Diberdayakan oleh Blogger.
  • Home
  • About
  • Lifestyle
  • Personal
    • Opini
    • Thoughts
    • Slice of Life
    • Poetry
    • Intermeso
  • Podcast
  • Review
instagram LinkedIn Spotify YouTube Email

Notes of Little Sister



caranya berteman dengan kegagalan


Pagi gue kali ini cukup melow. Entah kenapa secara gak sengaja tangan gue bergulir ke album di ponsel dan scrolling foto-foto dari mulai sekitar tiga tahun lalu, saat gue masih seneng-senengnya berorganisasi dan menyibukan diri dengan hobi yang baru saat itu—menulis indah aksara Jepang (Shuuji/Shodou). Kemudian pikiran gue teringat tentang suatu hal. 

Dari dulu, setiap kali gue ikut lomba atau kompetisi apapun, gue selalu gagal. Keberhasilan yang terakhir kali gue rasain mungkin pas SMA, itupun paling tinggi ya tingkat sekolah, alias ruang lingkupnya lebih kecil. Sejak lulus SMA itu, gue gak pernah tau gimana rasanya menang, literally menang. Di komunitas luar, gue sempat ikut beberapa lomba menulis cerpen, tapi juga gak pernah berhasil. Gue sadar sih, mungkin waktu itu tulisan gue memang belum bagus—sampe sekarang malah. Walaupun begitu, nyatanya kondisi itu gak cukup bikin gue lebih termotivasi untuk menulis, karena lagi-lagi gue berpikir gue nggak se-capable itu untuk lanjut menulis. Masih banyak orang yang lebih jago dibanding gue.

Saat gue masuk kuliah pun, kegagalan sepertinya jadi makanan rutin buat gue. Ikut lomba kaligrafi Jepang, gagal empat kali berturut-turut dalam empat tahun. Setiap kali gue daftar kegiatan tertentu yang mengharuskan ada persaingan, lagi-lagi gue juga gagal. Gue pernah ikut lomba News Anchor yang diselenggarain salah satu stasiun TV di kampus gue, gagal juga. Padahal itu salah satu bidang yang gue kuasain pas di SMA dulu. Gue ngedaftar kegiatan volunteer untuk pengabdian pun gagal di tahap wawancara. Bahkan, untuk bisa meraih level tertentu JLPT (Japanese Language Proficiency Test) yang menjadi keharusan gue sebagai mahasiswa di jurusan itupun harus gagal berkali-kali. FYI, gagal bagi gue gak serta merta harus juara 1, 2, atau 3, nope. Ketika gue bisa lolos paling nggak 10 besar atau 20 besar sekalipun, itu udah merupakan suatu pencapaian dan keberhasilan buat gue.

Apakah gue memang sebodoh itu? Apakah gue kurang berusaha? *Don’t try to encourage me coz i know exactly the damn answers are. Gue memang nggak cukup pintar dan kurang berusaha dalam hal itu. Tapi, untuk persoalan yang lain, gak peduli seberapa keras gue berusaha, gue seperti berlari menuju kegagalan itu sendiri. Bukan satu kali gue merasa selangkah lagi untuk bisa mencapai titik yang gue mau, tapi ibaratnya jalan itu seolah langsung dibelokan ke tempat dimana gue bertemu kembali dengan gagal. Herannya kayak ada aja alasan yang bikin gue gak maksimal di detik-detik terakhir. Mungkin satu-satunya keberhasilan yang gue bisa rasakan sampai sekarang ya kuliah. Sebab gue tau beratnya perjuangan di balik itu.

Awalnya gue gak bisa terima. Gue merasa bahwa gue seharusnya bisa memperoleh paling nggak secuil kabar baik akan usaha gue. Gue bingung, kenapa setiap kali gue berlatih keras, pada saatnya tiba gue malah terlihat seperti orang yang gak berusaha? Apa gue memang ditakdirkan untuk selalu gagal? Apa gue gak menekuni dengan baik apa yang sedang gue kejar?

Ternyata selama ini gue memang gak fokus dengan diri gue dan apa yang gue kejar. Gue mudah sekali ter-distract dengan kondisi di sekeliling gue. Bukannya fokus dengan apa yang sedang gue lakuin, gue malah fokus meniti kekurangan orang lain supaya gue bisa menambal itu dengan kelebihan gue, dan supaya gue bisa ada di depan mereka. Gue terlalu fokus mencari tahu apa yang orang lain sedang kerjakan daripada gue mencari tahu dimana salahnya gue, dan apa yang menjadi kelemahan gue. Gue optimis dengan cara yang salah, karena itu gagal adalah tempat yang tepat untuk gue bahkan sebelum perlombaan itu dimulai. Dulu waktu gue menang beberapa lomba pas kecil, gue hanya fokus memperbaiki segala kekurangan yang gue punya. Karena yang gue lihat di depan sana ya cuma jalan yang tenang dan panjang untuk gue maju, bukan barisan orang yang harus gue teliti satu persatu.

Seharusnya kita memang gak perlu terlalu mengglorifikasi persaingan. Seperti kata mas ini di twitter,


kita terbiasa dididik untuk apa-apa harus menang, apa-apa harus unggul dan nomor satu, bahkan untuk ngantri BLT aja semua orang jadi kesetanan sama uang, padahal ada di antrian belakang bukan berarti gak akan kebagian. Semua udah punya bagiannya. 

Gue pun secara nggak langsung membentuk diri bahwa pencapaian is a thing—pencapaian memang is a thing, tapi kalau sampai mikir bahwa hanya nomor satu yang bisa disebut pencapaian, hidup kita gak ada artinya. Bahkan mungkin kita gak tau apa aja nilai-nilai atau hikmah yang bisa kita punya untuk dijadiin sebuah pembelajaran. Apa sih gunanya pencapaian kalau gak membuat diri kita merunduk seperti padi?

Dari situ gue seperti diketuk, mengalami kegagalan berkali-kali justru membuat gue jadi orang yang gak lupa diri dan selalu mawas diri. Gue tau rasanya gagal, meaning gue akan lebih tabah (insya Allah) saat harus kembali gagal, also meaning gue bisa belajar untuk gak berharap lebih tinggi. Melainkan berusaha semampu gue dan fokus dengan apa yang gue bisa.

One of my favorite musical actress, Sierra Boggess, said; "you are enough, you are so enough, it's unbelievable how enough you are". Kita gak perlu menunjukan kepada orang lain sehebat apa kita sampai lupa bahwa berusaha menjadi versi terbaik dari diri sendiri sudah lebih dari cukup. Dia selalu mengatakan itu kepada dirinya sendiri sebelum tampil di panggung musikal, karena dia sadar gak ada yang perlu ditunjukan kepada orang lain, gak perlu berlebihan ingin jadi yang paling menonjol di atas panggung, cukup jadi diri sendiri dan—dalam konteks dia, bagikan cerita apapun yang pingin dibagikan terhadap orang-orang. Karena satu-satunya yang perlu dilakuin dalam kompetisi tak terbatas ini adalah melakukan yang terbaik yang kita bisa, semampu kita, no need to show off to people who don't even care who you are with those achievements.

Toh kalau gue gak mengalami serangkaian kegagalan itu, gue gak akan bisa nulis kayak gini. Gue gak tau caranya sabar dan ikhlas. Padahal segini belum ada apa-apanya dibanding petualangan gue nanti di tahun-tahun berikutnya, itu juga kalau gue panjang umur—Aamiin.

Oh iya, soal pernyataan gue yang bilang bahwa masih banyak orang yang lebih jago dibanding gue. Pikiran kayak gitu adalah sebuah kesalahan, jangan ditiru ya. Memangnya kenapa kalau ada orang yang lebih jago? Again, you are so enough. Gak ada yang menyuruh gue untuk lebih jago dari orang lain, yang ada adalah gue harus belajar banyak dari mereka yang hebat di luar sana. Toh semakin banyak orang yang menulis, semakin banyak kebaikan yang bekerja di bumi kita ini. 

Jadi, apa ada cara supaya kita bisa berteman dengan kegagalan?🤷🏻‍♀️

Bentar, nguap dulu. *Hoahh*😪

Garis besarnya seperti yang gue bilang di atas implicitly,  terima kenyataan bahwa kita akan selalu hidup di antara dua sisi, antara hitam dan putih, cahaya dan kegelapan, baik dan buruk, halus dan kasar, bersih dan kotor, juga keberhasilan dan kegagalan. Untuk mencapai tempat yang nyaman yang kita sebut pencapaian atau keberhasilan, kita akan selalu bertemu dengan kegagalan. The more failures you get, the more mature you will be. Because the more failures you face, the harder life you will go through. Semakin sering kita bertemu dengan kegagalan, make tameng yang kita punya untuk melewati hidup bakalan lebih kokoh.

Kuncinya ya sabar, even when you don't want to, you have to. Kalau gak sabar, gimana kita bisa ngelewatin rintangan berikutnya? Gimana kita bisa belajar? Bukannya kunci keberhasilan sendiri ya sabar dan berusaha?

"No, you might be wrong. Kunci keberhasilan itu ya kegagalan."

That's what i'm saying. Kegagalan itu ibarat tutup botol, cuma pembuka. Apa yang ada di dalam botolnya ya sabar dan usaha (dan juga do'a). Apa yang bisa menghilangkan dahaga lo adalah serangkaian usaha, kesabaran dan do'a-do'a yang lo curahkan.

Terakhir, sadari bahwa diri lo adalah seonggok manusia yang selalu kurang dan tidak sempurna. Butuh untuk dipoles. Semakin bagus polesannya, semakin baik hasilnya. Ketika lo gagal, tidak lantas lo menjadi seseorang yang hina dan penuh dosa, nggak. Lo hanya perlu refleksi diri dan evaluasi, apa yang kurang dalam diri lo dan berusaha untuk memperbaiki itu, tanpa memandang rendah orang lain, alias gak perlu sibuk kepo sama gimana cara orang lain melalui rintangannya.

Lastly but not least, i put the pic of quote below (hope it can motivates you) from my instagram account; Notes of Little Sister. You can click that link 👆🏼 to get more of my poems, another quotes and so on, since it is the Instagram's version of this blog😊

Akhir kata, semoga kita semua selalu menjadi orang-orang yang bersabar dan mau terus belajar. Terima kasih sudah berkunjung!🖤

Share
Tweet
Pin
Share
18 komentar

antara mimpi dan realita

Sudah lama sekali gue gak "bermimpi". Menjadi dewasa membuat tidur bahkan gak lepas dari realita. Mimpi hanya berisi tentang keresahan dan kekhawatiran soal urusan-urusan yang belum tuntas. Dulu, mudah saja mewujudkan apa yang kita cita-citain lewat mimpi, walaupun gak benar-benar terwujud, paling tidak gue tau rasanya jadi dokter dalam sekejap, gue tau rasanya jadi puteri kayak di film Disney, gue bahkan pernah ngerasain tinggal di dasar laut jadi putri duyung, gue tau rasanya ketemu idola dan bahkan sama-sama jadi artis, gue tau rasanya jadi penyanyi terkenal yang bikin konser world tour, gue tau rasanya keliling dunia—walaupun aneh, karena gue bisa berpindah-pindah negara literally dalam hitungan detik, gue tau rasanya jadi presiden yang negaranya cuma berisi orang-orang baik—dan anehnya—hidup berdampingan sama kurcaci-kurcaci di film Snow White, dan banyak hal yang mungkin gue belum bisa capai tapi gue pernah rasain lewat bunga tidur. Sekarang, mimpi gue cuma berpusat di kehidupan nyata selayaknya manusia pada umumnya yang permasalahannya seputar hubungan dengan orang-orang terdekat, percintaan, perkuliahan, perselingkuhan, ambisi, pekerjaan, berbagai persaingan, insecurity, dan tetek bengeknya. Semuanya udah gak asik lagi. Mungkin karena gue sudah lupa caranya berimajinasi, pikiran gue cenderung mengabaikan hal-hal menyenangkan tentang mimpi.

Sebenernya, apa sih artinya mimpi kalau toh kita masih harus bangun dan berhadapan dengan kenyataan yang mati-matian kita hindari? It's nothing. Kebahagiaan sesaat yang gue bisa dapatkan lewat tidur panjang bukan lagi sesuatu yang gue butuhkan, karena gue pada akhirnya akan tetap bangun seperti orang bodoh yang diliputi insecure dan anxiety soal masa depan. Bahkan saking serius dan fokusnya memikirkan kenyataan, gue pun jadi gak tau gimana caranya bermimpi, dan punya mimpi. Gue lupa gimana asiknya nge-list impian dan kerja keras buat dapetin itu. Kalian ngerasa gitu juga gak, sih?

Semakin dewasa kita cenderung hanya akan ngejalanin sesuatu sesuai arus, alias ngalir aja. Mau lulus kuliah? Ya tujuannya yang penting lulus, apalagi? Mau kerja? Yah, yang penting dapet uang, gak usah muluk-muluk. Cicilan ini itu jaman sekarang dan kedepannya pasti bakal makin mahal, walaupun sebisa mungkin gak pingin sih gue nyicil, moga aja rezekinya lancar terus kan, Aamiin:') Mau S2? Yaa karena temen-temen pada lanjut sekolah, ngerasa insecure aja kalau gak bisa naik pangkat karena cuma punya gelar S1. Terakhir, mau ngembangin hobi deh, biar keren dikit, tapi yaa itupun karena sulit buat dapat pekerjaan yang sesuai dengan passion dan jurusan.

Memiliki mimpi barang satupun sepertinya sesuatu yang berat banget dan mustahil buat diraih, karena kita semakin diperlihatkan dengan persaingan antar manusia yang semakin berat dan picik. Orang-orang bisa dengan mudah mencapai apa yang dia mau hanya karena privilege—salah satu kata yang paling sering disebut akhir-akhir ini. But it's true though, gue sampai lelah harus dihadapkan dengan kenyataan bahwa hanya orang-orang yang punya privilege yang bisa maju. Hasilnya, nepotisme ada dimana-mana. Tapi tenang, gue gak lagi pengen ngebahas privilege. Inti semuanya adalah tentang mimpi. Gue yang lupa dengan mimpi-mimpi, gue yang gak bisa bermimpi karena realita yang terlalu jelas dan sulit, atau mungkin kita, kita yang terlalu lelah memikirkan berbagai problema menjadi dewasa sehingga mimpi seolah hanya tercipta untuk anak-anak dan berakhir saat kita beranjak dewasa.

Sekarang kalau gue tanya, apa sih mimpi kalian? Mungkin gak semua orang bisa jawab. Mungkin beberapa ada yang termangu dan mendadak tersadarkan bahwa dirinya selama ini hidup tanpa mimpi. Gue pun lagi-lagi hanya ingat tentang mimpi yang dulu-dulu, karena untuk sekarang yang gue tau gue hanya mau ngejalanin apa yang gue suka dan bertanggungjawab atas hal-hal yang harus gue selesaikan. 

Namun sepertinya gue salah. Sampai disini, gue memutuskan buat simpan tulisan ini di draft selama berhari-hari karena tampaknya gue udah mulai emosional.😢

Share
Tweet
Pin
Share
8 komentar
This article belongs to the author, Risalatin Nisa, for academic purpose.
---

KKN Daring di masa pandemi covid-19


KKN Daring di masa pandemi


Sebagai mahasiswa di UPI Bandung semester 5 atau 6, pastinya sudah tidak asing dengan program KKN dari kampus bumi siliwangi sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat. Namun, saat pandemi melanda segala macam kegiatan akademik atau non akademik dibuat menjadi online. 

Loh, ternyata KKN tetap dilaksanakan via daring/online juga?? Dikira akan diundur atau ditiadakan karena sedang dalam masa pandemi covid-19. Apa bisa dilaksanakan dengan baik? Berbagai polemik pro dan kontra antara teman-teman mahasiswa pada saat akan dilaksanakan program KKN ini di bulan Mei lalu.

Pada tahun 2020 ini, UPI tetap melaksanakan program KKN seperti tahun-tahun sebelumnya, hanya saja ada yang berbeda pada tahun ajaran 2020 sekarang, tentu saja adanya wabah penyakit covid-19 yang telah menyebar luas di berbagai negara khususnya Indonesia. 

Berlatar belakang masa pandemi covid-19 saat ini, sebagai perguruan tinggi tentu harus ikut andil dalam percepatan penanganan dan pencegahan covid-19, bukan? Maka UPI berkontribusi dengan upaya sebagai tombak penanganan covid-19 di masyarakat melalui KKN. Lantas, apa sih KKN itu?

Singkatnya, Kuliah Kerja Nyata (KKN)  Tematik  merupakan  salah  satu  bentuk  pengabdian  kepada  masyarakat secara interdisipliner, institusional, dan kemitraan yang dilakukan oleh mahasiswa sebagai salah  satu  wujud  dari  tridharma  perguruan  tinggi. Sebagai perguruan tinggi yang ada di provinsi Jawa  Barat,  maka  UPI berkontribusi  dalam  pencegahan  dan penanganan  Covid-19  yang  sedang  mewabah di masyarakat.

Program tersebut dirumuskan oleh pihak LPPM di lingkungan UPI. Oleh karena itu, KKN ini dinamakan KKN Tematik Pencegahan Covid-19 untuk Mewujudkan Merdeka Belajar (KKN Tematik Covid-19 MMB). Untuk pelaksanaanya sendiri dilakukan selama 30 hari dalam waktu minimal 4 jam/hari, menjalankan 1 program wajib dan 2 program pilihan. 

KKN Tematik Covid-19 memiliki tema Edukasi Pencegahan Covid-19. Oleh karena itu, tidak heran jika program-program yang dilaksanakan berhubungan dengan edukasi kepada berbagai kalangan di masyarakat. 

Berikut daftar program KKN, yaitu: Pendataan masyarakat, Edukasi pencegahan Covid-19 bagi anak sekolah, Edukasi pencegahan Covid-19 bagi masyarakat, Program dengan kondisi lingkungan mahasiswa berada yang terkait dengan penanganan dan pencegahan Covid-19, dan Program-program  yang terkait dengan kebutuhan pencegahan Covid-19 Pemkot Bandung dan Pemkab Bandung.

Setelah mengetahui berbagai macam program KKN, melakukan pendaftaran, dan mengikuti pembukaan via zoom, akhirnya sebanyak 1.667 mahasiswa dari berbagai fakultas ikut turut andil dalam mengikuti program KKN Tematik Covid-19 pada tanggal 13 Mei 2020.

Alhamdulillah yaa setelah dilaksanakan kegiatan tersebut, melahirkan efek yang positif selain untuk masyarakat, tentunya juga untuk diri sendiri.

1. Menjadi lebih akrab dengan warga sekitar rumah

Ketika menjalankan program butuh dong interaksi dengan pihak RT sampai warganya. Sadar gak sih? Kalau selama ini karena terlalu sering beraktivitas di luar atau di rumah menjadi jarang berinteraksi dengan orang-orang di sekitar rumah.
 
Khususnya para generasi muda yang lebih senang bersosialisasi di media sosial dibanding real life, sehingga banyak yang mengalami “susah untuk berinteraksi” untuk ngobrol santai dengan tetangga atau bertegur sapa menjadi hal yang jarang dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat.
Padahal menjadi akrab dan saling mengenal satu sama lain adalah hal yang lumrah terjadi dan tentunya meningkatkan rasa saling tolong menolong.. contoh amit-amitnya saat ada kesusahan ya kan?
Tapi jangan lupa, jaga jarak selalu ok.

2. Kegiatan menjadi lebih tertata

Mengikuti KKN dan membuat laporan ini dan itu, harus membagi waktu dengan baik,j tidak tentu akan sangat berantakan segala macam tugas-tugas atau kegiatan yang lain, seperti kegiatan rumah dan kegiatan perkuliahan. 

Mulai membuat daftar pengingat, membuat jadwal harian, dan mengatur waktu seefektif mungkin, bisa membantu diri sendiri dalam memanajemen kegiatan yang lebih baik dalam sehari-hari. Hal ini juga mendukung agar pikiran tetap positif dan semangat untuk produktif di masa pandemi.

3. Menggunakan sosial media dengan baik

Tidak bisa dipungkiri terkadang berselancar di sosial media, membuat lupa segalanya. Melihat-lihat story sampe jadi iri, membuat status dari yang  sedang merasa senang tulus hingga katakan putus, atau stalking sampe leher miring. Apalagi kalor buka aplikasi instagram lalu merambat ke aplikasi belanja online, duh! Bisa-bisa konsumtif nih.. Kurang baik bukan?

Nah, salah satu program di KKN membuat informasi seputar pandemi saat ini  lalu berbagi di sosial media yang sedang digunakan tentunya diambil dari sumber tepercaya. Toh, secara tidak langsung sudah memberikan contoh menggunakan sosial media dengan baik loh! Contohnya membuat poster seperti ini: 


4. Meningkatkan kemampuan diri

Tuntunan KKN online. Membuat mahasiswa untuk aktif dan kreatif dalam berkarya. Masa gak memanfaatkan teknologi sih ditambah lagi pandemi gini, semua rata-rata serba online!

Rata-rata dari teman mahasiswa mengakui setelah mengikuti program KKN yang dilaksanakan secara daring menjadi lebih kreatif dan menambah ilmu tentang membuat poster, gambar edukasi, sampai membuat hand sanitizer juga loh!

5. Terhubung dengan orang-orang baru

Mengikuti KKN juga bisa menambah lingkar pertemanan dan terhubung dengan orang-orang baru karena bukan hanya dari satu jurusan atau fakultas saja  dalam satu kelompok, melainkan dari berbagai macam jurusan atau fakultas. Tentunya mereka juga pasti memiliki kemampuan yang berbeda, jadi bisa saling tukar informasi yang bermanfaat.

Setelah menjalani dan merasakan manfaat KKN online, ternyata selain membantu masyarakat ada juga untuk diri sendiri menjadi lebih baik. Berawal dari seperti membawa beban yang mungkin akan sulit diselesaikan menjadi hal yang menyenangkan. Jadi teringat kata-kata bijak dari Nelson Mandela, “It always seems impossible until it’s done”.  

Semoga kegiatan KKN dan berbagai macam program yang sudah dilaksanakan dengan baik dapat memberikan edukasi yang luas kepada semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali dan untuk wabah pandemi covid-19, segera berangsur-angsur pulih dan lekas membaik menjadi kehidupan normal seperti dahulu, Aamiin.

Share
Tweet
Pin
Share
10 komentar
Kenapa Kita Harus Berpikir Kritis?

Beberapa minggu lalu, gue menulis soal balada pertemanan dan hitam putihnya, yang membuat kita hanya bisa melihat sebuah sisi berdasarkan baik dan buruknya aja. Awalnya tulisan itu singkat, gak sampai satu jam gue selesain. Gue baca-baca dan renungin cukup lama buat gue putuskan apakah ini okay untuk diposting atau nggak, tapi karena ada beberapa statement yang menurut gue terlalu mengutamakan sudut pandang pribadi, gue check and re-check. Ternyata beberapa hal yang gue tulis memang terkesan cukup judgmental dan bahkan menentang akidah.

Dari situ gue berkesimpulan, gue tidak sekritis itu untuk bisa constantly menulis dengan research and data, i'm a human too who's  sometimes being too emotional over my perspective. Kemudian permasalahan soal critical thinking jadi berkelebat di kepala gue. Kebetulan sekali sudah beberapa hari ini gue malas buka twitter karena seringnya melihat menfess-menfess yang kebanyakan isinya mempertanyakan hal-hal yang too common dan gak perlu ditanyain alias bisa dicari sendiri. Di satu sisi, gue tahu itulah sebabnya kenapa menfess-menfess ada, gunanya ya buat menciptakan komunikasi lebih dari satu arah dan supaya bisa saling menginform diri. Di sisi lain, gue merasa banyak hal yang bisa kita cari sendiri sebelum kita tanya ke orang lain. That is what google has been created for, right? Tapi ternyata gak semua orang punya inisiatif ini. 

Beberapa orang lebih memilih bertanya langsung ke orang lain untuk mengisi lubang-lubang informasi di kepala mereka. Hal ini terlihat sederhana dan mudah, karena kita gak perlu ribet memproses berbagai istilah atau kalimat yang kita temui lewat bacaan. Cukup nyimak penjelasan orang lain, dengerin, perhatiin, udah deh kelar. Padahal kebiasaan ini bikin kita secara gak langsung jadi maunya selalu disuapin, maunya dikasih tutorial, dan buruknya membuat functional literacy kita stuck alias gak ada kemajuan.

Apa sih functional literacy itu?

Functional literacy is the ability to manage daily living and employment tasks that require reading skills beyond a basic level. Artinya, literasi fungsional ini adalah kemampuan untuk mengolah atau menangkap suatu isi dari bacaan, entah itu poster, artikel berita, formulir, job advertisements, dll. Gue yakin kemampuan literasi (the ability to read and write) orang Indonesia itu sebenarnya udah bagus, tapi ternyata gak sedikit yang gak bisa langsung memahami maksud dari apa yang mereka baca. This means, functional literacy-nya rendah.

Hal ini yang bikin kita seringkali harus baca sampai berulang-ulang, dan bahkan harus bertanya ke orang lain yang bisa menjelaskan lebih detail supaya kita bisa ngerti sama isi bacaan tersebut. Nah, functional literacy ini bisa kita tingkatkan dengan melatih critical thinking kita.

Tapi nih, bukan berarti bertanya kepada orang lain itu kegiatan yang jelek, ya. Terkadang malah orang yang banyak bertanya itu sebenarnya kritis. Mereka punya keingintahuan yang besar dan gak malu untuk mempertanyakan hal-hal yang memancing rasa ingin tahu mereka. Sayangnya terkadang ada beberapa situasi dimana seseorang mempertanyakan hal yang sebelumnya bisa dia cari tahu sendiri. Nah, gue pingin ngajak kalian supaya membiasakan diri untuk mandiri dalam berpikir, tapi juga gak malu untuk bertanya tentang sesuatu kepada ahlinya. Bukankah segala sesuatu itu perlu keseimbangan? Koi Fresco said, balance is the key to everything. What we do, think, say, eat, feel, they all require awareness and through this awareness we can grow.

Apa itu critical thinking?

Berpikir kritis adalah kemampuan untuk berpikir dengan lebih jelas, rasional, dan mampu menganalisis fakta untuk membentuk sebuah penilaian, argumen, atau kesimpulan. Basically, it's thinking about thinking, memikirkan hal-hal tertentu untuk bisa mencapai solusi atau kesimpulan terbaik dalam situasi yang kita sadari. Berpikir kritis bukan berarti cukup dengan mengakumulasikan fakta dan pengetahuan hanya pada satu kali pencarian terus kita bisa pakai itu selamanya. Nggak. Semuanya tentang proses; proses mengumpulkan data dan fakta, dan proses berpikir. Seperti teknologi, setiap dekade pasti selalu ada hal baru yang kita terima karena penelitian gak cuma berhenti pada satu penemuan. 

Semakin banyak bacaan yang kita baca, akan semakin banyak kita berpikir, dan proses untuk mencapai kesimpulan akan semakin bijak, karena kita gak asal comot satu sumber buat menuhin isi kepala. Semua itu yang dinamakan berpikir kritis. Oh iya, critical thinking ini adalah metacognitive skill —> a higher level cognitive skill that involves thinking about thinking.

Kenapa sih kita harus berpikir kritis?

Gue akan membagi ini ke beberapa hal, alasan kenapa critical thinking penting untuk kita miliki dan apa keuntungan yang bisa kita dapetin. Pertama, critical thinking bisa memerdekakan cara berpikir kita. Kita bisa lebih mandiri dalam berpikir, tahu mana hal yang bisa diterima mana yang nggak, masuk akal atau nggak, dan nggak terkukung pada inherited opinion; sesuatu yang kita terima dari orangtua, kakek, nenek, atau buyut, misalnya soal mitos kalau duduk di palang pintu bikin kita jauh dari jodoh. Jelas, gue gak mengajari kalian untuk membangkang orangtua, tapi disini maksudnya adalah kita jadi bisa lebih aware akan adanya mitos-mitos dan memiliki keinginan untuk mencaritahu kebenaran di balik itu. Mandiri dalam berpikir ini juga membantu kita terhindar dari yang namanya manipulasi, entah lewat media massa, media sosial, modus penipuan uang atau pyramid scheme (semacam MLM). Otomatis kita pun memiliki opini yang lebih well-informed. Karena kita tau informasi apa saja yang bisa kita terima, meaning kita jadi gak gampang dibodohi oleh berita hoax plus twit buzzer-buzzer gak jelas yang isinya tukang fitnah. Apalagi dalam situasi pandemi kayak sekarang, kelihatan banget kan, mana golongan orang yang berpikir lebih kritis dan mana yang cuma mengandalkan berita dari grup chat whatsapp. Kita seperti lebih ditantang untuk mampu menerima beberapa fakta berdasarkan sains, contohnya diam di rumah karena gak mau menularkan virus kepada orang sekitar, bukan karena lebih takut corona daripada Tuhan. In order to have a democracy and to prove scientific facts, we need criticial thinking in this world. Teori harus didasari oleh pengetahuan, bukan cuma asumsi.

Kedua, kemampuan bahasa dan presentasi kita meningkat. Supaya bisa mengekspresikan diri, kita harus tahu caranya berpikir secara lebih jelas dan terstruktur. Nah, critical thinking also means knowing how to break down texts, and in turn, improve our ability to comprehend. Again, to comprehend, karena basicly berpikir kritis itu adalah tentang memahami apa aja yang kita baca dan dengar, and trying to reduce unimportant things and all noises. Contohnya saat presentasi di depan kelas menggunakan powerpoint, kita akan otomatis terbiasa menjelaskan langsung isi teks yang ada di ppt itu dengan gaya bahasa kita, bukan cuma bacain audiens teks tanpa penjelasan lebih lanjut. Sehingga hal inipun bisa membuat kita tampil lebih percaya diri dan gak perlu takut gak bisa ngomong dan gak bisa mikir pas lagi presentasi atau seminar depan dosen, karena semua hal penting yang kita pahami udah tercatat jelas di luar kepala. Bonusnya, kemampuan public speaking kita bisa lebih meningkat. Interesting!

Selanjutnya, berpikir kritis membuat kita lebih open-minded (kata yang paling terkenal jaman sekarang), artinya sadar dan menerima akan adanya pendapat atau argumentasi lain yang mendukung analisis atau proses berpikir kita. Dalam proses terbukanya pikiran ini, ketika kita mencari tahu dan menemukan banyak fakta, informasi yang datang pasti akan banyak dari setiap sisi. Nah, mengapa kita perlu memiliki critical thinking skill adalah agar kita bisa memutuskan sendiri yang mana yang harus kita percayai. Remember, critical thinking memungkinkan kita untuk memastikan bahwa pendapat kita didasarkan pada fakta dan membantu kita memilah-milah dan membuang bias yang ada. Jadi, buat orang-orang yang udah merasa open-minded, apakah kalian sudah bisa menerima adanya bias dan argumentasi lain atau justru cuma bisa nerima satu fakta baru? Karena yang gue lihat nih, sekarang banyak orang yang ngeklaim diri mereka open-minded tapi cenderung keukeuh sama sudut pandangnya, misal, ada orang yang ngedukung komunitas tertentu dan memperjuangkan hak-hak mereka, tapi di sisi lain gak menerima akan fakta bahwa ada orang-orang yang gak bisa satu suara sama mereka. That's not how your "open-minded" works.

Keempat, critical thinking skill bisa membuat kita berpikir lebih kreatif—definitely. Akan ada banyak sekali ide yang muncul di kepala disebabkan kita yang rajin mengolah informasi dan mencaritahu banyak hal. Pola pikir kreatif ini bisa bikin kita jadi problem solver yang andal. Kedengarannya terlalu iklan, sih, but seriously, lo jadi gak perlu kebingungan untuk melakukan sesuatu yang membutuhkan kreativitas lebih tinggi karena pikiran lo terbiasa untuk memikirkan dan memilah berbagai hal untuk keluar dari blunder dan menemukan solusinya. 

Better decision making, adalah salah satu yang gak kalah penting dalam skill ini. Berpikir kritis membantu kita untuk bisa deal dengan berbagai masalah yang datang dalam hidup kita, karena gak cuma mereduksi berbagai bias dan noises dalam nuance saat berinteraksi dengan orang lain, tapi juga membantu kita mereduksi berbagai pilihan dengan pertimbangan yang matang saat mengambil keputusan. Seringkali untuk memutuskan hal-hal tertentu kita kebingungan sendiri dan bahkan gak percaya dengan diri sendiri. Dalam hal ini, bukan cuma berpikir independen yang dibutuhkan, critical thinking also helps us to trust our gut feeling to make the best choices. 

Terakhir dari gue, gak akan bermakna rasanya kalau berpikir kreatif ini gak memberi pengaruh apapun terhadap proses lo memaknai hidup. Without critical thinking, how can we really live a meaningful life? Kita akan sangat membutuhkan skill ini untuk self-reflect dan membenarkan cara hidup kita plus cara kita memandang suatu hal. Indeed, with think, you'll know how to act, tapi itu aja gak cukup. With critical thinking, you know how to have a good life with good actions.

Seperti yang lo lihat, semuanya saling berkaitan dan sebenarnya banyak banget yang belum gue tulis. Tapi intinya udah jelas, betapa pentingnya buat kita memiliki critical thinking, apalagi di era ini. Berpikir kritis gak cuma membenarkan cara berpikir kita dan bagaimana kita memproses berbagai informasi yang diserap, tapi juga bisa membangun kita menjadi pribadi yang lebih bijak, tentunya dengan proses. Seseorang yang dicap kritis dalam berpikir gak selamanya begitu, keterampilan ini bisa memudar kalau kita gak rajin mengasah dan membiasakan. Lama-lama dia akan pudar juga kalau kita menutup diri dari berbagai situasi yang bisa mendorong cara berpikir kita, apalagi kalau kita sengaja melakukan itu karena udah merasa cukup kritis. Eits, jangan. Dalam hal ini, merasa cukup aja gak cukup. Lo harus terus merasa haus supaya lebih banyak lagi pengetahuan yang terkumpul di dalam kepala lo. Anyways, semoga infonya bermanfaat, ya! Kalau ada yang mau nambahin, dengan senang hati silakan masukan di kolom komentar. Gue akan ngebahas gimana caranya berpikir kritis di postingan selanjutnya, stay tuned!☺


Share
Tweet
Pin
Share
4 komentar
Papuan Lives Matter

Istilah privilege lagi hangat-hangatnya diperbincangkan di Twitter, bersamaan dengan kasus George Floyd di US dan gerakan #BlackLivesMatter yang sekarang digalakan hampir di setiap negara. Menurut gue, dua-duanya sama berkaitan, dan bahkan terjadi hampir di seluruh belahan dunia. Oleh karena itu, let's talk about this for a few minutes.

Gerakan Black Lives Matter yang diawali dengan kasus rasialisme yang menimpa George Floyd di Amerika seakan menyulut kebungkaman orang-orang yang bernasib sama; korban colorism dan racism. Sekaligus menampakan betapa brutalnya aksi aparat kalau menyangkut dengan warna kulit suatu kelompok, begitupun dengan Indonesia. 

Sebelum itu, gue mau kasih tahu dulu apa bedanya rasisme, rasialisme, dan colorisme. Menurut Oliver C. Cox, rasisme merupakan peristiwa, situasi yang menilai berbagai tindakan, dan nilai dalam suatu kelompok berdasar perspektif kulturalnya yang memandang semua nilai sosial masyarakat lain di luar diri mereka itu salah dan tidak dapat diterima. Sementara rasialisme berarti keyakinan akan keberadaan dan signifikansi perbedaan rasial, tetapi belum tentu ada hierarki antara ras. Rasialis biasanya menolak klaim superioritas rasial. A racialist, however, may simply prefer to date people within his or her own race because they believe other races will be incompatible. Sederhananya, rasisme adalah tindakan atau akibat dari rasialisme yang merupakan doktrin dan telah ada sebelum istilah rasisme itu sendiri muncul. Namun sebenarnya untuk persoalan rasisme dan rasialisme sendiri terdapat beberapa perbedaan pemahaman, ada yang mengatakan bahwa rasisme adalah sebuah ideologi atau pemahaman yang mendasari rasialisme, ada juga yang mengatakan bahwa rasialisme itu sinonim dari rasisme. However, i prefer the first one, dan menurut gue, keduanya sama-sama berbahaya karena bisa menjadi manifestasi dari diskriminasi yang terjadi di sekitar kita. Salah satunya diskriminasi berdasarkan warna kulit; colorism. An author and activist Alice Walker defined colorism as “prejudicial or preferential treatment of same-race people based solely on their color”. She is the person most often credited with first using the word colorism, out loud and in print.

Kemarin gue baru aja lihat artikel yang berisi tentang respon pemerintah bahwa isu rasisme yang sekarang lagi memanas di AS gak perlu dikait-kaitkan dengan masalah Papua karena sama sekali gak ada kaitannya. Gue agak terperangah, karena berani sekali beliau ini bersikap denial dengan isu tersebut. 


We didn't mention that everything happens in Papua caused only by racism, but this issue is actually happening for over decades even oppressed the Papuans intentional or unintentionally. Gue tahu permasalahan di Papua bukan hanya didasari oleh rasialisme, pertumbuhan ekonomi yang lamban, pembangunan yang tidak merata, etc, tapi kita gak bisa mengelak bahwa permasalahan soal rasisme itu hidup di dalamnya. Ruang rasisme bisa tumbuh hampir di setiap negara, apalagi di Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, bahasa, budaya dan adat istiadat. Dari sekian ratus juta orang di negara ini nggak mungkin semua hidup aman damai tanpa sepotong pemikiran merasa superior to other race. Gue kasih tau aja ya, di lingkungan gue tinggal seringkali beberapa orang rasis terhadap orang Batak (yang merupakan ras proto-melayu) karena karakternya yang dikenal keras, kalau ngomong nggak bisa pelan, dan kebanyakan suka makan anjing. Image seperti itu tertanam hampir di kepala setiap orang yang bukan berasal dari suku batak, artinya rasisme bisa terjadi kapanpun dan dimanapun, tanpa kita sadari, because accepting stereotype and discriminate people by their race and skin color without realizing it, is a form of racism and being a racist.

Masalah rasisme dan colorisme gak hanya terjadi di Amerika, Selandia Baru, London, Jerman, dan negara-negara Eropa sana, tapi juga di Indonesia. Kalian gak lupa kan dengan kasus penangkapan mahasiswa Papua di Surabaya tahun lalu yang berujung diputusnya akses internet di Papua? Atau mungkin ada yang belum tau? Geez, man. Makanya kita harus sesekali buka mata dengan isu kemanusiaan di sekitar kita, sekalipun gue tahu, melelahkan sekali melihat berita di Indonesia yang gak jauh-jauh dari tingkah lucu pemerintah dan orang-orang di bawahnya.

Pada tahun 2016, Obby Kogoya, seorang mahasiswa Papua di Yogyakarta dikejar, ditangkap, dan dipukuli oleh polisi saat akan mengikuti sebuah aksi protes. Fakta yang paling memilukan adalah foto yang disebarkan menunjukkan hidungnya ditarik oleh polisi dan tangannya diborgol. Sementara pada bulan Agustus tahun lalu, tepatnya hari kemerdekaan Indonesia, sekitar empat puluh tiga mahasiswa ditangkap oleh polisi atas tuduhan perusakan bendera merah putih di depan asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Asrama tersebut ditembaki gas air mata, dan didepan pagarnya dijaga ketat oleh beberapa anjing penjaga yang membuat mahasiswa tersudutkan dan secara tidak langsung ditekan. Beberapa kata rasis juga kerap dilontarkan oleh mereka, bersamaan dengan lemparan batu, dan yang membuat geram adalah tindakan penyerangan itu dilakukan tanpa investigasi sama sekali sebelumnya, alhasil tidak ditemukan bukti apapun yang menguatkan bahwa mahasiswa-mahasiswa ini adalah pelaku perusakan bendera tersebut. Hal-hal seperti ini sering terjadi namun penegakan hukum terhadap pelanggaran rasis dan HAM terhadap Papua seringkali bias dan tidak kunjung diselesaikan. Berdasarkan tulisan yang dimuat di The Jakarta Post, peristiwa ini menimbulkan kerusuhan di Papua dan Papua Barat yang menyebabkan setidaknya 33 kematian dan pemindahan “sekitar 8.000 orang asli Papua dan orang Indonesia lainnya,” menurut LSM Human Rights Watch. Sejak itu, lebih banyak polisi telah dikerahkan ke Papua. Namun, kasus ini hanya satu dari sekian banyak dalam sejarah pelanggaran terhadap orang Papua, termasuk pembunuhan orang Papua di Enarotali pada 2015 dan di Wamena pada 2012. Kekerasan seringkali disertai dengan kekerasan, seperti apa yang terjadi di Amerika Serikat.

What's so funny about this, pemerintah memutus akses internet di Papua sebagai tindakan untuk meredam massa dan mencegah penyebaran tindakan provokatif di dunia maya untuk mempercepat proses pemulihan keamanan. Polisi sebagai instansi yang seharusnya paham hukum pun sebaliknya malah lebih fokus mengusut penyebaran video rasis yang dilakukan oleh anggotanya karena tindakan tersebut dianggap sebagai tindakan provokatif dan curang. Tindakan pemerintah itupun justru menekan kebebasan orang Papua untuk mengekspresikan rasa frustrasi mereka atas diskriminasi rasial kepada media atau masyarakat internasional. Kebebasan mereka seakan dibungkam begitu saja, seolah-olah Papua menjadi yang paling terbelakang dan dianggap tidak bisa berbuat apa-apa jika pemerintah pusat telah menggunakan kekuasaannya. Ironisnya, walaupun Papua kaya akan sumber daya alam, provinsi tersebut memang menjadi yang terbelakang, khususnya dalam fasilitas pendidikan dan kesehatan. 

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), persentase perpustakaan sekolah di Papua kurang dari 40 persen, sedangkan di provinsi lain lebih dari 50 persen. Selanjutnya, partisipasi sekolah adalah yang terendah di antara semua provinsi pada tahun 2017, yaitu 80,69 persen. Papua juga memiliki tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia pada tahun 2018, yaitu 27,43 persen, dibandingkan dengan Jakarta yang hanya sebesar 3,55 persen. Mungkin bagi kita, masalah ini hanyalah milik pemerintah dan tugas mereka untuk terus melakukan pembangunan secara berkala di tanah Papua, but this kind of thinking is partly due to the privilege of being born non-Papuan. Tidak mendapatkan perlakuan yang sama seperti apa yang menimpa orang Papua hanya karena memiliki ras berbeda dan warna kulit gelap adalah suatu privilege.

Sekarang gue ingatkan lagi kalian dengan sosok Fathur, mantan ketua BEM UGM yang sempat ramai di pemberitaan dengan "keberaniannya" mengkritik pemerintah pada aksi demokrasi mahasiswa Gejayan Memanggil September lalu. Sosoknya dielu-elu dan mendapat dukungan positif dari berbagai media, termasuk eksistensinya di media sosial diterima dengan sangat baik. Tadinya gue pikir ini adalah sebagian dari achievement dia, rezeki dia, tapi kalau kita membandingkan dengan kondisi Ferry Kombo yang juga adalah mantan Ketua BEM Universitas Cendrawasih, that my friend, is really the privilege of having lighter skin and being non-Papuan. Ferry Kombo dituntut atas tuduhan pasal makar dalam aksi unjuk rasa di Kota Jayapura, Papua pada Agustus 2019 lalu, buntut tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. Dia bersama enam tahanan politik lainnya juga mendapat tuntutan hingga belasan tahun. 

Berkaca pada kondisi tersebut, kasus George Floyd dan orang-orang Papua di Indonesia justru memiliki kesamaan. Mereka sama-sama korban dari rasisme sistematik. Karena sikap rasis bersarang di kepala aparat, mereka sebagai instansi yang berwenang lantas menggunakan kekuatan secara berlebihan bahkan untuk menghadapi isu-isu 'remeh', persis seperti yang terjadi pada George Floyd. Dia dibekuk polisi karena tuduhan membayar menggunakan uang palsu saat belanja di minimarket. Contoh yang cukup signifikan untuk menunjukan perbedaan perlakuan dari aparat terhadap orang Papua adalah, pelapor pada kasus perusakan bendera merah putih di Surabaya itu hanya dijatuhi hukuman penjara selama lima bulan, sementara Ferry Kombo, yang memimpin aksi unjuk rasa akibat kasus tuduhan perusakan bendera itu dituntut hukuman sepuluh tahun penjara. Pada kasus-kasus tuduhan makar sebelumnya pun, beberapa tertuduh hanya dijatuhi hukuman rata-rata selama lima bulan penjara. Padahal kalau memang dicurigai sebagai makar, hukuman yang diberikan bisa lebih dari itu, meaning bahwa ketimpangan hukum masih terasa jelas tumpulnya di negara kita.


Kalimat-kalimat ujaran rasis seperti menyebut orang berkulit hitam dengan nama binatang, dan "becandaan" bernada sarkas semacam; kamu cantik kayak orang Papua, yang mana merujuk pada warna kulit juga menunjukan bagaimana isu colorisme sangat kentara hidup di tengah-tengah kita. Orang-orang terbiasa dengan stereotip bahwa orang kulit putih/terang lebih wangi daripada orang berkulit hitam/gelap, orang kulit terang lebih cantik dan rupawan daripada mereka yang berkulit gelap. Sedihnya, stereotip ini harus didukung dengan realitas bahwa selebritis, pembawa acara, pembaca berita, influencer, sampai para aktivis yang disorot media selalu mereka yang berwarna kulit terang. Karena hal itu, gak sedikit orang yang berpikir bahwa orang berkulit hitam nggak bisa menjadi representasi yang baik untuk tampil di ruang publik. Sampai-sampai tingkat intelektual seseorang bisa ditentukan hanya karena warna kulitnya, just because Papuans are educationally and economically backward. 

Segala hal yang kita saksikan dan hidup di tengah-tengah kita secara nggak langsung mendiskriminasi orang atau kelompok tertentu berdasarkan warna kulit and we get used to it after all these times. Bahkan produk-produk kecantikan yang diperjualbelikan seperti mendukung adanya opresi terhadap perbedaan warna kulit, karena orang yang berkulit gelap seakan dipaksa untuk memakai produk mereka—walaupun kebebasan membeli atau tidak terletak pada kontrol diri sendiri, tetapi model-model yang mengiklankan produk mereka selalu orang-orang yang berkulit putih dan terlihat "menjual",  tanpa sadar dirinya adalah representasi dari colorisme. Terlepas dari itu, gue sih berterimakasih sama beberapa produk kosmetik yang willing untuk open terhadap isu ini dengan memperluas warna atau shade dari produk mereka, dan bahkan nggak segan memberi kesempatan terhadap model-model yang berwarna kulit gelap sebagai bagian dari perubahan.

Gue harap tulisan ini bukan sekadar dianggap kata-kata bual yang bisa dilupakan begitu aja. Sebaliknya, apa yang gue sampaikan bisa dipahami dan direnungi bahwa permasalahan rasisme/rasialisme dan diskriminasi golongan tertentu, dalam hal ini berdasarkan warna kulit, adalah isu kemanusiaan yang melemah di sekitar kita tapi sangat jarang didiskusikan. Malah semakin banyak orang yang mengkotak-kotakan perilaku atau kebiasaan orang lain berdasarkan ras, etnik, dan golongannya. Kita lupa bahwa manusia punya hak yang sama untuk hidup dan memperoleh kenyamanan, tanpa memandang apa warna kulitnya, dari mana dia berasal, dari suku atau ras apa dia lahir, dan apa keturunannya. Untuk apa HAM atau Human Rights ada jika pada akhirnya manusia bisa hidup sesuai dengan apa yang dia mau dengan menganggap orang yang tidak sama dengan dirinya adalah inferior alias lemah?

Mengutip kembali dari The Jakarta Post, with the recent death of George Floyd and the uprising of the Black Lives Matter movement, now, more than ever, is a time to reevaluate Indonesia's own racism and colorism. It would be a shame if we were to be abhorred by the situation in the United States, but remain blind to what happens in our country.

Terakhir, i put the link where you can get more information about Papua. You can also sign petition and donate here: We Need to Talk About Papua.


Sumber:
  • https://www.thejakartapost.com/academia/2020/06/04/papuan-lives-matter-george-floyd-and-colorism-in-indonesia.html
  • https://theconversation.com/lets-talk-more-about-racism-in-indonesia-123019
  • https://asiatimes.com/2019/08/rasicm-to-papuans-humanity-law-enforcement-history-and-momentum-of-independence/
  • https://tirto.id/kasus-rasisme-represi-seperti-george-floyd-berulang-di-indonesia-fEB6

Share
Tweet
Pin
Share
4 komentar
Newer Posts
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Bukan Salah Indonesia
  • Childfree yang Diperdebatkan
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Just Listen
  • Terlalu Besar Untuk Gagal

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

My Podcast

Newsletter

Get new posts by email:

Popular Posts This Week

  • Di Balik Angkasa
  • by.U: Solusi #SemuanyaSemaunya
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Become a Fighter
  • Goodbye Wasteful Life, Welcome Minimalism
  • Menjadi Manusia
  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • How I See Feminist as a Muslim
  • 2020 Wrapped: Top 3 Genre For You
  • Romantisisasi Generasi 90-an

Blog Archive

  • ▼  2024 (2)
    • ▼  Oktober 2024 (1)
      • Posture Perfect: How Wearing a Waist Trainer Can I...
    • ►  Agustus 2024 (1)
  • ►  2023 (1)
    • ►  Februari 2023 (1)
  • ►  2022 (9)
    • ►  November 2022 (1)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (1)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  Maret 2022 (2)
    • ►  Februari 2022 (2)
  • ►  2021 (30)
    • ►  Desember 2021 (1)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  Juli 2021 (3)
    • ►  Juni 2021 (2)
    • ►  Mei 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  Maret 2021 (5)
    • ►  Februari 2021 (1)
    • ►  Januari 2021 (5)
  • ►  2020 (46)
    • ►  Desember 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  Oktober 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (10)
    • ►  Juli 2020 (8)
    • ►  Juni 2020 (4)
    • ►  Mei 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  Desember 2019 (3)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Agustus 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Februari 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Pengikut

Categories and Tags

Intermeso Krisis 1/4 Abad Opini Perempuan Podcast Poetry Review Thoughts digital marketing karir lifestyle slice of life

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.