Diberdayakan oleh Blogger.
  • Home
  • About
  • Lifestyle
  • Personal
    • Opini
    • Thoughts
    • Slice of Life
    • Poetry
    • Intermeso
  • Podcast
  • Review
instagram LinkedIn Spotify YouTube Email

Notes of Little Sister




Siapa disini yang suka banget sama coklat? atau ada yang punya usaha kuliner dengan bahan dasar coklat? Pas banget nih, gue punya informasi lengkap seputar harga coklat batangan Colatta yang bisa kalian beli kiloan dengan harga yang terjangkau!😍


Coklat Dengan Segudang Manfaat


Sejak kecil, bisa dibilang gue suka banget dengan makanan apapun yang berbahan dasar coklat, entah kue, cookies, biskuit, hingga minuman. Kalau disuruh memilih antara susu vanilla, strawberry, atau coklat, gue nggak akan segan-segan, pasti langsung memilih coklat. Karena selain rasanya yang enak, coklat juga nggak kalah banyak manfaatnya dengan buah-buahan lain. Yapp! 

Makanan ini setidaknya punya lima manfaat untuk tubuh kita. Ia bisa mengontrol kadar gula darah, menjaga kesehatan jantung dan pembuluh darah, menurunkan kadar kolesterol, mengendalikan nafsu makan, dan meningkatkan mood.

Itulah kenapa, coklat sering dijadikan opsi bagi orang-orang yang ingin diet, dan selalu laris pada saat valentine. Mungkin untuk menaikan mood para pasangannya yang lagi BT😆. 

Ketika mempunyai usaha kuliner pun, coklat tentu menjadi salah satu bahan yang sering dibutuhkan. Bahan sejuta umat ini hampir selalu sukses membuat siapapun nggak bisa menolak untuk nggak memakannya. 

Ada banyak coklat yang tersedia di pasaran dan bisa dipilih sesuai kebutuhan dan makanan, ataupun minuman yang akan dibuat. Mulai dari coklat batangan, cokelat bubuk, coklat chip, coklat meses, hingga coklat lapis. Dan dari sekian jenis coklat, ada salah satu merk coklat batangan yang terkenal di Surabaya, namanya Coklat Colatta. 

Daftar Harga Lengkap Coklat Colatta Kiloan

Berbagai jenis coklat tersebut bisa teman-teman dapatkan dengan mudah dan lengkap di Tokowahab.com yang menawarkan banyak pilihan kategori coklat😋. Selain dari jenisnya, Tokowahab juga menyediakan coklat dari berbagai merk yang tersedia, lho. Yaa salah satunya Coklat Colatta😍. 


Daftar Harga Coklat Colatta Kiloan

Ada pilihan coklat Colatta, coklat Tulip, coklat Nutella, coklat Holland, coklat Hagel, coklat Bensdorp, dan coklat Bendico. Keunggulan lain dari toko ini juga menyediakan dengan harga yang lebih terjangkau!😍 

Selain itu, teman-teman bisa mengajukan nego dan mendapatkan pengiriman gratis dengan ketentuan dan syarat yang berlaku.

TokoWahab menyediakan produk coklat Colatta kiloan yang bisa dibeli. Sehingga produk tersebut bisa menjadi pilihan bagi usaha yang membutuhkan coklat dengan harga lebih miring. 

Di bawah ini berbagai pilihan coklat merk Colatta kiloan yang bisa teman-teman beli di TokoWahab:

  1. Colatta chip 5 kg = 241 ribuan
  2. Colatta chip mini 5 kg = 251 ribuan
  3. Colatta dark coating 4x2 kg = 365 ribuan
  4. Colatta dark compound 12x1 kg = 612 ribuan
  5. Colatta dark compound 4x5 kg = 924 ribuan
  6. Colatta drinking chocolate 6x1 kg = 527 ribuan
  7. Colatta white compound 4x5 kg = 1,1 jutaan
  8. Colatta white compound 12x1 kg = 629 ribuan

Selain pilihan di atas juga masih ada banyak produk coklat bubuk, coklat batangan, dan coklat chip dari merk Colatta yang bisa didapatkan di TokoWahab😉

So, bagi moms atau kakak-kakak blogger yang memiliki usaha kue dan membutuhkan coklat kiloan dari merk Colatta dan merk lainnya, bisa langsung membelinya secara online di toko bahan kue ini, yang menawarkan gratis ongkos kirim untuk pengiriman di Jabodetabek dengan minimal order 10 juta rupiah!

Huwaa, jadi pingin makan coklat sekarang juga🤤 Anyways, kalau teman-teman suka makan coklat jenis apa, nih? Kasih tau gue dong di kolom komentar😍. 

Share
Tweet
Pin
Share
10 komentar
Kebenaran Ada Pada Diri Sendiri


Ada yang menarik dari bagaimana orang-orang saat ini menunjukan karakternya satu sama lain di media sosial. Setiap kali ada opini, perdebatan atau hal-hal yang bertentangan dari mayoritas, maka dianggap menyimpang, sesat dan perlu diluruskan. Bukan hanya hal-hal yang menyangkut ideologi atau keyakinan, tapi juga tentang preferensi, prinsip dan nilai-nilai kehidupan itu sendiri yang pada dasarnya tentu sangatlah personal. 

Daripada menyampaikan argumen dengan baik, seringkali kita merasa paling benar ketika berdiskusi atau beradu pendapat dengan seseorang. Sehingga saat menjumpai hal yang bergeser dari apa yang kita percayai, seolah ada kecenderungan untuk selalu mau mengoreksi persepsi lawan agar bisa sesuai dengan milik kita. Padahal, sikap seperti ini pada akhirnya bisa berujung menyakiti orang lain, bahkan diri kita sendiri. 

Alih-alih membuka diskusi dengan nyaman, akhir-akhir ini gue sering melihat bagaimana kebanyakan orang di internet justru lebih senang pointing out their logical fallacy terhadap kubu yang "terlihat berbeda" dan memposisikan mereka di kotak yang salah, seakan-akan pemikiran dan pengalaman mereka nggak sama validnya untuk di bawa ke permukaan, seakan-akan ada kamus benar dan salah dalam menyampaikan gagasan. 

Gue nggak bisa menemukan penyebab mengapa orang-orang ini bisa secara lantang menyerang individu lain dengan alasan defending their beliefs, selain keegoisan yang selalu butuh untuk diberi makan. Bahkan sesederhana perkara bubur diaduk atau nggak, we can also be easily offended as if there has to be the right way to eat porridge. 

Kondisi ini membuat gue terasa relate ketika membaca bab favorit dari buku The Things You Can See Only When You Slow Down tentang "menjadi benar" karya Haemin Sunim. Menurut beliau, menjadi benar itu nggak sama pentingnya dengan saling memberi rasa nyaman dan bahagia, karena setiap orang sebetulnya punya keyakinan, nilai-nilai dan pemikiran mereka sendiri yang pasti sangat fundamental untuk mereka that we cannot imagine compromising on. Trying to convince someone to adopt our views is largely the work of our ego. Even if we turn out to be right, our ego knows no satsfaction and seeks a new argument to engage in.

Ini yang bikin gue sering takut dan malas akhir-akhir ini ketika mengemukakan pendapat di media sosial, terlebih lagi Twitter (walaupun cuma nge-tweet alakadarnya dan bukan beropini). Gue sering ditampakan dengan orang-orang yang hobi saling serang satu sama lain hanya untuk memperjuangkan apa yang menurutnya benar. Lebih parah lagi, they did it on purpose, semata-mata untuk mendapatkan pleasure atau kepuasan sendiri atas argumen kosong yang dilontarkan. 

Well, nggak ada salahnya mempertahankan persepsi dan value kita. Tapi ketika sudah memperlakukan lawan bicara selayaknya musuh yang nggak punya thinking process, itu justru akan membuat diskusi jauh dari kata nyaman. What's the point of discussion kalau ujung-ujungnya memaksa orang lain untuk punya value yang sama? Bahkan di dalam agama gue sendiri, dakwah yang baik adalah dakwah yang dilakukan dengan respectful, bukan dengan kekerasan, baik berupa verbal atau fisik.

Bukankah setiap orang punya pendapat dan pengalaman yang berbeda? Pengalaman gue nggak mungkin exact sama dengan pengalaman orang lain, bahkan teman-teman gue. Apa yang mendasari mereka untuk punya pendapat atau sudut pandang yang berbeda juga nggak mesti harus sama. Begitu juga dengan prinsip dan proses pendewasaan gue, bisa berbeda tergantung bagaimana gue tumbuh. Awl yang sekarang, bukan Awl yang sama dengan lima tahun lalu. Dan gue nggak berharap gue yang sekarang adalah orang yang sama beberapa tahun berikutnya. I want to be a better person.

Maka dari itu, sekarang gue lebih senang melipir di pojokan setiap kali melihat keributan di internet. Gue hanya senang memikirkannya sesaat sampai lupa begitu aja, tanpa gue "dokumentasikan" seperti biasanya disini. Terkadang memang ada banyak hal yang baiknya di-yaudahin dan didiemin aja, walaupun nggak salah juga kalau kita mau menuliskan itu dan membagikannya ke orang lain. 

Mungkin sisi positifnya gue jadi bisa lebih kalem dan objektif sebelum menyimpulkan sesuatu, tapi sisi negatifnya gue jadi takut untuk bersuara dan menggali potensi gue lebih jauh lagi. Apakah ini wajar? Bahkan sampai pada titik dimana setiap kali dapat notifikasi, gue langsung merasa gelisah sebelum ngecek notifikasi itu. Gue langsung overthinking, apakah ada omongan gue yang salah? Apakah gue salah nge-tweet atau nulis komentar? While I didn't even tweet something, yet the problem is on them and not me.

Dari sini gue jadi belajar, betapa ucapan seseorang itu bisa memberi pengaruh yang signifikan terhadap psikis orang lain. Now that I have learned something, baik sebagai orang yang dipojokan dan memojokan (I'm not gonna lie that I've also behaved like one at least once in my life or even more), gue akan lebih menjaga kata-kata gue setiap kali menyampaikan sesuatu, even untuk hal yang menurut gue benar dan perlu diluruskan. Because I don't know what they've been through that makes them bring things to the table.


Share
Tweet
Pin
Share
12 komentar
Terjebak Nostalgia Dalam Film Spider-Man: No Way Home
Poster Spider-Man: No Way Home|Source: ScreenRant

Rating: ⭐⭐⭐⭐ (9/10) 

Tulisan ini juga diposting di Kompasiana dengan judul: Spider-Man: No Way Home Bukan Film Terbaik Jika Tanpa Sentuhan Nostalgia

Spider-Man: No Way Home besutan Sony dan Marvel yang merupakan lanjutan dari film keduanya, yakni Far From Home akhirnya rilis! Pada film ketiga ini, cerita berpusat pada kehidupan Peter Parker yang menjadi musuh publik pasca ia difitnah dan dibongkar identitasnya oleh Mysterio. Semua orang kemudian meneror Peter dan orang-orang terdekatnya, termasuk tante May, MJ dan Ned yang harus menerima dampaknya. Peter dan kedua sahabatnya itu kesulitan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi karena skandal yang dianggap meresahkan.

Dalam kondisi terdesak ini, Peter Parker yang putus asa lantas meminta bantuan Doctor Strange untuk menghapus ingatan semua orang yang mengenal Peter Parker sebagai Spider-Man. Alih-alih menyelesaikan masalah, kecerobohan Peter justru semakin menyeret dirinya pada satu masalah yang lebih besar daripada fitnah Mysterio.

Mantra yang diucapkan Doctor Strange tak berhasil dan malah mengacaukan realitas dengan meninggalkan lubang-lubang dalam kontinum ruang waktu. Disinilah asal usul mengapa penjahat-penjahat yang muncul dalam film Spider-Man pendahulu seperti Doc Ock, Green Goblin, Sandman, Lizard, dan Electro dapat masuk ke semesta MCU. Berikut ulasan lengkapnya tentang film yang digadang-gadang sebagai film terbaik 2021 ini.


Eksposisi yang Lemah

Terjebak Nostalgia Dalam Film Spider-Man: No Way Home
Peter dan Doctor Strange | Source: Marca

Pada permulaan film, kita diperlihatkan tentang Peter Parker yang harus menjalani proses hukum untuk membuktikan tuduhan-tuduhan yang diberikan kepadanya tidaklah benar. Bagian ini menjadi salah satu yang cukup menarik mengingat ini pertama kalinya kita melihat di dalam film mengenai kehidupan Peter Parker setelah identitasnya terkuak.

Namun sayang sekali ide yang menarik itu tidak sejalan dengan eksekusi yang terkesan begitu terburu-buru dan dipaksakan. Terutama pada bagian dimana kasus Peter terselesaikan, yang dibarengi dengan kemunculan Matt Murdock a.k.a Daredevil sebagai pengacara. Padahal, ia menjadi salah satu cameo yang juga sangat dinanti-nanti selain Tobey Maguire dan Andrew Garfield.

Tampaknya Jon Watts dan tim produksi sendiri tidak sabar mengajak penonton untuk menyaksikan kejutan-kejutan di pertengahan cerita sehingga membiarkan plot pada awal film berlalu begitu saja, seakan-akan premis ini memang dibangun hanya untuk menjadi pengiring ke fase berikutnya.

Belum lagi kenaifan dan kepolosan Peter Parker yang tidak ingin memulangkan para penjahat begitu saja hingga mati-matian menentang Strange, mungkin akan sedikit mengusik logika kita. Seperti yang Doctor Strange katakan, "..mereka semua mati melawan Spider-Man, itu takdir mereka", semestinya fakta ini bisa memberi Peter gambaran sebesar apa kerusakan yang disebabkan oleh para villain, yang mana untuk menyembuhkan mereka terdengar seperti lelucon belaka. 

Namun jika tujuan Chris McKenna dan Erik Sommers selaku penulis ingin menuntun Peter untuk belajar lebih bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri (dengan May yang mendorongnya demikian), maka mereka berhasil. Paling tidak, ada pembelajaran yang bisa dipetik dari konflik yang dialami Peter Parker bahwa semua orang memang berhak mendapatkan kesempatan kedua, termasuk ia sendiri. Dan Peter mampu membuktikan bahwa ketulusannya yang terdengar konyol itu tak berujung sia-sia, meski ia harus kehilangan orang yang paling berarti dalam hidupnya. Seperti kata pepatah, "semua hal terjadi bukan tanpa alasan."


Kejutan yang Menyempurnakan

Terjebak Nostalgia Dalam Film Spider-Man: No Way Home
Kemunculan Green Goblin | Source: IMDb

Terlepas dari kekurangan yang ada, film ini berhasil mengaduk-aduk emosi penonton layaknya roller coaster. Dari mulai kesal, sedih, haru, dan tawa bercampur menjadi satu. Bahkan bagian pertengahan menuju akhir cerita inilah yang tampaknya sukses menyelamatkan film secara keseluruhan. Tentu saja karena akting para aktor yang ciamik yang begitu melekat dengan karakter masing-masing. Begitupun Tom Holland yang semakin menunjukan intensitasnya dalam berakting. Penonton akan menemukan sesuatu yang belum pernah disaksikan dalam kedua film sebelumnya terkait proses pendewasaan Peter Parker.

Salah satu yang membuat skenario film ini juga tampak briliant adalah bagaimana penulis tetap mampu menyambungkan peristiwa dan pengalaman masing-masing villain dari kelima film pendahulunya ke dalam dialog tanpa membuatnya tumpang tindih, seakan mereka semua benar-benar tertarik ke dunia Tom Holland saat itu juga. Meski beberapa karakter penjahat terlihat terlalu menonjol dibanding yang lainnya, namun hal itu tak mengganggu jalan cerita. Setidaknya, kita bisa mengabaikan sedikit plot hole yang bermunculan tentang hubungan antara Spider-Man dan villain, seperti Max yang tiba-tiba mengenal Peter Parker meski sebelumnya ia tidak mengetahui siapa wajah di balik topeng Spidey. 

Beberapa dialog humor dan callback yang disisipkan pun sesekali membuat seisi studio terkikik geli, walaupun beberapa jokes rasanya tidak terlalu penting untuk dimasukan selain dapat memberi efek bosan bagi yang menonton. Pada intinya, penulis seolah ingin mengajak penonton bernostalgia dengan memanfaatkan setiap momen di dalam film. Yah, tentu saja, kapan lagi kita bisa melihat bintang-bintang Spider-Man dari ketiga franchise ini berinteraksi dalam satu frame, bukan?


No Way Home sekadar film nostalgia?

Terjebak Nostalgia Dalam Film Spider-Man: No Way Home
The villains | Source: IMDb 

Lalu, apakah dengan plot dan semua kejutan dalam Spider-Man: No Way Home menjadikan film ini sebagai film Spider-Man terbaik sepanjang masa? Untuk spider-verse live-action ya, namun sebagai film yang berdiri sendiri secara utuh saya rasa film ini masih kalah beberapa poin dari film-film sebelumnya yang lebih kaya akan pesan moral dan pendalaman karakter, pun dalam hal sinematografi.

Menurut saya No Way Home tidak lebih dari sekadar ajang nostalgia dan film perayaan untuk dua puluh tahun perjalanan Spider-Man di industri perfilman, meski hal ini tidak lantas menjadikannya film medioker. Buktinya, sampai minggu pertama penayangan, Spider-Man: No Way Home berhasil menjadi satu-satunya film di tahun 2021 yang mencapai keuntungan sebesar Rp 14 triliun. Angka yang fantastis!

Satu hal yang sangat saya suka dan mengharukan dari ending film ini adalah bagaimana Peter Parker akhirnya berhasil menemukan arti sesungguhnya sebagai Spider-Man, bahwa dengan kekuatan yang besar, kini teriring pula tanggung jawab yang besar di pundaknya seorang diri.

Kevin Feige dan Amy Pascal sukses membuat kita menerka-nerka akan seperti apa kehidupan Peter Parker dalam trilogi berikutnya. Film ketiga ini tentu menjadi titik permulaan yang bagus yang akan membuat penonton dapat lebih terikat dengan aksi Peter Tom Holland kedepannya, yakni Peter Parker versi lebih dewasa yang sepenuhnya terlepas dari bayang-bayang Stark Industry. 

Apakah Spider-Man: No Way Home layak menjadi comfort movie yang wajib ditonton berulang-ulang? Definitely! Pastikan kamu menontonnya di bioskop-bioskop kesayangan, ya!

Rating: 9/10 ⭐⭐⭐⭐

Share
Tweet
Pin
Share
10 komentar
Jadi Penggemar Fanatik Bulutangkis

First of all, gue harap nggak ada yang salfok lagi ya sama judulnya since it looks a bit controversial kayak postingan Kiamat Sudah Dekat😆. Again, akhir-akhir ini tiap gue publish tulisan tuh pasti tau-tau udah menginjak bulan baru aja. So i have to start this post with regret karena bulan kemarin cuma bisa nerbitin satu tulisan, padahal tadinya pingin bisa capai 100 post in total, hiks *menangis di pojokan*.

Emangnya apa sih, Awl, yang bikin kamu nggak bisa stay up to date di mari?

Well, banyak alasannya, but one of them is I'm trying to catch up all of the badminton tournament this few months yang bener-bener berhimpitan tiada henti sejak Sudirman Cup—sebagai penonton, definitely. Gue nggak ingat apakah sebelumnya pernah bilang kalau gue penikmat olahraga badminton atau belum, tapi gue akan share lengkapnya disini (cause I have no idea what to share this time).

Bisa dibilang gue adalah pencinta bulutangkis sejak masih di bangku SD, mungkin sekitar tahun 2008 atau 2009? Saat itu Taufik Hidayat masih jadi tunggal putra unggulan kita, karena beliau pensiun pada tahun 2011. Gue ingat banget gimana riuhnya Istora tiap kali ada Indonesia Open, dan tiap kali ditayangin di TV. I was so excited! Karena selain Indonesia Open, dulu tuh susah banget buat dapet tayangan khusus pertandingan bulutangkis. Gue harus nunggu major event semacam Sea Games atau Asian Games dulu yang diadakannya hanya beberapa tahun sekali, baru bisa nonton bulutangkis. 

Jujur, dulu gue nggak begitu ngerti istilah-istilah atau teknik permainan yang belaku di dalam cabor ini, mungkin karena masih terlalu kecil buat bisa langsung paham, terlebih ekstrakurikulernya bukan yang paling diminati di sekolah. So, yang gue tau bulutangkis ini satu-satunya olahraga yang bisa dimainkan oleh mayoritas orang Indonesia (even kalau nggak punya raket, pake benda datar lain juga bisa lho main tepok bulu! Gue pernah coba pakai buku tulis soalnya😝). Berbeda dengan sekarang, semua informasi bisa gue akses di internet. Bahkan nggak cuma soal teknik permainan segala macam, tapi juga tentang sejarah bulutangkis dan para pemain legendanya sendiri bisa dengan mudah gue cari. Gue pun bisa terhubung langsung dengan pemain-pemainnya di media sosial, dari yang atlet nasional, sampai para atlet mancanegara—walaupun mereka nggak notice keberadaan gue di antara sekian ratus ribu orang, haha.

Seiring beranjak dewasa, ternyata bulutangkis masih menjadi satu-satunya olahraga yang gue cintai, termasuk para atlet kebanggaan kita. Bisa dibilang badminton ini satu-satunya cabor yang bikin jiwa nasionalis gue makin berapi-api when it comes to 🇮🇩. Dan di tahun ini, to be honest menjadi tahun yang paling mengharukan untuk sejarah bulutangkis Indonesia. Nggak cuma buat gue, tapi juga mungkin teman-teman badminton lovers di luar sana.

Selain meraih medali emas dari Greysia/Apri, pasangan non-unggulan yang berhasil menciptakan sejarah (the first gold medal for Indonesia's Women's Doubles), dan berhasil mendapatkan medali perunggu Olimpiade dari sektor tunggal putra (bahkan juga perak dari Paralimpiade), tim Thomas kita akhirnya bisa menjemput kembali piala Thomas di Denmark pada Oktober lalu, setelah penantian selama 19 tahun lamanya sejak Indonesia memenangkan Thomas Cup. Setahu gue, ini merupakan pencapaian yang terbaik sejak tahun 2008, dimana saat itu Indonesia terakhir kalinya berhasil membawa medali Olympic dari tiga sektor, yakni MD (Gold: Hendra Setiawan/Markis Kido), XD (Silver: Nova Widianto/Liliyana Natsir), dan WS (Bronze: Maria Kristin).

Sebagai salah satu yang mengikuti perjalanan mereka di tahun ini, gue bisa lihat bahwa kemenangan Thomas Cup semacam jadi moment of relieve untuk kontingen Indonesia. Pencapaian ini juga seakan menjadi jawaban yang bisa membungkam jari-jari julid di luar sana tentang prestasi atlet kita yang dianggap merosot. Jawaban bahwa mereka masih bisa bangkit, di tengah keterpurukan pasca Olimpiade dan kekalahan di Perempat Final Sudirman Cup. Perasaan lega itu, secara nggak langsung bisa gue rasakan ketika melihat wajah-wajah mereka di podium, terlepas dari bendera merah putih nggak bisa dikibarkan. 

Gimana nggak, semenjak mengalami kekalahan di Sudirman Cup lalu, beberapa atlet kita banyak dianggap meragukan oleh sebagian masyarakat, karena hasil yang terlihat nggak konsisten meski datang dengan tim terbaik. Begitupun tim Thomas beregu kita, yang meskipun ada di daftar tim unggulan kesatu, tapi perjalanannya begitu terjal untuk bisa menjadi juara grup, perempat-final vs Malaysia, semifinal vs Denmark, hingga sampai di final melawan China. 

Lalu soal Minions yang lagi under-performed, JoJo yang dianggap kurang konsisten, The Daddies yang mulai kesulitan keep up dengan opponent dalam hal speed, hingga berada dalam 'grup neraka' karena harus menghadapi Taipei yang sedang on fire, dan juga Thailand yang seringkali datang dengan kejutan. Oh iya, satu hal lagi yang membuat perjalanan tim Thomas Uber Cup kita semakin spesial dan emosional adalah, kehadirannya seakan membayar keputusasaan kami terkait permasalahan di turnament All England bulan Maret lalu. 

Buat yang belum tau, waktu itu atlet-atlet kita dipaksa berhenti dari pertandingan karena diketahui berada dalam satu pesawat yang sama dengan pasien positif covid19 dan harus menjalani karantina selama 14 hari di hotel. Sementara atlet-atlet dari negara lain yang juga berada dalam satu pesawat, nggak diminta untuk mundur dan bisa melanjutkan pertandingan.

Well, glad they finally did it! And I am touched by their journey and fighting spirit on court (I even cried for an hour when I'm watching them). Perjalanan singkat ini yang bikin gue makin terhubung sama bulutangkis dalam beberapa minggu terakhir, setelah setahun lamanya break gara-gara covid19. Gue mulai kembali mantengin turnament mereka di Eropa, dari mulai Denmark Open sampai Hylo Open kemarin di Jerman. Gue juga sampai sempetin rewatch tayangan-tayangan related to badminton di YouTube, termasuk interview-nya atlet-atlet legend seperti Ardy Wiranata, Mia Audina, Tan Tjoe Hok, Tony Gunawan, Hendrawan, Chandra Wijaya, Coach Naga Api alias Herry IP dan masih banyak lagi (yang sebagian dari mereka kini bekerja sebagai pelatih di luar negeri). 

Bahkan gue juga ngikutin channel YouTube-nya Hendra Setiawan, BadmintonTV, Anders Antonsen, Yuta Watanabe dan Popor Sapsiree. Mereka ini atlet bulutangkis yang memang eksis juga buat vlog di channel masing-masing, wk. Kayaknya seru aja gitu kalau bisa lihat keseharian mereka off court, especially how they interact each other dengan pemain dari negara lain. Jadi nih, buat yang suka war di internet, atau siapapun yang nyangka atlet kita musuhan sama lawannya, you guys totally wrong! Interaksi mereka malah kadang sweet dan kocak abis😆. Ada yang sahabatan juga kayak Popor dan Greysia (dan pemain women's doubles lainnya dari Korea). Gue berharap dukungan teman-teman di internet bisa memberi nilai positif untuk para atlet yang bertanding (nevermind about haters please!).

Setelah dari Hylo Open minggu lalu, mulai kemarin atlet-atlet bulutangkis di dunia sudah berkumpul di Indonesia Badminton Festival yang diadakan di Bali, yuhuuuu🥳 Festival ini dihelat dalam rangka penyelenggaran tiga turnamen BWF sekaligus, yaitu Daihatsu Indonesia Masters S750, SimInvest Indonesia Open S1000, dan BWF World Tour Final sebagai penutup dari rangkaian turnamen BWF sepanjang tahun 2021. Kabarnya atlet-atlet ini berada dalam sistem bubble selama satu bulan kedepan di The Westin Resort Nusa Dua, Bali. Nggak sabar banget gue pingin lihat pertandingan mereka nanti🤩

Teman-teman jangan lupa nonton match mereka di MNCTV dan iNews ya mulai tanggal 16 November! Kalau yang pakai layanan streaming atau TV kabel juga bisa akses di BWF TV (pakai VPN😁), RCTI+, Vision, Champion TV dan UseeTV. Yuk, kita dukung atlet-atlet kebanggaan kita🥳

o-o

Anyways, teman-teman disini adakah yang penyuka bulutangkis juga? Atau jangan-jangan kita sama-sama BL garis keras?😍
Share
Tweet
Pin
Share
7 komentar
Minggu yang Sibuk (Belajar Digital Marketing)
 
Knock knock!! Apa kabar semuanya? Baru semingguan melipir dari dunia blog serasa udah berminggu-minggu! Mungkin karena gue sempat vakum lama sampe sebulan lebih sebelumnya, jadi kalau ngilang sebentar tuh rasanya kayak udah lama banget😅
 
Anyway, minggu ini bisa dibilang minggu yang lumayan hectic (plus jadi sebuah pencapaian buat gue). Dua minggu terakhir ini gue baru aja mengikuti beberapa kelas tentang content-making skill dan digital marketing, two fields that I am very passionate about these days. Dari content making ini, fokusnya adalah menyiapkan peserta agar menjadi seorang video creator yang baik dan kreatif. Sementara untuk digital marketing, gue belajar banyak hal baru, karena ternyata cabang dari bidang ini tuh banyak banget. Di sekitarnya ada product marketing, dan marketing communications. Nah, digital marketing masuk ke dalam marketing communications, yakni online marketing dan satu line dengan offline marketing.

Lewat online marketing sendiri kita diperkenalkan dengan banyak tools dan skillset yang mesti dimiliki seorang digital marketer. Dari mulai SEO (definitely), SEM, Social Media Ads dan Organic, Display Ads Network, dan CRM (Customer Relationship Management) yang mana di dalamnya juga masih ada beberapa cabang, seperti email marketing, push notifications, dan sebagainya yang masing-masing memiliki fungsi tergantung kebutuhan dan objective campaign dari sebuah brand. Fiuhh. 

Melalui kelas-kelas ini, gue jadi tau bahwa ada perhitungan tersendiri bagi sebuah brand untuk memasarkan produk mereka lewat jaringan online. Oleh karena itu, munculah yang namanya Organic dan Paid Search. Kedua strategi marketing ini punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing yang bisa ditentukan oleh Scalability, Targeting, dan C-A-C (Customer Acquisition Cost). Ketiga elemen inilah yang akan membantu seorang digital marketer dalam menentukan nasib iklan produk dari brand mereka. Tentunya elemen-elemen ini juga akan sangat panjang kalau dijabarkan lagi😅 

Jujur gue salut dan berterima kasih banget sama akademi yang ngadain kursus ini, meski materinya super padattt, tapi gue masih bisa nangkep berbagai informasi dan elemen penting yang dijelaskan. Bahkan dalam waktu yang pendek ini, gue bisa belajar tentang Facebook Ads (which is mencakup Instagram sebagai anak perusahaannya), dan bagaimana caranya beriklan sesuai dengan guidelines, Facebook Policy, dan kebutuhan customers serta brand terkait agar goals dari iklan tersebut bisa tercapai sesuai yang diharapkan. 

Sebab, tiap brand pasti punya alasan tersendiri kenapa mereka mau mengiklankan produk mereka lewat Facebook Ads (yang termasuk Social Media Ads). Misalnya, ada brand yang baru saja mengeluarkan produk baru dan ingin menjangkau new customer dengan cara meningkatkan brand awareness terlebih dahulu, ada pula brand yang berusaha menjangkau orang-orang dengan demografi yang spesifik, kedua hal ini bisa dilakukan dengan memilih Social Media Ads. Dan sejujurnya masih ada banyaaak lagi contoh kasus dan berbagai skema digital marketing yang bikin gue enlightened tentang bidang ini. Tapi terlepas dari itu, satu hal yang juga nggak kalah menarik dari kursus ini adalah, gue juga bisa dapat ilmu tentang copywriting, yang mana bidang ini masih sepupuan dengan content writing. Hopefully, gue bisa aplikasikan semua ilmu yang gue dapat nantinya. 

Namun di balik sisi positif, tentu disitu ada juga sisi negatifnya yang mesti gue rasakan. Akibat mantengin terus layar monitor selama lebih dari 10 jam (I guess?) sampai gue tidur—kelasnya selesai jam 9 malam, gue jadi mudah pusing dan sakit mata. Alhasil gue nggak sempet ceki-ceki blog gue, karena selama itu sisa waktu yang ada gue pakai untuk pelajari tentang assignment dan case study yang diberikan. Actually it was fun though! Mungkin karena udah lama nggak ngerasain dapet tugas dan masuk kelas, jadi ketika dapat assignment, gue ngerasa excited banget buat belajar. Yah, walaupun ujung-ujungnya satu case study nggak berhasil gue kumpulin karena gue salah lihat waktu batas pengumpulan. Hiks🤧. 

Overall, gue sangat menikmati kesibukan ini, karena gue bisa belajar banyak sekali hal baru apart from my major at college. Hitung-hitung sambil mengisi kekosongan, lebih baik otak gue diajak buat mikir soal pelajaran, kan, daripada mikirin hidup dan takdir yang nggak ada habisnya😂

Kalau teman-teman, seminggu ini ngapain aja? Ada yang spesial kah?🤭 Yok, sharing! xx
Share
Tweet
Pin
Share
26 komentar
Newer Posts
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Bukan Salah Indonesia
  • Childfree yang Diperdebatkan
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Just Listen
  • Terlalu Besar Untuk Gagal

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

My Podcast

Newsletter

Get new posts by email:

Popular Posts This Week

  • Di Balik Angkasa
  • by.U: Solusi #SemuanyaSemaunya
  • Become a Fighter
  • Goodbye Wasteful Life, Welcome Minimalism
  • Menjadi Manusia
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • How I See Feminist as a Muslim
  • 2020 Wrapped: Top 3 Genre For You
  • Romantisisasi Generasi 90-an

Blog Archive

  • ▼  2024 (2)
    • ▼  Oktober 2024 (1)
      • Posture Perfect: How Wearing a Waist Trainer Can I...
    • ►  Agustus 2024 (1)
  • ►  2023 (1)
    • ►  Februari 2023 (1)
  • ►  2022 (9)
    • ►  November 2022 (1)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (1)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  Maret 2022 (2)
    • ►  Februari 2022 (2)
  • ►  2021 (30)
    • ►  Desember 2021 (1)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  Juli 2021 (3)
    • ►  Juni 2021 (2)
    • ►  Mei 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  Maret 2021 (5)
    • ►  Februari 2021 (1)
    • ►  Januari 2021 (5)
  • ►  2020 (46)
    • ►  Desember 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  Oktober 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (10)
    • ►  Juli 2020 (8)
    • ►  Juni 2020 (4)
    • ►  Mei 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  Desember 2019 (3)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Agustus 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Februari 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Pengikut

Categories and Tags

Intermeso Krisis 1/4 Abad Opini Perempuan Podcast Poetry Review Thoughts digital marketing karir lifestyle slice of life

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.