Diberdayakan oleh Blogger.
  • Home
  • About
  • Lifestyle
  • Personal
    • Opini
    • Thoughts
    • Slice of Life
    • Poetry
    • Intermeso
  • Podcast
  • Review
instagram LinkedIn Spotify YouTube Email

Notes of Little Sister



The Phantom of The Opera: Sosok Di Balik Danau

Hi folks! Minggu kemarin adalah minggu yang super duper menyenangkan karena musikal favorit kecintaan gue, The Phantom of the Opera (kisah sosok misterius di balik danau) kembali ditayangkan sama salah satu channel YouTube (yeaaaaayy!!!!🎉). 

Channel yang menayangkan musikal tersebut adalah The Shows Must Go On, yang bekerjasama dengan The Actors Fund dalam pengumpulan dana untuk membantu men-support para pekerja seni yang terdampak Covid-19, khususnya di bidang seni pertunjukan, berhubung hampir seluruh pertunjukan teater dihentikan produksinya sejak bulan Maret.

Btw, ada yang pernah dengar tentang karya masterpiece satu ini?

Drama musikal The Phantom of the Opera yang diusung Andrew Lloyd Webber ini sebetulnya diangkat berdasarkan novel karya Gaston Leroux, seorang penulis asal Perancis sekaligus mantan jurnalis yang diterbitkan pada tahun 1910 dengan judul sama—dalam bahasa Perancis; Le Fantôme de l'Opéra. 

Berlatarkan Perancis pada abad ke-19, tepatnya di Garnier Opera House, Phantom of the Opera bercerita tentang seorang lelaki terpelajar yang sebetulnya sangat berbakat, hanya saja karena ia terlahir dengan wajah cacat, Sang Phantom yang—di dalam buku—bernama asli Erik ini dikucilkan oleh masyarakat, bahkan dia tidak diterima oleh ibu kandungnya sendiri sejak lahir. Oleh sebab itu, dia sama sekali tidak pernah merasakan kasih sayang dari siapapun.

Erik juga adalah seorang arsitek, komposer atau musisi, dan pesulap. Oleh karena dirinya yang tidak mendapat perlakuan baik, Erik melarikan diri ke sebuah Opera House dan membangun sendiri sarangnya di bawah tanah, dekat dengan danau kecil yang terletak di dasar bangunan opera itu. Disana, Phantom menciptakan opera, musik-musik klasik, dan melakukan beberapa penemuan (berdasarkan konstruksi bangunan yang telah dia pelajari pada gedung itu), salah satunya jalan rahasia di balik kaca yang menjadi penghubung antara dirinya dan Christine, dan sebuah labirin kaca (yang ini tidak ditampilkan pada drama musikal). 

Sementara Christine Daeé, adalah gadis ballet di Opera House tersebut, seorang yatim piatu dari violinist ternama pada masa itu yang dicintai Erik. Christine yang ternyata memang memiliki bakat menyanyi dilatih secara tidak langsung oleh Phantom di dalam kamarnya yang mana terdapat jalan rahasia tersebut, agar Christine suatu hari bisa menjadi soprano dalam opera yang ditampilkan disana. Jadi, Phantom pada awalnya melihat Christine sebagai anak didik musiknya—sebelum akhirnya dia jatuh cinta dengan Christine, karena itu Erik menyalurkan passion-nya akan musik untuk mengajari Christine semua yang dia ketahui. Christine pun tertarik padanya karena ia melihat Phantom sebagai Malaikat Musiknya (sosok yang ayahnya sering sebut untuk menggantikan posisinya jika suatu waktu sang ayah telah tiada dan benar atau tidak, hal ini terus dipercaya oleh Christine), and she eventually pities Erik's existence of loneliness and darkness.

Seperti halnya drama romantis lain, di cerita ini juga dimunculkan sosok orang ketiga, Raoul Vicomte de Chagny, teman masa kecil Christine yang juga menaruh hati terhadap Christine Daeé saat kembali dipertemukan di Opera House. Bersama dengan Christine, mereka dan tokoh-tokoh di dalam Opera House itu harus menerima berbagai teror dari Phantom yang akhirnya terobsesi dengan Christine dan menghalalkan segala cara semata-mata untuk mendukung agar Christine dapat menjadi soprano utama di Opèra Garnier, bahkan dia tidak akan segan-segan untuk membunuh orang lain yang menghalangi rencananya di Opera House tersebut (tapi doi emang cinta banget sama si Christine, cuma caranya salah😭). 

Untuk plot summary-nya, gue akan cantumkan di sudut paling bawah in case teman-teman ingin tahu cerita lebih detailnya😁, karena akan sangat panjang untuk diceritakan disini. Selain ketiga karakter ini, ada tokoh-tokoh yang juga nggak kalah penting, yakni Madame Giry, Meg Giry (sahabat Christine), Gilles Andrè, Richard Firmin, Carlotta Giudicelli, dan Ubaldo Piangi.

Secara garis besar, apa yang ditampilkan dalam drama musikal dengan apa yang ada di buku tentu cukup berbeda. Banyak bagian di dalam buku yang tidak ditampilkan di drama musikal, contohnya beberapa tokoh kunci, seperti seorang Persia, satu-satunya relasi Erik, yang di musikal perannya digantikan oleh Madame Giry. Petunjuk mengenai keterkaitan Phantom dengan Persia ini sebetulnya ditampilkan melalui kera berbaju bak seorang Persia yang memegang simbal di music box milik Phantom. Selain itu, dalam drama musikal cerita dipusatkan pada kisah romansa cinta segitiga antara Phantom, Christine, dan Raoul. Meski dibalut dengan berbagai teror yang cukup mencekam, rasanya tidak akan semencekam seperti cerita di dalam novel, karena novelnya sendiri lebih berunsur misteri dibandingkan percintaan. Konon, Sang Phantom memang sudah sering meneror orang-orang yang bekerja di Opèra Garnier sebelumnya.

Tapi, kok bisa sih, si Phantom ini tinggal di bawah tanah Opera House, gimana caranya?

Dalam bagian terakhir / epilog buku, terungkap potongan-potongan kehidupan Erik, bahwa ia adalah putra seorang pemilik bisnis konstruksi, yang cacat sejak lahir. Dia kemudian melarikan diri dari Normandia, tempat asalnya untuk bekerja di beberapa pameran dan bergabung dengan karavans (kelompok petualang), mempelajari seni sirkus di seluruh Eropa dan Asia, hingga akhirnya membangun berbagai trik atau semacam jalan rahasia dan tempat-tempat khusus di beberapa bangunan resmi di Persia dan Turki. Kemudian dia kembali ke Perancis dan memulai bisnis konstruksinya sendiri. Setelah diberi mandat untuk mengerjakan fondasi Opèra Garnier, Erik diam-diam membangun sarang sendiri untuk menghilang, lengkap dengan lorong tersembunyi dan trik lain yang memungkinkannya untuk memata-matai para manajer di Opera House tersebut.

Baca juga: Keliling Paris Bersama Film Les Misérables

Pertama kali gue nonton musikal ini sebetulnya tanggal 19 April lalu di channel yang sama. FYI, channel The Shows Must Go On ini dibuat pada tanggal 17 Maret 2020 di masa awal pandemi yang memang tujuannya untuk menemani masa karantina semua orang di belahan dunia. This channel bringing us showtunes, backstage access and full performances from some of the best loved musicals in history.

The Phantom of The Opera: Sosok Di Balik Danau

Minggu awal Oktober ini, The Phantom of the Opera 25th Anniversary Concert kembali ditayangkan dalam rangka merayakan ulang tahunnya yang ke-34 sejak hari pertama dirilis di Her Majesty's Theater, London, pada 9 Oktober 1986 silam, yang menjadikan ini sebagai salah satu the longest musical in history, both in Broadway and West End. Sayang karena pandemi ini production-nya ditutup sampai batas waktu yang nggak ditentukan😫.

Sejujurnya, bisa dibilang gue agak egois, sih😂. Kenapa? Karena sejauh ini satu-satunya versi The Phantom of the Opera yang gue sukai dan nikmati ya yang versi 25th Anniversary at the Royal Albert Hall ini😁. Since gue nggak pernah nonton versi original-nya (karena memang nggak ada versi DVD), dan karena dari pengamatan gue lewat potongan-potongan adegan di yucub yang dilakoni oleh aktor-aktor lain, banyak sekali yang nggak membuat gue tertarik karena emosinya kurang sampai dan kurang erghh gimana gitu. Mungkin ada, tapi terasa kurang nyatu satu sama lainnya. Misal aktor yang memerankan Phantom menurut gue keren, tapi Christine nya kurang nenduangg, atau begitu sebaliknya. 

So, versi konser ke-25 tahun ini yang betul-betul emosional dan melekat banget di hati gue (sampe nangis gue nonton ini, kurang keren apa lagi akting mereka😭). Thumbs up buat Ramin Karimloo as Phantom, and Sierra Boggess as Christine Daeé. Bahkan komposernya sendiri, Lloyd Webber mengakui kehebatan mereka dan nggak menyesal memilih keduanya untuk tampil di konser ulang tahun pada 2011 lalu. Chemistry mereka gak ada yang bisa ngalahin, sih, serius. Apalagi sebelumnya memang pernah berpasangan juga di sequel Phantom of the Opera (masih karya Andrew Lloyd Webber), yakni Love Never Dies.

Speaking of Love Never Dies, dibandingkan sequel-nya tersebut, Phantom of the Opera tentu berada jauh di peringkat atas dalam menarik hati penggemar. Walaupun score di dalamnya sama-sama menyayat hati dan indah, but still, nggak bisa mengalahkan scores di dalam prequel-nya seperti main score; The Phantom of the Opera, Music of the Night, All I Ask of You, Think of Me, Masquarade, Angel of Music, Wishing You Were Somehow Here Again (semuanya aja disebut😕), dan maaaasih banyak lagi yang menurut gue pribadi sangat memorable🤧. 

Salah satu adegan favorit gue sendiri adalah I Remember/Stranger Than You Dreamt It, score yang dinyanyikan saat Christine—yang telah diajak oleh Phantom ke tempat persembunyiannya—terbangun oleh music box kesayangan Phantom lalu dengan penasaran membuka topengnya tanpa izin. Menurut gue adegan ini jadi perkenalan yang terasa dalam dan menyentuh dari Erik lewat penggalan lirik berikut: 
Stranger than you dreamt it
Can you even dare to look
Or bear to think of me?
This loathsome gargoyle, who burns in hell
But secretly yearns for heaven
Secretly... secretly
But Christine

Fear can turn to love—you'll learn to see
To find the man behind the monster
This repulsive carcass, who seems a beast
But secretly dreams of beauty
Secretly... secretly
Oh, Christine

The Phantom of The Opera: Sosok Di Balik Danau

The Phantom of The Opera: Sosok Di Balik Danau
Sedih banget gak, sih😭 Segitu cuma di satu score, masih banyak score lain yang
bikin mewek🤧
 
Kalau dilihat-lihat mungkin keseluruhan cerita dari drama ini terkesan klisé. Mirip-mirip dengan Beauty and the Beast tentang Beast yang sangar tapi mendambakan sosok Belle, atau bahkan mirip dengan cerita Joker, a good man who turns into evil karena berbagai perlakuan buruk yang didapatnya dan dendam akan trauma masa lalu. However, karena ini drama musikal, gue bisa jamin feel-nya akan terasa beda dari kedua film tersebut. Sebab, memang disitulah poin plus dari drama musikal ini. Selain akting, apa lagi kan kalau bukan scores yang syahdu dan bernilai musikal tingkat tinggi? Drama musikal inipun nggak seserius seperti kelihatannya kok, karena di dalamnya juga disisipi beberapa jokes yang—walaupun entah lucu apa nggak—bisa sedikit mencairkan suasana yang dark, biar gak ngebosenin.

Adegan favorit gue yang lain adalah Masquarade/Why So Silent, karena gue suka banget sama suasana dan kostum yang meriah, plus gue suka banget dengan adegan di Final Lair, saat Phantom menyadari bahwa ia harus melepaskan Christine karena mengingat dosa-dosanya selama ini, meski dia sudah tahu bahwa Christine juga mencintainya—dengan rasa iba akan kesepian dan kelamnya hidup Phantom.

The Phantom of The Opera: Sosok Di Balik Danau

Salah satu alasan lain yang membuat gue suka versi musikal ini karena pemeran Christine bener-bener put so much effort untuk menunjukan bahwa dia sangat peduli dengan Erik dan merasa bersalah ketika harus meninggalkan dia (dan dari sepengamatan gue di dalam buku sih memang seharusnya begitu)🤧. Rata-rata dari potongan adegan yang gue lihat di internet, Christine lain lebih memilih langsung pergi ninggalin Phantom gitu aja soalnya, hiks.

Okay, karena menurut gue postingan ini udah kepanjangan, sebelum mengakhiri ulasan kali ini, gue pingin berbagi beberapa video gue saat nge-cover scores dari musikal Phantom of the Opera ini, dan salah satunya score Music of the Night dari channel terkait, hitung-hitung ikut merayakan ulangtahun Phantom yang ke-34, yuhuuu!




Anyway, adakah di antara teman-teman yang juga suka drama musikal? Entah itu Disney Princesses atau drama musikal lainnya, let me know ya!



Referensi:

The Phantom of The Opera (Book)

Phantom of The Opera: Misteri Cerita Cinta Yang Tak Pernah Mati

Share
Tweet
Pin
Share
21 komentar

Sekadar sepotong cerita tentang kehidupan sehari-hari

Sejujurnya beberapa hari ini gue agak iri dengan teman-teman yang buku Thoughts pemberian Kak Eno mengenai konten Paid Guest Post beberapa waktu lalu sudah bisa dinikmati dengan santai. 

Lah, kenapa memangnya, Awl? Memangnya punyamu kemana?

Jadi, waktu kak Eno minta dikirimi alamat rumah untuk pengiriman buku tersebut, gue mengirimkan kak Eno dua alamat, satu alamat tempat tinggal gue sekarang, dan satu lagi alamat rumah eyang gue, karena pada saat itu kondisinya gue sedang panik dan kebingungan dengan kemungkinan pindah tempat tinggal. Namun setelah dipikir-pikir, hasilnya gue meminta kak Eno agar buku Thoughts nanti dikirim ke alamat eyang gue aja, sebab gue pun berencana untuk pulang (meski nggak dalam waktu dekat ini). Eng ing engg, ternyata setelah proses negosiasi beberapa minggu setelahnya dengan pemilik kost—yang sebelumnya udah mewanti-wanti bahwa tempatnya akan dikosongkan akhir tahun ini, gue bisa lanjut di tempat tinggal gue yang sekarang untuk 6 bulan ke depan, minimal sampai kuliah gue selesai. Hmm.

Apa mau dikata, berhubung buku yang gue nanti-nantikan itu sudah sampai di rumah, gue hanya bisa gigit jari menanti-nanti kembali kapan waktu yang tepat gue bisa pulang dan membaca bukunya, hiks hikss.

Sebetulnya kalau mau simple, gue bisa aja minta tolong orang rumah untuk kirim balik buku tersebut ke alamat gue, tapi gue nggak tega dan nggak mau merepotkan. Toh disana setiap hari kegiatannya sibuk, nggak kayak gue yang hidupnya sekadar bergulat sama laptop lagi, laptop lagi, dan leyeh-leyeh, nggak keliatan sibuk-sibuk amat. Jadi, gue putuskan untuk tetap menyimpannya disana sampai nanti gue pulang, supaya lebih terasa spesial *cielah*😂😍 dan supaya nanti bisa membaca seluruh isinya dengan hati yang tenang, nggak perlu mikirin beban skripsi, bimbingan ini itu🤣.

Oh iya, buat teman-teman yang belum tau dan nggak punya bukunya, cerita gue yang masuk di buku itu adalah Di Balik Angkasa, so buat yang belum baca, sila klik aja tulisan di atas ini! Hehe. Dan satu cerita lagi yang gue kirimkan ke e-mail kak Eno adalah Romantisisasi Generasi 90-an, yang sudah gue posting juga (seperti yang terlihat di tulisan yang menyala itu). Semoga bisa bermanfaat untuk teman-teman, ya😀

Anyway, gimana judul postingan gue kali ini? Keliatan nggak mikir banget, ya🤣. Rencananya sih setiap kali gue mau berbagi cerita atau tulisan yang super duper random tentang keseharian, gue akan namakan postingan tersebut sebagai "Cuma Cerita", alias emang isinya cuma cerita aja—kayak sekarang. Terus setiap postingannya gue pingin kasih episode 1, episode 2, dst. nya gitu kayak drama Korea, huahahaha. Yaa baru rencana sih, bisa jalan bisa nggak. Yang penting hari ini gue cuma mau cerita aja!😁

Terus kenapa gambarnya harus ada hangeul 잘자요 (re: jaljayo, mana artinya ucapan met bobok lagi) sama Torii Gate (鳥居: tori-i)? Nggak ada alasan pasti, sih. Kedua negara ini, Korea dan Jepang memang jadi salah dua negara favorit gue aja di belahan Asia, either untuk kesenangan atau memang untuk dipelajari. Lagipula, gambarnya lucukk! Kalau jiwa sok seni gue bilang kualitas fotonya tingkat edun. Eits, tapi kalau gambar yang bawah sih lucunya agak terkesan dipaksakan ya, karena itu foto dan tulisan sendiri, bukan hasil jepretan fotografer yang keren-keren itu😆.

Nah, btw teman-teman sendiri gimana nih ceritanya di hari ini? Ada yang bikin menyenangkan kah? Atau malah ada yang bikin sedih?☹️ Yuk bagi-bagi ceriteu!

Share
Tweet
Pin
Share
26 komentar

marah-marah virtual kegiatan ospek di tengah pandemi
Photo by Life Matters from Pexels 

Pertama-tama, sebetulnya gue nggak punya kapasitas yang cukup untuk berkomentar soal ini—ospek virtual adegan marah-marah yang baru-baru ini viral. Namun berhubung gue pernah punya pengalaman di sana, sebisa mungkin gue akan mencoba untuk melihat dari dua sisi. Penulisan tentang ini tergerak setelah gue baca artikel "Merdeka Belajar" Gaya Menteri Nadiem: Apanya Yang Merdeka? yang ditulis oleh Ben Laksana pada Indo Progress. Meski terlihat seperti nggak berkaitan, terdapat tali yang sebetulnya saling berkesinambungan kalau menilik pada konsep dan garis besar pemahaman. Apabila tulisan ini dirasa lebay atau bias bagi beberapa teman mahasiswa, silahkan, bebas untuk menginterpretasikan, kok. Semua yang gue tulis disini murni pendapat gue dan berangkat dari pengalaman serta riset kecil-kecilan di media sosial dan beberapa artikel kependidikan. Jadi, sebisa mungkin gue sudah menjauh dari bias tersebut.

Kedua, sepengetahuan gue, ospek sendiri bisa terbagi menjadi beberapa bagian, di antaranya ospek universitas, ospek fakultas, dan ospek jurusan. Ospek universitas dan ospek fakultas biasanya disatukan dalam rangkaian ospek di awal semester secara umum yang mana tujuannya memang untuk mengenalkan mahasiswa pada kampus, sebagaimana kepanjangan ospek; Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus, meski lagi, hal ini juga tidak bisa disamaratakan karena setiap instansi pasti berbeda kebijakannya, pun dalam hal penamaan. Berdasarkan pengalaman pribadi, keseluruhan ospek di kampus gue sebetulnya termasuk ospek yang sangat menyenangkan, walaupun beberapa aturan semacam harus berangkat pagi buta—bahkan sebelum adzan shubuh—masih dirasa cukup merepotkan. Selebihnya, aksi marah-marah senior dari divisi terkait memang sekadar untuk menertibkan.

Namun masa-masa "dididik" oleh kakak senior yang galak ini berlaku saat ospek jurusan dimulai, yang rata-rata salah satu tujuan diadakannya hal ini bermaksud menyaring anggota baru untuk kepengurusan selanjutnya. Pada bagian ospek jurusan inipun bisa berbeda-beda nama kegiatannya, sebab memang sudah memisahkan diri dari acara ospek universitas. Kegiatan di dalam ospek jurusan tersebut lah yang terbilang cukup keras, setidaknya begitu menurut kesaksian beberapa kerabat dari jurusan dan universitas yang berbeda.

Permasalahan tentang "senioritas", perpeloncoan, dan pembodohan mahasiswa baru dalam setiap kegiatan ospek sebetulnya akan selalu jadi pembicaraan, baik di dalam institusi terkait, maupun pembahasan secara nasional—seperti sekarang—kalau belum juga ada pembaharuan yang dirasa cukup solutif dan adaptif untuk bisa diimplementasikan. Sebagai contoh, di jurusan gue, menjelang penerimaan mahasiswa baru, nggak jarang panitia dari himpunan kami harus gontok-gontokan dengan dosen untuk meyakinkan mereka bahwa acara dalam ospek jurusan ini (re: adanya komdis) bertujuan baik dan segala tindakannya diatur dalam peraturan yang sah secara organisatoris—tentunya peraturan ini berbeda setiap departemen atau instansi. 

Adegan marah-marah yang sering disalahpahami inipun sering menjadi fokus utamanya.

"Mahasiswa kok gak kreatif! Masih zaman woy bentak-bentakan?"
"Kita bukan lagi sekolah militer."
"Mental itu gak dibentuk dalam waktu singkat cuma karena bentakan."

Gue sangat setuju, meski gue tahu, tindakan tersebut nggak semata-mata memarahi maba. Sederhananya, mereka ini ingin agar mahasiswa baru tersebut dapat lebih kritis dan punya mental "nggak mau diinjak-injak" supaya si komdis ini bisa dilawan.

Lho, bagaimana bisa?

Iya, memang begitu tujuannya (setidaknya yang gue tahu ya, mungkin treatment setiap kating di univ lain akan berbeda), karena itu gue bisa bilang ini klise. Kenapa klise? Karena pola seperti ini terlalu sering digunakan sehingga membuat tujuan atau makna asli dari hal tersebut pada kenyataannya memudar seiring berjalannya waktu. Sebetulnya konsep pemikiran inipun tergantung pada masing-masing si kakak senior, apakah dia murni ingin "membuat mental dan cara berpikir maba tersebut kritis" atau memang hanya ingin melampiaskan kekesalan mereka saat dibodoh-bodohi senior dulu—kebanyakan sih yang kedua ini kayaknya. It depends.

Namun secara keseluruhan, gue nggak bisa membenarkan bahwa adegan marah-marah yang selama ini melekat dalam kegiatan ospek di tiap universitas di Indonesia adalah sesuatu yang benar dan relevan. Gue melihat rata-rata dari pelaku dan dalang di balik itu terjebak dalam konstruksi berpikir "ospek" yang telah ada sejak puluhan tahun lalu, baik era Soeharto maupun sejak awal era reformasi, yang bahkan memang telah diwariskan sejak zaman kolonialisme dulu. Mereka masih belum tahu apa solusi yang tepat untuk membuat suatu kegiatan ospek dengan tujuan dan misi yang sama, namun berbeda metode. Jadi, pada praktiknya yang dilakukan ya gaya ospek yang seperti itu lagi, itu lagi. Marah lagi, marah lagi. Oleh karena itu, meski beberapa modifikasi perpeloncoan dan "senioritas" telah dihapuskan sepenuhnya di beberapa perguruan tinggi, nyatanya beberapa mahasiswa banyak yang masih terjebak dalam skema "marah-marah dan bentakan" yang dianggap harus ada dalam setiap acara penerimaan mahasiswa baru.

Ospek Tidak Sepenting itu Dalam Perkembangan Nalar Seseorang 

Melihat dari serangkaian kasus yang viral beberapa tahun kebelakang ini, dimana contohnya ada beberapa mahasiswa baru dari U** dan beberapa univ lain yang meninggal dan celaka saat ospek, dan ada pula kegiatan dimana maba disuruh merangkak melewati selangkangan seniornya lalu ramai-ramai minum air bercampur ludah, lalu video siswa disuruh makan makanan yang sudah dicampur dalam satu ember secara ramai-ramai (gue lupa liat video ini dimana), sampai ke persoalan marah-marah virtual kemarin, menurut gue ini sudah keterlaluan. Apa bedanya kita sama para diktator dan pemerintah yang sering didemo oleh mahasiswa itu sendiri jika konsep meng-ospek seperti ini masih dipertahankan? Supaya mahasiswa baru ini tahu rasanya diinjak-injak dan memberontak? Supaya mahasiswa yang menjadi agen perubahan ini mampu berpikiran maju dan mendobrak sistem yang bobrok? Begitu?

Konsep seperti ini justru kontraproduktif dengan teori yang telah dikenalkan sejak tahun 1900-an oleh Thomas Lickona bahwa pendidikan karakter mencakup tiga unsur pokok, di antaranya mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (desiring the good) dan melakukan kebaikan (doing the good). Mencoba "membentuk" karakter seseorang dengan cara yang keras untuk menghasilkan reaksi yang bertentangan dengan maksud melahirkan pemikiran yang baik, kritis, dan bijak bukanlah suatu cara yang benar. Bisa saja benar dan berhasil, jika reaksi tersebut mampu dihasilkan oleh maba-maba yang kritis dan "berani" tersebut, bagaimana jika tidak? Bagaimana jika aksi tersebut hanya melahirkan ketakutan-ketakutan baru akan hilangnya kebebasan berpendapat dan malah membentuk generasi yang manut-manut saja, sebab "kebenaran" tersebut telah diakuisisi maknanya?

Jika cara ini dianggap efisien untuk melahirkan "pemberontak-pemberontak" atas sistem yang bobrok, coba kita lihat sejenak. Mereka yang berdiri di kursi pemerintahan sana juga berangkat dari seorang mahasiswa yang kritis dan aktif, dilatih dengan ospek yang katanya lebih keras, tapi apakah hal tersebut menjamin bisa membentuk karakter "pemimpin-pemimpin" ini menjadi lebih progresif dan sadar diri rasanya di bawah? Tidak juga. Bahkan posisinya saat ini kontradiktif, mereka yang dulunya di bawah dan diinjak, berbalik menginjak. Apakah hal ini karena dipengaruhi oleh gaya ospek yang kejam? Tidak juga. Menurut gue, tindakan semacam ini pada akhirnya tidak terlalu mempengaruhi seseorang untuk bertindak sebagai seorang intelek, atau bahkan sebagai bagian dari masyarakat nantinya di dalam kehidupan sehari-hari, karena esensi yang diterima oleh masing-masing anak tentu berbeda.

Dimarah-marahi senior tidak lantas membuat mental kita seperti baja, tidak lantas membuat cara berpikir kita bisa kritis pula, sebab kedua hal ini sifatnya sustainable, yakni terus berkelanjutan selama individu tersebut masih memiliki peran di dalam lingkungannya, dan tentu ada proses panjang yang menggiring kita untuk bisa sampai di tahap tersebut. Bahkan jika seseorang sudah kritis pun, hal tersebut harus selalu diimbangi dengan latihan yang intens. Bagaimana contohnya? Membaca, banyak berdiskusi dan mendengarkan. Latih otak kita untuk berpikir.

Baca juga: Kenapa Perlu Berpikir Kritis?

Mahasiswa-mahasiswa tersebut kemudian seolah hanya menyontek dan menerapkan tindakan tradisional dalam teori tindakan sosial Max Weber, yakni mengamalkan tradisi atau kebiasaan di dalam lingkungan tersebut tanpa perencanaan dan dilakukan secara repetitif, tidak benar-benar mengelaborasi konsep keseluruhan tindakan sosial yang berorientasi nilai, rasional dan afektif.

Senioritas yang Disalahgunakan

Manusia pada dasarnya adalah makhluk individu yang memiliki kebebasan untuk berpikir dan menentukan mana hal yang menurut mereka baik atau tidak, pun jika hal tersebut bertentangan dengan norma, kegiatan ospek yang bergaya militer dan keras (baik secara verbal dan non-verbal) tidak termasuk ke dalam norma-norma yang berlaku dalam kehidupan sosial. Disinilah kita kemudian perlu membedakan senioritas dan perpeloncoan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan para ahli bahasa, senioritas menggambarkan situasi yang sifatnya perihal junior dan senior (bukan hanya merujuk pada perguruan tinggi) dimana terdapat keadaan seseorang lebih tinggi pangkat, pengalaman, dan usianya; serta prioritas status atau tingkatan seseorang yang diperoleh dari umur atau lamanya bekerja. Sementara perpeloncoan adalah praktik ritual dan aktivitas lain yang melibatkan pelecehan, penyiksaan, atau penghinaan saat proses penyambutan seseorang ke dalam suatu kelompok. Berdasarkan KBBI, aktivitas ini menjadikan seseorang tabah dan terlatih serta mengenal dan menghayati situasi di lingkungan baru dengan penggemblengan, yang jika ditelaah pada kasus-kasus ospek tersebut seringkali dibenarkan dengan dalih senioritas dan adaptasi. Padahal perlakuan dalam ospek yang terbilang keras tersebut tidak selamanya menggambarkan lingkungan baru secara utuh yang perlu diadaptasi oleh mahasiswa baru, dan senioritas itu sendiri kini bergeser maknanya. Sebab tindakan menghargai seseorang atau lawan bicara yang lebih tua dan lebih tinggi secara pangkat, jabatan, pengalaman dan usia tersebut bagian dari norma dan tata krama yang memang sudah semestinya kita terapkan. Sayangnya marah-marah pada ospek ini seringkali hanya dibungkus dengan istilah senioritas.

Mengutip pada artikel dari indoprogress tersebut, nilai-nilai seperti "hierarki, keteraturan, struktur, formalitas, paternalisme dan patriarki" merupakan nilai-nilai kunci dalam upaya rezim Presiden Soeharto yang sebagaimana disebutkan Bourchier dalam bukunya, Illiberal Democracy in Indonesia: The Ideology of the Family State (2015), terus dilegitimasi oleh negara sampai hari ini, bahkan hingga lingkup universitas sebagai alat ideologi pada ranah pendidikan. Bisa dibilang pola melatih dalam ospek yang terus dinormalisasi seperti ini sama saja dengan mengiyakan tatanan kehidupan yang regresif dan terlalu "kolot".

Hierarki ini digambarkan sebagai senior yang terlalu memposisikan dirinya dan junior sebagai di atas, di bawah, atau mengkategorikannya "pada tingkat yang sama" dengan kategori lain. Keteraturan dan struktur, yang mengarah pada pola didik yang keras yang dapat tergambarkan melalui paternalisme; sistem kepemimpinan yang berdasarkan hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin, seperti hubungan ayah dan anak, yang mengungkapkan perilaku superioritas jelas termasuk di dalamnya. Sementara formalitas dapat ditunjukan dengan tujuan klise yang kini menyimpang yang gue sebut pada paragraf sebelumnya, serta patriarki seringkali digambarkan melalui tindakan meremehkan dan menganggap mahasiswi lebih lemah daripada mahasiswa, harus selalu dilindungi dan diayomi seolah perempuan tidak bisa memiliki kendali atas dirinya sendiri. Padahal, tidak sedikit juga perempuan yang justru lebih berani untuk bersuara saat "dimarahi" tersebut.

Perlu diingat, bahwa gue tidak sedang menyoroti kegiatan pada ospek-ospek tertentu secara spesifik, apalagi bermaksud menyinggung. Gue melihat ini secara lebih general yang memang berlaku dalam lingkungan kampus, seperti yang baru-baru ini kembali meruak lewat ospek online di beberapa universitas.

Kekerasan pada ospek ini yang kemudian sama saja membentuk warga negara atau civitas akademika agar tunduk, serta secara sukarela dan secara aktif merangkul nilai-nilai yang telah dibentuk oleh negara—active consent of manufactured consent (Gramsci, 1971; Herman & Chomsky, 2008; Wright, 2010). Strategi atau pola pembentukan karakter ini termasuk menjustifikasi tindakan-tindakan opresif yang dilakukan negara (sebagai aktualisasi nilai-nilai negara) dan melihat hal tersebut sebagai sebuah kewajaran atau "akal sehat" (common sense) dalam keseharian kita. Semua dilakukan demi terwujudnya "kemajuan dan keteraturan" negara di mana definisinya pun telah dimonopoli oleh negara (dalam hal ini kata negara merujuk pada sistem dan pola tindakan kekerasan fisik dan non-fisik yang diberlakukan dalam kegiatan ospek).

Pola asuh otoriter yang diterapkan dalam ospek selama bertahun-tahun sebagai wujud dari hierarki, keteraturan, struktur, formalitas, paternalisme dan patriarki tersebut pada akhirnya hanya akan melahirkan komitmen dan pola pikir yang juga otoriter, sebab sifatnya memaksa untuk tunduk pada aturan-aturan yang telah dinormalisasi, terlepas dari tujuannya baik atau tidak. Lebih dari itu, memaksakan tradisi tanpa inovasi sama saja dengan mengamalkan ideologi Orde Baru yang selama ini dikemas dalam reformasi. Pendidikan bukan lagi bersifat emansipatoris, hanya menurunkan nilai-nilai yang tunduk dan patuh pada sistem negara dan kapitalis. 

Gue pikir Revolusi Industri 4.0 yang selama ini dielu-elukan, serta transisi digitalisasi di era pandemi ini bisa membuat perspektif kebanyakan pemuda menjadi lebih progresif dan kreatif, ternyata nggak. Pandemi ini hanya membuat beberapa kelompok terjebak di dalamnya, dan mendaur ulang konsep-konsep yang telah ada sebelum pandemi dengan gaya lebih "kekinian", yakni secara virtual.

Share
Tweet
Pin
Share
16 komentar

Suka Duka Introvert di Masa Pandemi
Iyaak tangan belum masuk saku keburu dijepret🤣

Awalnya tulisan ini gue beri judul Suka Duka Jadi Introvert, berhubung memang sempat gue buat draftnya beberapa bulan yang lalu. Namun karena nggak pernah sempat diperbarui, dan berhubung gue baru aja mengalami beberapa hal menarik terkait ke-introvert-an gue di masa pandemi,  jadilah judul yang sekarang! Hehe. Sebetulnya konsep cerita gue yang sebelumnya ingin ditulis pun terasa terlalu general sih, jadi sepertinya nggak memungkinkan buat ngupas tuntas semuanya😂. 

Buat teman-teman yang ngikutin tulisan gue dari arsip terdalam, pasti sedikit banyaknya tau kalau gue adalah seorang introvert, bahkan dari zaman masih piyik-piyik ciak-ciak kali, ya. Di tahun 2020 ini gue seakan benar-benar bebas dari tuntutan menjadi makhluk sosial yang (akhirnya) bisa totally punya space sendiri dalam mengembangkan potensi diri, dan betul-betul lepas dari interaksi yang seringkali membuat gue kelelahan hingga butuh waktu berhari-hari lamanya untuk recharge di kamar—disinilah kemudian weekend biasanya gue gunakan. 

Di masa awal pandemi, 'dirumahkan' mungkin menjadi hadiah terindah buat introvert kayak gue, karena gue sendiri nggak perlu bertemu dengan banyak orang dan basa basi ini itu setiap harinya, gue nggak perlu berpura-pura nyaman kalau ada dalam suatu obrolan yang kurang gue sukai, gue nggak perlu ngerasa pusing kalau lagi di keramaian, gue nggak perlu misuh-misuh denger bunyi klakson di jalan (it doesn't define you as an introvert tho😂), gue nggak perlu berhadapan dengan kemacetan di lampu merah yang setiap hari bikin kepala sakit kayak mau pecah (literally). Walaupun, tentu, memiliki waktu sebebas-bebasnya berada di rumah dengan alasan pandemi bukan menjadi suatu hal yang baik, tapi paling nggak gue bersyukur bisa sedikit lebih cepat terselamatkan dari si virus mungil covid-19 ini. Sebab kegiatan karantina tersebut betul-betul gue patuhi secara sukarela dan 'gembira', nggak ngeyel keluyuran sana sini kayak anak muda sok edgy yang hobinya ngomongin teori konspirasi. *Iya, pada awalnya sih, gitu.

Semakin lama hidup dalam kondisi nggak normal nyatanya bikin gue juga lelah. Semua kegiatan yang dialihkan via online membuat gue overwhelming, dan rasa tidak nyaman dalam bersosialisasi yang bikin lelah pun gue bisa rasakan juga disitu. Nggak terhitung udah berapa kali gue mengabaikan beberapa inbox yang masuk lewat whatsapp dan e-mail, hanya karena gue nggak sanggup dan keteteran buat sekadar membalas 'iya'. Jangankan mau bales, ngelirik aja rasanya udah bergidik duluan. Iya, sampe segitunya.

Though gue nggak banyak bertatap muka lewat zoom, skype, google meet, google duo, dsb. (karena udah nggak ada kelas), gue tetep ngerasa capek bukan main. Apalagi saat gue harus menyelesaikan sisa-sisa waktu praktik lapangan di bulan Maret yang terpaksa dialihkan lewat daring. Setiap pagi gue harus siapin materi, kuis, terus stand by di Google Classroom buat ngirimin semua materi itu—termasuk video pembelajaran yang gue rekam malam sebelumnya. Belum lagi banyak murid yang nggak masuk tepat waktu—nggak terdaftar di kelas sampai berhari-hari, telat ngirim tugas, ada juga yang ngirimnya berceceran sampai ke personal chat, atau bahkan ada yang ngilang sampai berminggu-minggu.  Ditambah guru pembimbing gue yang suka tiba-tiba video call di grup pagi-pagi banget, saat kami masih sayup-sayup melek abis begadang semalam suntuk, dan tiba-tiba ngasih kabar mendadak untuk kami buat soal ulangan, materi latihan soal PAT (UAS), dll. Oh iya, berhubung sempat ada yang menyangka gue guru, entah dari postingan yang mana, jadi gue mau mengingatkan kalau gue bukan guru😂 . Cuma karena kampus gue basic-nya adalah kampus pendidikan, untuk mahasiswa yang jurusannya pendidikan (karena banyak juga jurusan yang non-dik), di semester menjelang akhir kita pasti praktik di sekolah. Dan ini nggak serta merta berarti kita otomatis akan jadi guru setelah lulus. Nggak, untuk jadi guru juga harus belajar lagi PPG (Pendidikan Profesi Guru). Kegiatan PPLSP ini sebatas memenuhi syarat kelulusan mata kuliah tertentu, mungkin kalau di kampus atau jurusan lain disebutnya magang. Nah, lanjut lagi.

Ternyata, pada akhirnya gue masih harus berurusan dengan orang-orang di luar sana meski cara berkomunikasinya beda.

Lama-lama gue pun kembali menjadi seseorang yang kaku dan socially awkward. Contohnya, belum lama ini gue sempet ketemu beberapa temen di kampus dan di luar kampus. Nggak seperti gue biasanya yang bisa terlihat 'sok akrab' kalau ketemu kenalan, at the time i was completely clueless of what i have to say or what i have to do—bahkan sama orang yang gue anggap deket, lho. Padahal kalau dibilang kangen, jelas iya dong! Udah lama banget gue nggak ngeliat wajah-wajah teman kuliah. Karena canggung level maksimum ini, alhasil setiap kali berusaha membuka topik gue sering keserimpet lidah sendiri. Canggung abis dah pokoknya, lucu juga kalau dipikir-pikir🤣. Seculun-culun dan sekaku-kakunya gue, nggak pernah gue merasa secanggung ini ngobrol dengan orang lain. Jujur aja, selama hampir tujuh bulan pandemi ini gue memang nggak selalu get in touch sama temen-temen, karena nggak semuanya gue punya kontak WA (sohib segeng dan yang memang deket banget sih udah pasti gue simpan nomornya). Paling tiga atau empat orang yang tetep chatting sama gue, itupun jarang. Kalau gue lagi butuh referensi, lagi kangen, atau sekadar pingin ngobrolin hidup dan topik-topik lain, baru kita saling kirim pesan dan balas story, atau bahkan video call. Circle pertemanan gue emang sekecil itu.

Awalnya gue pikir ini wajar, walaupun kaget juga. Sebab selama ini gue mengenal diri sendiri bukan termasuk orang yang kesulitan secara verbal dalam public speaking. Gue ngerasa fine-fine aja, kapanpun dan dimanapun gue berada, ketika gue diharuskan untuk fit in dengan lingkungan dan situasi tersebut gue akan dengan mudah beradaptasi dan nge-switch diri. Karena itu, beberapa teman gue dulu sempet punya kesan bahwa gue anak yang ekstrovert, padahal bukan. Tapi sekarang, rasanya bener-bener aneh. Bayangin aja gimana rasanya nggak ketemu relasi selama berbulan-bulan, yang bahkan lewat SNS pun ngga keep in touch betul-betul, saat diketemukan rasanya pasti canggung, kan!? Dan nggak taunya, kejadian belibet lidah sama a-eu-a-eu ini malah berulang pas gue diajak ngobrol sama pasutri yang ngejual susu murni di sekitar kost gue. Lagi-lagi yang biasanya gue nggak bermasalah kalau diajak ngomong, sekarang kayak orang dusun yang udah kelamaan tinggal di goa dan baru keluar ke permukaan. Asli deh😫. Sejak kapan gue ketemu sama ibu penjual soto (ini beda lagi makanannya) jadi kayak ketemu Obama?

Entah sampai kapan gue bisa bertahan untuk hidup seperti ini di tengah pandemi. Karena, meski kepribadian gue tertutup begini, gue pikir kenapa kita perlu untuk tetap hidup normal dan berurusan dengan segala pekerjaan, orang-orang, dan lain-lainnya, adalah karena disitulah gue bisa melihat segala sesuatu dari sudut pandang lain. Dari sisi diri gue yang nggak selamanya pendiam, kuper, dan cuek. Saat bertemu dengan orang-orang di tempat kerja, misalnya, suka atau nggak suka dengan mereka, mau nggak mau gue harus tetap bisa berlaku baik dan bersosialisasi dengan orang-orang tersebut. Artinya, gue jadi tau caranya menempatkan diri dan menempatkan ego. Sebab nggak semua bagian dari karakter dalam diri kita harus diikuti. Misalnya lagi, kalau gue orangnya tempramental, dan ada seseorang yang selalu memicu gue buat ngomong nggak baik karena nggak demen sama sikapnya, gue nggak harus menuruti ego gue untuk menampakan kebencian gue, kan. Padahal tu orang ada salah sama gue aja nggak.

Menjalani hidup sesuai dengan keinginan gue dan personality gue sebagai introvert nggak selamanya enak. Banyak suka dan dukanya, seperti yang gue ceritakan di atas. Dalam keadaan seperti ini, gue memang merasa sangat-sangat difasilitasi karena semua orang saling menjaga jarak, dan saling mengerti akan adanya batas dan privasi, sesuatu yang selama ini selalu gue agung-agungkan. Boundary, privacy, independency and freedom. Namun ternyata, perlahan-lahan gue malah jadi terkukung dalam dunia sendiri. Gue terlalu nyaman ada dalam zona ini. Satu-satunya yang bisa membuka mata gue lebar-lebar di tengah kesendirian ini hanyalah media sosial—yang sedihnya, menjadi sumber kesedihan dan insecurity terbesar dalam beberapa waktu. Untungnya gue masih punya temen yang bisa jadi tong sampah pikiran gue selama beberapa bulan ini, begitupun sebaliknya.

Gue sangat-sangat berharap semoga situasi ini nggak bertahan lama dan bisa segera pulih. Nggak tau lagi rasanya kalau di tahun depan nanti kita masih harus berurusan dengan virus, PSBB, protokol kesehatan, dsb.

Kalau teman-teman sendiri, gimana nih? Apa kesan dan pesannya selama pandemi? Baik sesama introvert ataupun ekstrovert ya😁.


Share
Tweet
Pin
Share
25 komentar
Being a Good Listener

Before you start reading this post, i'd like to apologize for any grammar and writing errors and i'm so sorry for the sudden appearance with this kind of post which is NOT SO me LOL. I've checked my writing using an app before publishing this so i can proofread and learn but, you know, sometimes such apps can't be trusted either😌. Well, i don't know why, but i feel like i have to improve my writing skill (esp. in English) so the idea to share this has suddenly just crossed in my mind. My friends keep telling me to not to be afraid over things that require mistakes to help us learn and grow—especially in learning foreign languages. So i encourage myself to write this as best as i can. Maybe next time i'll write one with Japanese😬. Semoga bisa sedikit mengobati rasa kangen (jiaah sapa juga yang kangen yak😆), dan memberi sedikit warna baru di blog gue. Cheerio! xx

o-o

I recently watched a video on YouTube whose created by my favorite musical actress ever. Her YouTube channel contains videos about music and light lessons, a kind of sharing videos with inspirational thoughts that help us to grow, to reflect, to think, to unlearn, to relearn, and to get to know more about ourselves and our lives. I actually have started some other videos before, but today i decided to go for episode 3 which is about Listen. 

I think it's such an interesting topic to talk about in my blog because you know... nobody is born the same way, nobody wakes up the same way, nobody goes to sleep the same way, nobody's days go exactly the same, even if you spend the entire day with someone. So, it really is the most amazing gift to be able to listen and to realize there's always different perspective of life that we have to listen to—aaaaaand to share with each other😜.

Speaking of listen, have you ever had a conversation that put yourself in situation to think 'i must give her/him some response' in order to make them feel comfortable or even only to assure them that you are being presented at the moment? I personally have been there for almost all the time—before i realized that such habits and attitudes are actually bad enough to have.

Why is it bad to have? 

Doesn't that mean we are being responsible for responding to them?

I know, for some people this might be the best solution to come up with another response just to make the others feel better, but you ended up not really listening to them because your brain is busy to accumulate and to adjust what kind of response will you say, what kind of advice that you want to give, without really hearing and understanding the context and the story. If you think you can still hearing what exactly they say while trying to find words to respond,  that would be good. But what if you're not? Here the thing is. 

Even since childhood, at school, we were trained to always answer every question that our teachers asked, without really knowing what the best answer to say was. Well, they never actually have us answer some questions without knowing the context, but we're unconsciously trained to become ones, weren't we? Every time our teachers ask some quizzes, instead of really hearing what they say and comprehending the topic, we're busy memorizing so many theories we have learned just to make the teacher feel satisfied with our answers. In fact, we didn't really listen to them. We were just busy thinking about the responses and answers that we should have given.

Now in conversation, again, we're often times thinking of the next thing that we're gonna say. Whatever they're saying, the sparking something in us that makes us want to speak. Here another misconception about good listening is when we listen and go 'oh, i understand, that happened to me!' then we always start going into our story. Even though we think we're saying 'oh yes, i totally understand! I hear you, i understand because...', this couldn't make our friends feel comfortable at all. As soon as you say 'because', it's now become about you and your story and there's nothing we can even learn about being a listener. Of course, there's a time for you and your story, but this might not be it. Not when you don't have the urge to say, and not when you are being needed. This might be the time that you're listening to somebody else.

For me, this kind of mindset can eventually lead us to become the selfish one, who doesn't really care of what others are feeling at the moment, and what they've been through that makes them wanna share their stories with us. Because in the end, it's all about us, not about them and the stories we have to listen to.

Have you ever imagined and reflected on yourself that everything happened in your life, after all these times, it's only about you, about your story, your ego, and your perspective? I mean, any time we get depressed and exhausted, maybe this isn't because of someone else that you think it is? Maybe it's all because of us who can't deal with the situations, people, and egos that have brought the negativity into our minds. This is why we have to really listen (even to ourselves) every now and then.

So how do we listen?

Listen without judgment, listen without coming up with the response that you're gonna already say. Just really listen. Train yourself to think, what if i'm listening to listen? Not listening to respond. 

Then choose to get quiet sometimes and hear all the voices that are talking to us constantly, the ego that telling us you aren't enough, and the ego that telling us you're the best thing that ever been. Yash, there's always some spectrum telling you to be this and that, to take the black side and the white side, being energized and exhausted. Therefore, we listen to be more aware that there is always something in between and it is the time to look at many different perspectives between the two sides.

Some may suggest you to meditate (as mentioned in the video), but since i've never tried this one, i'd like to advise us to sit down with the intention of listening to the only voice that is worthy of being listened to. 'That' voice always speaks to us. It's not just listening to listen, but it's listen to hear. 

Since Bandung has recently been in the rainy season, before goes to sleep, i usually pause myself for a moment to just listen to the sound of water droplets from pipes, the sound of crickets and other insects, or even the sound of the rain itself—to the extent that i can hear the sound of my own heart beat. Somehow, when i let myself to be involved and attached to everything around me, i feel more alive and being present. I feel like they're listening to me listening to them, and it becomes a cycle of listening. Eventually, when we are open to hearing, we will also be heard with openness.

This cycle actually also happens when we are in a situation as someone who wants to be heard. Before we share stories, in order to avoid some misunderstanding with one another, i think we should make sure our partners at first, what are we really want by telling them these stories, since there are many of us who have different concepts about listening. Do we just want to be heard? Or do we actually need support and advice to be more motivated? 

So, if you just want to be heard, tell them (IMO, this isn't the only way to tell someone how your feeling is); "I want to share this with you not because i want to give you such a heavy burden. I just want you to listen, so don't push yourself so much that you think you have to encourage me by saying kind words when you actually don't have to." 

However, if you expect them to respond to you, this could be a problem (or could be not) for you. Why? Because we can't control how people are going to react towards us, we can't get them to read our minds just because we share the stories.

So what can I say?

Tell them that you "might need their advice and encouragement," which may make you feel better, "but don't take this as a burden to you because i don't want you to feel that way. Take it easy and if you don't mind hearing me, i'll be very happy." Then, the rest we can do is do not put expectation too high on them because we already said it truthfully with openness. Is it possible for them to be open to hearing us? It is very possible because the cycle never ends.

You know people say a lot that we have to think twice before you speak, right? What if (at least start from now) we listen twice before we speak? Because sometimes, when we listen once and listen again, we hear it—of course, depends on the context in which occasion you are in and who you're talking to, but it is also worth to 'listen' twice before we speak. 

Lastly, we live on the same planet, but it's a completely different world. When you don't know what to do, listen. When you feel uncomfortable, listen. Not just listening to everybody around you, but 'listen' to the knowing inside of you. There's a knowing that might be telling you actually simply to listen. Who knows?


It is you who know.


Share
Tweet
Pin
Share
24 komentar
Newer Posts
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Bukan Salah Indonesia
  • Childfree yang Diperdebatkan
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Just Listen
  • Terlalu Besar Untuk Gagal

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

My Podcast

Newsletter

Get new posts by email:

Popular Posts This Week

  • Di Balik Angkasa
  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Become a Fighter
  • by.U: Solusi #SemuanyaSemaunya
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Goodbye Wasteful Life, Welcome Minimalism
  • Menjadi Manusia
  • Bukan Salah Indonesia
  • 2020 Wrapped: Top 3 Genre For You
  • Cuma Cerita #2

Blog Archive

  • ▼  2024 (2)
    • ▼  Oktober 2024 (1)
      • Posture Perfect: How Wearing a Waist Trainer Can I...
    • ►  Agustus 2024 (1)
  • ►  2023 (1)
    • ►  Februari 2023 (1)
  • ►  2022 (9)
    • ►  November 2022 (1)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (1)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  Maret 2022 (2)
    • ►  Februari 2022 (2)
  • ►  2021 (30)
    • ►  Desember 2021 (1)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  Juli 2021 (3)
    • ►  Juni 2021 (2)
    • ►  Mei 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  Maret 2021 (5)
    • ►  Februari 2021 (1)
    • ►  Januari 2021 (5)
  • ►  2020 (46)
    • ►  Desember 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  Oktober 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (10)
    • ►  Juli 2020 (8)
    • ►  Juni 2020 (4)
    • ►  Mei 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  Desember 2019 (3)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Agustus 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Februari 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Pengikut

Categories and Tags

Intermeso Krisis 1/4 Abad Opini Perempuan Podcast Poetry Review Thoughts digital marketing karir lifestyle slice of life

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.