Diberdayakan oleh Blogger.
  • Home
  • About
  • Lifestyle
  • Personal
    • Opini
    • Thoughts
    • Slice of Life
    • Poetry
    • Intermeso
  • Podcast
  • Review
instagram LinkedIn Spotify YouTube Email

Notes of Little Sister



 

Menjadi Sebaik-baiknya Manusia

Sudah beberapa waktu kebelakang ini gue merasa sangat kosong. Banyak hal yang ingin gue tulis, tapi entah kenapa ketika diurai satu persatu nggak ada yang bisa gue tuliskan sama sekali. Postingan mengenai komentar sosial yang biasanya gue publish pun kira-kira udah dua bulan ini nggak gue lakukan. Kenapa? Karena  isi kepala gue rasanya mau meledak (selain kenyataan bahwa gue memang nggak bisa juggling terus menerus dari tanggung jawab gue yang lain). Saking penuhnya, seringkali nggak tahu lagi apa saja yang gue pikirkan. Maka dari itu, sepanjang waktu ini gue nggak banyak mengikuti perkembangan berita di media sosial, and that's why kalau teman-teman menyadari, gue hanya memposting tulisan yang ringan-ringan, yang memang mencerminkan hobi gue, seperti postingan tentang Kaligrafi Jepang, dan yang baru-baru ini gue publish, Unlock the Key: Neoclassical Metal Versi Isyana Sarasvati?.

Sejujurnya, gue masih nggak menyangka bahwa tahun 2020 ini benar-benar 180 derajat berbanding terbalik dengan tahun sebelumnya, dimana pada sepanjang tahun 2019, bisa dibilang kegiatan gue full. Beberapa bulan di awal tahun 2019, gue dapat kerjaan sebagai tutor untuk salah satu lembaga pelatihan kerja di sekitar kampus gue. Meski dari segi penghasilan nggak sebesar saat gue jadi freelance writer di awal tahun ini, tapi feel-nya sangat terasa berbeda karena pekerjaan itu gue lakukan rutin selama tiga bulan, dan tentu secara tatap muka. Ditambah gue melakukan pekerjaan itu bersama teman-teman sesama tutor yang juga sohib segeng dan sekelas gue. Setiap kali mengajar, gue seperti mendapatkan energi baru dari murid-murid yang semangat banget ingin magang di Jepang, meski mereka tau kehidupan disana nantinya pun nggak akan mudah. Padahal beberapa di antara mereka usianya masih sangat muda di bawah gue. Gue juga sempat mengikuti kegiatan KKN selama empat puluh hari pada pertengahan tahun, tinggal satu rumah dengan sepuluh teman-teman baru satu kelompok yang membuat keintrovertan gue sangat sangat diuji saat itu.

Sambil kerja part-time, kehidupan perkuliahan gue pun berjalan baik-baik aja seperti biasanya. Meski gue harus tetap struggling dengan kemampuan yang sangat terbatas alias nggak berkembang banyak, semuanya ketutup sama rasa syukur gue atas kesibukan yang bermanfaat. Bahkan setiap saat gue mengalami turbulence nih, baik dalam persoalan akademik, pekerjaan, dll, gue merasa bisa mengatasinya dengan baik. Eventually, meski banyak masalah juga, at least ada ending yang bisa gue dapatkan. Sementara sekarang.. gue merasa nggak ada akhirnya. Kita masih harus hidup begini, berjarak dengan ketidakpastian. Petinggi-petinggi negara yang semrawut, regulasi yang serba tumpang tindih, masalah financial yang nggak ada habisnya, selalu gali lobang tutup lobang, belum lagi rencana-rencana yang gagal. Bahkan rencana yang baru dibangun untuk menyesuaikan dengan keadaan aja belum pasti bisa terealisasi. Lihat, kan, lagi-lagi seperti a never-ending journey.

Jangan tanya berapa banyak gue menangis dan sakit di tahun ini, karena kadarnya pastilah berkali lipat lebih sering dari tahun-tahun sebelumnya. Kalau gue boleh trackback lagi, tahun lalu gue banyak menangis karena hal-hal yang berkaitan dengan individu lain. Well, gue memang nggak bisa menyalahkan bahwa sepanjang tahun ini hanyalah mimpi buruk, karena biar bagaimanapun dari kacamata duniawi, gue masih bisa hidup dengan hati yang tenang dua bulan di awal tahun. 

Gue punya waktu cukup dengan keluarga di hari ulangtahun gue, gue pun bisa mendampingi sahabat gue di pernikahannya dari mulai persiapan sampai pertengahan acara (karena setelah itu gue sudah harus segera pulang), gue juga masih sempat merasakan gimana praktik ngajar langsung di SMA meski murid-muridnya lumayan menyebalkan, dan seperti yang gue mention di atas, pertama kalinya di bulan Februari gue dapat job baru sebagai penulis lepas yang mana pertama kali pula gue dapat gaji di atas 1jt. Biasanya pasti di bawah itu mengingat gue hanya freelancer, so i was really grateful. Tapi lagi-lagi inipun nggak bertahan lama karena gue overwhelming dengan dunia virtual.

Ternyata Tuhan memang punya cara-Nya tersendiri untuk menunjukan betapa Maha Kuasa Zat-Nya. Dia seolah ingin mengingatkan kita bahwa planet ini berputar bukan hanya secara fisik, tapi secara spiritual. Dalam esensi kehidupan itu sendiri sejatinya dunia selalu berputar tanpa henti bersama kita. Dan ini sebabnya kenapa gue bilang di atas bahwa dari kacamata duniawi, hidup gue tenang hanya saat dua bulan pertama. Karena dari kacamata spiritual, gue tahu jelas banyak sekali pelajaran yang bisa mendewasakan gue tahun ini.

Pertama, tentu gue jadi bisa lebih mengenal diri gue sendiri dalam segala kondisi. Senang, haru, sedih, rindu (dan rindu ini sendiri banyak cabangnya), sakit, frustrasi, insecure, desperate, gelisah, takut, kecewa, sesal, trauma, dan masih banyak lagi. Gue jadi lebih punya banyak waktu untuk berkontemplasi atas apa yang selama ini tersimpan dalam diri gue, dan apa saja yang sudah gue kerjakan, baik yang membawa manfaat atau keburukan bagi diri gue dan orang lain. Mungkin tanpa adanya pandemi ini, gue justru nggak bisa sadar bahwa gue punya banyak rasa yang selama ini gue abaikan. Bahkan gue jadi lebih bisa berdiri di atas kedua kaki sendiri. Gue jadi lebih sabar dan lebih tahu makna cukup in everything. Dan gue tentu bisa lebih berdamai dengan diri gue. Meski ada satu ilmu yang sampai saat ini—dan mungkin seterusnya—masih sulit gue kuasai, yaitu ikhlas, ikhlas, dan ikhlas, tapi at least i know i'm on my way and now i've found the right track already.

Gue semakin sadar rasanya jadi manusia. Manusia si tempatnya salah, manusia yang punya banyak rasa, manusia yang selalu memendam rasa-rasa itu, manusia yang selalu pura-pura, manusia yang seharusnya cukup berperilaku sebaik-baiknya manusia, manusia yang tahu kemana seharusnya ia kembali saat diri sudah nggak lagi berdaya menempa kerasnya hidup. Nggak merebut "job" Tuhan dengan menghakimi sesama manusia lain (itupun Tuhan nggak dengan lantas menghakimi hamba-Nya jika kita berdosa). Iya, yang kita ingat dari Tuhan itu seringkali hanya bagian yang menakutkan dan menyeramkan. Kita lupa, bahwa Dia Maha Penyayang dan Maha Baik. Kenapa manusia-manusianya malah berlomba-lomba jadi Tuhan dengan bertindak beseberangan?

Nggak menganggu makhluk-makhluk lain yang hidup di sekitar kita, itu juga tugas kita sebagai manusia yang sering sekali dilupakan. Manusia pikir, kita hidup hanya untuk diri sendiri, apa-apa bisa dieksploitasi dan dijadikan uang. Untuk apa? Untuk memenuhi ego manusia. Bahkan nggak hanya binatang dan tumbuh-tumbuhan, manusia lain yang dianggap lemah dan nggak selevel dengan manusia-manusia sombong ini, bisa dieksploitasi juga selagi menguntungkan.

Kembali soal gimana gue survive di tahun ini, gue betul-betul diingatkan tentang bagaimana seharusnya gue bersyukur ketika sampai saat ini masih diberi kesempatan hidup oleh Allah, di saat jutaan orang di luar sana mesti terinfeksi virus—yang sadly sampai saat ini masih juga disepelekan oleh sebagian orang Indonesia. Lalu cukup.

Enoughness yang gue rasakan hikmahnya sepanjang tahun ini lebih besar dari sekadar cukup yang gue tahu selama hidup. Bukan hanya cukup dalam uang, bukan juga cukup tahu kayak lagu Rizky Febian. Tapi cukup, literally cukup menjadi manusia. Ketika kita merasa sedih, ya sedih aja. Ketika bahagia, sebisa mungkin tetap merunduk dan bagi kebahagiaan itu dengan orang lain yang membutuhkan. Tapi ketika kita lagi depresi, ya nggak apa-apa juga untuk merasa begitu dan meluapkan semua emosi yang tertahan di hati, cause it's pretty normal. I've been there. Bahkan alasan kenapa di tahun ini gue banyak menangis, ya salah satunya karena gue merasa depresi dengan segala rencana dan pencapaian yang nggak sejalan dengan harapan. Gue selalu merasa kurang. Kurang cukup, kurang cerdas, kurang baik, kurang berusaha. Sampai akhirnya gue belajar tentang enoughness itu sendiri.

Selama ini gue merasa kurang, karena gue menolak untuk merasa cukup. Gue pikir cukup adalah kurang, nggak bisa memuaskan diri. When i can't afford something i'm craving for, artinya gue kekurangan. Sama ketika gue selalu menyalahkan diri sendiri atas berbagai kegagalan, gue menganggap diri gue kurang. Padahal nggak semua harus diukur dengan lebih dan kurang, kalau kita tahu rasanya cukup. Saat gue nggak bisa beli sesuatu yang gue dambakan karena harganya terlalu mahal, gue bisa beli sesuatu yang harganya di bawah itu atau nggak sama sekali, karena apa yang gue dambakan itu belum tentu berguna bagi diri gue. Mungkin aja kehadirannya bisa digantikan oleh sesuatu yang lain yang sama bermanfaatnya, dan itu cukup. Ketika gue nggak sanggup makan McD sering-sering (ya tekor juga dong tiap hari makan fast food), gue bisa makan-makanan lain yang lebih affordable. Makan di warteg atau di warkop dekat kost gue, misalnya, it's more than enough untuk perut gue. Lalu ketika gue menganggap diri gue bodoh karena belum punya sertifikat Noken/JLPT—sebetulnya dalam hal pengetahuan memang kita selalu perlu haus dan nggak boleh merasa cukup gitu aja sebab ilmu apapun luas sekali jangkauan dan maknanya, harus selalu kita gali. But in order to keep me sane dan supaya gue bisa menghargai diri sendiri, gue harus sadar bahwa saat ini Tuhan mencukupkan gue (bahkan melebihkan gue) dengan keahlian yang lain. I can write, i can sing (paling nggak untuk menghibur diri sendiri), and that's enough.

Berkaitan dengan spiritual journey, gue pun semakin menyadari bahwa sebagai manusia, hamba-Nya Allah, langkah kaki kita nggak akan pernah bisa jauh dari Dia yang punya kuasa atas hidup kita. Dengan segala kesemrawutan dunia yang gue tangisi, satu-satunya yang bisa menenangkan dan memberi harapan adalah Tuhan. Bahkan di saat gue sedang jauh pun, Dia masih mau merangkul gue untuk kembali di jalan yang Dia restui. 

Tahu, nggak? Tuhan itu cemburu sama kita yang selalu mengagung-agungkan kenikmatan duniawi, yang selalu lupa atas keberkahan rezeki yang dilimpahkan terhadap kita. Cemburu karena kita jarang sekali mengingat keberadaan-Nya. Sampai-sampai kita sendiri lupa bahwa kita hanyalah seonggok daging yang lemah jika hidup tanpa arah dan pegangan. Satu hal yang gue pahami hingga detik ini, when we're trying our best to get close to God and asking Him to love us, Dia akan menyayangi kita lebih dari yang kita pinta, and it happens to me as well.

Pernah di suatu momen gue sudah sangat lelah dan ingin berserah, sampai-sampai do'a yang tersisa di akhir sujud gue hanyalah satu, "ya Allah, tolong rangkul saya. Saya ingin Kau peluk, ya Allah. Bantu saya."

You know what? Selalu ada jalan untuk gue nggak melakukan kesalahan yang selalu gue ulangi, bahkan sampai ke hal detailnya. Semacam langsung diarahkan ke jalan yang seharusnya, dan saat itulah gue tahu, terlepas dari segala dosa, problema dan kekhilafannya, manusia adalah makhluk yang paling Dia sayangi jika kita bergantung kepada-Nya, menempatkan wujud-Nya tepat di hati kita sebagai pegangan. Dan kembali mengingat-Nya dengan sungguh-sungguh adalah cambuk yang sangat keras bagi gue setahun kebelakang ini. Dari sini gue semakin belajar rasanya jadi manusia.

Manusia yang sabar, yang nggak dzalim atau merugikan orang lain, manusia yang mau selalu berbagi dengan orang lain, manusia yang nggak pernah lupa dimana kakinya berpijak dan dari apa mereka berasal, manusia yang punya beragam emosi, manusia yang nggak sekadar hidup dengan asal, manusia yang punya lebih dari segudang kesalahan, manusia yang bisa dan mau untuk selalu belajar dari kesalahan-kesalahan itu, manusia yang diberi privilege berupa nalar yang seharusnya digali dan dimanfaatkan dengan baik, manusia yang selalu kekurangan tapi sebetulnya selalu dicukupkan, manusia yang tahu mana yang baik dan benar, serta mana yang buruk untuk dirinya. 

Iya, gue tahu, berat memang tugas kita untuk "selamat" dari macam-macam ujian yang ada, dari yang ringan sampai yang paling berat sekalipun, but that's just how life works, man. If we succeed, we can get everything priceless. But if we don't pass, we gotta pay for all of the bad deeds that we have done in our entire lives. Gue pun masih berusaha untuk kesana, masih belum sempurna dalam kadar manusia, tapi gue tahu ada Zat yang Maha yang selalu membersamai langkah gue saat orang lain nggak bisa memberikan ketenangan yang sama besarnya dengan ketenangan yang Dia berikan untuk diri gue. So, 2020 betul-betul memberi gue banyak pelajaran, baik secara fisik, mental, maupun spiritual yang nggak akan pernah bisa gue lupa.

Dulu, setiap kali ditanya sama orang apa motto hidup gue, gue selalu kelimpungan mencari quotes yang tepat yang dapat mewakilkan hidup gue. Ya iyalah, wong masih cilik mana ngerti hidup. Tapi sekarang, kalau ada orang yang bertanya ke gue apa motto hidup gue, i can simply answer; jadi sebaik-baiknya manusia.

Now, could you share to me what does "being a human" mean in your version? Are we actually in the same boat of life?
Share
Tweet
Pin
Share
26 komentar

YOU KNOW WHAT GUYS? Tahun 2020 ini bener-bener full of surprise! Nggak cuma gue punya banyak waktu untuk refleksi atas berbagai masalah kehidupan, tapi gue juga seperti kembali menemukan diri gue, termasuk dalam apa-apa yang menjadi kesukaan gue, dan apa yang betul-betul bisa mencerminkan diri gue. Salah satunya adalah gue bisa menambah list genre musik favorit gue, yakni neo-classical metal, lewat single-nya Isyana Sarasvati! Sebelumnya gue mau beritahu dulu apa itu neo-classical metal.

Neo-classical metal adalah sebuah subgenre dari musik heavy metal yang sangat dipengaruhi oleh musik klasik dan biasanya menggambarkan teknik permainan musik yang sangat tinggi. Neoclassical metal terdiri atas beberapa elemen yang diambil dari musik klasik, umumnya musik klasik era romantis, dan juga speed metal music. Karakteristik utama permainan neoclassical metal mencakup pertunjukan gitar / keyboard yang sangat teknis dan struktur musik yang kompleks seperti arpeggio cepat, counterpoints, chord progressions, ostinato, nada nonkord, serta vibrato yang kuat dan sering. Meski begitu, bukan berarti subgenre ini nggak bisa dinikmati oleh orang awam, sebab keseluruhan musiknya bisa dipahami secara luas oleh masyarakat umum dan bukan definisi teknis yang lebih khusus yang digunakan dalam lingkaran klasik.

Sebagai penikmat musik-musik klasik, gue sendiri baru tau kalau ternyata ada yang dinamakan dengan genre ini. Padahal sentuhan musik dari lagu Bring Me to Life milik Evanescence yang sering gue dengerin juga sedikit banyaknya bisa dibilang termasuk kedalamnya. Berikut di bawah ini gue cantumin kompilasi cuplikan dari neoclassical metal in case teman-teman ingin dengar.
 

Sebetulnya gue pertama kali mendengar istilah ini adalah saat nonton video reaction di YouTube beberapa bulan lalu mengenai lagu Lexicon - Isyana Sarasvati yang merupakan salah satu track dari album LEXICON. Vocal coach yang memberi reaksi untuk video tersebut menjelaskan bahwa lagu Lexicon sepertinya termasuk kedalam genre neoclassical metal yang merupakan kombinasi musik klasik dan metal. Tapi saat itu gue nggak bener-bener mau cari tau, alias cukup tau aja. Sebab gue pun udah cukup terkesima dengan Lexicon, yang mana menandai perjalanan Isyana dalam membuka jati diri yang sesungguhnya di ranah musik Indonesia.

Baru kemudian tanggal 28 Oktober lalu, Isyana Sarasvati merilis single terbarunya berjudul Unlock the Key, lewat labelnya sendiri yang—baru didirikannya—diberi nama Redrose Records. To be completely honest, my jaw was dropped at the first time i heard this entire song! Menurut gue, ini adalah karya terbaik yang diluncurkan di negara kita di tengah pandemi. Nggak cuma musikalitasnya yang jempolan, music video-nya juga keren abis!

Gue tau warna musik Isyana yang sesungguhnya memang bukanlah musik pop sejenis Keep Being You yang selama ini kita kenal, karena Isyana sendiri memperdalam ilmunya di musik klasik. So, lebih dalam dari itu. Gue mulai ngefans banget sama Isyan saat pertama kali mendengar permainan electone Isyana di sebuah kejuaraan electone di Jepang saat ia masih berusia 15 tahun. *Men! 15 tahun gue masih corat-coret tulisan di buku harian!🤧* I thought she's different than many other, sebab bakatnya luar biasa. Salah satu prestasinya pada ajang kompetisi electone itu adalah menjadi komposer terbaik atas komposisi lagu yang diciptakan yang bertajuk "Wings of Your Shadow". Lagu tersebut terpilih sebagai komposisi terbaik dan masuk kedalam Top 12 electonis dari 3.500 peserta anak-anak di dunia pada International Junior Original Concert.

Gue juga kembali terkesima saat pertama kali mendengar Isyana menyanyikan lagu-lagu opera (opera arias). Setelah gue cari tau, turns out Isyana memang bukan musisi kaleng-kaleng yang cuma mengandalkan kecantikan dan pengetahuan musik alakadarnya, karena dia memang telah memulai karir musiknya sejak kecil. Bahkan di usianya yang ke-16 tahun, Isyana mendapat beasiswa untuk belajar seni pertunjukan di Nanyang Academy of Fine Arts Singapura—sampe-sampe nggak ikut ujian nasional di SMA-nya dulu. Disanalah ia kemudian memperdalam tentang musik-musik klasik dan menjadi penyanyi opera, hingga kemudian di tahun 2015 mendapatkan kesempatan belajar di Royal College of Music, London. What amazing history she has! Nggak heran kalau Isyana perlahan-lahan menunjukan personanya yang sesungguhnya di kancah musik tanah air.

Unlock the Key sendiri adalah ungkapan Isyana Sarasvati tentang gejolak pengalaman pribadinya. Disajikan dengan perpaduan unsur progressive-rock dalam instrumen yang kaya dengan sentuhan tutti. Lagu itu juga disempurnakan oleh melodi khas Isyana. Memang tidak dijelaskan secara pasti apakah Isyana mengusung genre neoclassical metal pada lagunya tersebut, karena sejujurnya dari segi musik, lagu ini sama sekali nggak bisa dibilang metal abis. Beberapa penggemar Isyana bilang distorsi gitarnya kurang menggigit kalau disebut metal, that's why lebih pas digolongkan sebagai aliran progressive rock. Lagipula, sejauh ini memang itulah yang dikatakan oleh manajemen Isyana.

Namun dari unsur-unsur klasik dan nyanyian yang dilantunkan Isyana dalam Unlock the Key membuat lagu ini terdengar seperti neoclassical dan mungkin bisa dipertimbangkan sebagai salah satunya. So, menurut gue pribadi, Unlock the Key bisa dikatakan lebih condong kepada neoclassical rather than neoclassical metal. But, cmiiw. Intinya gue sangat senang dengan single terbarunya Isyana, karena telah menambah warna baru di blantika musik tanah air. Semoga semakin banyak lagi lagu-lagu jenis serupa yang ditelurkan oleh beliau.

Ah, pokoknya, Unlock the Key ini jadi salah satu lagu ciptaan Isyana yang sangat gue suka setelah Lexicon! Baru setelah kedua lagu ini, lagu-lagu yang juga menjadi favorit gue tentu semua yang ada di album LEXICON😍.

But anyways, lagi-lagi gue mesti dibuat kecewa dengan jumlah views yang masih berada di bawah 1juta, padahal udah lebih dari tiga minggu video klipnya dirilis di YouTube. Mungkin karena nggak semua masyarakat kita tertarik dengan jenis lagu semacam ini. Padahal karya-karya seperti ini perlu kita apresiasi lebih, supaya semakin banyak anak muda yang kreatif dan berani untuk tampil beda. 

So, yuk kita dukung terus masterpiece karya anak bangsa! Caranya langsung klik aja video di bawah. Sumpah, kalian harus nonton! *Soalnya gue nggak mau heboh sendiri😂. Btw, karena sepertinya dari tim yutubnya Isyana nggak mengizinkan video ini di-play di situs lain, jadi teman-teman harus klik tulisan watch this video on youtube dan tonton videonya di aplikasi youtube teman-teman, ya!😉


Gue pingin tau dong gimana pendapat teman-teman! Apakah ada yang suka musik-musik klasik metal atau rok progresif juga? Atau ada yang juga penggemar Isyana Sarasvati? Let me know, ya!😉
Share
Tweet
Pin
Share
15 komentar
 
Fighting Our Own Battles

Seharian ini (Sabtu, 7 November) waktu gue lebih banyak digunakan untuk nontonin video-video Daniel Mananta di yucub, yang mewawancarai teman-teman artisnya untuk bercerita perihal spiritual journey mereka—yang entah kenapa salah satu cuplikan videonya bisa muncul di timeline gue.

Pada awalnya, gue pikir kehidupan para artis tuh enak, sekali kerja honornya bisa puluhan juta (ratusan malah), walaupun nggak menutup kemungkinan juga mereka tetap merasakan kesulitan dalam mengontrol keuangan—karena di balik income yang besar pasti ada outcome yang juga besar, apalagi kalau outcome-nya berhubungan dengan gaya hidup mevvah. Gue juga seringkali skeptis dengan mereka-mereka yang memanfaatkan hidupnya sebagai konten di platform digital manapun. Kasarnya, nih orang udah pada kaya apalagi sih yang dicari, jangan semua diembat napa😒 . Hanya karena gue merasa konten-konten ini nggak informatif dan cuma 'showing off' kekayaan mereka yang gak ada habisnya.

Long story short, setelah mendengar beberapa cerita soal life journey mereka, gue seperti kembali disadarkan bahwa setiap orang sesungguhnya punya ceritanya masing-masing, punya caranya masing-masing dalam menjalani hidup. Though kalau pada akhirnya mereka memang menjadikan separuh hidupnya sebagai konten—yang ujung-ujungnya menghasilkan uang, itu hak mereka (also privilege that give them such influence). Kita nggak pernah tau apa yang terjadi off camera, cause basicly we are fighting our own battles. Hanya karena gue nggak seberuntung mereka, bukan berarti gue bisa dengan mudah menghakimi, dan menilai mereka berdasarkan apa yang selama ini ditampilkan oleh media.

Artis-artis yang kita kenal di layar kaca selama ini memulai karirnya di sana, di dunia broadcasting tentu dengan perjuangan yang bermacam-macam. Start point mereka sebetulnya sama dengan kita, misalnya, yang memulai karir di bidang digital marketing, rumah makan, toko elektronik, bisnis tekstil, makanan semisal kue-kue lapis, bahkan sampai pakaian di online shop, etc. Bedanya, kalau mereka sukses, mereka bisa dikenal orang satu negara. Sementara kita, ya nggak akan ada yang mau tau dan peduli juga.

But that's my point, man. Even seorang artis yang selama ini kita lihat di televisi aja, ketika sudah memasuki ranah privasi, mereka masih punya cerita tersendiri yang nggak akan pernah kita ketahui kecuali diri mereka sendiri dan Tuhan. Mereka masih harus berjuang untuk hidup selayaknya manusia biasa, sama seperti kita, yang Dia beri ujian untuk bisa 'naik level' menjadi manusia seutuhnya. Hanya saja kadarnya pun pasti beda-beda.

Ini juga salah satu yang mempengaruhi proses pendewasaan gue akhir-akhir ini. Rasa iri dan ketakutan akan tidak bisa menyamai pencapaian orang lagi-lagi menjadi tembok penghalang yang cukup tinggi untuk gue bisa berjalan melewati rintangan yang ada. Seperti yang pernah gue mention di tulisan Berteman Dengan Kegagalan ini, bahwa gue terlalu fokus dengan apa yang orang lain bisa dan orang lain kerjakan, instead of berbenah diri dan evaluasi pekerjaan gue sendiri.

Akhirnya, gue jadi melupakan esensi hidup itu sendiri. Gue lupa bahwa each of us are a fighter in our lives. Kita melawan pergulatan, pertempuran yang sama yang hanya dialami masing-masing diri. Kenapa gue peduli amat sama 'permainan' orang lain? Padahal jelas-jelas gue punya arena bermain gue sendiri?

Sama kayak Atta Halilintar (yang dalam beberapa tahun terakhir konten prank-nya sering bikin gue sebal), dia juga punya perjalanan yang panjang dan berliku untuk bisa ada di jajaran Top YouTuber di Indonesia. Meski kontennya banyak yang 'apaan sih' buat gue, pada akhirnya dia tetap menemui penggemarnya. Videonya tetap ada yang nonton, tetap bisa menghasilkan duit. Kalau memang gue nggak suka dengan channel-nya, it's become my problem, artinya memang bukan gue target audiensnya. Toh nggak suka dengan kontennya bukan berarti gue nggak bisa respect dengan kreatornya. Karena lagi-lagi, he's fighting his own battle to stay productive in order to earn more money in this industry, and that's the reality. Kenyataannya memang masing-masing kategori (di platform apapun) punya sasaran dan punya penontonnya masing-masing, dan suka nggak suka ini juga yang terjadi di dunia pertelevisian Indonesia. Kita nggak bisa mengelak bahwa nggak semua orang punya idealisme yang tinggi untuk bisa menghasilkan sesuatu, apalagi kalau tujuannya semata-mata untuk kebaikan bersama. Jangan berharap tinggi, deh. Toh semua orang sedang berjuang dengan urusannya masing-masing kok, demi keuntungan masing-masing juga.

Karena ini gue jadi lebih belajar untuk jangan terlalu memusingkan apa yang terjadi di sekitar kita, apalagi yang memang sifatnya berkaitan dengan individu, privasi—apapun itu, seperti apa yang orang lain sedang kerjakan dan pencapaian apa yang mereka punya. Mau itu teman gue kek, tetangga gue kek, bahkan artis yang gue lihat di TV. Karena kita nggak bisa memaksa orang lain untuk sama hidup dan jalan pikirannya dengan kita.

Kadang gue suka berpikir, kenapa ya orang-orang zaman sekarang seneng banget ngeributin privilege orang lain dan menganggap bahwa perbedaan starting point itu sebagai masalah buat mereka?

Gue tau, kita memang nggak bisa deny bahwa ada orang-orang yang dari lahir udah kaya dan pasti kaya kalau mereka hanya berusaha sedikit lebih keras—since kesuksesan seringkali diukur dengan kekayaan. Kita pun nggak bisa mengelak bahwa realitas sosial yang hadir di tengah-tengah kita terkait si kaya dan si miskin, kemiskinan struktural dan kultural, serta privilege yang nggak dimiliki semua orang ini bisa jadi masalah yang sangat berarti untuk bisa memotivasi setiap individu bergerak di jalurnya. Itulah kenapa konsep-konsep tentang tatanan kehidupan sosial semacam inipun ada ilmunya. Tapi kita juga nggak bisa selamanya terjebak dalam pola pikir seperti itu. Apalagi sampe jadi pembahasan terus.

Malu nggak sih membayangkan, mereka yang 'punya privilege' tadi sedang bekerja keras memajukan usahanya, menelurkan pundi-pundi uang, sementara kita yang nggak ber-privilege ini cuma sibuk mengeluh karena nggak punya privilege yang sama? Ya gimana kita bisa nyusul mereka kalau gitu? Jadi, siapa yang menghambat kesuksesan diri kita sebetulnya? Privilege orang lain, atau rasa malas dalam diri?

Berada di garis start yang berbeda nggak membuat kita berakhir di garis finish yang berbeda pula. Kita semua akan berakhir sama, mati, di tanah yang sama. Nggak peduli apakah kuburannya mewah atau cuma ditandai dengan nisan kayu. Kita mati di dalam kubur nggak punya apa-apa, dan nggak akan bawa apa-apa selain amal ibadah dan perbuatan.

RANS Entertainment bisa punya pesawat pribadi dan boyong keluarga sama sahabat-sahabatnya liburan kesana sini, karena memang itu adalah hasil jerih payahnya, rezekinya. Raffi Ahmad bisa muncul di semua stasiun TV sekarang ini juga berkat kerja kerasnya yang  udah wara wiri di dunia entertainment dari usia yang sangat muda, even lebih muda dari usia gue sekarang. Agnezmo, bisa jadi penyanyi internasional sekarang karena ada banyak sekali peluh keringat yang dia keluarin untuk meraih impiannya dari sejak kecil. Terus Jessica Tanoe, yang kemarin sempet dinyinyirin karena mengisi seminar motivasi sukses di usia muda, kenyataannya memang dia sukses di usia muda—berkat privilege tadi, ya mau gimana lagi? Kita juga nggak bisa menyalahkan privilege yang mereka punya. Kalau lo masih juga mencari-cari alasan bahwa Agnezmo pun udah kaya dari kecil (misalnya), hidup mereka tetap milik mereka. Kenapa sih bahasan privilege menjadi sepenting itu dan seolah bisa dijadikan senjata atas kemalasan yang mengakar dalam diri? 

"Lho emang iya kok, dia bisa maju juga berkat orangtuanya, warisannya. Privilege does work, men!"

No, privilege doesn't always work for every privileged human being, dude. Ada usaha ya ada hasil. Rumusnya tetap begitu. Gue rasa teman-teman juga pernah denger setidaknya sekali seumur hidup, bahwa ada pula anak-anak ber-privilege di luar sana yang harus berjuang untuk keluar dari stigma atau embel-embel yang melekat dalam dirinya karena sering dianggap sukses berkat tangan-tangan orangtuanya yang sudah 'kaya'. In the end, mereka juga ingin kesuksesannya dilihat sebagai hasil keringatnya, jerih payahnya, bukan semata-mata hasil bantuan orangtuanya yang terpandang. Mungkin aja, kan, itu juga yang dirasakan Jessica Tanoe sebagai anak dari salah satu orang terkaya di Indonesia. Mungkin.

Walaupun sebetulnya gue setuju bahwa acara seminar motivasi harus bisa merepresentasikan realita yang sebenarnya, tapi soal hidup orang lain alangkah baiknya nggak usah kita komentari dan kita campuri. Toh setiap di antara kita udah punya takdir masing-masing. Tinggal kerja keras, dan percayakan sisanya sama kekuatan Yang Maha. Kalau nggak dapet bahagia di dunia, masih ada kehidupan yang lebih kekal nanti, kok. Inget aja itu.

Gue jadi mikir lagi, terkadang ya, yang menjadikan hidup ini seperti perlombaan itu justru manusianya sendiri. Apa-apa membandingkan diri dengan orang lain. Apa-apa merasa harus disandingkan dengan orang lain. Mau sengsara atau bahagia, rasanya kita harus look up ke orang lain. Padahal, berlomba dengan diri sendiri sudah lebih dari berat, seperti melawan segala hawa negatif dalam diri untuk berperilaku dengan baik selayaknya manusia. Masa mau capek-capekin diri sendiri membuat arena baru dengan orang lain yang bahkan gak punya waktu untuk membandingkan hidupnya dengan kita?

Sama, gue bukan dari keluarga yang biasa orang-orang anggap ber-privilege, kok. Nih dompet juga banyak kosongnya daripada penuhnya. Gue pun kadang suka sedih, "kenapa yak hidup gue gini-gini amat?". Tapi serius, deh, nggak akan ada habisnya kalau kita selalu memperhitungkan hak-hak istimewa mana yang nggak kita miliki. 

See, melihat segala sesuatu dengan lebih jelas dan terbuka betul-betul bisa bikin kita lebih tenang dan legowo dalam menjalani kehidupan. Sebab sejatinya kita memang hanya perlu sibuk dengan diri sendiri, berkaca pada diri sendiri, memperbaiki diri, mengevaluasi diri, kerja keras dengan diri sendiri, supaya bisa jadi versi terbaik dalam hidup kita pribadi. Remember these words; life is an ocean of experiences, some are good, some are bad. But the one surviving those experiences is the real hero, the real fighter! 

Jadi, jangan membandingkan diri sendiri dengan orang lain sampe ke tetek bengeknya (yang mana berlaku untuk diri gue). Jangan pula menyepelekan hidup orang lain seenaknya, seolah-olah hanya diri sendiri yang menderita. Sebab kita semua lah pejuang yang sebenarnya atas hidup kita.

Share
Tweet
Pin
Share
24 komentar
Belajar Kesetaraan

Dalam satu bulan ini ada banyak banget sampah-sampah pikiran yang nggak bisa sepenuhnya langsung gue utarakan di blog seperti sebelumnya. Apalagi setelah ngikutin perkembangan berita yang trending di media sosial, pasti adaaaa aja yang bikin sakit kepala. Akhirnya hari ini gue memutuskan untuk menyalurkan salah satu dari sekian "sampah" tersebut yang erat kaitannya dengan kesetaraan dan femininitas. 

Selama lebih (sedikit) dari 20 tahun gue hidup, sejujurnya gue nggak pernah merasa kerdil hanya karena gender, hanya karena gue perempuan, terlebih dalam hal pendidikan. Gue selalu melihat porsi antara laki-laki dan perempuan itu sama. Makanya ketika gue menemukan sebuah narasi seperti ini, "mengapa kita harus merasa kemampuan kita lebih rendah hanya karena kita perempuan?", gue tidak lantas merasa empowered sebab gue sudah menemukan itu jauh sebelum orang-orang menyadari bahwa permasalahan akademik laki-laki dan perempuan bisa seimbang, nggak ada yang mendominasi salah satu—meski patriarki dalam beberapa aspek, khususnya di dunia kerja, masih sangat terasa kentalnya.

Mungkin karena gue besar dalam keluarga broken home dan waktu sehari-hari lebih banyak dihabiskan bersama eyang, tante, dan adik-adik—karena gue tinggal dengan eyang dan tante gue supaya lebih dekat ke sekolah, role model gue pun gak hanya terbatas pada sosok orangtua; ayah dan ibu. Dari kecil jelas gue sudah bisa menyaksikan sendiri perjuangan ayah gue untuk menafkahi kami, anak-anaknya, memenuhi kebutuhan kami. Di sisi lain, gue juga menemukan itu pada sosok eyang putri gue yang mati-matian membiayai anak bungsunya dengan caranya sendiri, sampai tante gue bisa lulus sekolah dan akhirnya terpaksa gap year untuk bekerja dan membiayai kuliahnya sendiri. Pokoknya apapun yang bisa dia lakukan pasti dilakukan. Ditambah sekarang ini gue juga melihat sosok ibu gue yang bekerja tanpa henti untuk membiayai keluarga dan mengirimi uang untuk kami, anak-anaknya setiap bulan. Ayah gue yang selalu mendukung apapun keputusan gue untuk menjadi seseorang yang gue inginkan, dan untuk memilih jalan yang gue mau pun selama ini telah banyak mempengaruhi diri gue untuk melihat segala sesuatu dengan lebih luas, nggak sebatas hitam dan putih, nggak sebatas biru dan pink which somehow it's such a huge privilege for me.

Perspektif gue terhadap kesetaraan antara laki-laki dan perempuan pun semakin terbentuk ketika gue menginjak bangku sekolah. Dari SD-SMA (bahkan sampai di perkuliahan), gue nggak pernah melihat juara kelas selalu didominasi oleh murid laki-laki. Semuanya seimbang, sama. Mau itu peringkat kelas kek, juara lomba-lomba atau kompetisi tertentu kek, juara Olimpiade kek, semuanya lengkap. Malah waktu SMA, di kelas gue dulu yang selalu mendominasi peringkat 3 besar perbandingan antara laki-laki dan perempuannya pasti 1:2. Iya, murid-murid perempuannya lebih ambis daripada murid laki-laki (nggak tau ya kalau di sekolah lain😂). Gue justru merasa insecure kalau melihat perempuan lain yang bisa sukses akademik dan kariernya, atau bahkan siapapun yang semangat dalam meniti kariernya tinggi, terlepas dari dia laki-laki atau perempuan.

Namun beberapa cuitan seperti yang gue temukan di bawah ini ternyata masih membatasi gerak beberapa kaum perempuan di luar sana.

Setara Belajar, Belajar Setara


Belajar Kesetaraan
Source: Twitter

Sampai sekarang, sejujurnya  gue masih nggak mengerti apa korelasinya menikah dan mengejar pendidikan bagi perempuan. Bukankah keduanya sama-sama pilihan? Toh jika menikah menjadi sebuah kewajiban, bukankah menuntut ilmu, mengisi kepala kita dengan berbagai pengetahuan pun bisa disebut sebagai kewajiban? Gue lebih tidak mengerti lagi bahwa orang-orang yang melarang seorang laki-laki untuk menikah dengan perempuan yang memiliki pendidikan lebih tinggi darinya, dan orang-orang yang melarang perempuan tersebut untuk mengejar pendidikan hanya untuk memenuhi tanggungjawab sosial atas stigma tersebut nyatanya adalah orangtua mereka sendiri, keluarga sendiri. Maksud gue, bagaimana bisa konstruksi sosial yang membatasi gerak dan kebebasan sang anak untuk menentukan value diri terlebih dalam ranah pendidikan tersebut diiyakan saja oleh para orangtua? Okelah, kalau masalahnya karena ekonomi yang sulit, dan orangtua yang tak sanggup kalau harus kembali menyekolahkan anaknya sementara banyak kebutuhan yang harus dipenuhi.

Namun ini lain soal, bung. Beberapa orangtua melarang anak perempuan mereka untuk meraih pendidikan setinggi-tingginya, atau tidak sama sekali menikahi perempuan yang berpendidikan lebih tinggi daripada laki-laki disebabkan oleh stigma yang mengakar di masyarakat itu sendiri.

"Nanti kamu diinjak-injak sama istrimu!"
"Jadi perempuan itu ujung-ujungnya di rumah, nggak perlu lah sekolah tinggi tinggi."
"Aduh, gimana ini, masa suami kalah gelarnya sama istri. Gajinya gedean istri dong."

Kasarnya, kalau gue mau jadi orang cerdas, kenapa gue harus capek-capek "memikirkan" seseorang yang nanti akan jadi suami gue? Memikirkan bagaimana hidupnya kalau pendidikan gue lebih baik/lebih tinggi dari dia? Memikirkan bagaimana perasaannya kalau gaji gue lebih besar dari dia saat menikah nanti, dan serangkaian pencapaian lain, padahal tu jodoh nongol aja belum. Kalau seperti ini, seolah-olah tugas "memantaskan" itu hanya dilimpahkan untuk perempuan. Sementara laki-laki, mau bagaimanapun dia, pantas saja selama perempuan yang akan dinikahinya tidak lebih tinggi derajatnya daripada dia. 

Lho, bukankah saling memantaskan itu adalah tugas setiap pasangan? Setiap individu? Kalau memang lelaki tersebut khawatir perannya terinjak-injak hanya karena sang istri adalah wanita karier yang sukses dan pendidikannya tinggi, berarti lelaki tersebut lah yang tidak bisa memantaskan dirinya sendiri. Jahat, kan? Iya, memang jahat. Doktrin tersebut lah yang sebetulnya jahat sehingga menjebak dan merepresi pola pikir masyarakat dengan dalih mengamalkan adat istiadat serta nilai moral. Lebih lanjut lagi, jahat sebab telah membatasi setiap individu untuk bisa mengamalkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi sebagai makhluk sosial. Tapi, kan, bukan begitu konsep menikah, membersamai dan memantaskan diri. Paling nggak, begitulah menurut gue yang masih anak bau kencur ini.

Kenapa sih kita harus terjebak dalam realitas sosial yang pada dasarnya, dalam hal ini, dibentuk oleh asumsi, pemikiran, serta sudut pandang masyarakat—yang sayangnya diiyakan begitu saja oleh masyarakat itu sendiri. Konsep inipun banyaknya telah dipengaruhi oleh stereotip gender, yang memberi batas bahwa perempuan nggak boleh begini, laki-laki harus begitu. Laki-laki nggak boleh kalah dari perempuan, dan perempuan harus nerimo aja "kodratnya" untuk diam di rumah. Bahkan, ketika seseorang mau sekolah dan berilmu aja harus dikekang oleh stereotip semacam ini?

*Ini nih sebabnya banyak laki-laki yang juga terjebak dalam toxic masculinity.

Sepertinya kita harus pelan-pelan membedakan antara kodrat dan tanggung jawab atau peran. Kalau bicara kodrat, berarti sesuatu yang sifatnya absolut, mutlak, nggak bisa diubah begitu saja. Misalnya perempuan punya payudara untuk menyusui, sementara laki-laki tidak. Perempuan bisa melahirkan dan menstruasi, laki-laki tidak. Akan tetapi laki-laki punya tenaga yang lebih kuat dibandingkan perempuan, karena sifatnya dia lebih banyak melakukan pekerjaan yang keras dan lebih berat. Kenapa? Karena kodrat perempuan ini secara nggak langsung mengurangi tingkat produktivitas perempuan untuk bekerja di luar rumah. Inilah kenapa kewajiban suami dalam rumah tangga adalah menafkahi, karena hak-hak produktif itu ia yang ambil alih seluruhnya, yang mana kalau sudah punya anak, istri pasti lebih punya andil dalam mengurus anak di rumah. Dan menurut gue, ini bukan sebuah opresi (seperti yang selama ini dinyinyirin feminazi), tapi adalah pilihan dan bentuk kesepakatan. 

Lalu, apakah nanti sang ibu boleh bekerja lagi? Ya boleh-boleh saja selama ada consent dan tanggung jawab itu nggak dilupakan, baik dari sisi istri maupun suami. Pernah dengar nggak, sih, bahwa ada usia tertentu baiknya orangtua mendidik sekaligus mengiringi perkembangan anak? Katanya seorang anak balita usia 0-7 tahun baiknya dirawat dan dididik sepenuhnya oleh sang ibu, kemudian anak usia 7-14 tahun oleh sang ayah, dan selanjutnya terus oleh kedua orangtua. Berarti, sesungguhnya kehidupan rumah tangga itu harus diiringi dengan kerjasama, kesepakatan, supaya sakinah, mawaddah, wa rohmah. 

Lagipula, jodoh itu cerminan, dijemput. Jangan takut anaknya nggak akan ketemu jodoh hanya karena sekolah tinggi-tinggi. Bahkan sama common sense aja nggak bisa diterima, sih. Mungkin ini penyebabnya kalau dalam memandang suatu hal kita terlalu ke kiri dan terlalu ke kanan, susah buat menetralisir otak dan menilai dari sisi tengah untuk mengambil kesimpulan yang bijaksana. Kalau seandainya jodoh si anak itu bertemu dengan lelaki yang dianggap "setara" dengannya saat tengah melanjutkan pendidikan itu, gimana? Bukankah lebih bagus?🤔

Menurut gue, dengan kita pakeukeuh-keukeuh (sama-sama bersikeras) menuruti realitas yang ada, kita malah jadi lupa caranya hidup sebagai manusia normal. Apa-apa harus "melayani" social construct yang menjerumuskan hak-hak dan martabat manusia sendiri. Kalau agama saja memperbolehkan siapapun untuk menuntut ilmu atau pendidikan setinggi-tingginya, kenapa kita manusianya malah terjebak dalam hukum yang dibuat atas nafsu patriarki?

Jangan, jangan terlalu mengkotak-kotakan manusia hanya berdasarkan gender, apalagi merepresi pola pikir anak cucu kita sendiri. Hidup sesuai dengan syari'at dan nggak melupakan kodrat kita sebagaimana mestinya memang perlu, tapi beragama pun perlu diseimbangi dengan akal. Nalar itu privilege-nya manusia lho, kenapa kita berakal? Ya karena kita berpikir. Kalau cuma mengandalkan stereotip dan hidup sekadar gengsi, bagaimana kita bisa jadi manusia seutuhnya? Wong yang dituju hanya penilaian manusia, bukan Tuhan.

Share
Tweet
Pin
Share
17 komentar

Di masa pandemi ini, internet seakan benar-benar menjadi kebutuhan yang utama. Mau kerja, pakai internet. Mau terhubung dengan kerabat dan keluarga, pakai internet. Mau belajar pun pakai internet. Ibaratnya udah nggak zaman lagi, deh, kalau ponsel kita cuma dipakai untuk SMS-an. Karena itu, sebagai non-pengguna WiFi, gue sangat membutuhkan adanya provider yang bisa memberi keuntungan dan keleluasaan dalam memilih berbagai paket internet.

Beruntung sekitar bulan Februari awal tahun lalu, gue kenal dengan aplikasi by.U, sebuah operator telekomunikasi serba digital pertama di Indonesia lewat salah satu akun di media sosial.

Murahnya by.U Meriah banget

Salah satu paket internet favorit gue adalah paket 10 GB/bulan seharga Rp50.000,00 aja! Kebayang, kan, gimana bahagianya gue saat menemukan by.U setelah beribu-ribu purnama uang lima puluh ribu itu gue habiskan hanya untuk paket internet sebesar 2,5 GB. Belum lagi paket-paket internet lain yang nggak kalah menggiurkan. Sebab selain kuota data utama, by.U juga menawarkan fitur topping yang memberi kita pilihan kuota untuk platform tertentu, seperti YouTube, Instagram, Twitter, Line, TikTok, Spotify, dan sebagainya dengan harga yang terjangkau mulai dari Rp2.000,00! Udah paketnya murah meriah, registrasi dan cara pesan kartunya pun mudah banget! Karena gue nggak perlu capek-capek keluar, tinggal tunggu paket tiba di rumah.

Solusi #SemuanyaSemaunya

Gue pikir kemudahan yang ditawarkan cukup sampai disitu, karena bagi gue pribadi paket-paket internet tersebut sudah sangat membantu gue dalam menghemat pengeluaran. Ternyata by.U terus menawarkan banyak kemudahan-kemudahan lain yang membuat gue semakin betah untuk nggak pindah-pindah provider, yakni fitur Build Your Own Plan (BYOP), Paket 1,5 Mbps, dan Paket 1 Mbps.

Dengan paket 1 Mbps, kita bisa internetan dengan kecepatan maksimal 1 Mbps lewat pilihan masa aktif selama 1 jam, 3 jam, 6 jam, dan 1 hari mulai dari harga seribu sampai sepuluh ribu rupiah!

Sementara untuk paket 1,5 Mbps, kita diberi pilihan masa berlaku selama 7 hari dan 30 hari internetan dengan kecepatan maksimal 1,5 Mbps, tentunya dengan harga yang juga sangat terjangkau untuk internet unlimited.

Nah, yang terakhir ini juga jadi salah satu paket internet favorit gue sekarang, yakni paket Build Your Own Plan (BYOP) yang membebaskan kita untuk mengatur besaran kuota dan masa aktif #SemuanyaSemaunya kita! Sama dengan paket 1 Mbps, fitur #SemuanyaSemaunya ini juga dimulai dari harga seribu-an aja! Teman-teman bisa cek situs by.U untuk informasi lebih lanjut.

Untuk anak kost-an kayak gue dan teman-teman di luar sana yang biaya internetnya sangat terbatas nih, by.U betul-betul bisa jadi solusi untuk kita berinternet ria tanpa takut boros. Apalagi memasuki masa resesi seperti sekarang, selain kebutuhan primer, pasti secara nggak langsung kita dituntut untuk bisa menghemat pengeluaran lain dimana salah satunya adalah biaya internet.

Sepanjang gue hidup, ini pertama kalinya gue pakai operator seluler yang benar-benar mengerti kebutuhan dan keinginan penggunanya. Selain murah meriah #SemuanyaSemaunya, masalah jangkauan sinyal pun gue nggak perlu khawatir karena selalu pol dan jarang banget lambat pas dipakai.

Rasanya gue nggak akan bosan, deh, rekomendasiin by.U ke teman-teman dan keluarga gue!
Share
Tweet
Pin
Share
11 komentar
Newer Posts
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Bukan Salah Indonesia
  • Childfree yang Diperdebatkan
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Just Listen
  • Terlalu Besar Untuk Gagal

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

My Podcast

Newsletter

Get new posts by email:

Popular Posts This Week

  • Di Balik Angkasa
  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Become a Fighter
  • Goodbye Wasteful Life, Welcome Minimalism
  • by.U: Solusi #SemuanyaSemaunya
  • Peringatan Darurat Bukan Cuma Gerakan FOMO
  • 2020 Wrapped: Top 3 Genre For You
  • Luka Dalam Lentera
  • Cuma Cerita #2

Blog Archive

  • ▼  2024 (2)
    • ▼  Oktober 2024 (1)
      • Posture Perfect: How Wearing a Waist Trainer Can I...
    • ►  Agustus 2024 (1)
  • ►  2023 (1)
    • ►  Februari 2023 (1)
  • ►  2022 (9)
    • ►  November 2022 (1)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (1)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  Maret 2022 (2)
    • ►  Februari 2022 (2)
  • ►  2021 (30)
    • ►  Desember 2021 (1)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  Juli 2021 (3)
    • ►  Juni 2021 (2)
    • ►  Mei 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  Maret 2021 (5)
    • ►  Februari 2021 (1)
    • ►  Januari 2021 (5)
  • ►  2020 (46)
    • ►  Desember 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  Oktober 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (10)
    • ►  Juli 2020 (8)
    • ►  Juni 2020 (4)
    • ►  Mei 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  Desember 2019 (3)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Agustus 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Februari 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Pengikut

Categories and Tags

Intermeso Krisis 1/4 Abad Opini Perempuan Podcast Poetry Review Thoughts digital marketing karir lifestyle slice of life

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.