Diberdayakan oleh Blogger.
  • Home
  • About
  • Lifestyle
  • Personal
    • Opini
    • Thoughts
    • Slice of Life
    • Poetry
    • Intermeso
  • Podcast
  • Review
instagram LinkedIn Spotify YouTube Email

Notes of Little Sister



Papuan Lives Matter

Istilah privilege lagi hangat-hangatnya diperbincangkan di Twitter, bersamaan dengan kasus George Floyd di US dan gerakan #BlackLivesMatter yang sekarang digalakan hampir di setiap negara. Menurut gue, dua-duanya sama berkaitan, dan bahkan terjadi hampir di seluruh belahan dunia. Oleh karena itu, let's talk about this for a few minutes.

Gerakan Black Lives Matter yang diawali dengan kasus rasialisme yang menimpa George Floyd di Amerika seakan menyulut kebungkaman orang-orang yang bernasib sama; korban colorism dan racism. Sekaligus menampakan betapa brutalnya aksi aparat kalau menyangkut dengan warna kulit suatu kelompok, begitupun dengan Indonesia. 

Sebelum itu, gue mau kasih tahu dulu apa bedanya rasisme, rasialisme, dan colorisme. Menurut Oliver C. Cox, rasisme merupakan peristiwa, situasi yang menilai berbagai tindakan, dan nilai dalam suatu kelompok berdasar perspektif kulturalnya yang memandang semua nilai sosial masyarakat lain di luar diri mereka itu salah dan tidak dapat diterima. Sementara rasialisme berarti keyakinan akan keberadaan dan signifikansi perbedaan rasial, tetapi belum tentu ada hierarki antara ras. Rasialis biasanya menolak klaim superioritas rasial. A racialist, however, may simply prefer to date people within his or her own race because they believe other races will be incompatible. Sederhananya, rasisme adalah tindakan atau akibat dari rasialisme yang merupakan doktrin dan telah ada sebelum istilah rasisme itu sendiri muncul. Namun sebenarnya untuk persoalan rasisme dan rasialisme sendiri terdapat beberapa perbedaan pemahaman, ada yang mengatakan bahwa rasisme adalah sebuah ideologi atau pemahaman yang mendasari rasialisme, ada juga yang mengatakan bahwa rasialisme itu sinonim dari rasisme. However, i prefer the first one, dan menurut gue, keduanya sama-sama berbahaya karena bisa menjadi manifestasi dari diskriminasi yang terjadi di sekitar kita. Salah satunya diskriminasi berdasarkan warna kulit; colorism. An author and activist Alice Walker defined colorism as “prejudicial or preferential treatment of same-race people based solely on their color”. She is the person most often credited with first using the word colorism, out loud and in print.

Kemarin gue baru aja lihat artikel yang berisi tentang respon pemerintah bahwa isu rasisme yang sekarang lagi memanas di AS gak perlu dikait-kaitkan dengan masalah Papua karena sama sekali gak ada kaitannya. Gue agak terperangah, karena berani sekali beliau ini bersikap denial dengan isu tersebut. 


We didn't mention that everything happens in Papua caused only by racism, but this issue is actually happening for over decades even oppressed the Papuans intentional or unintentionally. Gue tahu permasalahan di Papua bukan hanya didasari oleh rasialisme, pertumbuhan ekonomi yang lamban, pembangunan yang tidak merata, etc, tapi kita gak bisa mengelak bahwa permasalahan soal rasisme itu hidup di dalamnya. Ruang rasisme bisa tumbuh hampir di setiap negara, apalagi di Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, bahasa, budaya dan adat istiadat. Dari sekian ratus juta orang di negara ini nggak mungkin semua hidup aman damai tanpa sepotong pemikiran merasa superior to other race. Gue kasih tau aja ya, di lingkungan gue tinggal seringkali beberapa orang rasis terhadap orang Batak (yang merupakan ras proto-melayu) karena karakternya yang dikenal keras, kalau ngomong nggak bisa pelan, dan kebanyakan suka makan anjing. Image seperti itu tertanam hampir di kepala setiap orang yang bukan berasal dari suku batak, artinya rasisme bisa terjadi kapanpun dan dimanapun, tanpa kita sadari, because accepting stereotype and discriminate people by their race and skin color without realizing it, is a form of racism and being a racist.

Masalah rasisme dan colorisme gak hanya terjadi di Amerika, Selandia Baru, London, Jerman, dan negara-negara Eropa sana, tapi juga di Indonesia. Kalian gak lupa kan dengan kasus penangkapan mahasiswa Papua di Surabaya tahun lalu yang berujung diputusnya akses internet di Papua? Atau mungkin ada yang belum tau? Geez, man. Makanya kita harus sesekali buka mata dengan isu kemanusiaan di sekitar kita, sekalipun gue tahu, melelahkan sekali melihat berita di Indonesia yang gak jauh-jauh dari tingkah lucu pemerintah dan orang-orang di bawahnya.

Pada tahun 2016, Obby Kogoya, seorang mahasiswa Papua di Yogyakarta dikejar, ditangkap, dan dipukuli oleh polisi saat akan mengikuti sebuah aksi protes. Fakta yang paling memilukan adalah foto yang disebarkan menunjukkan hidungnya ditarik oleh polisi dan tangannya diborgol. Sementara pada bulan Agustus tahun lalu, tepatnya hari kemerdekaan Indonesia, sekitar empat puluh tiga mahasiswa ditangkap oleh polisi atas tuduhan perusakan bendera merah putih di depan asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Asrama tersebut ditembaki gas air mata, dan didepan pagarnya dijaga ketat oleh beberapa anjing penjaga yang membuat mahasiswa tersudutkan dan secara tidak langsung ditekan. Beberapa kata rasis juga kerap dilontarkan oleh mereka, bersamaan dengan lemparan batu, dan yang membuat geram adalah tindakan penyerangan itu dilakukan tanpa investigasi sama sekali sebelumnya, alhasil tidak ditemukan bukti apapun yang menguatkan bahwa mahasiswa-mahasiswa ini adalah pelaku perusakan bendera tersebut. Hal-hal seperti ini sering terjadi namun penegakan hukum terhadap pelanggaran rasis dan HAM terhadap Papua seringkali bias dan tidak kunjung diselesaikan. Berdasarkan tulisan yang dimuat di The Jakarta Post, peristiwa ini menimbulkan kerusuhan di Papua dan Papua Barat yang menyebabkan setidaknya 33 kematian dan pemindahan “sekitar 8.000 orang asli Papua dan orang Indonesia lainnya,” menurut LSM Human Rights Watch. Sejak itu, lebih banyak polisi telah dikerahkan ke Papua. Namun, kasus ini hanya satu dari sekian banyak dalam sejarah pelanggaran terhadap orang Papua, termasuk pembunuhan orang Papua di Enarotali pada 2015 dan di Wamena pada 2012. Kekerasan seringkali disertai dengan kekerasan, seperti apa yang terjadi di Amerika Serikat.

What's so funny about this, pemerintah memutus akses internet di Papua sebagai tindakan untuk meredam massa dan mencegah penyebaran tindakan provokatif di dunia maya untuk mempercepat proses pemulihan keamanan. Polisi sebagai instansi yang seharusnya paham hukum pun sebaliknya malah lebih fokus mengusut penyebaran video rasis yang dilakukan oleh anggotanya karena tindakan tersebut dianggap sebagai tindakan provokatif dan curang. Tindakan pemerintah itupun justru menekan kebebasan orang Papua untuk mengekspresikan rasa frustrasi mereka atas diskriminasi rasial kepada media atau masyarakat internasional. Kebebasan mereka seakan dibungkam begitu saja, seolah-olah Papua menjadi yang paling terbelakang dan dianggap tidak bisa berbuat apa-apa jika pemerintah pusat telah menggunakan kekuasaannya. Ironisnya, walaupun Papua kaya akan sumber daya alam, provinsi tersebut memang menjadi yang terbelakang, khususnya dalam fasilitas pendidikan dan kesehatan. 

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), persentase perpustakaan sekolah di Papua kurang dari 40 persen, sedangkan di provinsi lain lebih dari 50 persen. Selanjutnya, partisipasi sekolah adalah yang terendah di antara semua provinsi pada tahun 2017, yaitu 80,69 persen. Papua juga memiliki tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia pada tahun 2018, yaitu 27,43 persen, dibandingkan dengan Jakarta yang hanya sebesar 3,55 persen. Mungkin bagi kita, masalah ini hanyalah milik pemerintah dan tugas mereka untuk terus melakukan pembangunan secara berkala di tanah Papua, but this kind of thinking is partly due to the privilege of being born non-Papuan. Tidak mendapatkan perlakuan yang sama seperti apa yang menimpa orang Papua hanya karena memiliki ras berbeda dan warna kulit gelap adalah suatu privilege.

Sekarang gue ingatkan lagi kalian dengan sosok Fathur, mantan ketua BEM UGM yang sempat ramai di pemberitaan dengan "keberaniannya" mengkritik pemerintah pada aksi demokrasi mahasiswa Gejayan Memanggil September lalu. Sosoknya dielu-elu dan mendapat dukungan positif dari berbagai media, termasuk eksistensinya di media sosial diterima dengan sangat baik. Tadinya gue pikir ini adalah sebagian dari achievement dia, rezeki dia, tapi kalau kita membandingkan dengan kondisi Ferry Kombo yang juga adalah mantan Ketua BEM Universitas Cendrawasih, that my friend, is really the privilege of having lighter skin and being non-Papuan. Ferry Kombo dituntut atas tuduhan pasal makar dalam aksi unjuk rasa di Kota Jayapura, Papua pada Agustus 2019 lalu, buntut tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. Dia bersama enam tahanan politik lainnya juga mendapat tuntutan hingga belasan tahun. 

Berkaca pada kondisi tersebut, kasus George Floyd dan orang-orang Papua di Indonesia justru memiliki kesamaan. Mereka sama-sama korban dari rasisme sistematik. Karena sikap rasis bersarang di kepala aparat, mereka sebagai instansi yang berwenang lantas menggunakan kekuatan secara berlebihan bahkan untuk menghadapi isu-isu 'remeh', persis seperti yang terjadi pada George Floyd. Dia dibekuk polisi karena tuduhan membayar menggunakan uang palsu saat belanja di minimarket. Contoh yang cukup signifikan untuk menunjukan perbedaan perlakuan dari aparat terhadap orang Papua adalah, pelapor pada kasus perusakan bendera merah putih di Surabaya itu hanya dijatuhi hukuman penjara selama lima bulan, sementara Ferry Kombo, yang memimpin aksi unjuk rasa akibat kasus tuduhan perusakan bendera itu dituntut hukuman sepuluh tahun penjara. Pada kasus-kasus tuduhan makar sebelumnya pun, beberapa tertuduh hanya dijatuhi hukuman rata-rata selama lima bulan penjara. Padahal kalau memang dicurigai sebagai makar, hukuman yang diberikan bisa lebih dari itu, meaning bahwa ketimpangan hukum masih terasa jelas tumpulnya di negara kita.


Kalimat-kalimat ujaran rasis seperti menyebut orang berkulit hitam dengan nama binatang, dan "becandaan" bernada sarkas semacam; kamu cantik kayak orang Papua, yang mana merujuk pada warna kulit juga menunjukan bagaimana isu colorisme sangat kentara hidup di tengah-tengah kita. Orang-orang terbiasa dengan stereotip bahwa orang kulit putih/terang lebih wangi daripada orang berkulit hitam/gelap, orang kulit terang lebih cantik dan rupawan daripada mereka yang berkulit gelap. Sedihnya, stereotip ini harus didukung dengan realitas bahwa selebritis, pembawa acara, pembaca berita, influencer, sampai para aktivis yang disorot media selalu mereka yang berwarna kulit terang. Karena hal itu, gak sedikit orang yang berpikir bahwa orang berkulit hitam nggak bisa menjadi representasi yang baik untuk tampil di ruang publik. Sampai-sampai tingkat intelektual seseorang bisa ditentukan hanya karena warna kulitnya, just because Papuans are educationally and economically backward. 

Segala hal yang kita saksikan dan hidup di tengah-tengah kita secara nggak langsung mendiskriminasi orang atau kelompok tertentu berdasarkan warna kulit and we get used to it after all these times. Bahkan produk-produk kecantikan yang diperjualbelikan seperti mendukung adanya opresi terhadap perbedaan warna kulit, karena orang yang berkulit gelap seakan dipaksa untuk memakai produk mereka—walaupun kebebasan membeli atau tidak terletak pada kontrol diri sendiri, tetapi model-model yang mengiklankan produk mereka selalu orang-orang yang berkulit putih dan terlihat "menjual",  tanpa sadar dirinya adalah representasi dari colorisme. Terlepas dari itu, gue sih berterimakasih sama beberapa produk kosmetik yang willing untuk open terhadap isu ini dengan memperluas warna atau shade dari produk mereka, dan bahkan nggak segan memberi kesempatan terhadap model-model yang berwarna kulit gelap sebagai bagian dari perubahan.

Gue harap tulisan ini bukan sekadar dianggap kata-kata bual yang bisa dilupakan begitu aja. Sebaliknya, apa yang gue sampaikan bisa dipahami dan direnungi bahwa permasalahan rasisme/rasialisme dan diskriminasi golongan tertentu, dalam hal ini berdasarkan warna kulit, adalah isu kemanusiaan yang melemah di sekitar kita tapi sangat jarang didiskusikan. Malah semakin banyak orang yang mengkotak-kotakan perilaku atau kebiasaan orang lain berdasarkan ras, etnik, dan golongannya. Kita lupa bahwa manusia punya hak yang sama untuk hidup dan memperoleh kenyamanan, tanpa memandang apa warna kulitnya, dari mana dia berasal, dari suku atau ras apa dia lahir, dan apa keturunannya. Untuk apa HAM atau Human Rights ada jika pada akhirnya manusia bisa hidup sesuai dengan apa yang dia mau dengan menganggap orang yang tidak sama dengan dirinya adalah inferior alias lemah?

Mengutip kembali dari The Jakarta Post, with the recent death of George Floyd and the uprising of the Black Lives Matter movement, now, more than ever, is a time to reevaluate Indonesia's own racism and colorism. It would be a shame if we were to be abhorred by the situation in the United States, but remain blind to what happens in our country.

Terakhir, i put the link where you can get more information about Papua. You can also sign petition and donate here: We Need to Talk About Papua.


Sumber:
  • https://www.thejakartapost.com/academia/2020/06/04/papuan-lives-matter-george-floyd-and-colorism-in-indonesia.html
  • https://theconversation.com/lets-talk-more-about-racism-in-indonesia-123019
  • https://asiatimes.com/2019/08/rasicm-to-papuans-humanity-law-enforcement-history-and-momentum-of-independence/
  • https://tirto.id/kasus-rasisme-represi-seperti-george-floyd-berulang-di-indonesia-fEB6

Share
Tweet
Pin
Share
4 komentar

Sepertinya udah terlampau sering gue mention soal kehidupan personal yang gak terlalu suka berteman dengan banyak orang, agak pilih-pilih dan individualis, tapi gak pernah sekalipun gue mention betapa gue sangat menghargai pertemanan. Sebuah rasa yang gak bisa dengan mudah diekspresikan dan gak jarang salah diinterpretasikan oleh teman-teman gue.

Kehilangan tampaknya selalu jadi musuh buat setiap orang, karena sifatnya selalu melekat dengan perpisahan. Akhir-akhir ini gue sedang merasa kehilangan sosok-sosok terdekat yang dulu pernah mengisi hari-hari gue di masa sekolah. Gue punya beberapa teman dalam satu geng, dari SD sampai SMA, tapi hanya beberapa yang sampai saat ini masih get in touch, itupun jarang. Banyaknya hilang, atau yang menyedihkannya; keberadaan gue sudah dianggap tidak ada. Beberapa menghilang karena situasi yang mengharuskan kita berpencar dan hilang kontak, beberapa diputuskan oleh hubungan—yang setelah gue pikir-pikir sekarang cukup toxic sebetulnya. Dan ini adalah salah satu kenyataan dari kehilangan teman yang paling menyakitkan yang gue miliki, karena harus melibatkan perasaan orang lain bahkan sampai bikin sakit hati.

Entah kenapa dulu gue sebucin itu untuk mau aja nurut apa kata eks untuk menjauhi teman-teman gue yang menurutnya "gak cukup baik", wadda hell man. Pepatah "main dengan tukang minyak wangi akan kecipratan wanginya" seakan mengekang kita untuk hanya melihat dunia di atas hitam dan putih, karena banyak orang yang masih salah kaprah soal ini. Gue repeat ya, masih banyak orang yang salah kaprah dan gak bisa secara bijak mengartikan kalimatnya. Indeed, nasihat itu gak datang secara sembarangan karena termasuk hadits yang menjelaskan tentang cara memilih teman atau bagaimana kita menentukan pertemanan. Tapi yang gue rasa, negatifnya kebanyakan dari kita malah jadi buta mata dan hati enggan melihat sisi baik yang mungkin dimiliki si jahat. Kita jadi nggak bisa menghargai mereka-mereka yang ada di pihak antagonis karena yang kita tahu orang jahat gak boleh ditemanin—yang mana membawa kita pada sifat iblis; merasa diri lebih baik dari orang lain. Kebayang gak  sih gimana rasanya memakan bulat-bulat sesuatu tanpa dikunyah lamat-lamat? Seret, sesak, sakit dada. Itu juga yang terjadi kalau kita asal melahap sesuatu tanpa mau memaknai dan menyerap maksudnya. Secara gak langsung kita akan bisa menyakiti diri sendiri akibat ketidaktahuan kita. Berkumpul dengan orang-orang sholeh adalah anjuran yang mestinya kita laksanakan, tapi gak lantas membuat kita bisa dengan mudahnya menilai orang lain berdasarkan apa yang terlihat. Remember that people can change. Orang jahat bisa berubah, pun orang baik. Allah yang Maha Tahu Maha membolak-balikan hati kita.

Gak ada yang bisa mengelak, main sama anak baik-baik yang sholeh dan sholeha, sholat tepat waktu dan rajin sedekah akan secara gak langsung membawa positive vibe untuk kita melakukan hal yang sama. Tapi sis, soal hidup gak selamanya tentang bawang merah dan bawang putih. Gak semua hal hanya tentang hitam dan putih. Ada banyak spektrum warna yang bisa kita lihat, dan bisa kita pilih yang mana yang mau kita lihat. Gue yakin Allah pun gak ingin kita merasa congkak dan tinggi derajatnya dari orang-orang yang dianggap buruk. Allah gak pingin kita mengambil alih tugas-Nya atas menghakimi perilaku manusia lain.

Sampai sekarang gue masih nggak mengerti kenapa teman-teman gue dulu ini dianggap buruk. Cara ngomongnya? Cara bergaulnya? Man, gue menemukan yang lebih buruk dari itu di dunia perkuliahan, kalau memang itu yang jadi standard penilaian. Apa teman-teman gue menjerumuskan ke dunia gelap? Nah, dunia gelap kami cuma sebatas ngerumpi di kamar tanpa diterangi cahaya lampu. Apa teman-teman gue ini bikin gue malas dan bodoh di kelas? Nggak juga, sampai gue lulus dari sekolah, gue masih jadi salah satu yang terbaik di kelas dan mungkin bawa nama baik kelas gue satu sekolah. Terus, apa mereka bikin gue menjauh dari hobi gue dan waktu-waktu produktif gue? Lagi-lagi nggak, gue tetep seneng nulis, bahkan beberapa tulisan gue dulu sebelum dipost selalu gue kasih ke temen gue, dan gak ada tuh perkataan yang melemahkan gue. Mereka selalu support gue. Beberapa pertanyaan di atas adalah ciri-ciri dari pertemanan atau hubungan yang toxic. Jadi, setelah jawaban-jawaban gue di atas, apa bisa disimpulkan teman-teman gue dulu toxic?

Katakanlah ada semacam ketakutan bahwa gue akan terbawa ke hal-hal yang negatif—yang masih gue gak ngerti bagian mana negatifnya, itupun nggak jadi alasan untuk seseorang lantas ikut campur dengan kehidupan sosial seorang lainnya. Gue kenal dengan teman-teman gue ini sebelum gue punya pacar, malahan mereka yang ngedukung gue, but was that how they got paid for being friends? Gue yang punya wewenang atas diri gue sendiri, termasuk dalam memilih teman. Even kalau memang orang-orang di sekitar gue adalah orang-orang yang dicap tidak baik, gue masih punya kuasa untuk diri gue menentukan mana yang pantas dan tidak. Gue akan bisa memilah mana yang baik dan buruk, karena gue gak sebodoh itu untuk terjebak dalam spektrum yang dengan gampangnya mengkotak-kotakan perilaku orang.

Despite all that, manusia selalu punya sisi baik dan buruk dalam dirinya. Kita punya berbagai macam jenis perasaan dan kepribadian yang kadang bisa berubah-ubah. Tukang minyak wangi gak selamanya wangi, begitupun tukang angkut sampah gak selamanya bau sampah. Di antara bawang putih dan bawang merah ada bawang bombay yang seringkali terlupakan.

Dari perpisahan yang satu itu, gue belajar bahwa memanusiakan manusia ada banyak caranya. Termasuk bagaimana kita memandang seseorang tanpa harus terkukung dalam pola hitam dan putih, serta baik dan buruk adalah salah satu cara menghargai bahwa manusia sebagai makhluk sosial dan hamba sahaya adalah individu yang tidak luput dari kesalahan dan gak selamanya suci dari dosa. Lagipula, siapa sih kita yang berhak menilai seseorang baik dan buruk? Kenapa kita gak bisa lebih luas lagi melihat segala sesuatu yang ada dan berusaha lebih bijak menyikapinya? Bukankah kehadiran kita dalam hidup siapapun adalah sebagai momen untuk saling berkembang ke arah yang lebih baik? Terkadang kita memang harus menerima realita yang ada bahwa menjadi muslim tidak berarti kita lantas sempurna, sesempurna agamanya.

Sekarang, sebisa mungkin gue mempertahankan apa yang gue punya. Kerabat, sahabat, teman-teman, entah mereka merasakan hal yang sama ke gue atau nggak, tapi yang jelas memiliki mereka sampai detik ini adalah salah satu rasa syukur gue yang gak bisa diungkapkan lewat kata-kata. Lagipula, lingkar pertemanan gue udah cukup kecil, gak sanggup rasanya kalau harus kehilangan lagi.
Share
Tweet
Pin
Share
6 komentar

Menghadapi situasi pandemic di tahun 2020

You know, it's a nightmare, actually. 

Beberapa bulan lalu, gue baru aja start untuk kembali menata kehidupan yang semakin gak jelas dan gak terarah. Gue mulai bisa menerima semua yang terjadi dalam hidup gue berangsur-angsur, seperti ngejalanin praktik lapangan (PPL) dengan senang hati, dengan legowo, dan mulai semangat ngerjain skripsi yang tertunda lebih dari tujuh bulan lamanya—which has become a nightmare already for me. Gue mulai kembali menemukan versi diri gue yang dulu, yang gak mau pusing dan ribet dengan segala kecemasan diri, dan gampang lepas landas di arena tanpa banyak mikir. Ada tugas, yaudah babat, and turned out it was quite fun to do! Sibuk gue jadi lebih berharga. Gue hanya harus mengakhiri semua ini lebih cepat, pikir gue.

But then a real nightmare called covid-19 came to us. Saat gue lagi seneng-senengnya dateng ke sekolah dan bertemu dengan teman-teman yang menyenangkan, saat gue lagi semangat-semangatnya pergi ke perpustakaan buat skripsian, karena suasananya yang bikin tenang dan gak bikin gue pengen main medsos terus kayak di kosan. Awalnya gue masih optimis, it's not that bad to stay at home and doing anything online. I mean.. why not? This is what the digital era created for. Gue pikir gue masih bisa mengerjakan semuanya dari balik layar laptop. Literally, semuanya. Tapi ternyata ngerjain semuanya via online gak lantas bikin gue lebih semangat. Gue emang introvert akut, yang benci lama-lama ada di tempat keramaian, tapi diam di rumah untuk alasan pandemi gue rasa jadi mimpi buruk buat setiap orang. Kita jadi gak tenang. Banyak gelisah, bingung, stress, memikirkan rencana-rencana yang baru aja dibangun dan harus ditunda. Rasanya kayak diangkat setinggi-tingginya terus dijatuhin sekeras-kerasnya ke tanah. Gue seperti lagi dipermainin sama hidup; "nah kan, kena deh lu!" dan harus membangun rencana yang lain yang sesuai dengan kondisi sekarang—yang buat gue cukup menguras banyak pikiran dan kesehatan mental gue. I'm not saying i have an anxiety disorder or something because i haven't gone to an expert but this all chaos that's happening right now makes me mentally ill and tired. Gue selalu mulai mengerjakan sesuatu dengan emosi, dengan marah, dan dengan berat hati, apalagi kalau hal yang harus gue kerjain dirasa gak masuk akal dan mempersulit diri. Kalau bukan dinasehati berkali-kali dan berusaha menenangkan diri, gue mungkin gak akan mengerjakan satupun. Pekerjaan juga jadi terbengkalai. Padahal belum sebulan gue merasa bangga dan super seneng bisa juggling dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya. I did even make money from my job. Pada akhirnya yang gue lakukan kebanyakan cuma diem. Sisanya paling milih ngejalanin hobi, kayak nyanyi-nyanyi, baca buku, nulis-nulis/bikin puisi-puisian, yang sama sekali gak ada hubungannya dengan segala pekerjaan yang harus gue selesain. Gue kembali nge-down, ngerasa depresi, stress, bahkan pas mau mulai ngerjain sesuatu gue terkadang ngerasa mual dan jijik duluan, yang pada akhirnya gak bikin gue bertindak apa-apa. Semua ini udah sampai pada titik dimana gue gak lagi mau mikirin keadaan orang lain di luar sana yang jauh lebih terpuruk menghadapi situasi pandemi hanya untuk bikin gue merasa lebih baik. Of course gue bersimpati, but it just doesn't work well for me. Setiap orang pasti punya struggle-nya masing-masing dan inilah bentuk perjuangan yang harus gue lalui.

Gue tahu, semuanya terkesan drama dan berlebihan. I also kept thinking that it was only me who felt  that way, it was only me who thought i am the only one, it was only me who couldn't get over it, karena sepanjang yang gue lihat, banyak orang yang seperti biasa aja ngejalanin kegiatan mereka di tengah pandemi, khususnya di lingkungan sekitar gue, masih banyak dari mereka yang lancar-lancar aja melalui semester akhirnya. Tapi semakin gue pikirin, semakin gue sadar bahwa lagi-lagi hidup kita gak bisa disamain dengan orang lain. Langkah kaki kita gak mesti selalu sama dengan orang lain. There are things that just don't go easy for some people and they always have a reason for that.

Pelan-pelan gue menata diri lagi. Membiarkan semuanya berjalan dengan damai dan tenang. Apalagi ketemu bulan suci Ramadhan, gue harus bisa lebih tabah dan husnudzon sama Yang Maha Pemberi Hidup. Beberapa pertanyaan perlahan mendapat jawaban. Terkadang, kita memang harus membiarkan semuanya mengalir dengan sendirinya. Terkadang kita hanya harus berjalan di atas pilihan yang sudah kita buat sendiri. Lalu jalanin apa yang ada di hadapan. Bergelut dengan segala kekhawatiran hanya bikin harapan dan rencana kita semakin tertunda. Dan lo tau gak sih lucunya apa? Bisa aja semua ini bagian dari akal busuk setan dan antek-anteknya untuk buat kita menjauh dari apa yang seharusnya diri kita bisa perbuat; ikhlas dan sabar.

2020 mungkin memang mimpi buruk buat kita semua. Bahkan mungkin 2020 jadi satu-satunya tahun yang ingin dilupakan semua orang di belahan dunia, tapi kita juga nggak bisa ngelak it gives us so many lessons to learn. Kita jadi sadar betapa banyak waktu yang terbuang hanya untuk ngejar kenyamanan urusan dunia sampai rela bertarung dengan carut marutnya, kita jadi lebih menghargai waktu-waktu bersama keluarga yang selama ini jarang didapat, plus waktu-waktu bersama kolega, temen-temen dan sahabat yang justru sering nyita kesibukan kita di luar sana. Kita jadi semakin membuka mata bahwa kesehatan itu nomor satu dan penting untuk dijaga, either kesehatan mental atau fisik kita, dan bahkan dengan kenyataan bahwa kita masih bernapas dengan baik saat bangun di pagi hari adalah sesuatu yang sekarang ini amat sangat disyukuri. 

So, ini pasti akan berakhir, insya Allah. Walaupun perjuangan kita sekarang lebih soal menghadapi sesama manusia yang egoismenya lebih besar daripada virus itu sendiri, gue percaya masih ada orang-orang waras di luar sana yang tetap sanggup menahan diri untuk nggak ikut-ikutan nyemplung di jalanan yang macet. Biarlah beauty vlogger dan suaminya yang viral itu lalai, asal kita jangan. Inget, asal kita jangan.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
rasanya menjadi dewasa di era digital
This photo is belong to this incredible Japanese photographer: Akine Coco

Usia sepertinya memang bisa selalu menipu dan bikin gelisah. Terlebih untuk gue yang di usia sekarang ini masih clueless soal masa depan, akan jadi apa setelah lulus nanti. Berkali-kali gak habis pikir bisa menyentuh angka 21 tahun. Dari kecil, gue memang selalu melihat orang dewasa sebagai superior dan "tua". Orang-orang yang dewasa pasti hebat karena pernah melalui berbagai macam problema dalam hidupnya, tanpa pernah berpikir gue suatu saat akan dewasa. Percayalah, ketika menjadi dewasa seperti sekarang, rasanya bener-bener aneh. Sampai sekarang gue masih amazed ketika ngeliat temen yang udah nikah, yang udah kerja, yang udah buka usaha dan sukses—walaupun gue gak tau tolak ukur kesuksesan itu apa, tapi bagi gue mereka udah sukses menjadi orang dewasa, karena gue seringkali masih merasa seperti anak kecil, seakan-akan raga gue tertinggal 10 tahun yang lalu di tempat tidur, masih pake piyama dan tidur dengan mimpi panjang.

Seharusnya gue bersyukur bisa diberi kesempatan untuk beribadah dan memperbaiki diri oleh Allah, sehingga gue bisa mencicipi bagaimana pula rasanya hidup sebagai orang dewasa, yang harus bisa mandiri, yang harus bisa mengontrol segala perasaan yang muncul, yang harus bisa menjaga perasaan orang lain, yang harus bisa mengerti manusia lainnya, yang harus bisa mencari solusi dari setiap masalah sendiri, yang harus menangis sendiri saat orang-orang pergi dengan segala misi pribadinya, yang harus dihadapkan dengan segala sistem dan peraturan yang kadang gak masuk akal, dan yang harus lainnya.

Entah keadaan yang memaksa gue untuk jadi dewasa bahkan sebelum waktunya, atau memang gue hanya sedang menyangkal bahwa gue sebetulnya sudah cukup dewasa untuk merasa dewasa. Keduanya mungkin bisa iya atau nggak. Iya, gue dewasa sebelum waktunya, karena harus menghadapi gimana rasanya jadi anak broken home sedari kecil, sekaligus anak pertama yang mau nggak mau beban dan segala kesedihan dipeluk sendiri. Bisa juga nggak, karena gue mungkin hanya merasa menjadi orang dewasa itu sucks. Banyak hal yang diribetin, yang dibawa pusing, yang dibawa perasaan, yang gak bisa dibikin santai.

Dulu, saat masih kecil, perjalanan panjang di dalam bus atau kereta selalu menyenangkan karena gue bisa belajar banyak hal dari sekitar. Belajar mengamati orang-orang dewasa dengan segala tampang semrawut dan cueknya, memperhatikan pak supir dan kondekturnya yang seakan gak mengenal lelah nganterin penumpang, juga ngeliat objek-objek di jalanan sana. Pemandangan alam dan kehidupan selalu asik buat kita perhatiin sampe ngantuk. Sekarang, perjalanan sepanjang apapun nggak banyak yang bisa dinikmati kecuali pikiran yang bergulat sendiri. Mikirin kerjaan numpuk, deadline yang berdekatan, mikirin pasangan yang nggak ngehubungin kita, mikirin ortu dan keluarga di rumah, mikirin teman-teman di lingkungan kerja atau mereka yang menghilang total dari kehidupan kita, mikirin gaji yang serasa gak cukup buat memenuhi kebutuhan, semuanya menjadi lebih kompleks buat sekadar dipikirin. Belum lagi kenyataan bahwa kita hidup di jaman dimana perlombaan antar manusia seakan menjadi lebih jelas kelihatannya, sehingga banyak kekhawatiran-kekhawatiran yang datang tanpa diundang.

Dulu juga, saat masih kanak-kanak, gue ngerasa segala tindak tanduk gue gak berpengaruh untuk orang banyak. Apa yang gue lakuin semua murni dari hati, atau paling nggak karena pingin menang piala, dapet snack dan hadiah. Namun pada prosesnya, gue gak butuh pengakuan orang lain untuk membuat gue bisa berjalan di arena gue. Sekarang, semuanya berbanding terbalik. Gue merasa orang-orang seringkali terlalu ikut campur di arena balap gue, bikin semua yang gue kerjakan serasa tumpang tindih, antara niat, ambisi, dan emosi untuk bisa menghalau omongan-omongan gak mengenakan. Padahal bisa saja itu semua cuma sugesti gue, walaupun gak bisa dipungkiri, menjadi dewasa berarti mau nggak mau memang harus menerima banyak omongan pahit yang datang dari lingkungan sekitar. Semakin kesini, bahkan bukan cuma omongan yang datang dari mulut perseorangan lah yang jadi pressure, hal-hal abstrak dari pikiran sendiri pun bisa jadi tekanan. Misalnya, mudah iri ketika melihat orang-orang di luar sana yang udah selangkah lebih maju daripada gue. Mudah frustrasi karena merasa bahwa gue satu-satunya orang yang tertinggal. Beberapa hal itu seringkali gue alami di media sosial, yang parahnya, selama ini gue justru gak sadar bahwa dengan hal itu gue sudah menekan diri sendiri akibat kebodohan yang gak bisa mem-filter apapun yang gue lihat di media sosial.

Realita hidup di era digital memang lumayan pedih untuk orang-orang dewasa yang punya banyak problema. Kalau kita gak pintar memanfaatkan media sosial yang ada, bisa habis diri sendiri dibuat depresi karena kehidupan chill and gaul yang dipertontonkan orang lain. Omong-omong, kenapa gue sangkut pautin sama media sosial? Karena benda tak berbentuk itu buat gue pribadi cukup memberi pengaruh dalam keberlangsungan hidup gue. Terkhusus sisi gue yang akhir-akhir ini sering melo dan galau mengkhawatirkan masa depan. Gak jarang media sosial justru menyita waktu gue yang teramat berharga, padahal isinya cuma scrolling dan swipe gak jelas ngelihat hidup orang lain satu per satu.

Seperti di seri Black Mirror episode Nosedive, gue nggak menemukan alasan kenapa hidup kita harus diukur dari rank atau rating, dan kenapa ini harus mempengaruhi status sosio-ekonomi kita. Kalau rating kita di media sosial ada di bawah 3, maka jangan harap bisa dapat akses dengan mudah untuk pergi ke tempat-tempat tertentu. Bahkan untuk tinggal di apartemen mewah aja seseorang harus terdaftar di atas 4,5. Kalau sampai rate-nya turun, bisa-bisa diusir dari tempat tinggalnya sendiri. Kita memang gak sampai disana—atau belum, tapi dari seri itu gue belajar bahwa hidup harus berjalan sesuai dengan kapasitas kita, dan harus ada di bawah kendali kita. Jangan jadi Lacie yang sebegitu terobsesinya dengan rating tinggi sampai lupa diri sendiri, lupa saudara, lupa kalau dia juga manusia yang punya harga diri, yang bisa merasakan emosi, yang gak harus selalu pura-pura tersenyum dan ceria hanya untuk dapat rating tinggi setiap kali berinteraksi dengan orang lain, yang punya kebebasan buat melakukan apapun yang dia mau—ofc, selama itu baik. Jangan juga jadi Naomi yang dibutakan oleh peringkat sampe-sampe dia memandang teman lamanya sebagai barang yang pas harganya udah jatuh dia bisa buang begitu aja.

Enough with Black Mirror episode, menjadi dewasa di era sekarang gak cuma dihadapkan dengan eksistensi media sosial yang seringkali merenggut waktu produktif kita, tapi juga harus dihadapkan dengan orang-orang dewasa lain yang gak cukup dewasa untuk disebut dewasa. Kebebasan dalam berinternet gak lantas membuat semua orang terinformasi dan terpenuhi wawasannya dengan baik, karena nyatanya ada orang-orang yang gak bisa memilah konten apa yang baik untuk dirinya dan mana yang nggak. Alhasil akan banyak dijumpai orang-orang yang dibutakan oleh preferensi politiknya sendiri, menutup mata dan hati terhadap realita karena terlalu menyembah tindak tanduk sang idola, sampai-sampai gak tau caranya bertutur kata dengan baik kepada mereka yang berkomentar lain. Mereka gak sadar bahwa ada sosok manusia di balik akun-akun instagram, facebook, twitter, etc, yang mungkin kita bisa lebih hargai jika bertemu secara langsung. Gak cuma itu, tingkat kedewasaan seseorang di internet bisa dilihat dari cara dia memperlakukan seseorang. Gak sedikit yang merasa bebas untuk mengumpat atau mencaci orang lain yang dibenci, atau bahkan ngajak sex strangers yang bagi dia menarik. Cyber bullying, sexual harassment/verbal, adalah yang marak terjadi dan seringkali dianggap biasa. Lagi-lagi karena komunikasi tanpa tatap muka membuat kita hilang respek terhadap orang lain. Kita akhirnya seperti anak kecil yang harus disuapi caranya bersikap dan bertutur kata di internet, karena kehidupan nyata dan maya ibarat Ahmad Dani dan Maia yang gak bisa lagi disatukan.

Hidup di belahan mana pun realitasnya akan selalu sama. Termasuk hidup di dunia maya. Kita gak boleh lupa dengan identitas diri, yang punya kebebasan dan kontrol atas diri sendiri, supaya gak dengan mudahnya dikendalikan oleh media. Jaman sekarang tuh gak perlu sering denger ocehan tetangga, tapi lihat kehidupan mewah orang lain di instagram udah cukup bikin panas. Liat yang nikah, pengen ikutan nikah. Liat yang jalan-jalan ke LN, pengen ke LN juga. Liat yang udah punya anak, pengen punya anak juga. Segitu mudahnya keinginan kita tercipta. Lihat orang bikin video tiktok, ikutan juga. Yaa ini sih terserah ya, gue cuma agak geram sama yang pingin ikut-ikutan dalam urusan yang sifatnya besar dan personal like i said. Sebagai orang dewasa, harusnya kita tahu bahwa setiap orang punya pace-nya masing-masing, punya goals-nya masing-masing, punya prinsip masing-masing. Jangan jadi anak kecil yang selalu iri melihat pencapaian orang lain, yang selalu mudah tersulut lihat orang lain yang punya preferensi berbeda akan suatu hal, yang gak tau caranya berbicara dengan strangers—padahal gak sedikit anak kecil yang lebih tau tata krama daripada orang dewasa, yang sadar akan potensi diri sendiri dan mau untuk berkembang, yang terus jalan tanpa menghiraukan pandangan negatif di sekelilingnya.

Oh iya, sisi positifnya, gue jadi tahu bahwa gue bukan satu-satunya orang yang tertinggal. Ada ribuan orang di luar sana yang mungkin sama depresinya dengan gue, sama khawatirnya dengan gue soal masa depan.  Dan ini membuat gue lebih sadar dan tenang, gak semua hal harus didapatkan dengan berlari. Maybe some of them do so, maybe not, dan gue salah satu dari sekian orang yang bergerak perlahan, merangkak, nungging, atau mungkin jalan jongkok. Better correct the words 'left behind' with 'chase behind', karena sesungguhnya semua orang hanya sedang saling mengejar, bukan sedang meninggalkan. Mengobservasi orang lain di media sosial juga kadang selalu jadi inspirasi buat gue nulis-nulis hal baru. Interesting, huh? Sama kayak hidup, yang ada ups and downs-nya. Sama kayak sifat manusia, yang ada lebih dan kurangnya, media sosial juga punya sisi positif dan negatifnya di kehidupan kita.

Menurut gue, sosok Ryan Pond, adik Lacie di episode Nosedive adalah representasi orang dewasa yang lumayan bisa jadi contoh untuk masyarakat yang hidup di tengah-tengah era digital seperti kita. Dia nggak peduli dengan peringkat, dengan segala privilege yang bisa dia dapat hanya dengan bertemu orang-orang dan bersikap sok friendly,  dengan kepura-puraan yang ditampilkan Naomi, dengan media sosialnya sendiri yang cuma di-rate tiga koma sekian. Walaupun yang dia lakuin cuma main game, at least dia tahu apa yang mau dia lakukan. Dan setidaknya, dia nggak seperti orang-orang di luar sana yang penuh kepalsuan dan mau aja dibudaki media sosial.
Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar

Pernah gak sih lo merasa terjebak dalam lingkaran setan dan mengulang pattern yang sama?

If you do, itu artinya lo normal—katanya sih gitu.

Mungkin udah nature-nya manusia kali ya untuk jatuh ke lubang yang sama berkali-kali, seakan-akan kita gak cukup pintar untuk bisa mengambil hikmah dari setiap kesalahan yang terjadi. Padahal bukannya gak bisa mencerna setiap pelajaran, menurut gue terkadang kita justru menjadikan pengalaman itu sebagai tameng buat bisa menghadapi kegagalan berikutnya. Instead of blocking away the anxiety and avoiding failure, kita malah cenderung membiarkan kesalahan terjadi lagi hanya untuk tahu apakah kali ini bisa lebih kuat atau malah lebih keok pertahanannya dari sebelumnya, atau hanya karena udah merasa cukup kuat buat menghadapi segala risiko—ini sih gak masalah bagi gue, artinya kita masih punya kesadaran untuk siap gagal. Tapi yang lebih parahnya, ada momen dimana justru kita gak tahu kalau kita sedang berjalan menuju kesalahan yang sama, ke dalam lubang yang sama dan gak sadar bahwa perlu waktu sebentar lagi untuk kembali jatuh.

Contoh terkecil dalam kehidupan sehari-hari adalah melewatkan kesempatan dengan cuma-cuma. Gue personally, sering banget secara sadar atau nggak, melewatkan gitu aja kesempatan yang harusnya bisa gue ambil. Kesempatan, yang harusnya bisa jadi tempat gue mencicipi sesendok kecil petualangan dalam hidup, tempat gue mencoba pengalaman yang gak pernah gue temui sebelumnya. Terkadang gue jadi penasaran sendiri, seandainya kesempatan-kesempatan itu gue ambil, ada di bubble seperti apa gue sekarang? Yang pasti gue bisa selangkah atau dua langkah lebih maju daripada sebelumnya, atau mungkin sekarang. Mungkin aja gue ada di bubble yang lebih besar, lebih segar, lebih melegakan, dan lebih menantang. Lucu kalau membayangkan mungkin Tuhan sedang menertawakan gue yang hobinya sambat sama misuh-misuh soal hidup gue yang gini-gini aja, padahal gue sendiri yang ngelewatin kesempatan emas yang Allah kasih. Gue sendiri yang hobinya uncang-uncang kaki dan rebahan gak jelas. Kadang meringis sendiri sih, perlu digetok seberapa keras gue buat bangkit dan berjalan? Mengambil setiap kesempatan yang datang.

Mungkin, ini normal. Again, seperti yang gue bilang di atas. But do you know? It's all normal as its looks. It seems normal, karena itu biasa kita lakuin. It sounds normal, karena melewatkan kesempatan berharga dan mengulang kesalahan yang sama adalah pola hidup manusia. Kita yang membuat semuanya tampak normal. Coba deh bayangin, gimana kalau dari sejak awal kita mengenal hidup semuanya benar-benar dilakukan dengan hati dan hati-hati, mungkin gagal bukanlah sesuatu yang normal. Tapi lagi-lagi ngeri juga membayangkan betapa seramnya persaingan di antara kita. Manusia akan selalu menghalalkan segala cara supaya bisa sampai ke titik yang mereka mau. Terus, gimana cara orang-orang gagal menghadapi hidup mereka? Depresi, pasti. Sementara tekanan yang datang bertubi-tubi. Lihat orang sukses kiri kanan. Padahal kapasitas manusia gak bisa disama ratain. Orang-orang yang sangat rajin pun pasti pernah gagal, pasti pernah melewatkan kesempatan yang datang dalam hidupnya, disadari atau nggak.

Pesan gue adalah, segala sesuatu yang normal gak bisa selamanya dimaklum. Normal hanya kumpulan stigma yang dianggap common oleh sebagian orang. Normal is just assumption that we, our own selves made. Gak apa-apa melewatkan kesempatan, selama semuanya diputuskan dengan matang, selama kesempatan itu dilewat untuk sesuatu yang lebih bernilai buat diri lo. Tapi tidak membiarkan diri mengulang kesalahan yang sama sesungguhnya sangatlah bijak, daripada mengulang hal yang bikin kita menyesal. 

Blog kali ini sengaja gue isi lebih personal, supaya masing-masing dari kita bisa refleksi. Kira-kira kesempatan apa aja sih yang udah dilewatin dengan percuma? Lalu setelah itu bertekad dalam diri buat gak mengulang jatuh di lubang yang dalam, di kesalahan yang sama.

Anyway, stay safe, guys. Stay healthy and stay at home. Lebih baik jaga kesehatan, jangan sakit. Not to be rude, tapi jadi sakit di Indonesia menurut gue cukup memprihatinkan. Apalagi melihat death rate nya udah sampe puluhan orang gini. Kalau ngebandingin sama di Thailand yang sama-sama negara berkembang dan asia tenggara, jumlah pasien yang positif corona disana udah 1000 orang tapi yang meninggal sampai saat ini 4 orang. Ngeri, makanya. Semoga kita diberikan perlindungan selalu ya.

Share
Tweet
Pin
Share
6 komentar
Newer Posts
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Bukan Salah Indonesia
  • Childfree yang Diperdebatkan
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Just Listen
  • Terlalu Besar Untuk Gagal

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

My Podcast

Newsletter

Get new posts by email:

Popular Posts This Week

  • Di Balik Angkasa
  • by.U: Solusi #SemuanyaSemaunya
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Become a Fighter
  • Goodbye Wasteful Life, Welcome Minimalism
  • Menjadi Manusia
  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • How I See Feminist as a Muslim
  • 2020 Wrapped: Top 3 Genre For You
  • Romantisisasi Generasi 90-an

Blog Archive

  • ▼  2024 (2)
    • ▼  Oktober 2024 (1)
      • Posture Perfect: How Wearing a Waist Trainer Can I...
    • ►  Agustus 2024 (1)
  • ►  2023 (1)
    • ►  Februari 2023 (1)
  • ►  2022 (9)
    • ►  November 2022 (1)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (1)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  Maret 2022 (2)
    • ►  Februari 2022 (2)
  • ►  2021 (30)
    • ►  Desember 2021 (1)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  Juli 2021 (3)
    • ►  Juni 2021 (2)
    • ►  Mei 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  Maret 2021 (5)
    • ►  Februari 2021 (1)
    • ►  Januari 2021 (5)
  • ►  2020 (46)
    • ►  Desember 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  Oktober 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (10)
    • ►  Juli 2020 (8)
    • ►  Juni 2020 (4)
    • ►  Mei 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  Desember 2019 (3)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Agustus 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Februari 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Pengikut

Categories and Tags

Intermeso Krisis 1/4 Abad Opini Perempuan Podcast Poetry Review Thoughts digital marketing karir lifestyle slice of life

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.