pentingnya, pembaca nggak dipaksa untuk harus menamatkan setiap bab dalam sekali baca. Jadi, gue pun bisa lebih leluasa untuk bagi-bagi waktu dengan kegiatan lainnya.

Sesuai dengan tagline-nya, discovering life through experiments and self-awareness, gue nggak merasa digurui oleh buku ini untuk punya pemikiran yang saklek sama dengan penulisnya. Justru beliau mengajak gue untuk lebih meningkatkan self-awareness dan membuka ruang perspektif yang lebih luas tentang goals, pengembangan diri, karir, tips investasi, dsb. Salah satu buku paket komplit yang saat ini sedang gue butuhkan, karena nggak cuma membahas satu atau dua hal yang berkaitan dengan pengembangan diri, tapi semuanya sekaligus, dengan porsi yang pas, nggak kelebihan, nggak juga kekurangan buat pembaca yang lebih suka straight forward kayak gue.

Selain itu, gue akhirnya bisa melanjutkan buku bacaan Origin gue yang sempat tertunda, salah satu novel installment karya Dan Brown yang udah lama banget terkatung-katung nggak gue tamatin. Walaupun butuh waktu dua minggu, gue senang karena setidaknya bisa kembali mencicipi aroma buku dan kamper jadi satu, saking lamanya tersimpan di rak. Biasanya gue jarang sih namatin buku yang udah lama nggak dilanjutin, tapi rasanya untuk buku ini pengecualian. Karena dia berhasil bikin hidup gue terasa nggak lengkap kalau gue nggak tau ending-nya seperti apa, apa yang terjadi sama Robert Langdon dan Ambra Vidal. Siapa sebenarnya dalang di balik pembunuhan Edmond Kirsch? Apa sebenarnya semua itu cuma konspirasi? Skenario itu kayak kebayang-bayang di kepala gue, dan semakin mengganggu setiap kali gue lihat bukunya bertengger di rak buku. Jadi, gue pikir nggak ada alasan untuk nggak melanjutkan bacaan ini di saat senggang.

Hal kedua yang membuat hari-hari gue terasa penuh adalah kehadiran kucing. Sebetulnya kucing di sekitar kost-an gue tuh banyaaaaaakk banget, tapi anehnya gue baru merasa punya keterikatan akhir-akhir ini. Sampe-sampe gue meragukan diri sendiri. Apa gue memang secinta itu sama kucing? Kok kayaknya gue sering acuh tak acuh ya sama mereka? Padahal jawabannya karena pintu rumah di kost-an gue sering tertutup, jadi kucing-kucing itu nggak ada yang bisa masuk kesana, kecuali kalau dibuka *ya iyalah*. Dan mungkin karena gue tipe orang yang nggak bisa menunjukan afeksi gue, (iya, even terhadap kucing!), jadi susah untuk gue menemukan waktu yang pas dimana saat itu hanya ada gue dan kucing-kucing ini. Makanya,  kalau ngasih makan tuh paling gue cuma kasih aja di piring kecil, setelah itu gue tinggal pergi atau masuk lagi. Tapi sekitar dua bulan pertama di tahun ini, semuanya terasa sedikit berbeda. Teman gue kan sempat pindah ke kost-an yang bentukannya mirip asrama. Disana juga nggak kalah banyak kucing kampung berkeliaran, tapi dengan lingkungan yang lebih terang dan lebih bebas. Bahkan mereka ini sering banget asal masuk ke kamar-kamar penghuni. Karena gue suka dengan lingkungannya, gue sering main kesana, sekalipun untuk sekadar menatap langit dari bawah jendela.

Kemudian, ada satu kucing betina yang sering banget ngeong-ngeong di depan kamar kost teman gue. Dibandingin kucing-kucing lain yang barbar, kucing ini cenderung lebih sopan dan friendly. Karena saat itu dia lagi bunting besar, jadilah kami namai dia bumil.

Buku dan Kucing
Hi, guys! Nama gue bumil! Ini waktu gue udah ngelahirin. Lihat, kan, perut gue lebih kempes?

Foto di atas itu foto favorit gue dari sekian banyak foto dia, btw. Suasana di belakangnya kayak foto-foto di Jepang yang sering gue lihat di twitter. Apa karena filternya ya? Haha, nevermind.

Akhirnya, gue dan teman gue sepakat untuk memberi makan dia dan beberapa kucing lain di sana, serta membantu sampai anak-anaknya lahir, minimal sampai mereka bisa jalan sebelum kami benar-benar pindah kost nantinya. Nah, karena gue cuma datang sesekali kesana, jadi gue nggak bisa bantu-bantu banyak waktu teman gue buatin rumah dari kardus khusus untuk bumil dan anak-anak bayinya. Maka, hubungan kami pun nggak terlalu dekat. Kadang bisa love-hate relationship juga, soalnya gue alergi debu dan bulu-bulu, jadi gue nggak bisa dekat-dekat terus sama mereka. Tapi di hati gue yang paling dalam, gue sayang banget sama kucing ini. Walaupun kadang sok kelihatan judes, karena ngebatesin makan😅 Abis mereka cepet banget yak lapernya, lama-lama tekor juga🤧 *padahal bukan gue juga yang beli makanannya, hadeuh🙄*.

Singkat cerita, setelah beberapa minggu, lahir deh si kucril-kucril ini!

Buku dan Kucing
The kittens!

Buku dan Kucing
Kalau nggak salah, ini waktu umurnya udah masuk 3 atau 4 minggu. Soalnya mereka udah bisa main dan lari kesana kemari.

Buku dan Kucing


Sejujurnya dua bulan itu waktu yang terlalu singkat untuk gue punya waktu bareng mereka. Gue bahkan sedikit menyesal, kenapa nggak mengenal kucing-kucing ini lebih cepat sebelumnya. Dan kenapa gue terlalu introvert walaupun sama kucing doang (gak tau ini lucu apa gimana, but i'm being honest with you guys😭). Kok gue jadi kayak cowok-cowok drakor yang dingin tapi hatinya hello kitty ya😟.
 
Kalau teman gue lagi pergi dan dia titip makanan kucing ke gue, kayaknya itu waktu-waktu yang priceless dimana mereka bisa deket banget sama gue. Iya, soalnya kalau ada teman gue pasti mereka lebih sering ngintil temen gue, mungkin karena dia yang tiap hari ketemu kali ya.

Buku dan Kucing


Biasanya kalau kami lagi masak-masak atau makan bareng, si bumil, bu barbar (ini kucing betina saudara bumil yang galak banget waktu pertama ketemu, makanya dinamai bu barbar), dan beberapa kucing lainnya pasti ngerecokin. Dan jujur gue kangen banget momen-momen itu, bersamaan dengan suasana lingkungannya yang bikin tenang dan nyaman.

Saking sayangnya, kami sempet sedih banget dan nangis waktu mau ninggalin mereka. Takut bahwa bumil, anak-anak dan kawan-kawannya nggak terawat dengan baik😫. Tapi setelah itu kami juga saling menguatkan dan percaya, bahwa mereka pasti ada yang jaga. Bahkan sebelum kedatangan kami, bumil dan kucing-kucing lainnya masih bisa hidup dengan damai dan sehat.

Kebetulan beberapa hari yang lalu sempat viral sebuah video dimana seorang bapak membunuh kucing yang berkeliaran di sekitar tempat kerjanya. Menyalahkan satpam disana karena nggak menyingkirkan kucing itu sebelumnya. Gue sedih banget kenapa ada orang-orang semacam ini di muka bumi😫 They just want your food and your affection, anyway. Makhluk ini hidup berdampingan dengan kita bukan untuk disiksa, dikuliti, dibunuh, dijadikan mainan, tapi untuk disayangi😭 Even if you don't wanna pet them, just don't give them a single thought of wanting to hurt and end their life. I mean, they're just cats😿 Kok bisa? Gue nggak habis pikir.

Semoga Tuhan membalas perbuatan-perbuatan yang lebih binatang dari binatang sebenarnya ini.

Buku dan Kucing

Buku dan Kucing

Gue harap bumil dan kucing-kucing lainnya disana selalu sehat dan gak kekurangan suatu apapun. Semoga juga banyak penghuni baru yang ngisi tempat disana dan kasih dia makanan. Gue kangen bangettt mereka!😭😿

Untungnya disini gue masih punya Ican, si gembul di rumah yang makin hari udah kelihatan makin tua. Setidaknya sosok kehadiran kucing nggak lepas dari hidup gue. Kapan-kapan gue share tentang dia juga, deh. Sori nggak ada fotonya, soalnya doi belum mandi😝
Share
Tweet
Pin
Share
18 komentar
Halo, selamat datang di episode terbaru dari Podcast Notes of Little Sister! 

Sebetulnya gue udah buat tulisan ini dari beberapa minggu yang lalu, tapi akhirnya kesempatan untuk merekam ini baru ketemu sekarang, (kebetulan) di sela-sela waktu istirahat gue dari beberapa tumpuk data yang masih harus gue olah. Oleh karena itu, maaf kalau banyak kekurangan disana sini. I've tried my best💪🏻  Gue sekalian ingin memotivasi teman-teman yang sedang ingin membuat podcast juga, bahwa untuk membuat suatu karya, kita bisa mulai dari hal-hal yang sederhana, kok. Sesederhana merekam menggunakan ponsel dan aplikasi seadanya. Berhubung ini mendadak dan ala kadarnya, gue nggak punya waktu buat pasang kabel-kabel yang somehow ribet dan makan waktu lebih. So, dengan segala kerendahan hati, selamat mendengarkan dan semoga suka!😊

Yang Terlihat

   

Pemikiran kita tentang satu hal tampaknya tak bisa lepas dari impresi. Ia dimulai dari sana. Dari sebuah tempat yang asing, tak dapat dikenali, namun mengundang beribu penghakiman dan penilaian. Kadang tak berdasar, dan tak beralasan. Sebab apa? Sebab pemikiran kita tentang satu hal tampaknya tak bisa lepas dari impresi. Ia dimulai dari sana..

"Terbiasa memandang rendah sebab sudah lupa rasanya di bawah,

terbiasa menganggap ringan sebab lupa rasanya menanggung beban,

terbiasa menilai kecil sebab yang diketahuinya hanya hasil.."

adalah kata seseorang kepada seorang lainnya yang ia rasa begitu, 
juga lahir dari sebuah kesan
Bisa saja sebetulnya yang terbiasa memandang rendah orang lain adalah diri kita sendiri, yang memang tahu rasanya di bawah namun tak pernah mensyukuri apapun
Pantas saja, kalau untuk menggapai anak tangga pun kita tak mampu

Perihal terbiasa menganggap ringan oleh sebab lupa rasanya menanggung beban,
bukankah manusia memang sifatnya perusak dan pelupa?
Tuhan saja sering dilupakannya, apalagi sesama?
Akan selalu ada saat dimana kita lupa, kita juga ingat 
Bahwa untuk bisa merasa aman dan nyaman, ada beban yang mesti ditanggung
Meski beratnya tak tampak oleh mata

Lalu menganggap orang lain tak berperikemanusiaan karena tak mengukur proses, melainkan yang dilihatnya hanya hasil
Hey, bukankah kita semua begitu? 
Hanya peduli bagaimana caranya agar bisa seperti ini, seperti itu, seperti artis ternama, seperti pengusaha hebat, bahkan seperti tetangga yang berbahagia, tanpa ingin tahu bahwa masing-masing dari kita berproses
Dan sayangnya, proses itu tak ada yang tahu
Sebab kita terlalu tertarik dengan dengan angka, dengan nilai, dengan ketenaran
Dan dengan apa yang terlihat

Makna "kelihatannya" tak berhenti disitu. masih banyak hal yang mengundang penilaian dan pemikiran, seperti..

yang terlihat diam.. ternyata tajam
isi kepalanya, matanya
tak henti hatinya dibuat pasang surut
atas segala ketidakpastian yang menyulut
seperti wajah baru manusia yang selalu ia waspadai kedatangannya
apa yang kau harapkan dari seseorang yang hanya terbiasa memendam rasa? atau terbiasa memantau gerak?
patung tanpa nyawa?

lalu yang terlihat baik, belum tentu ia selaik itu
meski tak berarti ia juga sejahat itu
toh, bukankah manusia itu abu-abu?
kita terbiasa melenggang di berbagai jalur dan persimpangan, yang sayangnya selalu dikekang hanya dengan hitam dan putih
pada akhirnya apa yang kau harapkan dari manusia akhir zaman?
power rangers dan monsternya?
atau pahlawan seperti Gundala, dan musuhnya?

yang terlihat kuat pun tak berarti ia mampu menyangga segala beban
hatinya bisa lemah, rapuh, roboh
bahkan nyaris sudah ratusan kali mulutnya mengutuk takdir yang tak sesuai harap
karena percayalah, hidup sudah terlampau keras untuk mereka yang dipaksa dewasa dan tangguh oleh waktu
apa yang kau harapkan dari seonggok daging yang berpura-pura menjadi baja?
tidak ada.

sesungguhnya definisi "yang terlihat" akan menjadi kosong maknanya jika tak dirasakan sendiri..
atau tak berarti apa-apa karena ia memang hanya lahir dari sebuah pemikiran manusia yang merasa tahu segala, padahal ia jarang sekali belajar.. kecuali atas hidupnya sendiri.

o-o

Anyway, ada yang bisa tebak sebetulnya gambar apa yang ada di atas? Dan kira-kira menggambarkan situasi apa sebetulnya gambar itu? Hanya laut kah? atau hanya kain berwarna biru?

Share
Tweet
Pin
Share
21 komentar
Hi, guys! How have you been? Semoga sehat selalu, ya. Satu bulan ternyata cukup panjang untuk gue nggak menulis dan aktif di blog, karena lagi-lagi semuanya terasa begitu cepat berlalu. Hari ini gue memutuskan untuk menuliskan perasaan yang sebetulnya udah dua minggu ini bersemayam di pikiran gue.

Bosan yang Dirindukan
Trotoar, saksi bisu langkah-langkah kecil kaki gue, dan sebuah museum di sebelah kiri yang sampe sekarang belum pernah gue masuk ke dalamnya

Akhir bulan lalu, gue akhirnya pindah dari kost yang udah gue tempati selama tepat empat tahun setengah. Dulu gue pikir empat tahun bukan waktu yang singkat, seharusnya. Tapi setelah dijalani, rasanya juga nggak selambat itu. Masih banyak tempat-tempat yang belum pernah gue explore disana, even banyak jalanan kecil di sekitar Bandung yang baru gue temuin satu tahun terakhir ini. Karena dua tahun pertama gue hanya dihabiskan dengan urusan perkuliahan dan organisasi, gue jaraaaaang banget main keluar. Sampe-sampe nih, objek wisata di dekat sini aja ada yang belum pernah gue jabanin. Tapi percaya deh, gue yakin sebagian orang Bandung juga nggak semuanya pernah berlibur ke objek wisata terdekat, contohnya Farm House, d'Ranch, Orchid Forest Lembang, Kawah Putih, atau Lodge Maribaya. Iya, gue belum pernah main kesana. Bukan sebuah pencapaian untuk diceritain, ya?😂

Sebetulnya gue agak berat untuk ninggalin kota tercinta ini. Karena banyaak banget momen-momen yang gue lalui disana, entah itu sama sohib atau teman dekat. Sebab ini artinya gue juga harus meninggalkan orang-orang yang gue temui sepanjang empat tahun setengah ini. Gue akan kangen dengan jajanan dan makanan-makanan di Gergerkalong atau sepanjang daerah Setiabudi. Contohnya, bapak penjual Pau Pau Dimsum yang baik hati dan ceria dengan dimsumnya yang gede-gede tapi murah, dengan mas tukang bakso Malang dekat kost gue yang juga baik hati dan enak plus murah meriah baksonya (tuhkan, gue lupa nggak sempat pamit sama beliau), bapak ibu warkop yang baru gue kenal dan sempat gue mention di postingan sebelumnya, tukang bubble tea langganan gue di depan alfamidi dari tingkat satu dengan gerobak, wajah mas-masnya dan keramahan yang masih sama terasa, mie ayam Cipaganti yang sementara ini rasanya nggak bisa dikalahin sama mie ayam manapun karena isian jamur favorit gue, ibu penjaga laundry yang udah setia menyapa gue setiap kali bawa pakaian segede gaban (dan baru bisa inget nama gue setahun terakhir ini, karena biasanya suka salah sebut), Soto Sedaap Boyolali di Gerlong, thai tea favorit gue di tikungan KPAD yang manisnya pas, nggak kalah sama thai tea yang harganya meledak di luaran sana, kemudian kafe Lain Hati Sukahaji yang selalu jadi alternatif yang tepat untuk gue menghindar dari keramaian karena letaknya yang cukup jauh dari jalan raya, juga Bebek Kaleyo sebagai saksi bisu dimana pertama kalinya gue makan bebek seumur hidup (dan berakhir jatuh cinta karena ternyata rasanya sama aja kayak ayam), jajjangmyeon Chinguya Nolja dan mbak waitress-nya yang sangat ramah, Ramen Aa yang dulu seriiiiing banget jadi alternatif tempat makan kalau gue dan sohib lagi bingung mau makan apa, Oseng Mercon yang sempat mengisi waktu-waktu kosong gue saat lagi break kelas, entah itu sendiri atau sama sohibul, mie tulang Kedai Utama yang bikin gue diare saking pedesnya tapi gak pernah bosan buat dipesan, Nobu Ramen dengan menu niku udon favorit gue yang sayang sekali baru gue coba cicip enam bulan lalu setelah sekian lama tinggal disana. 

By the way, gue punya sebutan khusus untuk nama makanan udon ini, yakni dibalik jadi odun😂. Karena gue salah satu orang yang "mengidap" spoonerism, jadi gue sering banget ngomong terbolak balik😆. Makanya setiap kali gue mau makan udon, pasti secara otomatis gue akan bilang odun, dan yes, gue lebih nyaman bilang odun daripada udon HAHA. Mungkin soon gue akan cerita tentang kebiasaan ini dan istilahnya secara detail😬. Terus ada juga kebab hejo dengan aa penjualnya yang gondrong dan santun, tukang cireng isi dan gehu di seberangnya yang jadi favorit gue, plus warteg biru yang selalu mengerti selera, perut, dan kantong gue, serta semua nama jalan juga tempat-tempat favorit di pusat kota Bandung yang biasa jadi tempat gue refreshing dari segala macam hal mumet, terutama alun-alun, balai kota, dan sepanjang jalan Parongpong dengan salah satu jagung bakar di tepi jalan, yang nggak pernah bisa gue lupa adegan pas jatuh dari bangku reyot.

Lalu Gramedia Merdeka (beberapa harus gue sebut lagi sebagai bentuk rasa rindu gue), yang meskipun nggak selalu beli buku setiap mampir kesana, tapi gue selalu merasa recharged saat menghirup aroma buku-buku yang ada dan melihat stationary yang lucu-lucu, dan of course mal BIP di seberangnya yang so far paling sering gue kunjungin waktu masih bisa nonton dengan bebas di bioskop (karena memang dekat dengan Gramedia dan BEC, gue jadi bisa mampir buat cuci mata), dan yang kedua jatuh kepada Ciwalk yang juga biasa jadi pelarian di kala gue ingin mengeluarkan stress (read: karaoke sekenceng-kencengnya). Btw kok kelihatannya gue jadi kayak anak-anak sok edgy yang demen hedon ya LOL. Nggak kok, gue jarang main, kecuali kalau merasa lagi butuh aja. Soalnya gue lebih sering boros soal makanan, guys🤣 Lihat aja daftar tempat makan yang bakal gue kangenin di atas. Segini masih belum gue sebutin semua karena lupa. Lebih tepatnya karena gue udah terlalu sering kesana (dan bosen juga mondar mandir Gerlong), jadi yang ada di kepala gue ya cuma itu aja😅.

Terus Borma Setiabudi, sebagai penyelamat di kala gue sedang bosan dengan makanan-makanan Gerlong, yet jadi musuh di saat yang bersamaan karena bisa langsung ngabisin dompet gue yang pas-pasan🤧, McD Setiabudi yang sering bikin tipis dompet kalau gue lagi khilaf, tapi nggak pernah bosan buat balik lagi saking cintanya sama McFlurry.. dan definitely, setiap sudut di kampus yang selalu bisa jadi tempat di kala gue butuh menyendiri dan berkontemplasi. Nggak cuma itu, lebih jauh lagi, semua memori yang gue punya bersama teman-teman, sahabat, dan partner yang nggak akan bisa tergantikan dengan memori di tempat-tempat lain. Dari mulai gue jadi maba,

Bosan yang Dirindukan
Coba tebak gue yang mana?

sampai jadi angkatan kolot kayak sekarang. Gue rasa setiap langkah yang gue jejakan disana tentunya adalah bagian dari proses pendewasaan gue, yang bikin gue sadar bahwa hidup harus terus berjalan, dan bahwa empat tahun nyatanya bukan waktu yang panjang untuk gue bisa terus menikmati momen-momen di dalamnya.

Now, last but not least.. setiap sudut dan ruang di kost-an gue yang dalam kurun waktu delapan bulan kemarin secara nggak langsung berada dalam kekuasaan gue, karena cuma gue satu-satunya penghuni yang tersisa disana akibat pandemi. Dan karena sebelumnya memang cuma gue satu-satunya penghuni semester tua. Mungkin hanya di bagian ini gue bisa menerima kenyataan, bahwa empat tahun setengah bukan waktu yang singkat untuk dijalani. Sebab disana lah gue belajar untuk lebih mengenal diri gue, dan apa yang menjadi tujuan hidup gue. Dari yang sebelumnya hanya seorang anak remaja 17 tahun yang baru lulus sekolah dan completely clueless dengan bagaimana kehidupan luar sesungguhnya, even clueless dengan jati diri gue yang sebenarnya.

I was finding my own true colors there, membangun perspektif-perspektif dan prinsip baru, belajar meresapi hidup sebenar-benarnya dan mengambil hikmah dari sana, belajar mengenal inner child diri dan menemukan bahwa selama ini nyatanya gue nggak sekuat dan setangguh itu, gue bisa rapuh dan lemah, and it's pretty normal untuk anak muda kayak gue yang masih terombang-ambing dalam segala macam ups and downs-nya hidup,  thus i learnt to see things more clearly in the middle ground and be more human with others—and am still in a long journey to find new experiences on my own. Sisi introvert yang membuat gue bisa berkembang meski hanya diri gue seorang di ruang kecil, juga sisi ekstrovert yang seringkali bikin gue exhausted tapi juga membuat gue senang sebab bisa mengenal orang lain dengan berbagai kepribadiannya. 

Meski gue sendiri punya love-hate relationship dengan kost-an ini karena terkadang menyebalkan dan terlalu gelap (dan lumayan serem), tapi itu cukup homey setiap kali gue pulang atau kembali dari kegiatan-kegiatan yang melelahkan, karena suasananya yang sejuk dikelilingi oleh tanaman-tanaman dan pohon rindang that makes it feel more like a green house. Fyi, suami dari pemilik kost-an ini dulunya adalah dosen Biologi, jadi mereka cinta banget sama gardening and planting. Gue rasa kalau setiap sudut kamar gue adalah saksi hidup, mungkin mereka bisa menjelaskan bagaimana dan apa saja yang sudah gue lalui selama beberapa tahun ini kepada diri gue dari sudut pandang mereka. It's like a roller coaster, honestly. Now i'm already 22, more different than i was in four and half a year ago. 

Beberapa bulan terakhir ini, entah ada berapa kata bosan yang gue ucapkan, saking jenuhnya dengan pemandangan dan suasana yang sama yang gue rasakan, bahkan termasuk makanan-makanannya. Tapi sekarang, gue justru menemukan bahwa rasa bosan itu adalah rasa yang paling gue rindukan. Mungkin karena gue sudah terbiasa dengan sudut-sudut kost-an yang menemani gue selama 24 jam setiap hari, so it will take time for me to get used to other habits—which is not really a new habit since i'm coming back to where i from. I'm not gonna say where i move to anyway, karena bagi gue ini satu-satunya privasi yang ingin gue jaga dari media sosial.

Sejujurnya masih banyak perasaan yang tiba-tiba nggak bisa gue tuliskan dengan kata-kata atas perjalanan yang penuh liku dengan kost-an, kampus, dan setiap sudut Bandung yang pernah mengisi hari-hari gue. However, life must go on and i fully realized that i couldn't stay there any longer if i wanted to go ahead and pursue all the hopes and dreams i have for my loved ones.

Ah iya, yang membuat gue semakin sedih adalah kemarin gue nggak sempat berpamitan dengan ibu kost dan keluarganya karena beliau sedang pergi keluar kota. Gue agak menyesal karena lupa mengabari lebih cepat di hari-hari sebelumnya, tapi semoga beliau selalu sehat dan selalu berada dalam lindungan-Nya.

Di bawah ini gue pingin bagiin hasil jepretan temen gue waktu kita jalan-jalan sore di kampus, sebagai obat rindu. Salah satunya gue udah posting di paling atas. Akhir kata, jangan lupa bahagia, teman-teman!😊

View dari Taman Bareti, Isola

Pemandangan langit dari rooftop kost-an (kalau ini foto iseng gue waktu berjemur di loteng)

Langit maghrib di kampus tercinta

Gedung Isola a.k.a Rektorat

Share
Tweet
Pin
Share
28 komentar
Newer Posts
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Bukan Salah Indonesia
  • Childfree yang Diperdebatkan
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Just Listen
  • Terlalu Besar Untuk Gagal

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

My Podcast

Newsletter

Get new posts by email:

Popular Posts This Week

  • Di Balik Angkasa
  • by.U: Solusi #SemuanyaSemaunya
  • Become a Fighter
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Goodbye Wasteful Life, Welcome Minimalism
  • Menjadi Manusia
  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • How I See Feminist as a Muslim
  • Series Review: The Billion Dollar Code, Pelanggaran Paten Terhadap Google Earth?
  • Cuma Cerita #2

Blog Archive

  • ▼  2024 (2)
    • ▼  Oktober 2024 (1)
      • Posture Perfect: How Wearing a Waist Trainer Can I...
    • ►  Agustus 2024 (1)
  • ►  2023 (1)
    • ►  Februari 2023 (1)
  • ►  2022 (9)
    • ►  November 2022 (1)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (1)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  Maret 2022 (2)
    • ►  Februari 2022 (2)
  • ►  2021 (30)
    • ►  Desember 2021 (1)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  Juli 2021 (3)
    • ►  Juni 2021 (2)
    • ►  Mei 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  Maret 2021 (5)
    • ►  Februari 2021 (1)
    • ►  Januari 2021 (5)
  • ►  2020 (46)
    • ►  Desember 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  Oktober 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (10)
    • ►  Juli 2020 (8)
    • ►  Juni 2020 (4)
    • ►  Mei 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  Desember 2019 (3)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Agustus 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Februari 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Pengikut

Categories and Tags

Intermeso Krisis 1/4 Abad Opini Perempuan Podcast Poetry Review Thoughts digital marketing karir lifestyle slice of life

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.