Diberdayakan oleh Blogger.
  • Home
  • About
  • Lifestyle
  • Personal
    • Opini
    • Thoughts
    • Slice of Life
    • Poetry
    • Intermeso
  • Podcast
  • Review
instagram LinkedIn Spotify YouTube Email

Notes of Little Sister




Di masa pandemi ini, internet seakan benar-benar menjadi kebutuhan yang utama. Mau kerja, pakai internet. Mau terhubung dengan kerabat dan keluarga, pakai internet. Mau belajar pun pakai internet. Ibaratnya udah nggak zaman lagi, deh, kalau ponsel kita cuma dipakai untuk SMS-an. Karena itu, sebagai non-pengguna WiFi, gue sangat membutuhkan adanya provider yang bisa memberi keuntungan dan keleluasaan dalam memilih berbagai paket internet.

Beruntung sekitar bulan Februari awal tahun lalu, gue kenal dengan aplikasi by.U, sebuah operator telekomunikasi serba digital pertama di Indonesia lewat salah satu akun di media sosial.

Murahnya by.U Meriah banget

Salah satu paket internet favorit gue adalah paket 10 GB/bulan seharga Rp50.000,00 aja! Kebayang, kan, gimana bahagianya gue saat menemukan by.U setelah beribu-ribu purnama uang lima puluh ribu itu gue habiskan hanya untuk paket internet sebesar 2,5 GB. Belum lagi paket-paket internet lain yang nggak kalah menggiurkan. Sebab selain kuota data utama, by.U juga menawarkan fitur topping yang memberi kita pilihan kuota untuk platform tertentu, seperti YouTube, Instagram, Twitter, Line, TikTok, Spotify, dan sebagainya dengan harga yang terjangkau mulai dari Rp2.000,00! Udah paketnya murah meriah, registrasi dan cara pesan kartunya pun mudah banget! Karena gue nggak perlu capek-capek keluar, tinggal tunggu paket tiba di rumah.

Solusi #SemuanyaSemaunya

Gue pikir kemudahan yang ditawarkan cukup sampai disitu, karena bagi gue pribadi paket-paket internet tersebut sudah sangat membantu gue dalam menghemat pengeluaran. Ternyata by.U terus menawarkan banyak kemudahan-kemudahan lain yang membuat gue semakin betah untuk nggak pindah-pindah provider, yakni fitur Build Your Own Plan (BYOP), Paket 1,5 Mbps, dan Paket 1 Mbps.

Dengan paket 1 Mbps, kita bisa internetan dengan kecepatan maksimal 1 Mbps lewat pilihan masa aktif selama 1 jam, 3 jam, 6 jam, dan 1 hari mulai dari harga seribu sampai sepuluh ribu rupiah!

Sementara untuk paket 1,5 Mbps, kita diberi pilihan masa berlaku selama 7 hari dan 30 hari internetan dengan kecepatan maksimal 1,5 Mbps, tentunya dengan harga yang juga sangat terjangkau untuk internet unlimited.

Nah, yang terakhir ini juga jadi salah satu paket internet favorit gue sekarang, yakni paket Build Your Own Plan (BYOP) yang membebaskan kita untuk mengatur besaran kuota dan masa aktif #SemuanyaSemaunya kita! Sama dengan paket 1 Mbps, fitur #SemuanyaSemaunya ini juga dimulai dari harga seribu-an aja! Teman-teman bisa cek situs by.U untuk informasi lebih lanjut.

Untuk anak kost-an kayak gue dan teman-teman di luar sana yang biaya internetnya sangat terbatas nih, by.U betul-betul bisa jadi solusi untuk kita berinternet ria tanpa takut boros. Apalagi memasuki masa resesi seperti sekarang, selain kebutuhan primer, pasti secara nggak langsung kita dituntut untuk bisa menghemat pengeluaran lain dimana salah satunya adalah biaya internet.

Sepanjang gue hidup, ini pertama kalinya gue pakai operator seluler yang benar-benar mengerti kebutuhan dan keinginan penggunanya. Selain murah meriah #SemuanyaSemaunya, masalah jangkauan sinyal pun gue nggak perlu khawatir karena selalu pol dan jarang banget lambat pas dipakai.

Rasanya gue nggak akan bosan, deh, rekomendasiin by.U ke teman-teman dan keluarga gue!
Share
Tweet
Pin
Share
11 komentar
Eits, kata siapa kaligrafi cuma ada di Arab? Nay nay nay, Jepang juga punya kaligrafi yang menjadi ciri khasnya, lho! Mau tahu? Yuks, kita kenalan lebih lanjut!

Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji

Gimana gimana? Udah keliatan kayak blogger professional belum? Hahahaha😂. Dari postingan Cuma Cerita yang ini, gue sempat menyinggung sedikit soal Jepang dan Hangeul (aksara Korea) yang surprisingly mendapat komentar positif dari teman-teman🤧, alhasil gue jadi kepikiran untuk berbagi info seputar kejepangan.

Tapi tunggu dulu, ini bukan soal anime, One Piece, Conan, Doraemon, otaku, wibu, atau apalah itu ya😂. As stated above, gue mau berbagi info dan cerita sedikit soal kaligrafi Jepang, yang biasa dikenal dengan Shodō「書道」atau Shūji「習字」.

Sama seperti kaligrafi pada umumnya, kaligrafi Jepang atau seni lukis huruf Jepang adalah bentuk dari kaligrafi atau penulisan artistik dari bahasa Jepang. Kebanyakan orang lebih mengenal istilah Shodō daripada Shūji.

Memang apa bedanya, sih, Shodō sama Shūji?
Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
Sengaja gue tampilkan pengertian dari sumber asalnya supaya teman-teman yang sedang belajar bahasa Jepang menjadi terbiasa (hitung-hitung sambil belajar menerjemahkan), dan supaya nuansa Jepangnya lebih berasa, hehehe😁

Merujuk pada pengertian di atas, Shodō merupakan sebuah seni kaligrafi yang gunanya mengekspresikan perasaan atau emosi penulis melalui tulisan, atau secara spesifik diungkapkan melalui huruf-huruf tertentu. Dalam praktiknya, penulis atau kaligrafer yang bersangkutan tidak perlu terpacu pada model atau contoh huruf / kata yang telah ada yang sesuai dengan kaidah penulisan kanji, karena itu tidak ada yang benar dan salah dalam membuat Shodō (lain halnya dengan Shūji yang akan gue bahas di bawah😉). 

Tentu saja dalam membuat Shodō ini kita juga perlu memperhatikan aturan-aturan dasar penulisan (dalam menulis huruf Jepang, terutama kanji, memang ada aturan-aturan tersendiri seperti urutan yang harus tepat dari mana awalnya menulis setiap huruf), namun pada praktiknya kita dapat menulis dengan bebas, karena kembali kepada pengertian awal, bahwa Shodō menitikberatkan pada seni berekspresi itu sendiri.
Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi (Shodō dan Shūji)
Contoh Shodō. Dibaca: Reiwa. 令和 (Reiwa) is Japan’s current era that has just started on May 1, 2019, when Crown Prince Naruhito became the new Emperor after Emperor Akihito abdicates on April 30.

Nah, lain halnya dengan Shodō yang memang berpusat pada seni berekspresi, Shūji sendiri lebih menitikberatkan pada cara penulisan yang benar (namun nggak kalah indah).
Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji

Secara harfiah, Shūji berarti mempelajari karakter atau huruf. Dari kanjinya sendiri Shūji terdiri dari arti 'berlatih (習)' dan 'huruf (字)'. Sesuai dengan urutan penulisan yang benar, kita dituntut untuk memperhatikan goresan-goresan tertentu seperti "止め: tome, at the end of a kanji stroke"; "跳ね: hane, vertical stroke of a kanji or upward turn at the bottom"; dan "払い: harai, sweeping stroke" dll. Nah, sambil memperhatikan goresan-goresan tersebut, kita dapat melihat pada model atau contoh huruf yang telah ada, lalu meniru atau menuliskannya sesuai dengan model tersebut. Karena tujuan dari penulisan Shūji ini adalah agar kita mampu menulis karakter atau huruf tersebut sesuai dengan susunan yang baik dan benar, maka kita perlu berlatih menulis sebanyak mungkin sambil melihat contoh yang telah ada.

Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi (Shodō dan Shūji)
Kata Reiwa dengan gaya Shūji

Tentunya dalam menulis aksara indah inipun diperlukan lagi gaya atau teknik-teknik khusus penulisan, salah dua di antaranya yang sangat familiar dengan gue adalah teknik kaisho (tulisan biasa) dan teknik gyousho (semi-kurfis). Untuk lebih lengkapnya mungkin—entah kapan—akan gue jelaskan di waktu yang akan datang.

Berikut beberapa contoh lain dari karya Shodō dan Shūji:
Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
Shodō Calligraphy of 美 character means beauty

Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
Shodō Calligraphy of 私 'wa', means harmony, balance.

Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
Shodō Calligraphy, dari kata 静か (shizuka) yang artinya tenang. It's one of my friend's art in college. Go check out his Instagram to see more interesting Japanese calligraphy arts here.

Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
Shūji Calligraphy of 喜 'ki, yorokobu'. Means joy, enjoy, joyful thing, etc.

Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
Shūji Calligraphy of 愛 'ai' which means love. It's still my friend's.

Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
Dan ini beberapa contoh 手本 (tehon), yakni model atau contoh tulisan untuk Shūji

Kelihatan, kan, bedanya?😄

Last but not least, beberapa di bawah ini gue pingin bagikan cuplikan foto gue dan teman-teman saat belajar Shūji (sometimes also Shodō)😆. Btw, pertama kali gue mempelajari soal seni kaligrafi Jepang ini saat tingkat satu dulu di himpunan gue, yang mana bidangnya ada di bawah naungan Departemen Pendidikan (Himpunan Mahasiswa Bahasa Jepang). Gue diajar sama sensei-sensei dari Jepang dan beberapa senior yang memang sudah ahli di bidangnya, kurang lebih selama satu periode kepengurusan.

Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
Haha yang ini punya gue jelek bangaatss🤣 maklum lagi nggak fokus. *padahal emg biasanya juga jele👀*
Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
Nah ini lagi belajar Shodō. Lebih tepatnya lagi menerapkan teknik gyousho sih, makanya agak meliuk-liuk gitu, wk.

Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji

Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
Ini saat sedang latihan. Supaya nggak sayang kertas hanshi (kertas yang teksturnya tipis, biasa dipakai untuk nulis kaligrafi), jadi kami biasanya latihan pakai koran.

Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
Dan ini nama depan gue dalam huruf kanji, postcard pemberian Ryoko Sensei😁
愛奈 => Aina😉

Ah, kan, jadi nostalgia deh gue🤧

Oh iya, anyway, gue pingin tau dong pendapat teman-teman gimana😂 Apakah ada yang tertarik untuk belajar Shuuji atau Shodo? Haha let me know ya!😄

Share
Tweet
Pin
Share
31 komentar

Cuma Cerita Episode 2

Seharusnya malam ini gue nggak buka-buka blog dulu, tapi karena ada beberapa hal yang ingin gue ceritakan, jadi yaah rasanya nggak apa-apa kalau gue pemanasan sebentar di depan laptop dengan berceloteh ria. Ceritanya gue abis makan di warkop langganan di sekitar kost gue yang memang baru buka beberapa bulan belakangan ini. Ada kali seminggu tiga sampai empat kali gue makan disana. Selain karena makanannya enak dan worth to buy (kebayang kan harga makanan di warkop itu murah, tapi ini rasanya uenaak banget, bahkan IMO porsinya melebihi harga aslinya), ibu dan bapak pemiliknya ramah banget. Apalagi si ibu ini baaiiik banget, gue kalau beli susu ketan nih, pasti selalu kebanyakan dan instead sisanya dibuang, beliau nyuruh gue untuk minum dulu yang ada dan nanti ditambahin sama sisanya. Mungkin karena gue udah sering banget mampir kesana dari sejak awal warkop ini dibuka, jadi sekarang tiap kali kesana lumayan lebih banyak interaksi lah daripada sebelumnya. 

Satu hal yang membuat gue tersadar dan bersemangat untuk langsung menulis ini sepulang dari sana adalah, ternyata, berbagi senyum dan kebaikan sekadar kita makan di suatu tempat yang mana penjualnya ramah dan baik hati itu bisa memberi energi yang sangat besar. Ketika ibu barusan mengucapkan terima kasih berkali-kali dan nunjukin gimana rasa senangnya beliau karena gue bolak balik kesana, memberikan energi yang sama untuk gue mau bolak balik makan di warkop tersebut. Bukan hanya karena makanannya enak, tapi karena senyum dan ketulusan itu yang mau selalu gue dapatkan. Energi baik itu yang ingin gue terima dari beliau. Suatu kesia-siaan kalau gue lupa diri dan nggak menyempatkan diri untuk mampir kesana lagi. 

Oh iya, masakan ibu ini juga mengingatkan gue sama masakan rumah. Mungkin ini juga salah satu penyebab gue nggak pernah bosan untuk beli disana. Apalagi nasi kuningnya, dan lauknya itu lhoo. Jadi, tiap hari mereka pasti gonta ganti lauk untuk nasi kuning karena memang menyesuaikan dengan masakan yang mereka makan sehari-hari.

Apa ya, gue merasa hari ini lebih content dari hari sebelumnya. Karena selain cerita di atas, akhir-akhir ini gue kembali banyak berinteraksi sama sohibul gue, meaning gue lebih terbuka untuk curhat tentang skripsi, dllnya. Gue juga baru aja menyelesaikan kelas podcast SiberKreasi minggu kemarin, dan dapat banyak sekali insight tentang dunia per-podcast-an (mungkin nanti kalau sempat gue akan share di postingan lain), daaan sore tadi gue habis video call sama keluarga gue di rumah. 

Teruus terus, sebelum itu gue habis melawan ketakutan gue yang tiada artinya, yakni menghubungi dosen pembimbing 2 gue untuk kirim progress skripsyon. Awalnya gue harap-harap cemas karena beliau ini dikenal jadi salah satu dosen killer yang nggak segan-segan untuk nggak meluluskan anak bimbingannya karena nggak fully bimbingan sama beliau (seriously, pernah ada kasus ini tahun lalu). Though gue sendiri masih berada di tahap awal, tapi gue berharap semoga hal tersebut nggak kejadian sama gue. Mohon do'anya ya teman-teman! Oh iya, karena hal ini juga, gue jadi punya jawaban saat bokap gue menanyakan soal kegiatan dan kabar gue tadi, wkwkwk.

Eh, iya, gue jadi keingetan! Gue harus hubungi nyokap juga. Udah beberapa hari ini gue belum whatsapp beliau soalnya.

Mungkin segitu dulu Cuma Cerita episode kali ini. Semoga ada sedikiiit manfaat yang bisa diambil, hoho. Oh iya, lagi-lagi gue mau meminta maaf karena akhir-akhir ini selalu lambat dalam membalas komentar:( Teman-teman mungkin mengerti kesibukan gue apa belakangan ini, hanya saja gue tetap merasa nggak enak hati. Sekali lagi gue minta maaf ya, semoga kita semua selalu sehat dan bersemangat dalam menjalani hari yang berberberr ini😄, alias udah masuk musim hujan! Seneng deh, di depan rumah jadi hijau pemandangannya karena ibu pemilik kost gue punya kebun yang hampir mengitari sebagian besar jalan wk, di depan, samping, bahkan belakang rumah. Jadi adem!:D *walaupun jadi banyak nyamuk juga hiksss* 

Lastly, makasih banyak udah mau baca cerita gue yang sangat apalah dan effortless ini:D So yeah, ini cerita gue hari ini. How about yours?

And anyway, Selamat Hari Blogger Nasional ya!❤

Share
Tweet
Pin
Share
15 komentar
Sebuah Catatan
A note for little sister 

Catatan ini akan menjadi salah satu catatan dari sekian lembar perjalanan saya—yang selama ini hanya tertulis di jurnal pribadi—yang kali ini ingin saya tulis disini. Sebagai pengingat, sebagai kenangan, sebagai pelajaran, bahwa sebagai manusia, banyak petualangan-petualangan yang tentunya telah dan harus saya lalui, dan tak jarang meninggalkan rasa sedih yang teramat hebat, terutama pada titik-titik terberat. Karena itu, saya ingin meletakan kata "gue" dulu untuk saat ini.


Lihatlah lebih dekat, salah satu original soundtrack Petualangan Sherina ini selalu melekat di memori saya sejak kecil dulu—tentunya selain lagu dia memang jago *lupa judul*. Dulu, saya hanya tahu bahwa lagu ini sangat bagus, tapi tidak sedikitpun memahami apa makna dari liriknya secara utuh. Sekarang, semuanya berbeda. Setiap kali meresapi lagu ini, saya selalu menangis, bahkan jika itu suara saya sendiri.

Baca juga: A Letter to My 19-Year-Old Self

o-o

Ada kalanya pada hari-hari tertentu, ketika raga dilanda putus asa, kita kehilangan arah dan tujuan. Kehilangan jati diri, kehilangan semangat, kehilangan kasih sayang dari orang-orang terdekat, meski sesungguhnya rasa dan seuntai do'a itu selalu disana, tak pernah hilang.

Ada kalanya saya ragu pada diri sendiri, yang tak pernah habis dicari lemahnya. Pada alam yang menyajikan segala kemurahannya. Pada mereka, yang justru kebajikannya khawatir tak bisa saya balas. Pada Tuhan, yang selalu menunjukan kekuasaan dan berbagai pelajaran dengan cara-Nya. 

Ada kalanya saya mampu tahan kendali, hingga terjerembab di jurang yang sama berkali-kali. Sebab untuk melepas risaunya tak semudah itu. Banyak kesia-siaan yang meminta untuk didengar, meminta untuk diperhatikan. Tanpa aba, tanpa iba. Ada juga kalanya saya mampu lepas kendali, tapi rasa takut akan datang kembali. Bahkan jika tuan gelap belum tampak batang hidungnya sekalipun.

Ada kalanya saya bahkan lupa, bahwa banyak hari-hari yang telah dilalui tanpa intensi pasti. Matahari jadi bulan, bulan tak jadi apa-apa melainkan selapang pekat malam. Tak ada tujuan, tak ada yang bisa diungkapkan. Yang saya tahu, saya hanya harus berjuang. Namun entah apa yang harus diperjuangkan?

Ada kalanya saya malu untuk bertukar cerita, dan menanyakan kabar mereka yang menunggu kabar. Sebab kecewa yang belum pasti terjadi selalu menunggu menatap saya di ujung telepon, seolah berkata, "kau bisa apa?", "apa yang bisa kau bagi?"

Berhari-hari lamanya saya jalani detik demi detik waktu tanpa makna, yang tanpa sadar berlalu tanpa arah, tanpa kemudi, tanpa peta, tanpa tujuan—pantaslah jika dermaga pun sulit saya temukan.  Saya hanya tahu rasanya sedih, rasanya sepi, rasanya berpura-pura menikmati hari, berpura-pura menyimpan segudang cita. Padahal, mimpi dan tujuannya sudah tak disini. Bukan, bukan mereka yang pergi. Namun saya yang kini telah pergi terlampau jauh hingga terlempar disana. Jauh sekali, dan lama meninggalkan keduanya.

Baru-baru ini saya sadar, saya perlu mencari mereka. Mengembalikan mereka pada bilah ingatan dan semangat yang paling dalam, lalu meletakannya dekat dengan pikiran saya. Agar saya tahu kemana kaki saya menapak, dan pada apa tangan saya sibuk.

Saya pikir, ada kalanya saya harus meninggalkan si adik kecil yang telah jauh membawa saya melanglang buana setahun kebelakang ini, untuk menemukan sosok kakak yang hilang raganya entah kemana. Namun, sepertinya rencana saya salah. Saya butuh dia untuk menemani pencarian saya. Sebab tidak seharusnya saya membuang sebagian diri saya yang telah ada, hanya untuk kembali bersiap kehilangan. Saya hanya perlu menyempurnakannya, menutup buku diri dengan sampul belakang yang sudah kembali.

Kini, untuk yang juga sedang kehilangan harapan, tak apa jika kita berjalan tanpa alas kaki. Pada akhirnya, saat kita sadar, kita bisa menemukan apa saja yang mampu menutupi kaki kita, menjaganya tetap nyaman untuk kembali meniti jalan, trotoar atau gang-gang sempit. Jika sudah terlampau nyeri dan berdarah-darah, selalu ada cara untuk mengobati. Pasti. 

Pada akhirnya, akan ada pasti. 

Dan pada akhirnya, yang akan membawa diri kita hanyalah apa yang tertanam dalam diri kita sendiri. Untuk merasakan itu, kita hanya perlu melihat segala sesuatu dengan lebih jeli dan lebih dekat. Lebih bijak dan lebih dalam. Tenang, tak ada lebih yang berlebihan untuk ini. Sebab memahami diri seringkali kita memang perlu usaha yang lebih, dan untuk mempertahankan ke(sudah)adaan itupun perlu jerih payah yang tak sekadar.

Ingatkan diri, bahwa untuk meraih langkah yang jauh pun, semuanya berawal dari langkah yang kecil dan dekat sekali. Sangat dekat. 

Jika mencapai langkah jauh yang tanpa tujuan pun bermula dengan langkah kecil, bagaimana dengan hidup kita yang "pasti" adanya? Jika bisa jauh, kenapa kita tak bisa dekat? Atau, jika tak bisa jauh, kenapa tak sekali mendekat? Coba, sekarang ganti kata jauh yang biasa kita kenal "sudah sejauh mana..." dengan dekat.

"Sudah sedekat apa kita mengenal Tuhan dan segala penciptaannya? Sudah sedekat apa kita menjalani tuntunan dari apa yang telah diwajibkan kepada kita? Mencaritahu tentang utusan-utusan-Nya? Sudah sedekat apa kita merangkul mereka yang tak pernah bosan mengirim do'a untuk keberkahan kita? Menunjukan kasih sayang dan kemurahan hatinya dengan tulus? Lalu, sudah sedekat apa kita melihat diri sendiri? Menilai segala nilai diri hingga isinya? Membisikan ucapan-ucapan semangat, maaf, dan terima kasih atas segala kata meremehkan dan segala usaha yang ditujukan untuk diri sendiri? Sudah sedekat apa? 

Sudah sedekat apa raga kita dengan jiwa ini?"

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Priority Chat

Adakah disini yang seringkali merasa risih kalau dapat pesan masuk, baik via e-mail, whatsapp, direct message, dsb, yang nggak straight to the point? Apalagi kalau awalnya cuma kirim P doang, hadeuh. Mudah-mudahan sih, nggak ya😂. Karena gue yakin yang masih menggunakan gaya mengirim pesan pakai P begitu bukan orang dewasa, melainkan anak-anak (beneran anak-anak lho👦🏻👧🏼). 

Well, sejauh ini gue udah nggak pernah mendapatkan inbox semacam itu, sih (cuma huruf P). Tapi ada beberapa etika dalam mengirim pesan yang baru-baru ini (obviously secara subjektif) gue sadari rasanya kurang sreg atau kurang merenah gimana gitu, serasa ada yang mengganjal.

Sejujurnya, gue kurang begitu suka dengan cara mengirim pesan yang nggak to the point, entah itu hanya dengan salam, atau manggil nama. Misalnya, benar-benar cuma "Assalamu'alaikum", nggak diiringi dengan maksud dan tujuan. Padahal, gue akan lebih menghargai dan welcome kalau pesan tersebut disampaikan langsung dengan maksud dan tujuannya. Nggak apa-apa kalau nggak mengucapkan salam, asalkan langsung ke poinnya, nggak basa basi dulu. Bahkan kalau mau pakai salam, tentu akan lebih baik—walaupun ini juga nggak harus menurut gue. Karena kuncinya adalah langsung kepada intinya, biar nggak bertele-tele. Semisal ada yang mau pinjam buku gue, bisa langsung memulai chat dengan begini; "Awl, lagi sibuk gak? Gue pinjem buku lu dong!", atau "Awl, mau tanya dong" kalau memang keperluannya hanya ingin menanyakan tentang beberapa hal. Karena gue orangnya santuy, kok. Jadi nggak perlu takut ganggu juga (kalau alasannya itu😂).

Entah sejak kapan gue mulai punya perasaan kayak gini terhadap persoalan bertukar pesan. Mungkin sejak ponsel gue pernah ada di mode rame pada suatu waktu dan gue bingung harus prioritasin chat room yang mana dulu. Oh iya, perlu gue ingatkan bahwa gue benar-benar hanya kurang suka dengan caranya, bukan orangnya. Soalnya semua orang yang nge-chat gue, udah pasti gue tahu orang baik, dan sebagian besar di antaranya memang gue kenal baik in real life😁. 

Sebetulnya ini masalah preferensi aja. Seperti yang gue sebut sebelumnya, mungkin beberapa orang ada yang merasa takut mengganggu, dan takut kesannya tergesa-gesa kalau langsung to the point. Bisa dibayangkan kok, kalau maksudnya berisi pesan yang berat dan mengagetkan, si penerima pesan bisa aja shock atau malah semakin nggak senang. 

"Apaan sih, udah lama nggak chatting-an tau-tau minjem duit," (misal yaa, wkwkw😉). Yah, setiap orang pasti punya preferensi yang berbeda soal ini. Ada yang risih kalau tau-tau minta dipinjemin duit, ada yang justru seneng karena nggak perlu basa basi (dan gue bagian yang ini🤣, masalah bersedia ngasih pinjem atau nggaknya kan gimana gue soalnya). Memang ada beberapa hal yang baiknya mungkin dikasih peringatan atau aba-aba dulu, nggak harus langsung inti. Tapi, again, depends on the context. 

Gue juga mengerti rasanya jadi orang yang nggak bisa langsung ke pada inti dan takut ganggu leisure time yang bersangkutan, karena gue dulu termasuk golongan yang satu ini. Dulu gue pikir terlalu tergesa-gesa juga kalau gue langsung menyampaikan tujuan tanpa basa basi. Maklum, kayaknya udah tabiat orang Indonesia kudu basa basi😂. Doe gue orangnya nggak suka basa basi, still, dalam obrolan secara langsung gue masih nggak bisa menghindari kebiasaan ini hanya untuk mencairkan suasana.

Tetapi seiring berjalannya waktu, sebagai penerima pesan yang mendapatkan inbox serupa cukup sering, gue mulai merasa hal ini cukup mengganggu. Kenapa? Karena sebetulnya berpengaruh juga untuk sender yang bersangkutan, yakni gue jadi nggak bisa memprioritaskan chat dari dia. Semisal gue lagi sibuk dan ada inbox lainnya yang lebih jelas dan lebih penting, pasti gue akan prioritaskan pesan yang lebih jelas tadi, walaupun jamnya lebih telat sekian menit. Nah, yang gue takutkan dari hal ini, kalau tujuannya ternyata penting tapi nggak langsung disampaikan, gue nggak bisa langsung baca karena menganggap ada yang lebih penting dari itu—karena gue punya skala prioritas tadi dalam membalas "chat".

Gue mencoba menyetarakan hal ini seperti saat kita kirim pesan ke dosen. Selama ini, seringnya yang nge-chat duluan pasti mahasiswanya kan, karena mereka yang butuh, bukan dosen. Dan setiap kali nge-chat beliau, pasti kita langsung sampaikan apa tujuan kita, entah itu mau mengumpulkan tugas, atau mau bimbingan. Supaya ketika nanti dosen tersebut baca pesan kita, beliau bisa langsung balas dan clear, deh. Kita pun bisa segera tau jawabannya langsung. Bukan maksud gue teman-teman harus menganggap gue dosen lho ya🤣, tapi maksudnya hal semacam itu kan udah pasti otomatis terjadi. Kalau kita butuh sesuatu, supaya cepat dapat respon ya kita utarakan apa keperluan itu, biar nggak terlalu lama harap-harap cemas menunggu. However, balik lagi sih, ini masalah preferensi. Inti yang sebenarnya adalah, gue takut nggak bisa memprioritaskan pesan yang penting dari teman-teman, hanya karena nggak langsung disampaikan si maksud dan tujuan tersebut. 

Soalnya nih, gue pribadi suka deg-degan duluan kalau dapet pesan dari orang yang udah lama nggak nge-chat gue. Semacam ada rasa takut kalau itu berita nggak mengenakan😅. Entah kenapa, tapi perasaan kayak gini emang real gue rasain tiap dapet pesan begitu. Terus bikin gue jadi menebak-nebak duluan, ini ada apa ya? Kenapa ya? Gue nggak ada masalah, kan? Padahal isinya mah biasa aja😂.

Karena berbagai alasan itu, sekarang otomatis gue membiasakan diri untuk nggak melakukan hal yang sama terhadap orang lain, alias langsung to the point. Misal, gue pengen catch up sama temen-temen, ya gue langsung tanya aja keberadaan mereka dan kesediaan waktu mereka, atau kalau gue mau tanya sesuatu perihal apapun, gue langsung tanyakan maksud gue.

Misalnya,
"Ne, lagi di rumah nggak? Bosen, nih, pengen main."
"Tor, aku mau tanya-tanya tentang skripsi, boleh gak?"
"Piw, lagi apa?" (nah kalau ini siasat mengirim pesan untuk yang lagi kangen sama sohib tapi gengsi bilang kangen🤣) *Paling udahannya sih gue tetep ketauan lagi nyembunyiin udang di balik batu. Nanti dijawab, "lagi rebahan nih, nape? Kangen yak?" semacam gitu lah😆

Lastly, gue nggak ada maksud untuk "memaksa" teman-teman agar sama preferensinya dengan gue, kok. Gue hanya ingin berbagi tentang apa yang menjadi keresahan gue, specifically dalam bertukar pesan. Gue juga nggak akan semata-mata membenci teman gue saat itu juga kalau pesan yang dia kirim nggak bisa langsung diutarakan, gue tetap maklum. Sebab setiap orang punya alasan dan caranya tersendiri dalam mengirim pesan, kan. Yakali kalau sampe marah-marah, egois banget dong gue😫.

Untuk teman-teman sendiri gimana, nih? Apakah ada hal yang buat kalian risih juga saat chatting atau saat nerima pesan?
Share
Tweet
Pin
Share
38 komentar
Newer Posts
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Bukan Salah Indonesia
  • Childfree yang Diperdebatkan
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Just Listen
  • Terlalu Besar Untuk Gagal

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

My Podcast

Newsletter

Get new posts by email:

Popular Posts This Week

  • Di Balik Angkasa
  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Become a Fighter
  • by.U: Solusi #SemuanyaSemaunya
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Goodbye Wasteful Life, Welcome Minimalism
  • Menjadi Manusia
  • Bukan Salah Indonesia
  • 2020 Wrapped: Top 3 Genre For You
  • Cuma Cerita #2

Blog Archive

  • ▼  2024 (2)
    • ▼  Oktober 2024 (1)
      • Posture Perfect: How Wearing a Waist Trainer Can I...
    • ►  Agustus 2024 (1)
  • ►  2023 (1)
    • ►  Februari 2023 (1)
  • ►  2022 (9)
    • ►  November 2022 (1)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (1)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  Maret 2022 (2)
    • ►  Februari 2022 (2)
  • ►  2021 (30)
    • ►  Desember 2021 (1)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  Juli 2021 (3)
    • ►  Juni 2021 (2)
    • ►  Mei 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  Maret 2021 (5)
    • ►  Februari 2021 (1)
    • ►  Januari 2021 (5)
  • ►  2020 (46)
    • ►  Desember 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  Oktober 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (10)
    • ►  Juli 2020 (8)
    • ►  Juni 2020 (4)
    • ►  Mei 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  Desember 2019 (3)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Agustus 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Februari 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Pengikut

Categories and Tags

Intermeso Krisis 1/4 Abad Opini Perempuan Podcast Poetry Review Thoughts digital marketing karir lifestyle slice of life

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.