Diberdayakan oleh Blogger.
  • Home
  • About
  • Lifestyle
  • Personal
    • Opini
    • Thoughts
    • Slice of Life
    • Poetry
    • Intermeso
  • Podcast
  • Review
instagram LinkedIn Spotify YouTube Email

Notes of Little Sister



Belajar Kesetaraan

Dalam satu bulan ini ada banyak banget sampah-sampah pikiran yang nggak bisa sepenuhnya langsung gue utarakan di blog seperti sebelumnya. Apalagi setelah ngikutin perkembangan berita yang trending di media sosial, pasti adaaaa aja yang bikin sakit kepala. Akhirnya hari ini gue memutuskan untuk menyalurkan salah satu dari sekian "sampah" tersebut yang erat kaitannya dengan kesetaraan dan femininitas. 

Selama lebih (sedikit) dari 20 tahun gue hidup, sejujurnya gue nggak pernah merasa kerdil hanya karena gender, hanya karena gue perempuan, terlebih dalam hal pendidikan. Gue selalu melihat porsi antara laki-laki dan perempuan itu sama. Makanya ketika gue menemukan sebuah narasi seperti ini, "mengapa kita harus merasa kemampuan kita lebih rendah hanya karena kita perempuan?", gue tidak lantas merasa empowered sebab gue sudah menemukan itu jauh sebelum orang-orang menyadari bahwa permasalahan akademik laki-laki dan perempuan bisa seimbang, nggak ada yang mendominasi salah satu—meski patriarki dalam beberapa aspek, khususnya di dunia kerja, masih sangat terasa kentalnya.

Mungkin karena gue besar dalam keluarga broken home dan waktu sehari-hari lebih banyak dihabiskan bersama eyang, tante, dan adik-adik—karena gue tinggal dengan eyang dan tante gue supaya lebih dekat ke sekolah, role model gue pun gak hanya terbatas pada sosok orangtua; ayah dan ibu. Dari kecil jelas gue sudah bisa menyaksikan sendiri perjuangan ayah gue untuk menafkahi kami, anak-anaknya, memenuhi kebutuhan kami. Di sisi lain, gue juga menemukan itu pada sosok eyang putri gue yang mati-matian membiayai anak bungsunya dengan caranya sendiri, sampai tante gue bisa lulus sekolah dan akhirnya terpaksa gap year untuk bekerja dan membiayai kuliahnya sendiri. Pokoknya apapun yang bisa dia lakukan pasti dilakukan. Ditambah sekarang ini gue juga melihat sosok ibu gue yang bekerja tanpa henti untuk membiayai keluarga dan mengirimi uang untuk kami, anak-anaknya setiap bulan. Ayah gue yang selalu mendukung apapun keputusan gue untuk menjadi seseorang yang gue inginkan, dan untuk memilih jalan yang gue mau pun selama ini telah banyak mempengaruhi diri gue untuk melihat segala sesuatu dengan lebih luas, nggak sebatas hitam dan putih, nggak sebatas biru dan pink which somehow it's such a huge privilege for me.

Perspektif gue terhadap kesetaraan antara laki-laki dan perempuan pun semakin terbentuk ketika gue menginjak bangku sekolah. Dari SD-SMA (bahkan sampai di perkuliahan), gue nggak pernah melihat juara kelas selalu didominasi oleh murid laki-laki. Semuanya seimbang, sama. Mau itu peringkat kelas kek, juara lomba-lomba atau kompetisi tertentu kek, juara Olimpiade kek, semuanya lengkap. Malah waktu SMA, di kelas gue dulu yang selalu mendominasi peringkat 3 besar perbandingan antara laki-laki dan perempuannya pasti 1:2. Iya, murid-murid perempuannya lebih ambis daripada murid laki-laki (nggak tau ya kalau di sekolah lain😂). Gue justru merasa insecure kalau melihat perempuan lain yang bisa sukses akademik dan kariernya, atau bahkan siapapun yang semangat dalam meniti kariernya tinggi, terlepas dari dia laki-laki atau perempuan.

Namun beberapa cuitan seperti yang gue temukan di bawah ini ternyata masih membatasi gerak beberapa kaum perempuan di luar sana.

Setara Belajar, Belajar Setara


Belajar Kesetaraan
Source: Twitter

Sampai sekarang, sejujurnya  gue masih nggak mengerti apa korelasinya menikah dan mengejar pendidikan bagi perempuan. Bukankah keduanya sama-sama pilihan? Toh jika menikah menjadi sebuah kewajiban, bukankah menuntut ilmu, mengisi kepala kita dengan berbagai pengetahuan pun bisa disebut sebagai kewajiban? Gue lebih tidak mengerti lagi bahwa orang-orang yang melarang seorang laki-laki untuk menikah dengan perempuan yang memiliki pendidikan lebih tinggi darinya, dan orang-orang yang melarang perempuan tersebut untuk mengejar pendidikan hanya untuk memenuhi tanggungjawab sosial atas stigma tersebut nyatanya adalah orangtua mereka sendiri, keluarga sendiri. Maksud gue, bagaimana bisa konstruksi sosial yang membatasi gerak dan kebebasan sang anak untuk menentukan value diri terlebih dalam ranah pendidikan tersebut diiyakan saja oleh para orangtua? Okelah, kalau masalahnya karena ekonomi yang sulit, dan orangtua yang tak sanggup kalau harus kembali menyekolahkan anaknya sementara banyak kebutuhan yang harus dipenuhi.

Namun ini lain soal, bung. Beberapa orangtua melarang anak perempuan mereka untuk meraih pendidikan setinggi-tingginya, atau tidak sama sekali menikahi perempuan yang berpendidikan lebih tinggi daripada laki-laki disebabkan oleh stigma yang mengakar di masyarakat itu sendiri.

"Nanti kamu diinjak-injak sama istrimu!"
"Jadi perempuan itu ujung-ujungnya di rumah, nggak perlu lah sekolah tinggi tinggi."
"Aduh, gimana ini, masa suami kalah gelarnya sama istri. Gajinya gedean istri dong."

Kasarnya, kalau gue mau jadi orang cerdas, kenapa gue harus capek-capek "memikirkan" seseorang yang nanti akan jadi suami gue? Memikirkan bagaimana hidupnya kalau pendidikan gue lebih baik/lebih tinggi dari dia? Memikirkan bagaimana perasaannya kalau gaji gue lebih besar dari dia saat menikah nanti, dan serangkaian pencapaian lain, padahal tu jodoh nongol aja belum. Kalau seperti ini, seolah-olah tugas "memantaskan" itu hanya dilimpahkan untuk perempuan. Sementara laki-laki, mau bagaimanapun dia, pantas saja selama perempuan yang akan dinikahinya tidak lebih tinggi derajatnya daripada dia. 

Lho, bukankah saling memantaskan itu adalah tugas setiap pasangan? Setiap individu? Kalau memang lelaki tersebut khawatir perannya terinjak-injak hanya karena sang istri adalah wanita karier yang sukses dan pendidikannya tinggi, berarti lelaki tersebut lah yang tidak bisa memantaskan dirinya sendiri. Jahat, kan? Iya, memang jahat. Doktrin tersebut lah yang sebetulnya jahat sehingga menjebak dan merepresi pola pikir masyarakat dengan dalih mengamalkan adat istiadat serta nilai moral. Lebih lanjut lagi, jahat sebab telah membatasi setiap individu untuk bisa mengamalkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi sebagai makhluk sosial. Tapi, kan, bukan begitu konsep menikah, membersamai dan memantaskan diri. Paling nggak, begitulah menurut gue yang masih anak bau kencur ini.

Kenapa sih kita harus terjebak dalam realitas sosial yang pada dasarnya, dalam hal ini, dibentuk oleh asumsi, pemikiran, serta sudut pandang masyarakat—yang sayangnya diiyakan begitu saja oleh masyarakat itu sendiri. Konsep inipun banyaknya telah dipengaruhi oleh stereotip gender, yang memberi batas bahwa perempuan nggak boleh begini, laki-laki harus begitu. Laki-laki nggak boleh kalah dari perempuan, dan perempuan harus nerimo aja "kodratnya" untuk diam di rumah. Bahkan, ketika seseorang mau sekolah dan berilmu aja harus dikekang oleh stereotip semacam ini?

*Ini nih sebabnya banyak laki-laki yang juga terjebak dalam toxic masculinity.

Sepertinya kita harus pelan-pelan membedakan antara kodrat dan tanggung jawab atau peran. Kalau bicara kodrat, berarti sesuatu yang sifatnya absolut, mutlak, nggak bisa diubah begitu saja. Misalnya perempuan punya payudara untuk menyusui, sementara laki-laki tidak. Perempuan bisa melahirkan dan menstruasi, laki-laki tidak. Akan tetapi laki-laki punya tenaga yang lebih kuat dibandingkan perempuan, karena sifatnya dia lebih banyak melakukan pekerjaan yang keras dan lebih berat. Kenapa? Karena kodrat perempuan ini secara nggak langsung mengurangi tingkat produktivitas perempuan untuk bekerja di luar rumah. Inilah kenapa kewajiban suami dalam rumah tangga adalah menafkahi, karena hak-hak produktif itu ia yang ambil alih seluruhnya, yang mana kalau sudah punya anak, istri pasti lebih punya andil dalam mengurus anak di rumah. Dan menurut gue, ini bukan sebuah opresi (seperti yang selama ini dinyinyirin feminazi), tapi adalah pilihan dan bentuk kesepakatan. 

Lalu, apakah nanti sang ibu boleh bekerja lagi? Ya boleh-boleh saja selama ada consent dan tanggung jawab itu nggak dilupakan, baik dari sisi istri maupun suami. Pernah dengar nggak, sih, bahwa ada usia tertentu baiknya orangtua mendidik sekaligus mengiringi perkembangan anak? Katanya seorang anak balita usia 0-7 tahun baiknya dirawat dan dididik sepenuhnya oleh sang ibu, kemudian anak usia 7-14 tahun oleh sang ayah, dan selanjutnya terus oleh kedua orangtua. Berarti, sesungguhnya kehidupan rumah tangga itu harus diiringi dengan kerjasama, kesepakatan, supaya sakinah, mawaddah, wa rohmah. 

Lagipula, jodoh itu cerminan, dijemput. Jangan takut anaknya nggak akan ketemu jodoh hanya karena sekolah tinggi-tinggi. Bahkan sama common sense aja nggak bisa diterima, sih. Mungkin ini penyebabnya kalau dalam memandang suatu hal kita terlalu ke kiri dan terlalu ke kanan, susah buat menetralisir otak dan menilai dari sisi tengah untuk mengambil kesimpulan yang bijaksana. Kalau seandainya jodoh si anak itu bertemu dengan lelaki yang dianggap "setara" dengannya saat tengah melanjutkan pendidikan itu, gimana? Bukankah lebih bagus?🤔

Menurut gue, dengan kita pakeukeuh-keukeuh (sama-sama bersikeras) menuruti realitas yang ada, kita malah jadi lupa caranya hidup sebagai manusia normal. Apa-apa harus "melayani" social construct yang menjerumuskan hak-hak dan martabat manusia sendiri. Kalau agama saja memperbolehkan siapapun untuk menuntut ilmu atau pendidikan setinggi-tingginya, kenapa kita manusianya malah terjebak dalam hukum yang dibuat atas nafsu patriarki?

Jangan, jangan terlalu mengkotak-kotakan manusia hanya berdasarkan gender, apalagi merepresi pola pikir anak cucu kita sendiri. Hidup sesuai dengan syari'at dan nggak melupakan kodrat kita sebagaimana mestinya memang perlu, tapi beragama pun perlu diseimbangi dengan akal. Nalar itu privilege-nya manusia lho, kenapa kita berakal? Ya karena kita berpikir. Kalau cuma mengandalkan stereotip dan hidup sekadar gengsi, bagaimana kita bisa jadi manusia seutuhnya? Wong yang dituju hanya penilaian manusia, bukan Tuhan.

Share
Tweet
Pin
Share
17 komentar

Di masa pandemi ini, internet seakan benar-benar menjadi kebutuhan yang utama. Mau kerja, pakai internet. Mau terhubung dengan kerabat dan keluarga, pakai internet. Mau belajar pun pakai internet. Ibaratnya udah nggak zaman lagi, deh, kalau ponsel kita cuma dipakai untuk SMS-an. Karena itu, sebagai non-pengguna WiFi, gue sangat membutuhkan adanya provider yang bisa memberi keuntungan dan keleluasaan dalam memilih berbagai paket internet.

Beruntung sekitar bulan Februari awal tahun lalu, gue kenal dengan aplikasi by.U, sebuah operator telekomunikasi serba digital pertama di Indonesia lewat salah satu akun di media sosial.

Murahnya by.U Meriah banget

Salah satu paket internet favorit gue adalah paket 10 GB/bulan seharga Rp50.000,00 aja! Kebayang, kan, gimana bahagianya gue saat menemukan by.U setelah beribu-ribu purnama uang lima puluh ribu itu gue habiskan hanya untuk paket internet sebesar 2,5 GB. Belum lagi paket-paket internet lain yang nggak kalah menggiurkan. Sebab selain kuota data utama, by.U juga menawarkan fitur topping yang memberi kita pilihan kuota untuk platform tertentu, seperti YouTube, Instagram, Twitter, Line, TikTok, Spotify, dan sebagainya dengan harga yang terjangkau mulai dari Rp2.000,00! Udah paketnya murah meriah, registrasi dan cara pesan kartunya pun mudah banget! Karena gue nggak perlu capek-capek keluar, tinggal tunggu paket tiba di rumah.

Solusi #SemuanyaSemaunya

Gue pikir kemudahan yang ditawarkan cukup sampai disitu, karena bagi gue pribadi paket-paket internet tersebut sudah sangat membantu gue dalam menghemat pengeluaran. Ternyata by.U terus menawarkan banyak kemudahan-kemudahan lain yang membuat gue semakin betah untuk nggak pindah-pindah provider, yakni fitur Build Your Own Plan (BYOP), Paket 1,5 Mbps, dan Paket 1 Mbps.

Dengan paket 1 Mbps, kita bisa internetan dengan kecepatan maksimal 1 Mbps lewat pilihan masa aktif selama 1 jam, 3 jam, 6 jam, dan 1 hari mulai dari harga seribu sampai sepuluh ribu rupiah!

Sementara untuk paket 1,5 Mbps, kita diberi pilihan masa berlaku selama 7 hari dan 30 hari internetan dengan kecepatan maksimal 1,5 Mbps, tentunya dengan harga yang juga sangat terjangkau untuk internet unlimited.

Nah, yang terakhir ini juga jadi salah satu paket internet favorit gue sekarang, yakni paket Build Your Own Plan (BYOP) yang membebaskan kita untuk mengatur besaran kuota dan masa aktif #SemuanyaSemaunya kita! Sama dengan paket 1 Mbps, fitur #SemuanyaSemaunya ini juga dimulai dari harga seribu-an aja! Teman-teman bisa cek situs by.U untuk informasi lebih lanjut.

Untuk anak kost-an kayak gue dan teman-teman di luar sana yang biaya internetnya sangat terbatas nih, by.U betul-betul bisa jadi solusi untuk kita berinternet ria tanpa takut boros. Apalagi memasuki masa resesi seperti sekarang, selain kebutuhan primer, pasti secara nggak langsung kita dituntut untuk bisa menghemat pengeluaran lain dimana salah satunya adalah biaya internet.

Sepanjang gue hidup, ini pertama kalinya gue pakai operator seluler yang benar-benar mengerti kebutuhan dan keinginan penggunanya. Selain murah meriah #SemuanyaSemaunya, masalah jangkauan sinyal pun gue nggak perlu khawatir karena selalu pol dan jarang banget lambat pas dipakai.

Rasanya gue nggak akan bosan, deh, rekomendasiin by.U ke teman-teman dan keluarga gue!
Share
Tweet
Pin
Share
11 komentar
Eits, kata siapa kaligrafi cuma ada di Arab? Nay nay nay, Jepang juga punya kaligrafi yang menjadi ciri khasnya, lho! Mau tahu? Yuks, kita kenalan lebih lanjut!

Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji

Gimana gimana? Udah keliatan kayak blogger professional belum? Hahahaha😂. Dari postingan Cuma Cerita yang ini, gue sempat menyinggung sedikit soal Jepang dan Hangeul (aksara Korea) yang surprisingly mendapat komentar positif dari teman-teman🤧, alhasil gue jadi kepikiran untuk berbagi info seputar kejepangan.

Tapi tunggu dulu, ini bukan soal anime, One Piece, Conan, Doraemon, otaku, wibu, atau apalah itu ya😂. As stated above, gue mau berbagi info dan cerita sedikit soal kaligrafi Jepang, yang biasa dikenal dengan Shodō「書道」atau Shūji「習字」.

Sama seperti kaligrafi pada umumnya, kaligrafi Jepang atau seni lukis huruf Jepang adalah bentuk dari kaligrafi atau penulisan artistik dari bahasa Jepang. Kebanyakan orang lebih mengenal istilah Shodō daripada Shūji.

Memang apa bedanya, sih, Shodō sama Shūji?
Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
Sengaja gue tampilkan pengertian dari sumber asalnya supaya teman-teman yang sedang belajar bahasa Jepang menjadi terbiasa (hitung-hitung sambil belajar menerjemahkan), dan supaya nuansa Jepangnya lebih berasa, hehehe😁

Merujuk pada pengertian di atas, Shodō merupakan sebuah seni kaligrafi yang gunanya mengekspresikan perasaan atau emosi penulis melalui tulisan, atau secara spesifik diungkapkan melalui huruf-huruf tertentu. Dalam praktiknya, penulis atau kaligrafer yang bersangkutan tidak perlu terpacu pada model atau contoh huruf / kata yang telah ada yang sesuai dengan kaidah penulisan kanji, karena itu tidak ada yang benar dan salah dalam membuat Shodō (lain halnya dengan Shūji yang akan gue bahas di bawah😉). 

Tentu saja dalam membuat Shodō ini kita juga perlu memperhatikan aturan-aturan dasar penulisan (dalam menulis huruf Jepang, terutama kanji, memang ada aturan-aturan tersendiri seperti urutan yang harus tepat dari mana awalnya menulis setiap huruf), namun pada praktiknya kita dapat menulis dengan bebas, karena kembali kepada pengertian awal, bahwa Shodō menitikberatkan pada seni berekspresi itu sendiri.
Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi (Shodō dan Shūji)
Contoh Shodō. Dibaca: Reiwa. 令和 (Reiwa) is Japan’s current era that has just started on May 1, 2019, when Crown Prince Naruhito became the new Emperor after Emperor Akihito abdicates on April 30.

Nah, lain halnya dengan Shodō yang memang berpusat pada seni berekspresi, Shūji sendiri lebih menitikberatkan pada cara penulisan yang benar (namun nggak kalah indah).
Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji

Secara harfiah, Shūji berarti mempelajari karakter atau huruf. Dari kanjinya sendiri Shūji terdiri dari arti 'berlatih (習)' dan 'huruf (字)'. Sesuai dengan urutan penulisan yang benar, kita dituntut untuk memperhatikan goresan-goresan tertentu seperti "止め: tome, at the end of a kanji stroke"; "跳ね: hane, vertical stroke of a kanji or upward turn at the bottom"; dan "払い: harai, sweeping stroke" dll. Nah, sambil memperhatikan goresan-goresan tersebut, kita dapat melihat pada model atau contoh huruf yang telah ada, lalu meniru atau menuliskannya sesuai dengan model tersebut. Karena tujuan dari penulisan Shūji ini adalah agar kita mampu menulis karakter atau huruf tersebut sesuai dengan susunan yang baik dan benar, maka kita perlu berlatih menulis sebanyak mungkin sambil melihat contoh yang telah ada.

Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi (Shodō dan Shūji)
Kata Reiwa dengan gaya Shūji

Tentunya dalam menulis aksara indah inipun diperlukan lagi gaya atau teknik-teknik khusus penulisan, salah dua di antaranya yang sangat familiar dengan gue adalah teknik kaisho (tulisan biasa) dan teknik gyousho (semi-kurfis). Untuk lebih lengkapnya mungkin—entah kapan—akan gue jelaskan di waktu yang akan datang.

Berikut beberapa contoh lain dari karya Shodō dan Shūji:
Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
Shodō Calligraphy of 美 character means beauty

Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
Shodō Calligraphy of 私 'wa', means harmony, balance.

Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
Shodō Calligraphy, dari kata 静か (shizuka) yang artinya tenang. It's one of my friend's art in college. Go check out his Instagram to see more interesting Japanese calligraphy arts here.

Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
Shūji Calligraphy of 喜 'ki, yorokobu'. Means joy, enjoy, joyful thing, etc.

Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
Shūji Calligraphy of 愛 'ai' which means love. It's still my friend's.

Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
Dan ini beberapa contoh 手本 (tehon), yakni model atau contoh tulisan untuk Shūji

Kelihatan, kan, bedanya?😄

Last but not least, beberapa di bawah ini gue pingin bagikan cuplikan foto gue dan teman-teman saat belajar Shūji (sometimes also Shodō)😆. Btw, pertama kali gue mempelajari soal seni kaligrafi Jepang ini saat tingkat satu dulu di himpunan gue, yang mana bidangnya ada di bawah naungan Departemen Pendidikan (Himpunan Mahasiswa Bahasa Jepang). Gue diajar sama sensei-sensei dari Jepang dan beberapa senior yang memang sudah ahli di bidangnya, kurang lebih selama satu periode kepengurusan.

Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
Haha yang ini punya gue jelek bangaatss🤣 maklum lagi nggak fokus. *padahal emg biasanya juga jele👀*
Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
Nah ini lagi belajar Shodō. Lebih tepatnya lagi menerapkan teknik gyousho sih, makanya agak meliuk-liuk gitu, wk.

Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji

Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
Ini saat sedang latihan. Supaya nggak sayang kertas hanshi (kertas yang teksturnya tipis, biasa dipakai untuk nulis kaligrafi), jadi kami biasanya latihan pakai koran.

Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
Dan ini nama depan gue dalam huruf kanji, postcard pemberian Ryoko Sensei😁
愛奈 => Aina😉

Ah, kan, jadi nostalgia deh gue🤧

Oh iya, anyway, gue pingin tau dong pendapat teman-teman gimana😂 Apakah ada yang tertarik untuk belajar Shuuji atau Shodo? Haha let me know ya!😄

Share
Tweet
Pin
Share
31 komentar

Cuma Cerita Episode 2

Seharusnya malam ini gue nggak buka-buka blog dulu, tapi karena ada beberapa hal yang ingin gue ceritakan, jadi yaah rasanya nggak apa-apa kalau gue pemanasan sebentar di depan laptop dengan berceloteh ria. Ceritanya gue abis makan di warkop langganan di sekitar kost gue yang memang baru buka beberapa bulan belakangan ini. Ada kali seminggu tiga sampai empat kali gue makan disana. Selain karena makanannya enak dan worth to buy (kebayang kan harga makanan di warkop itu murah, tapi ini rasanya uenaak banget, bahkan IMO porsinya melebihi harga aslinya), ibu dan bapak pemiliknya ramah banget. Apalagi si ibu ini baaiiik banget, gue kalau beli susu ketan nih, pasti selalu kebanyakan dan instead sisanya dibuang, beliau nyuruh gue untuk minum dulu yang ada dan nanti ditambahin sama sisanya. Mungkin karena gue udah sering banget mampir kesana dari sejak awal warkop ini dibuka, jadi sekarang tiap kali kesana lumayan lebih banyak interaksi lah daripada sebelumnya. 

Satu hal yang membuat gue tersadar dan bersemangat untuk langsung menulis ini sepulang dari sana adalah, ternyata, berbagi senyum dan kebaikan sekadar kita makan di suatu tempat yang mana penjualnya ramah dan baik hati itu bisa memberi energi yang sangat besar. Ketika ibu barusan mengucapkan terima kasih berkali-kali dan nunjukin gimana rasa senangnya beliau karena gue bolak balik kesana, memberikan energi yang sama untuk gue mau bolak balik makan di warkop tersebut. Bukan hanya karena makanannya enak, tapi karena senyum dan ketulusan itu yang mau selalu gue dapatkan. Energi baik itu yang ingin gue terima dari beliau. Suatu kesia-siaan kalau gue lupa diri dan nggak menyempatkan diri untuk mampir kesana lagi. 

Oh iya, masakan ibu ini juga mengingatkan gue sama masakan rumah. Mungkin ini juga salah satu penyebab gue nggak pernah bosan untuk beli disana. Apalagi nasi kuningnya, dan lauknya itu lhoo. Jadi, tiap hari mereka pasti gonta ganti lauk untuk nasi kuning karena memang menyesuaikan dengan masakan yang mereka makan sehari-hari.

Apa ya, gue merasa hari ini lebih content dari hari sebelumnya. Karena selain cerita di atas, akhir-akhir ini gue kembali banyak berinteraksi sama sohibul gue, meaning gue lebih terbuka untuk curhat tentang skripsi, dllnya. Gue juga baru aja menyelesaikan kelas podcast SiberKreasi minggu kemarin, dan dapat banyak sekali insight tentang dunia per-podcast-an (mungkin nanti kalau sempat gue akan share di postingan lain), daaan sore tadi gue habis video call sama keluarga gue di rumah. 

Teruus terus, sebelum itu gue habis melawan ketakutan gue yang tiada artinya, yakni menghubungi dosen pembimbing 2 gue untuk kirim progress skripsyon. Awalnya gue harap-harap cemas karena beliau ini dikenal jadi salah satu dosen killer yang nggak segan-segan untuk nggak meluluskan anak bimbingannya karena nggak fully bimbingan sama beliau (seriously, pernah ada kasus ini tahun lalu). Though gue sendiri masih berada di tahap awal, tapi gue berharap semoga hal tersebut nggak kejadian sama gue. Mohon do'anya ya teman-teman! Oh iya, karena hal ini juga, gue jadi punya jawaban saat bokap gue menanyakan soal kegiatan dan kabar gue tadi, wkwkwk.

Eh, iya, gue jadi keingetan! Gue harus hubungi nyokap juga. Udah beberapa hari ini gue belum whatsapp beliau soalnya.

Mungkin segitu dulu Cuma Cerita episode kali ini. Semoga ada sedikiiit manfaat yang bisa diambil, hoho. Oh iya, lagi-lagi gue mau meminta maaf karena akhir-akhir ini selalu lambat dalam membalas komentar:( Teman-teman mungkin mengerti kesibukan gue apa belakangan ini, hanya saja gue tetap merasa nggak enak hati. Sekali lagi gue minta maaf ya, semoga kita semua selalu sehat dan bersemangat dalam menjalani hari yang berberberr ini😄, alias udah masuk musim hujan! Seneng deh, di depan rumah jadi hijau pemandangannya karena ibu pemilik kost gue punya kebun yang hampir mengitari sebagian besar jalan wk, di depan, samping, bahkan belakang rumah. Jadi adem!:D *walaupun jadi banyak nyamuk juga hiksss* 

Lastly, makasih banyak udah mau baca cerita gue yang sangat apalah dan effortless ini:D So yeah, ini cerita gue hari ini. How about yours?

And anyway, Selamat Hari Blogger Nasional ya!❤

Share
Tweet
Pin
Share
15 komentar
Sebuah Catatan
A note for little sister 

Catatan ini akan menjadi salah satu catatan dari sekian lembar perjalanan saya—yang selama ini hanya tertulis di jurnal pribadi—yang kali ini ingin saya tulis disini. Sebagai pengingat, sebagai kenangan, sebagai pelajaran, bahwa sebagai manusia, banyak petualangan-petualangan yang tentunya telah dan harus saya lalui, dan tak jarang meninggalkan rasa sedih yang teramat hebat, terutama pada titik-titik terberat. Karena itu, saya ingin meletakan kata "gue" dulu untuk saat ini.


Lihatlah lebih dekat, salah satu original soundtrack Petualangan Sherina ini selalu melekat di memori saya sejak kecil dulu—tentunya selain lagu dia memang jago *lupa judul*. Dulu, saya hanya tahu bahwa lagu ini sangat bagus, tapi tidak sedikitpun memahami apa makna dari liriknya secara utuh. Sekarang, semuanya berbeda. Setiap kali meresapi lagu ini, saya selalu menangis, bahkan jika itu suara saya sendiri.

Baca juga: A Letter to My 19-Year-Old Self

o-o

Ada kalanya pada hari-hari tertentu, ketika raga dilanda putus asa, kita kehilangan arah dan tujuan. Kehilangan jati diri, kehilangan semangat, kehilangan kasih sayang dari orang-orang terdekat, meski sesungguhnya rasa dan seuntai do'a itu selalu disana, tak pernah hilang.

Ada kalanya saya ragu pada diri sendiri, yang tak pernah habis dicari lemahnya. Pada alam yang menyajikan segala kemurahannya. Pada mereka, yang justru kebajikannya khawatir tak bisa saya balas. Pada Tuhan, yang selalu menunjukan kekuasaan dan berbagai pelajaran dengan cara-Nya. 

Ada kalanya saya mampu tahan kendali, hingga terjerembab di jurang yang sama berkali-kali. Sebab untuk melepas risaunya tak semudah itu. Banyak kesia-siaan yang meminta untuk didengar, meminta untuk diperhatikan. Tanpa aba, tanpa iba. Ada juga kalanya saya mampu lepas kendali, tapi rasa takut akan datang kembali. Bahkan jika tuan gelap belum tampak batang hidungnya sekalipun.

Ada kalanya saya bahkan lupa, bahwa banyak hari-hari yang telah dilalui tanpa intensi pasti. Matahari jadi bulan, bulan tak jadi apa-apa melainkan selapang pekat malam. Tak ada tujuan, tak ada yang bisa diungkapkan. Yang saya tahu, saya hanya harus berjuang. Namun entah apa yang harus diperjuangkan?

Ada kalanya saya malu untuk bertukar cerita, dan menanyakan kabar mereka yang menunggu kabar. Sebab kecewa yang belum pasti terjadi selalu menunggu menatap saya di ujung telepon, seolah berkata, "kau bisa apa?", "apa yang bisa kau bagi?"

Berhari-hari lamanya saya jalani detik demi detik waktu tanpa makna, yang tanpa sadar berlalu tanpa arah, tanpa kemudi, tanpa peta, tanpa tujuan—pantaslah jika dermaga pun sulit saya temukan.  Saya hanya tahu rasanya sedih, rasanya sepi, rasanya berpura-pura menikmati hari, berpura-pura menyimpan segudang cita. Padahal, mimpi dan tujuannya sudah tak disini. Bukan, bukan mereka yang pergi. Namun saya yang kini telah pergi terlampau jauh hingga terlempar disana. Jauh sekali, dan lama meninggalkan keduanya.

Baru-baru ini saya sadar, saya perlu mencari mereka. Mengembalikan mereka pada bilah ingatan dan semangat yang paling dalam, lalu meletakannya dekat dengan pikiran saya. Agar saya tahu kemana kaki saya menapak, dan pada apa tangan saya sibuk.

Saya pikir, ada kalanya saya harus meninggalkan si adik kecil yang telah jauh membawa saya melanglang buana setahun kebelakang ini, untuk menemukan sosok kakak yang hilang raganya entah kemana. Namun, sepertinya rencana saya salah. Saya butuh dia untuk menemani pencarian saya. Sebab tidak seharusnya saya membuang sebagian diri saya yang telah ada, hanya untuk kembali bersiap kehilangan. Saya hanya perlu menyempurnakannya, menutup buku diri dengan sampul belakang yang sudah kembali.

Kini, untuk yang juga sedang kehilangan harapan, tak apa jika kita berjalan tanpa alas kaki. Pada akhirnya, saat kita sadar, kita bisa menemukan apa saja yang mampu menutupi kaki kita, menjaganya tetap nyaman untuk kembali meniti jalan, trotoar atau gang-gang sempit. Jika sudah terlampau nyeri dan berdarah-darah, selalu ada cara untuk mengobati. Pasti. 

Pada akhirnya, akan ada pasti. 

Dan pada akhirnya, yang akan membawa diri kita hanyalah apa yang tertanam dalam diri kita sendiri. Untuk merasakan itu, kita hanya perlu melihat segala sesuatu dengan lebih jeli dan lebih dekat. Lebih bijak dan lebih dalam. Tenang, tak ada lebih yang berlebihan untuk ini. Sebab memahami diri seringkali kita memang perlu usaha yang lebih, dan untuk mempertahankan ke(sudah)adaan itupun perlu jerih payah yang tak sekadar.

Ingatkan diri, bahwa untuk meraih langkah yang jauh pun, semuanya berawal dari langkah yang kecil dan dekat sekali. Sangat dekat. 

Jika mencapai langkah jauh yang tanpa tujuan pun bermula dengan langkah kecil, bagaimana dengan hidup kita yang "pasti" adanya? Jika bisa jauh, kenapa kita tak bisa dekat? Atau, jika tak bisa jauh, kenapa tak sekali mendekat? Coba, sekarang ganti kata jauh yang biasa kita kenal "sudah sejauh mana..." dengan dekat.

"Sudah sedekat apa kita mengenal Tuhan dan segala penciptaannya? Sudah sedekat apa kita menjalani tuntunan dari apa yang telah diwajibkan kepada kita? Mencaritahu tentang utusan-utusan-Nya? Sudah sedekat apa kita merangkul mereka yang tak pernah bosan mengirim do'a untuk keberkahan kita? Menunjukan kasih sayang dan kemurahan hatinya dengan tulus? Lalu, sudah sedekat apa kita melihat diri sendiri? Menilai segala nilai diri hingga isinya? Membisikan ucapan-ucapan semangat, maaf, dan terima kasih atas segala kata meremehkan dan segala usaha yang ditujukan untuk diri sendiri? Sudah sedekat apa? 

Sudah sedekat apa raga kita dengan jiwa ini?"

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Bukan Salah Indonesia
  • Childfree yang Diperdebatkan
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Just Listen
  • Terlalu Besar Untuk Gagal

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

My Podcast

Newsletter

Get new posts by email:

Popular Posts This Week

  • Di Balik Angkasa
  • by.U: Solusi #SemuanyaSemaunya
  • Become a Fighter
  • Goodbye Wasteful Life, Welcome Minimalism
  • Menjadi Manusia
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • How I See Feminist as a Muslim
  • Kenapa Harus Berpikir Kritis?
  • Romantisisasi Generasi 90-an

Blog Archive

  • ▼  2024 (2)
    • ▼  Oktober 2024 (1)
      • Posture Perfect: How Wearing a Waist Trainer Can I...
    • ►  Agustus 2024 (1)
  • ►  2023 (1)
    • ►  Februari 2023 (1)
  • ►  2022 (9)
    • ►  November 2022 (1)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (1)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  Maret 2022 (2)
    • ►  Februari 2022 (2)
  • ►  2021 (30)
    • ►  Desember 2021 (1)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  Juli 2021 (3)
    • ►  Juni 2021 (2)
    • ►  Mei 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  Maret 2021 (5)
    • ►  Februari 2021 (1)
    • ►  Januari 2021 (5)
  • ►  2020 (46)
    • ►  Desember 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  Oktober 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (10)
    • ►  Juli 2020 (8)
    • ►  Juni 2020 (4)
    • ►  Mei 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  Desember 2019 (3)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Agustus 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Februari 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Pengikut

Categories and Tags

Intermeso Krisis 1/4 Abad Opini Perempuan Podcast Poetry Review Thoughts digital marketing karir lifestyle slice of life

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.