Diberdayakan oleh Blogger.
  • Home
  • About
  • Lifestyle
  • Personal
    • Opini
    • Thoughts
    • Slice of Life
    • Poetry
    • Intermeso
  • Podcast
  • Review
instagram LinkedIn Spotify YouTube Email

Notes of Little Sister



 
Bahagia Perlu Uang

When i think about happiness, it's true that it comes from the smallest thing in our lives. But is it always true? Apakah konsep ini berlaku sepanjang kita hidup? Mungkin ya, mungkin saja tidak. Biasanya nih, anak muda zaman sekarang paling sering mengglorifikasi soal "rules of life" (even if this kind of thing exists), semacam; apakah kita bisa hidup bahagia tanpa uang?; atau apakah sebetulnya uang bisa memberi kita impian yang konyol dan kehidupan tanpa penderitaan? Lalu sering khawatir bahkan sebelum memulai garis start pertamanya. 

Before we move on, i need to clarify something. Gue nggak sedang membahas tentang kebahagiaan secara general. Membicarakan soal kaitan uang dengan kebahagiaan nggak berarti gue nge-dismissing fakta bahwa rasa bahagia itu besar sekali maknanya, bahkan tanpa harus diselubungi dengan hal-hal berupa materi. Also, gue rasa kita perlu meluruskan beberapa hal di awal, bahwa frasa "money can't buy happiness" yang akan gue mention di postingan ini, nggak pernah gue maksudkan secara literal. Ini hanya konotasi, after all.  If you disagree about what i writes on this topic, it's very okay. Your opinion could be different than mine, and this might sounds contradictory to my previous post which tells about finding your own happiness through the silly dreams that you might have had since you were kids, but let me explain further.

Sebagai manusia normal, rasanya kita tidak bisa mengelak bahwa hampir setiap waktu, kita perlu uang untuk memenuhi kebutuhan akan rasa aman dan nyaman dalam berkehidupan. Tidak hanya kebutuhan primer, sekunder, namun juga tersier yang seringkali perlu untuk disokong. Kita memerlukan uang untuk bayar tagihan, belanja kebutuhan seperti pangan, sandang (bahkan ketika seseorang memiliki gaya hidup minimalis), lalu untuk bayar air, bayar token listrik, kuota internet, hingga sekadar beli bensin untuk kendaraan yang digunakan sehari-hari. Semua aspek dalam hidup kita seakan-akan tidak bisa digerakan tanpa kehadiran uang, dan banyak sekali permasalahan hidup yang bisa diselesaikan dengan uang. Bahkan dalam kondisi pandemi seperti ini, perekonomian negara tidak bisa dihentikan sementara hanya untuk lockdown, karena efek jangka panjang yang ditimbulkan mungkin akan lebih buruk dari yang bisa kita kira. Mengapa? Alasan paling dasarnya semata-mata karena kita membutuhkan uang untuk hidup, terlebih dalam situasi sulit seperti saat ini. Most people do.

Kenyataan ini didukung oleh data yang dikumpulkan peneliti Universitas Princeton pada tahun 2010, bahwa rata-rata dari 450.000 orang dewasa di Amerika Serikat memiliki perasaan sedikit lebih bahagia ketika dikaitkan dengan uang atau pemasukan. Dapat dikatakan bahwa orang yang memiliki pendapatan sekitar $70.000 per tahun cenderung lebih bahagia daripada mereka yang menghasilkan sekitar $40.000 per tahun. Perbedaan yang tidak besar, namun signifikan secara statisik. Kualitas emosional ini dinilai dengan pertanyaan yang meminta mereka untuk memikirkan tentang kondisi di hari-hari sebelumnya dan menilai seberapa banyak kebahagiaan dan kenikmatan yang dialami, hingga seberapa banyak mereka tersenyum dan tertawa.

Selain itu, peneliti juga mengatakan bahwa manusia sulit untuk benar-benar bahagia jika hidup dalam kemiskinan. Jika kita selalu merasa lapar, kedinginan, dan tinggal di lingkungan yang tidak aman atau selalu berutang uang kepada seseorang, rasanya kebahagiaan bisa sulit dipahami. Contoh lain adalah ketika kita memiliki masalah kesehatan sementara tidak memiliki cukup uang untuk pergi ke dokter (tidak semua orang punya BPJS), kemungkinan besar ada dua kekhawatiran yang mesti dihadapi—kesehatan dan uang. 

Di bawah tingkat pendapatan tertentu, orang miskin sebenarnya kurang bahagia dan kurang puas dengan kehidupan mereka daripada kebanyakan orang. Terlebih ketika mereka tidak menemukan adanya quantum leaps atau penghasilan yang meningkat signifikan setiap harinya, bahagia seakan hanya jadi ilusi. Mungkin, dalam kondisi seperti inilah bahagia datang dari hal yang sederhana. Tapi, apakah pada akhirnya itu cukup untuk mengenyangkan perut kita? Apakah hal itu cukup untuk membayar tagihan yang menumpuk? Tidak juga.

Baca juga: Matre: Realistis atau Materialistis?

Uang Bikin Bimbang

Yah, kita bicara fakta saat ini. Memang, manusia sudah sepatutnya banyak bersyukur dan tabah dalam menghadapi cobaan hidup yang datang silih berganti, karena pada kenyataannya tidak semua hal bisa dinilai dengan materi. Namun, sebagaimana manusia yang selalu butuh validasi, adakalanya kita selalu berusaha untuk mencari pembenaran atas hal-hal yang kita lakukan ketika belum berusaha sepenuhnya. Misalnya, seseorang yang sering mengeluh karena mendapatkan gaji kecil dan pas-pasan, sementara apa yang didapatnya itu tak lain karena usaha yang kurang maksimal. Lantas untuk meyakinkan diri bahwa ia sudah hidup lebih baik, seseorang ini hanya berlindung di balik kata "syukur" tanpa benar-benar memaknainya. Sebab ada orang yang pandai bersyukur, kemudian bekerja lebih keras di hari esok, begitu seterusnya. Namun ada juga orang yang bersyukur, tapi tidak diiringi dengan usaha yang lebih keras karena tidak tahu caranya memberi limit terhadap diri sendiri.

Terlebih untuk yang usianya masih muda dan prima, rasanya memalukan berpikir tentang "cukup" ketika kita bisa melakukan sesuatu yang lebih lagi untuk kebaikan diri sendiri maupun lingkungan sekitar, sebagai bekal di masa depan nantinya. Iya, sebagai generasi digital, gue tahu banyak anak muda yang sedang mengalami dilema semacam ini. Go for it, or give it up. Sama halnya dengan perkara menentukan passion atau main job, dan idealisme dengan realita.

Bukan Soal Privilege

Selain bisa mengurangi kegelisahan dalam hal financial, dengan uang kita juga bisa "membeli" banyak pengalaman yang tidak terlupakan. Contohnya, traveling ke berbagai daerah atau negara, menonton pertandingan bola, menyaksikan drama musikal di suatu tempat atau bahkan di Broadway, atau kalau dikerucutkan lagi, sesederhana menikmati suasana yang menenangkan di pinggir danau seberang kota. Do we only need a cent of money? Obviously, we don't. Meskipun kita tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk membeli pengalaman tertentu, paling tidak sejumlah uang yang lebih besar bisa membantu kita menikmati pengalaman dengan perasaan nyaman.

Uang juga memungkinkan kita untuk dapat memberikan kebahagiaan dalam bentuk lain terhadap orang-orang yang lebih membutuhkan. Jadi, tidak semata-mata selalu untuk memenuhi ego manusia akan pemenuhan kebutuhannya. Serta kita juga bisa memiliki akses dalam mempelajari hal-hal baru dengan fasilitas yang lebih mendukung. Siapa disini yang senang menggambar dan tergiur ingin membeli alat berupa procreate agar hasil gambarnya dapat lebih maksimal? Atau, adakah yang ingin bisa memiliki alat rekam khusus dengan kualitas mumpuni bagi yang sedang mengolah kemampuan suara? *Ehm, itu.. keinginan gue, sih😅.

Kebanyakan orang juga menemukan kebahagiaannya tersendiri ketika bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan membahagiakan orang-orang yang disayang secara materiil dengan jerih payahnya. At the end of the day, it's about money, isn't it?

So, apakah sebetulnya uang bisa "membeli" kebahagiaan? Yap, kalau kita bisa memanfaatkan dan mengelolanya dengan cara yang benar. Namun apakah kita harus menjadi kaya untuk bisa bahagia? Ini dia yang harus gue luruskan. Kenyataannya, kebahagiaan memang bukan bersumber dari uang. Apalagi jika semakin banyak uang di dalam tabungan kita, maka semakin banyak kita berinvestasi, dan semakin besar kerugian, serta rasa stress yang mungkin akan kita dapatkan. Mungkin ini sebabnya Jeff Bezzos tidak lagi merasa antusias ketika perusahannya mendapatkan keuntungan jutaan dollar yang berkali lipat. Walaupun hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa orang yang memiliki gaji 400 juta per tahun tidak lebih menderita daripada orang yang hanya mampu menghasilkan uang sebesar 70 juta per tahun, begitupun seterusnya. Toh, banyak millioner yang ujung-ujungnya memilih "sengsara" dalam kekayaan daripada sengsara dalam kemiskinan.

Beberapa di bawah ini gue kutip sedikit potongan diskusi dari postingan Instagram influencer favorit gue, Fellexandro Ruby, yang kebetulan membahas topik serupa beberapa waktu lalu, agar postingan ini tidak terasa begitu saklek dan satu arah. Well, sharing is caring!

Bahagia Perlu Uang

Bahagia Perlu Uang
Of course, we wouldn't! Seperti yang baru saja gue bilang, in fact uang memang bukan sumber kebahagiaan. Toh, manusia hidup lebih lama daripada uang itu sendiri, kan? Begitupun perasaan bahagia, it lasts longer than the money itself. Money and happiness are two different things, but this post tries to elaborate them.

Bahagia Perlu Uang
Yes, it is the phase of our life that helps us see things clearly and takes us to the next (financial) journey.

Bahagia Perlu Uang

Bahagia Perlu Uang
I suddenly remembered what my friend once said, we don't really want stuff, we just want feelings. Like, we thought we want money, but deep down we only want the feeling of ease and comfort which we thought money could bring.

Baca juga: Menjadi Manusia

Pada intinya, ini bukan menyinggung tentang privilege atau tidak mensyukuri rezeki yang didapat, melainkan lebih kepada menyadari realita bahwa kita bisa menikmati hal-hal yang orang ber-uang miliki tanpa harus kaya dan punya privilege, dan kita juga harus yakin untuk bisa memperoleh rezeki yang lebih jika kita tidak hanya bersyukur dan berserah, tapi berusaha sebaik-baiknya kemampuan diri.

Namun dari diskusi singkat di atas, kita juga perlu mengingatkan diri sendiri untuk tidak memetakan kebahagiaan hanya pada materi. Seperti yin dan yang, alangkah lebih baik jika semuanya dilakukan dengan seimbang, tidak berlebihan. Gapapa bekerja keras selagi kuat, but just don't push yourself so hard that you can't even enjoy your hard-earned money and the time you have. Karena gue yakin mindset kita terhadap uang juga perlu untuk direm sesekali agar tidak gelap mata.

Bahagia Perlu Uang


Tulisan ini gue buat bukan untuk mengajak teman-teman menjadi money-oriented atau materialistis, gue hanya ingin mengingatkan diri sendiri dan mungkin teman-teman sebaya yang sedang mengalami quarter life crisis (atau masalah pelik soal keuangan), bahwa underprivileged bukan alasan untuk kita bertahan dalam victim mentality dan berlindung di balik kalimat "money can't buy happiness". Uang bisa "membelikan" kita beberapa hal yang membawa rasa kebahagiaan kok, ketika dilakukan dengan cara yang tepat sesuai takaran kita. Oleh sebab itu, jangan berhenti menyerah within your limit, and don't mind about other people's life—being salty about privilege, etc. 

Berhenti membandingkan diri dengan orang lain, tinggalkan medsosmu untuk sementara waktu jika perlu, dan.. jangan sampai memberi afirmasi terhadap diri sendiri dengan cara yang salah yang malah bisa mengendurkan limit yang kita punya.
Share
Tweet
Pin
Share
21 komentar
Impian yang Konyol just awl

Beberapa hari yang lalu, gue having convo dengan teman gue di WhatsApp. Awalnya ngobrolin perihal komik Solo Leveling, yang isinya bercerita tentang manusia biasa yang berubah menjadi pemburu monster akibat portal waktu yang muncul tiba-tiba dan menghubungkan dunia nyata dengan dunia sihir dan monsters. Salah satu pemburu (tokoh utama) dikategorikan sebagai yang terlemah dan masuk ke dalam portal yang juga dianggap berisi monster-monster paling lemah. Namun tanpa disadari, portal itu ternyata adalah yang paling mematikan. Tokoh utama ini berperang melawan monster hingga hanya dia satu-satunya pemburu yang tersisa, dan membuat kekuatannya naik level menjadi yang paling hebat—dan berakhir menjadi pemburu paling mematikan di dunia.

Kemudian, singkat cerita teman gue bertanya, "seandainya diberi kekuatan kayak gitu, kekuatan apa yang ingin kamu miliki?"

Dengan polosnya gue menjawab, "aku pingin bisa keliling dunia dalam waktu sepersekian detik dan nggak kelihatan siapapun alias invisible. Aku pingin datengin rumah artis ternama satu persatu dan lihat kesehariannya kayak gimana."

Then he burst out laughing. Kira-kira lengkapnya begini kutipan convo kami:

He said, "what a simple dream to wish for🤣".

"Well, i thought it isn't as simple as that😅."

"If you have that kind of power, other people may have imagined going to places no one else could. While your dream is so simple, omg😆."

"I think it would be funny if i could sneak into a famous artist's house, then see how they really are, playing there, swimming and take a nap at their big mansion all day."

Kok kedengarannya menyeramkan, ya? Hahaha. But no no, gue nggak bermaksud ingin jadi stalker paparazzi yang menguntit mereka demi mendapatkan keuntungan. I don't wanna take anything for granted. Gue hanya penasaran gimana personality mereka in real life, seperti apa isi rumah mereka, dan ingin main-main disana. Sesederhana itu😅.

"Yeah, but if people have such powers, usually they already have a desire related to the world, whether they want to rule the world, change the world, etc."

Jujur, gue nggak ada sama sekali pikiran kesana. Menurut gue, apa yang terjadi di dunia ini, dari skala kecil sampai besar semua memang sudah garis ceritanya seperti itu. Gue nggak mau mengubah dunia, karena gue nggak punya kekuatan seperti itu, dan gue bukan orang jahat yang selalu bersembunyi di balik nama besar dan kepentingan banyak orang. Lebih sederhananya lagi, gue nggak mau berurusan dengan "manusia-manusia" ini. Bahkan mungkin, kalau gue nggak mengenal Tuhan, tindakan terjauh yang ingin gue lakukan adalah menghilangkan setengah populasi di bumi ini, seperti Thanos. Bumi ini udah terlalu runyam dan sesak karena ulah manusia. *Sorry friends, i agree with Thanos in this case. Dan seperti halnya kemunculan Covid-19 yang dianggap sebagai salah satu cara elite global untuk memusnahkan beberapa populasi, menurut penikmat teori konspirasi. Yikes!

Tapi gue bukan titan, bukan pula makhluk planet lain, gue manusia yang sangat kecil jika dilihat dari ketinggian, gue juga masih punya pedoman hidup. So the only thing i can do is to find my own happiness.

Selama ini gue nggak sadar bahwa mimpi gue yang absurd dan konyol ini ternyata datang dari hal-hal yang kecil dan sepele. Gue suka ngikutin berita artis-artis internasional favorit gue, gue suka nonton film, TV series/drakor, variety-reality show, gue juga suka dengerin musik genre apapun yang enak di telinga gue. Pokoknya, gue adalah salah satu produk era millenials yang pertumbuhannya nggak lepas dari dunia entertainment—kebanyakan nonton TV waktu kecil. Diam-diam gue suka curious dengan background mereka dan kehidupannya di balik layar. Seandainya gue bisa bertemu dengan mereka secara langsung, mungkin pertanyaan ini yang akan muncul di kepala gue: what did you do for living and how did you overcome all of it to get to where you are today? Sebab gue selalu senang belajar dari orang-orang hebat—nggak mesti yang terkenal, terlebih dari mereka yang datang dari keluarga underprivileged. Memberi gue motivasi dan semangat, bahwa paling tidak, masih banyak orang yang berjaya dan nggak sekadar menjual angan-angan, bahkan menyodorkan kemungkinan-kemungkinan terburuk karena mereka sendiri mengalami ada di posisi itu.

Kembali soal mimpi, mungkin karena itu ada satu impian—yang sudah jelas mustahilnya—yang tersimpan di memori gue sejak kecil. Ingin jalan-jalan pakai mesin waktu, invisible, dan menyelinap masuk ke rumah selebriti atau orang-orang penting di dunia😆. Kayaknya nih, hati kecil gue pingin banget bisa ngerasain langsung suasana kota di negara-negara lain sebagai lokal, makanya tinggal di rumah orang instead of stay at airbnb😂.

Tapi, apakah ini artinya gue nggak punya mimpi? Of course, i have. Hanya saja lebih realistis, dan mungkin.. lebih possible untuk gue raih (Aamiin). Namanya juga impian yang konyol, hehe.

Akhir kata, kita nggak bisa mengelak bahwa kebahagiaan selalu datang dari hal-hal yang memang sederhana. Dan gue menyadari,  sedewasa atau setua apapun usia kita beranjak, sometimes kita masih punya sisi anak-anak di dalam diri. Sisi inilah yang somehow bisa membuat gue stay happy dan nggak takut untuk bermimpi, sedikit melupakan tentang realitas yang selama ini menghambat diri sendiri.

o-o

Gue jadi pingin tau deh, apakah teman-teman juga punya mimpi yang kelewat nggak masuk akal buat diwujudkan? or is it just me?🤣 Yok, cerita-cerita!!
Share
Tweet
Pin
Share
23 komentar


Hai, semua! Beberapa hari yang lalu jagat maya sempat dihebohkan dengan BTS Meal😆, karena ini gue akhirnya memutuskan untuk menulis sesuatu yang related to Korean thing. Kebetulan, selama beberapa minggu ini hari-hari gue banyak diisi dengan menonton acara ragam Korea Selatan agar bisa mengusir rasa bosan😁 So, without any further do, here's the list of my favorite Korean variety shows!! *prok prok prok*👏🏻👏🏻👏🏻

1. My Little Old Boy


Yash, nomor satu jatuh kepada My Little Old Boy atau Miun Uri Saekki! Program reality ini berfokus pada para ibu dari selebriti Korea Selatan. Berbeda dengan program realitas pada umumnya yang hanya berfokus pada selebriti, My Little Old Boy yang tayang di SBS ini menampilkan komentar dari ibu selebriti saat mereka menonton cuplikan aktivitas sehari-hari putra dan putri mereka, dipandu oleh Shin Dong Yup dan Seo Jang Hoon sebagai host. Sementara putra putri yang membintangi variety show tersebut hingga saat ini ada Lee Sang Min, Kim Jong Kook, Kim Hee Chul dan Lee Tae Sung, dengan special cast Tak Jae Hoon, Im Won Hee, Oh Min Suk, Bae Jung Nam, Jung Suk Yong, Kim Jun Ho, Park Goon, dan Choi Jin Hyuk. 

Nah, para special cast ini nih yang selalu bikin acara makin terasa ramai dan mengocok perut! Apalagi kalau mereka semua piknik bareng-bareng di apartemen salah satu member, wahh udah deh, bisa-bisa saling roasting satu sama lain🤣 wk. Episode favorit gue so far adalah episode 229 dimana para member bertemu dan pergi berkemah di musim dingin (episode ini nggak kalah kocak sih sampe sakit perut🤣), 245 (cuplikan di atas) saat mereka semua bermain olahraga bersama yang dibagi menjadi dua tim, yakni tim penyanyi dan tim aktor. Lalu ada juga episode bertemakan "Return of the Stones" dimana Lee Sang Min, DinDin, dan Kim Jong Kook bergiliran mengembalikan sebongkah unwanted blocks ke apartemen masing-masing sebagai hadiah housewarming. Ngakak abizz!😆

2. Knowing Bros a.k.a Ask Us Anything


Peringkat kedua ialah Knowing Bros atau dalam bahasa Koreanya yakni Aneun Hyeongnim!😍 Variety show ini tayang di saluran kabel JTBC dan diisi oleh Kang Ho Dong, Lee Soo Geun, Kim Young Chul, Seo Jang Hoon, Min Kyung Hoon, daaaan lagi-lagi Kim Hee Chul serta Lee Sang Min LOL. Fix dua orang ini jadi favorit gue kayaknya, apalagi sebagai elf setiaku harus selalu mendukung idolanya dong! *wink Heechul*. Acara ini mengambil setting ruang kelas di mana semua tamu dianggap sebagai murid pindahan dan tuan rumah adalah murid lama. Mereka saling menceritakan rahasia masing-masing guest seperti sesi Q&A dengan guyonan yang khas dan lucu. Terdapat juga segmen dimana mereka memainkan berbagai permainan dan peran dalam sketsa komedi. Dijamin ketika menonton ini, teman-teman akan jadi merasa lebih dekat dengan selebriti di dunia entertainment Korea Selatan😆.

Episode favorit gue adalah episode 18 yang cuplikannya gue cantumkan di atas, dimana guest-nya adalah Eum Ji Won dan Kang Sung Kyung. Bagi penonton setia Knowing Bros pasti setuju kalau episode ini termasuk legend and unbeatable, karena para murid lama dibuat kocar-kacir sama murid pindahan🤣. Kenapa kenapa? Makanyaa, yuk nonton langsung biar bisa saksiin keseruan mereka kayak gimana!😁

3. Master in the House


Sesuai dengan namanya, pada program asal SBS ini, para member menghabiskan dua hari satu malam bersama dengan tokoh-tokoh terkemuka dari berbagai bidang atau profesi (nggak cuma dari dunia entertainment), yang dikenal sebagai Master (sabu), dan mengenal kehidupan para Master dengan harapan mendapatkan pengetahuan dan pembelajaran hidup dari mereka. Ada juga segmen satu hari di acara itu, yang mana para member akan menghabiskan waktu bersama Master. Original cast pada acara ini yakni Lee Seung Gi, Yang Se Hyung, aktor Lee Sang Yoon dan Yuk Sung Jae—yang mana merupakan formasi kesukaan gue sejak awal. Namun karena Sung Jae harus pergi wajib militer dan Lee Sang Yoon memutuskan untuk fokus di dunia akting, maka pada episode 111 mereka memutuskan untuk berhenti dari acara, dan kemudian segera digantikan oleh Shin Sung Rok dan Cha Eun Woo—yang mana juga memutuskan untuk keluar pada episode 177 baru-baru ini. Saat ini hanya tersisa tiga member, yakni Lee Seung Gi, Yang Se Hyung dan Kim Dong Hyun yang bergabung pada episode 118.

Episode favorit gue yang tak tergantikan kayaknya memang episode pertama, sih😂 Lucu aja melihat empat sekawan yang totally berbeda karakter dan baru dipertemukan dalam satu reality show ini mengikuti gaya hidup dari sang Master rock Jeon In Kwon yang sudah tua dan tinggal selama 63 tahun di atas bukit. Ada scene dimana mereka makan nasi kerak dengan ekspresi yang nggak banget, karena memang seingat gue nggak ada persediaan beras disana, wkwk pokoknya seru deh!😆

4. The Manager a.k.a Omniscient Interfering View


Berbeda dengan beberapa acara varietas di atas, program ini ditayangkan di saluran MBC. Omniscient Interfering View adalah acara hiburan observasional yang menggunakan teknik gaya dokumenter untuk mengamati kehidupan para selebriti dan manajer mereka. Para bintang tamu beserta manajer, dan member (interferer) bersama-sama menonton video di studio sambil mengamati dan mengomentari kehidupan para bintang tamu dan manajer mereka. Adapun member yang aktif sebagai interferer ini adalah Jun Hyun Moon, Lee Young Ja, Song Eun I, Yang Se Hyung, dan Yoo Byung Jae. 

Setiap minggunya kita bisa melihat bagaimana kehidupan para selebriti yang diundang sebagai bintang tamu dan manajer mereka ketika mengurus berbagai hal yang berkaitan dengan jadwal sang selebriti, aktivitas sehari-hari—bahkan ketika mereka sedang senggang, dan tentu dengan selebriti yang berbeda-beda di setiap episodenya. Seru kan ngebayangin gimana sibuknya keseharian para manajer dari artis-artis ternama Korea Selatan? Bahkan nggak perlu ngebayangin, kita bisa tahu gambarannya langsung bagaimana kehidupan showbiz mereka😁. 

Tapi di samping itu, kita malah bisa melihat sisi kocak dari para manajer selebriti ini. Ada yang begitu berdedikasi mengurus artisnya, ada juga yang tiba-tiba jadi rajin dan begitu teratur hanya karena muncul di program ini, padahal biasanya santuy dan slengean😆.

5. Running Man


Yepp, peringkat terakhir menurut gue jatuh kepada variety show Running Man! Meskipun sudah mengudara selama 11 tahun lebih, program ini masih menjadi salah satu acara yang dinantikan dan termasuk dalam acara "Good Sunday"-nya SBS di setiap hari Minggu. Kalau dulu MBC punya Infinite Challenge aka MuDo yang mengudara selama 15 tahun lamanya, maka SBS punya Running Man yang mungkin akan segera menyalip MuDo. By the way, acara Infinite Challenge juga jadi salah satu program televisi favorit gue, sayang sudah bungkus dan entah akan kembali kapan ke layar kaca🤧.

Buat yang belum tahu, Running Man diklasifikasikan sebagai "urban action variety"; genre variety show di lingkungan perkotaan. Para member dan guest harus menyelesaikan misi di sebuah landmark untuk memenangkan perlombaan. Namun dalam beberapa tahun terakhir, acara tersebut telah bergeser ke konsep reality-variety show yang lebih akrab dan berfokus pada permainan. Mungkin karena membernya juga sudah terlalu lelah dan sempat mengalami cidera, sehingga permainannya nggak sesulit dan seekstrim dulu😅. Acara ini dipewarai oleh Yoo Jae Suk, Ji Suk Jin, Kim Jong Kook, HaHa, Song Ji Hyo, Yang Se Chan, Jeon So Min, dan Lee Kwang Soo yang baru saja meninggalkan program ini pada episode minggu lalu karena alasan kesehatan🤧.

Well, siapa disini yang banjir air mata waktu Lee Kwang Soo pergi dari acara Running Man?😫 Walaupun gue sudah nggak menonton RM sesering dulu, rasanya tetap sedih dan terharu karena Lee Kwang Soo adalah salah satu bintangnya Running Man sejak mengudara tahun 2010 lalu, dan menurut gue menjadi salah satu koentji keberhasilan Running Man dalam menghibur pemirsanya🤧. Meskipun begitu, stay healthy Kwang-soo oppa! Seperti kata PD-nim, you can stop running and walk now🚶🏻‍♂️.

o-o

Nah, itu dia lima acara varietas Korea favorit gue! Apakah ada salah satunya yang jadi favorit teman-teman? Ataukah ada yang baru kepingin nonton variety shows KorSel? Semoga rekomendasi tulisan gue bermanfaat yaa😆 Hitung-hitung nambah formula di kala gabut dan suntuk, wk. Cheerio!
Share
Tweet
Pin
Share
30 komentar

Pernah nggak sih lo ngalamin keserimpet atau ketubruk-tubruk pas lagi jalan di suatu tempat yang padatnya bukan main? Gue sering, dan saking seringnya, gue selalu nggak betah berjalan lama-lama atau secara lamban di ruang publik.

Mungkin karena kebiasaan gue yang selalu ingin cepat dan nggak suka berlambat-lambat ria ketika berada di ruang publik, baik itu di trotoar, mall, jalan lebar, pasar, dsb.nya, jadi gue selalu nggak betah kalau berada di sana lama-lama dan selalu nggak sabar untuk mendahului. Ingin langsung syung syung syunggg gitu. Ini serius. Sampai-sampai sambil berjalan gue suka heran dan mikir sendiri, ini orang-orang yang lelet emang jalannya santai atau mereka lagi banyak pikiran jadi jalan sambil melamun? Ataukah mereka simply memang nggak peduli kalau jalannya terlalu ke tengah dan menghalangi jalanan orang lain? Sambil ngobrol cekakak cekikik pula? Saking cepatnya, pernah ketika gue lagi jalan sama tante gue, beliau ketinggalan jauh di belakang dan gue dibilang kayak orang Jepang karena cara jalannya yang nggak santai. Jiaah, kuliah bahasa Jepun bukan berarti jadi orang Jepun juga bund😆

"Emangnya mau kemana sih, neng, buru-buru amat!"

"Mau pulang lah, pak. Demen kalik saya lama-lama di jalanan😫."

Sebetulnya bisaa sih, santai, rileks, nggak perlu buru-buru. Namun hal itu hanya bisa dilakukan saat gue ingin menikmati momen-momen tertentu, misalnya saat lagi jalan pada Minggu pagi di kampus atau di CFD, dan saat mau pilih-pilih baju atau buku di toko—itupun sambil merhatiin situasi di sekeliling gue, apakah lagi ramai sentosa atau nggak. Kalau lagi ramai ya mending balik aja guehh😰. Suwer, berada di kerumunan lama-lama bikin sakit kepala. Gue susah fokus!

Setelah beberapa bulan ini merasakan, tinggal di kota kecil nyatanya nggak jauh berbeda dengan kota-kota besar yang macetnya terkenal bukan main. Apalagi pada jam-jam istirahat dan pulang kerja. Dan di masa-masa mendekati lebaran kayak gini, nih, justru menurut gue macet dan riweuhnya lebih parah daripada ketika gue masih di Bandung bulan puasa tahun-tahun sebelumnya. Berarti kebayang, kan, semacet apa? Kalau sebelumnya gue lebih sering kesal sama lampu merah yang lamanya bikin males dan pusing, justru sekarang gue lebih sering kesal sama perilaku manusia-manusianya. Dahlah jalanan nggak lebar, trotoar sempit, angkutan umum bertebaran dari yang sebelah jalan paling pinggir sampai yang paling tengah sekalipun, banyak pula orang-orang yang malah berdiam diri atau mengobrol ria di trotoar yang sudah sempit itu, ditambah prokes dilakukan alakadarnya karena nggak semua orang masih aware dengan covid-19 yang belum usai ini.

"Lah terus, ente sendiri ngapain ikut-ikutan ngeramein jalanan?"

Kebetulan ada beberapa barang yang harus gue beli, dan sejujurnya gue sendiri jarang keluar kemana-mana karena males, terbukti dengan udara panas dan macet yang nggak karuan bikin makin enggan untuk keluar. 

Nggak terhitung berapa kali rasanya gue ingin teriak dan punya kekuatan super yang bikin orang-orang ini jadi langsung tertib. Wushh! Tapi, siapa gue?

Lambat laun, sambil merasakan badan yang dicolek ibu-ibu dari belakang karena beliau tampaknya buru-buru juga (saya pun sama buu, bentar ya, sabar ya buu, orang depanku ini lama kalik bu😭), gue belajar bahwa ternyata our responses are all matters. 

Beberapa kali gue agak menyahut tak sabar saat orang di belakang gue menuntut untuk lebih cepat, sementara jalanan di depan fully tertutup dan nggak bisa ditembus lagi oleh orang yang memang selalu ingin cepat seperti gue. Beberapa kali juga gue terpaksa menerobos supaya orang yang menghalangi jalan itu sadar bahwa mereka berdiri terlalu ke tengah dan mengganggu kenyamanan orang lain. Semua respon atas situasi tidak menyenangkan itu gue tanggapi selalu dengan emosi, dengan ego yang memaksa untuk nggak mau jalan berlama-lama. Gue nggak memberikan ruang untuk kepala gue bersikap lebih dingin dan melihat dari sisi positif.

Padahal, di depan gue ada anak perempuan dan ibunya yang lagi semangat ngobrolin soal baju model apa yang mau mereka beli—mungkin hari raya jadi momen langka untuk mereka bisa punya baju baru. Nggak jauh dari sana, ada pasangan suami istri dan anaknya yang masih kecil yang tampak sesak kepanasan dan kebingungan untuk menentukan, akan ke arah mana lagi mereka pergi, ditambah barang belanjaan di kanan kiri mereka. Di depan gue juga ada banyak sekali tukang dagang yang hopeless menawarkan dagangan mereka untuk pejalan kaki yang abai begitu aja. 

Di antara mereka ada tukang sandal, tukang peci/kopiah, tukang mainan, tukang celana, tukang cilok, tukang rujak, sampai pedagang asongan yang giat nawarin minuman ke anak kecil dan mbak-mbak yang mungkin saja lagi nggak shaum. Gimana kalau dagangan mereka terinjak-injak atau terjatuh karena gue yang serabat serobot dan egois ingin cepat-cepat terbebas dari hiruk pikuk? Belum lagi ada nenek-nenek yang jalan sambil bawa kantong kresek di tangannya, dan anak kecil yang lagi jongkok sambil nangis menunggu mamanya karena mungkin juga sudah gerah ingin cepat pulang. Gimana kalau kepala anak kecil ini kesenggol sama kantong belanja gue yang lumayan berat hanya karena gue ingin buru-buru dan nggak ngeh dengan kehadirannya yang kurus dan kecil itu?

Sebagaimana hidup kita yang nggak lepas dari lalu lalang orang melintas, ada kalanya kita nggak bisa melawan hal-hal yang memang berada di luar kontrol kita. In this case, gue memaksa ingin cepat, menegur orang dengan cara nggak baik seolah-olah terlihat gue memikirkan juga kondisi orang di belakang gue padahal kenyataannya gue hanya mementingkan urusan gue sendiri, sementara perihal kecepatan berjalan atau cara orang berjalan dan kesadaran mereka tentang situasi sekitar bagaimanapun adalah sesuatu yang nggak bisa gue kontrol. Sekalipun bisa, mungkin hanya berlaku untuk satu atau dua orang yang gue tegur tadi. Selebihnya, gue bukan polisi, bukan security atau petugas dishub yang punya wewenang untuk mengatur keadaan disana. Itulah kenapa, respon gue menjadi segalanya. Karena satu-satunya orang yang bisa gue kontrol adalah diri gue sendiri, pola pikir gue.

Detik itu juga gue berusaha mengubah respon gue dengan senyuman. Walaupun senyum gue mungkin nggak terlihat karena tertutup masker, paling tidak senyuman itu berguna untuk bisa menenangkan diri sendiri. Menyiram api-api yang sedari tadi nggak berhenti menyala di kepala gue. Awalnya susah memang, apalagi kalau situasi nggak menyenangkan itu masih berlangsung gue rasakan. Bahkan pada respon berikutnya gue hampir menggerutu lagi, tapi sesaat kemudian gue harus mengingatkan diri sendiri untuk bersabar. Toh pada akhirnya gue hanya bisa maklum. Karena gue bukan sedang berada di Shibuya crossing yang meskipun tempat penyeberangan disana merupakan yang paling sibuk di dunia, semua pejalan kaki yang melintas patuh pada aturan. Gue juga bukan sedang berada di Jerman yang memang terkenal sebagai negara ramah pejalan kaki dengan infrastruktur yang baik. Bukan pula sedang berada di Korea Selatan yang termasuk negara dengan mobilitas tinggi, tanpa harus menyaksikan mobil-mobil dan angkutan umum chaos di sisi jalan. Gue hanyalah anak manusia yang berada di belahan dunia lain di Indonesia, yang kondisinya jauh sekali dari apa yang gue sebutkan di atas. Maka yang bisa gue lakukan adalah bersabar, dan maklum.

"Tapi apa itu artinya sah-sah aja kalau seseorang menghalangi jalanan bagi pejalan kaki yang lain?"

Bagi gue sendiri, punya rasa peka dan kepedulian yang tinggi, serta nggak menjadi ignorant saat lo sedang berada di public place semacam trotoar, mal, dsb.nya adalah sesuatu yang penting. Meski kenyataannya sulit, gue sendiri masih berusaha untuk nggak semata-mata memikirkan diri sendiri saat berada di jalan. Barangkali, kan, ada orang yang membutuhkan bantuan gue saat di tengah perjalanan itu. Gue maklum nggak semua orang punya awareness ini, tapi gue juga berharap bahwa kita bisa lebih tertib lagi ketika berbaur atau bersosialisasi dengan orang lain di ruang terbuka. Karena nggak semua orang bisa santai di jalan, nggak semua orang juga jalan-jalan untuk berlibur dan beli baju. Ada kok, yang semata-mata keluar hanya untuk beli bahan makanan buat buka puasa.

Tulisan kali ini gue dedikasikan sesuai dengan tema "Jalan" untuk awal bulan dari #1minggu1cerita. Entah kebetulan atau memang sudah "direncanakan", peristiwa kecil yang gue alami hari ini dan gue ceritakan di atas seperti kembali menyadarkan gue bahwa jalan untuk bersabar itu ternyata banyak cabangnya. Dan seringkali disitulah ia hadir, berdampingan dengan sesuatu yang kita benci dan sangat tidak ingin kita jumpai. Gue jadi belajar untuk nggak egois, dan nggak memaksakan apa yang selama ini menjadi kebiasaan gue. Karena bagaimanapun, disinilah kaki gue menapak saat ini. Di tempat yang masih banyak terletak kekurangannya, yet in fact menjadi tempat yang juga memberi satu pelajaran tambahan untuk gue bisa lebih bersabar. Sebagaimana hidup yang dihiasi hilir mudik cerita manusia, bersabar ketika di perjalanan sesungguhnya bisa menjadi jalan lain untuk kita mengenal diri sendiri dan kondisi di sekitar kita.

Akhir kata, semoga sehat selalu untuk kita semua. Lebaran sebentar lagi, manteman! Sedih, nggak? Gue sih so pasti sedih banget. Banyak faktor yang membuat suasana Ramadhan tahun ini menjadi tak ada bedanya dengan tahun lalu, if you know what i mean🤧

Eniwey, ada yang pernah merasakan pengalaman buruk jugakah saat sedang di perjalanan? Coba ceritakan versimu, ya😁 Let's sharing! xx.

Share
Tweet
Pin
Share
22 komentar
Owari

Akhirnya setelah sekian drama dan purnama yang harus gue lalui selama setahun lebih ini, tanggal 28 April kemarin gue selesai yudisium tanpa harus ada revisi tambahan ini itu. Sebelumnya gue pernah bilang di postingan Cuma Cerita #3 , bahwa dari sejak akhir bulan Maret lalu skenario hidup gue terasa benar-benar plot-twist. Alasannya karena berdasarkan jadwal yang seharusnya, kemungkinan gue nggak akan bisa ujian sidang bulan April ini. Dimana pada saat akhir Maret itu gue masih proses pengolahan data. Lha, gimana maksudnya, Awl?

Hm, ceritanya begini.. dari bulan Maret awal gue udah nargetin untuk bisa sidang bulan April karena biasanya ujian sidang selalu dilaksanakan pada akhir bulan. Sementara pendaftarannya dibuka pada pertengahan bulan. Mengingat saat itu gue masih berada di pertengahan Maret, gue pikir gue bisa menyelesaikan semuanya sampai di akhir Maret. Tapi ternyata, berita mengejutkan tiba-tiba muncul dan meruntuhkan dunia dan segala rencana gue.

Jadi, yang semula gue kira ujiannya dijadwalkan pada akhir bulan April, ternyata dimajukan jadi awal bulan, tepatnya tanggal 7 April. Dimana pendaftarannya sendiri dibuka lebih cepat, yakni tanggal 23 – 28 Maret, yang mana pada saat itu udah tanggal 21 dan gue masih on progress mengolah data🙃.
 
Entah mungkin alasannya karena memasuki bulan Ramadhan atau apa, sehingga jadwal yang biasanya di akhir bulan lalu dimajukan menjadi awal bulan, yang pasti saat itu gue kaget dan lemas sejadi-jadinya. Gimana nggak? Waktu seminggu nggak mungkin cukup untuk gue bat bit bet kelarin skripsi beserta perintilannya. Mungkin bisa, tapi isinya bakalan hancur, dan gue nggak mau seperti itu. Hanya karena gue telat lulus, bukan berarti gue mau merelakan konten skripsi gue yang asal-asalan itu diuji alakadarnya. Dengan semangat yang langsung anjlok, gue sempat berhenti untuk beberapa hari. Padahal waktu itu sisa pembahasan data kuesioner, dan gue udah bisa lanjutin BAB V. Tapi tetep, gue nggak akan bisa ngejar jadwal yang ada, pikir gue. Karena sekalipun skripsi gue bisa selesai, waktunya nggak cukup untuk dipakai bolak balik Bandung dan urus persyaratan ini itu. Pokoknya bakal mepet nggak karuan, deh.

Akhirnya selang seminggu setelah pengumuman itu diedarkan, gue yang sudah berusaha ikhlas kalau ujian sidangnya diundur ke bulan berikutnya dapat kabar lagi dari teman gue yang sebelumnya memang berencana akan daftar sidang bareng, bahwa jadwal ujian sidangnya kembali dimundurkan jadi tanggal 28 April, dengan pra-sidang tanggal 21, dan pendaftaran dibuka tanggal 13 – 17 April, dengan alasan agar bisa memberikan kesempatan untuk mahasiswa yang lain yang memang berencana sidang di bulan itu. Waddd! Gue langsung seneng dong! Dari yang tadinya baterai gue cuma 10%, tiba-tiba langsung naik 100% dan tepat tanggal 30 Maret itu akhirnya gue langsung gas lagi untuk melanjutkan apa yang sempat tertunda, dan buru-buru deh kabarin kedua dosen pembimbing gue saat progress-nya sudah selesai gue kerjakan.

Dengan masukan-masukan dari beliau, gue akhirnya mengantongi izin untuk daftar dan cuss ke Bandung untuk mengumpulkan persyaratan plus daftar sidang saat hari pertama puasa, yakni tanggal 13 April 2021. Kebayang, kan, mana panas terik, hari pertama puasa, macet pulak di jalan. But i was really grateful karena pada akhirnya kesempatan ini datang juga. Ingin rasanya gue teriak saat itu, AKHIRNYA GUE GAK JADI WISUDA OKTOBER! Wkwkw. Karena bulan April ini adalah ujian sidang terakhir untuk wisuda gelombang II, yakni bulan Juni. Selebihnya sudah otomatis masuk gelombang III di bulan Oktober, karena jarak setelah yudisium dengan wisuda itu minimal harus satu bulan, nggak bisa berdekatan. Yaa walaupun waktu itu gue belum pasti lulus, tapi yang penting PD aja dulu!😝.

Alhamdulillah, walaupun selama empat hari di Bandung itu juga nggak lepas dari drama, setidaknya semua terasa dipermudah oleh Allah. Tanda tangan sama Kadep lancar tanpa hambatan, begitupun para dosen pembimbing gue yang sangat perhatian dan nggak horror seperti pengalaman kebanyakan orang. Mungkin yang bikin agak dramanya cuma sedikit aja, itupun karena slow response, huhu. But yeah, namanya juga hidup yang seperti roller-coaster, nggak mungkin dramanya cuma secuil-cuil aja. Pada saat hari pra-sidang beberapa hari kemudian, gue ngerasa bener-bener digodok dan jadi orang paling bodoh sedunia. Udah kebayang lah yaa kenapa, wkwk. BIASALAH. Walaupun maksud dosen penguji mungkin ingin mendengar gue mempertahankan argumen atas penelitian yang susah payah gue kerjain, tetep aja pas hari H-nya mah metong, kaget. Ditambah badan gue masih kerasa sakit abis perjalanan dari Bandung sebelumnya. Alhasil sejak hari pra-sidang itu gue melo terus bukan main. Muka nggak kerawat, even cuci muka aja sampe lupa, makan pun nggak nafsu, mana kebetulan lagi sariawan juga (nah lho triple combo dah), yang ada bisanya cuma pingin nangis aja kepikiran nanti pas ujian gimana. Apalagi gue harus ngomong bahasa Jepang, kan. Ini dia nih, bisa dibilang jadi salah satu ketakutan terbesar gue kenapa kemarin-kemarin takut lulus.

Singkat cerita, setelah seminggu no life, hari ujian pun tiba dan semuanya serba dilakukan secara virtual, dari mulai pembukaan sampai presentasi dengan masing-masing dosen penguji. Ujian pertama dilakukan jam 7 pagi dengan salah satu dosen penguji gue, dan begitu seterusnya sampai pukul 9.30 WIB. Alhamdulillah, kekhawatiran gue selama seminggu kebelakang itu ternyata nggak terjadi karena semuanya berasa dilancarkan dan dimudahkan atas seizin Allah. Gue yang tadinya berdo'a agar bisa selesai ujian minimal pas sebelum dzuhur, justru malah yudisiumnya yang selesai pada saat dzuhur karena gue dan teman-teman yang lain juga selesai lebih cepat.

So, begitulah cerita gue yang super duper singkat dari bulan April yang paling ditakuti ini. One of my biggest fear in life sudah terlewati, masih banyak ketakutan-ketakutan terbesar lain yang mungkin akan gue hadapi nanti. Maka dari itu, kalau ada yang tanya apa rencana setelah ini? Yaa mungkin itu, menghadapi "ketakutan-ketakutan" terbaru dalam hidup. Yang pasti harus keep moving forward dan menata hidup, kan😁.

Beberapa teman mungkin ada yang merasa selebrasinya belum lengkap kalau belum wisuda, but for me personally, gue merasa lebih release pada saat setelah sidang. Karena sesungguhnya saat itulah beban-beban gue menjadi mahasiswa terangkat perlahan. I don't think i need any celebration since we are in the midst of a pandemic. Mungkin hanya toga dan selembar foto yang bisa gue jadikan kenangan dari sana. Selebihnya adalah hadiah yang gue harap bisa gue berikan untuk keluarga gue.

これで私は社会人になって、学生生活はもう終わりました😭!皆ブログで応援してくれてありがとうございました♥️。これからもよく頑張りまーす💪🏻。

Anyways, apa kabar teman-teman semuanya? How's your day? 

P.S: Belakangan ini kok gue merasa dunia blog jadi agak sepi yaaa.. Apa teman-teman merasakan hal yang sama, ataukah ini cuma perasaan gue aja karena baru nongol lagi?😂
Share
Tweet
Pin
Share
43 komentar
Newer Posts
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Bukan Salah Indonesia
  • Childfree yang Diperdebatkan
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Just Listen
  • Terlalu Besar Untuk Gagal

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

My Podcast

Newsletter

Get new posts by email:

Popular Posts This Week

  • Di Balik Angkasa
  • by.U: Solusi #SemuanyaSemaunya
  • Become a Fighter
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Goodbye Wasteful Life, Welcome Minimalism
  • Unlock the Key: Karya Neoclassical Metal Versi Isyana Sarasvati?
  • Menjadi Manusia
  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • How I See Feminist as a Muslim
  • Series Review: The Billion Dollar Code, Pelanggaran Paten Terhadap Google Earth?

Blog Archive

  • ▼  2024 (2)
    • ▼  Oktober 2024 (1)
      • Posture Perfect: How Wearing a Waist Trainer Can I...
    • ►  Agustus 2024 (1)
  • ►  2023 (1)
    • ►  Februari 2023 (1)
  • ►  2022 (9)
    • ►  November 2022 (1)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (1)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  Maret 2022 (2)
    • ►  Februari 2022 (2)
  • ►  2021 (30)
    • ►  Desember 2021 (1)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  Juli 2021 (3)
    • ►  Juni 2021 (2)
    • ►  Mei 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  Maret 2021 (5)
    • ►  Februari 2021 (1)
    • ►  Januari 2021 (5)
  • ►  2020 (46)
    • ►  Desember 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  Oktober 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (10)
    • ►  Juli 2020 (8)
    • ►  Juni 2020 (4)
    • ►  Mei 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  Desember 2019 (3)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Agustus 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Februari 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Pengikut

Categories and Tags

Intermeso Krisis 1/4 Abad Opini Perempuan Podcast Poetry Review Thoughts digital marketing karir lifestyle slice of life

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.