Suka Duka Introvert di Masa Pandemi

by - September 24, 2020


Suka Duka Introvert di Masa Pandemi
Iyaak tangan belum masuk saku keburu dijepret🤣

Awalnya tulisan ini gue beri judul Suka Duka Jadi Introvert, berhubung memang sempat gue buat draftnya beberapa bulan yang lalu. Namun karena nggak pernah sempat diperbarui, dan berhubung gue baru aja mengalami beberapa hal menarik terkait ke-introvert-an gue di masa pandemi,  jadilah judul yang sekarang! Hehe. Sebetulnya konsep cerita gue yang sebelumnya ingin ditulis pun terasa terlalu general sih, jadi sepertinya nggak memungkinkan buat ngupas tuntas semuanya😂. 

Buat teman-teman yang ngikutin tulisan gue dari arsip terdalam, pasti sedikit banyaknya tau kalau gue adalah seorang introvert, bahkan dari zaman masih piyik-piyik ciak-ciak kali, ya. Di tahun 2020 ini gue seakan benar-benar bebas dari tuntutan menjadi makhluk sosial yang (akhirnya) bisa totally punya space sendiri dalam mengembangkan potensi diri, dan betul-betul lepas dari interaksi yang seringkali membuat gue kelelahan hingga butuh waktu berhari-hari lamanya untuk recharge di kamar—disinilah kemudian weekend biasanya gue gunakan. 

Di masa awal pandemi, 'dirumahkan' mungkin menjadi hadiah terindah buat introvert kayak gue, karena gue sendiri nggak perlu bertemu dengan banyak orang dan basa basi ini itu setiap harinya, gue nggak perlu berpura-pura nyaman kalau ada dalam suatu obrolan yang kurang gue sukai, gue nggak perlu ngerasa pusing kalau lagi di keramaian, gue nggak perlu misuh-misuh denger bunyi klakson di jalan (it doesn't define you as an introvert tho😂), gue nggak perlu berhadapan dengan kemacetan di lampu merah yang setiap hari bikin kepala sakit kayak mau pecah (literally). Walaupun, tentu, memiliki waktu sebebas-bebasnya berada di rumah dengan alasan pandemi bukan menjadi suatu hal yang baik, tapi paling nggak gue bersyukur bisa sedikit lebih cepat terselamatkan dari si virus mungil covid-19 ini. Sebab kegiatan karantina tersebut betul-betul gue patuhi secara sukarela dan 'gembira', nggak ngeyel keluyuran sana sini kayak anak muda sok edgy yang hobinya ngomongin teori konspirasi. *Iya, pada awalnya sih, gitu.

Semakin lama hidup dalam kondisi nggak normal nyatanya bikin gue juga lelah. Semua kegiatan yang dialihkan via online membuat gue overwhelming, dan rasa tidak nyaman dalam bersosialisasi yang bikin lelah pun gue bisa rasakan juga disitu. Nggak terhitung udah berapa kali gue mengabaikan beberapa inbox yang masuk lewat whatsapp dan e-mail, hanya karena gue nggak sanggup dan keteteran buat sekadar membalas 'iya'. Jangankan mau bales, ngelirik aja rasanya udah bergidik duluan. Iya, sampe segitunya.

Though gue nggak banyak bertatap muka lewat zoom, skype, google meet, google duo, dsb. (karena udah nggak ada kelas), gue tetep ngerasa capek bukan main. Apalagi saat gue harus menyelesaikan sisa-sisa waktu praktik lapangan di bulan Maret yang terpaksa dialihkan lewat daring. Setiap pagi gue harus siapin materi, kuis, terus stand by di Google Classroom buat ngirimin semua materi itu—termasuk video pembelajaran yang gue rekam malam sebelumnya. Belum lagi banyak murid yang nggak masuk tepat waktu—nggak terdaftar di kelas sampai berhari-hari, telat ngirim tugas, ada juga yang ngirimnya berceceran sampai ke personal chat, atau bahkan ada yang ngilang sampai berminggu-minggu.  Ditambah guru pembimbing gue yang suka tiba-tiba video call di grup pagi-pagi banget, saat kami masih sayup-sayup melek abis begadang semalam suntuk, dan tiba-tiba ngasih kabar mendadak untuk kami buat soal ulangan, materi latihan soal PAT (UAS), dll. Oh iya, berhubung sempat ada yang menyangka gue guru, entah dari postingan yang mana, jadi gue mau mengingatkan kalau gue bukan guru😂 . Cuma karena kampus gue basic-nya adalah kampus pendidikan, untuk mahasiswa yang jurusannya pendidikan (karena banyak juga jurusan yang non-dik), di semester menjelang akhir kita pasti praktik di sekolah. Dan ini nggak serta merta berarti kita otomatis akan jadi guru setelah lulus. Nggak, untuk jadi guru juga harus belajar lagi PPG (Pendidikan Profesi Guru). Kegiatan PPLSP ini sebatas memenuhi syarat kelulusan mata kuliah tertentu, mungkin kalau di kampus atau jurusan lain disebutnya magang. Nah, lanjut lagi.

Ternyata, pada akhirnya gue masih harus berurusan dengan orang-orang di luar sana meski cara berkomunikasinya beda.

Lama-lama gue pun kembali menjadi seseorang yang kaku dan socially awkward. Contohnya, belum lama ini gue sempet ketemu beberapa temen di kampus dan di luar kampus. Nggak seperti gue biasanya yang bisa terlihat 'sok akrab' kalau ketemu kenalan, at the time i was completely clueless of what i have to say or what i have to do—bahkan sama orang yang gue anggap deket, lho. Padahal kalau dibilang kangen, jelas iya dong! Udah lama banget gue nggak ngeliat wajah-wajah teman kuliah. Karena canggung level maksimum ini, alhasil setiap kali berusaha membuka topik gue sering keserimpet lidah sendiri. Canggung abis dah pokoknya, lucu juga kalau dipikir-pikir🤣. Seculun-culun dan sekaku-kakunya gue, nggak pernah gue merasa secanggung ini ngobrol dengan orang lain. Jujur aja, selama hampir tujuh bulan pandemi ini gue memang nggak selalu get in touch sama temen-temen, karena nggak semuanya gue punya kontak WA (sohib segeng dan yang memang deket banget sih udah pasti gue simpan nomornya). Paling tiga atau empat orang yang tetep chatting sama gue, itupun jarang. Kalau gue lagi butuh referensi, lagi kangen, atau sekadar pingin ngobrolin hidup dan topik-topik lain, baru kita saling kirim pesan dan balas story, atau bahkan video call. Circle pertemanan gue emang sekecil itu.

Awalnya gue pikir ini wajar, walaupun kaget juga. Sebab selama ini gue mengenal diri sendiri bukan termasuk orang yang kesulitan secara verbal dalam public speaking. Gue ngerasa fine-fine aja, kapanpun dan dimanapun gue berada, ketika gue diharuskan untuk fit in dengan lingkungan dan situasi tersebut gue akan dengan mudah beradaptasi dan nge-switch diri. Karena itu, beberapa teman gue dulu sempet punya kesan bahwa gue anak yang ekstrovert, padahal bukan. Tapi sekarang, rasanya bener-bener aneh. Bayangin aja gimana rasanya nggak ketemu relasi selama berbulan-bulan, yang bahkan lewat SNS pun ngga keep in touch betul-betul, saat diketemukan rasanya pasti canggung, kan!? Dan nggak taunya, kejadian belibet lidah sama a-eu-a-eu ini malah berulang pas gue diajak ngobrol sama pasutri yang ngejual susu murni di sekitar kost gue. Lagi-lagi yang biasanya gue nggak bermasalah kalau diajak ngomong, sekarang kayak orang dusun yang udah kelamaan tinggal di goa dan baru keluar ke permukaan. Asli deh😫. Sejak kapan gue ketemu sama ibu penjual soto (ini beda lagi makanannya) jadi kayak ketemu Obama?

Entah sampai kapan gue bisa bertahan untuk hidup seperti ini di tengah pandemi. Karena, meski kepribadian gue tertutup begini, gue pikir kenapa kita perlu untuk tetap hidup normal dan berurusan dengan segala pekerjaan, orang-orang, dan lain-lainnya, adalah karena disitulah gue bisa melihat segala sesuatu dari sudut pandang lain. Dari sisi diri gue yang nggak selamanya pendiam, kuper, dan cuek. Saat bertemu dengan orang-orang di tempat kerja, misalnya, suka atau nggak suka dengan mereka, mau nggak mau gue harus tetap bisa berlaku baik dan bersosialisasi dengan orang-orang tersebut. Artinya, gue jadi tau caranya menempatkan diri dan menempatkan ego. Sebab nggak semua bagian dari karakter dalam diri kita harus diikuti. Misalnya lagi, kalau gue orangnya tempramental, dan ada seseorang yang selalu memicu gue buat ngomong nggak baik karena nggak demen sama sikapnya, gue nggak harus menuruti ego gue untuk menampakan kebencian gue, kan. Padahal tu orang ada salah sama gue aja nggak.

Menjalani hidup sesuai dengan keinginan gue dan personality gue sebagai introvert nggak selamanya enak. Banyak suka dan dukanya, seperti yang gue ceritakan di atas. Dalam keadaan seperti ini, gue memang merasa sangat-sangat difasilitasi karena semua orang saling menjaga jarak, dan saling mengerti akan adanya batas dan privasi, sesuatu yang selama ini selalu gue agung-agungkan. Boundary, privacy, independency and freedom. Namun ternyata, perlahan-lahan gue malah jadi terkukung dalam dunia sendiri. Gue terlalu nyaman ada dalam zona ini. Satu-satunya yang bisa membuka mata gue lebar-lebar di tengah kesendirian ini hanyalah media sosial—yang sedihnya, menjadi sumber kesedihan dan insecurity terbesar dalam beberapa waktu. Untungnya gue masih punya temen yang bisa jadi tong sampah pikiran gue selama beberapa bulan ini, begitupun sebaliknya.

Gue sangat-sangat berharap semoga situasi ini nggak bertahan lama dan bisa segera pulih. Nggak tau lagi rasanya kalau di tahun depan nanti kita masih harus berurusan dengan virus, PSBB, protokol kesehatan, dsb.

Kalau teman-teman sendiri, gimana nih? Apa kesan dan pesannya selama pandemi? Baik sesama introvert ataupun ekstrovert ya😁.


You May Also Like

25 komentar

  1. Emang ya! Semua yang berlebihan itu nggak baik. Awalnya pasti anak2 sekolah bahagia banget enggak perlu kesekolah, tapi karna udah kelamaan jadi nya eneg juga ya xD

    Berdoa aja semoga nih virus cepet pergi dan semuanya bakalan kembali normal seperti biasanya!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Asli kaakk! Aku yang nggak ngalamin sekolah lewat virtual aja udh eneg banget apalagi mereka ya:') Dan liat adik2 sendiri aja pusingnya bukan main.

      AAMIIN bangeet, ini semoga yg bener2 ingin segera disemogakan oleh semua orang kayaknya huhu. Stay safe and take care ya kak Ichaa!

      Hapus
  2. Covid emang rese nyebelin banget sih.. Jujur aku dulu juga ngga bisa ngehandle waktu awal-awal covid, bawaannya kesel mulu.. tapi abis itu eneq sama perasaan keselku sendiri juga haha
    Semangat ya buat kita semua hehe we got this!

    Aaamin amiin semoga covid season segera caw-caw biar bisa kembali normal lagi <3

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sekarang tuh kayak udh di tahap gedeg banget ya kak, hahaha. Jadi, pas awal-awal tuh kesel, gak bisa nyesuain diri dengan keadaan, terus semakin lama kita terbiasa dan nyaman, eh menjelang beberapa bulan berikutnya (sampai saat ini) kita balik lagi ke mode kesel dan eneq tersebut karena kayak gak ada hasilnya sama sekali diam di rumah berbulan-bulan tuh:'))))

      Yah, well, semoga kita juga bisa melalui ini entah untuk siklus yang keberapa ya kak. Semangatt💪🏻

      Hapus
  3. Aku yang kmren menyangka Awl adalah guru.. 😅

    Eh, jadi skrng masih jadi mahasiswi semester akhir ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oh iyaaa hahaha aku lupa kak Dodo🤣 gapapa yang penting kan bisa jadi tambahan topik buat tulisanku wehehe.

      Iyapp, aku udah dua semester ini semester akhir kak wkwkwk, gara2 kemaren kan gak selesai pas corona😂 semoga gak nambah semester lagi deh tahun depan AAMIIN😭

      Hapus
    2. Aamiin.. Semangat Awl 🔥🔥🔥

      Hapus
  4. Segala sesuatu yang berlebihan memang nggak baik, termasuk si Corona ini Awl 😂 ketika awal-awal Corona, kakak termasuk yang bisa menghadapinya dengan tenang dan menerima bahwasanya harus stay di rumah. Lumayan, bisa istirahat dari urusan ketemu orang -- begitu pikir kakak 🤪 namun ternyata, 7 bulan lewat, kok ya nggak kelar-kelar Coronanya. Dari yang tadinya sudah bisa menerima, sempat jadi merasa kesal dan eneg sama kegiatan harus Google Meet setiap harinya 😅

    Sempat ada masa dimana kakak misuh-misuh, kisaran bulan Juli kalau nggak salah, itu betul-betul terasa kesalnya karena si never ending Corona. Mungkin sudah tahap muak dengan kegiatan Google Meet yang nggak berkesudahan lantas berpikir, "Huhu. Ternyata seenak-enaknya bisa santai di rumah, kalau yang namanya urusan kerja dan meeting tetap lebih enak tatap muka." 🙈 and the struggle is real. Kakak ambil break 10 hari dari kerja, dari blog, dari segala hal menyangkut laptop dan ini itunya. Lantas habiskan waktu untuk relaks di rumah. Berenang atau main bulu tangkis atau lihat drama / film, dan doing something yang nggak ada hubungannya sama laptop hahaha 🤣

    Long story short, sekarang sudah bisa kembali merasa bahagia dan normal. Hehehe. So I know how it feels, meski Awl basically introvert, kalau terlalu lama ada dalam sarang, semua introvert pun berasa jadi mau pindah haluan as extrovert biar nggak lupa bagaimana caranya berinteraksi sama orang (begitu kata teammate kakak) hahaha dia pun mengalami hal yang sama kayak Awl soalnya. Mendadak lupa cara komunikasi sampai sempat loading cukup lama 🙈

    Semangat Awl ~

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ibaratnya di saat kita udh menerima dengan lapang dada dan menjalani karantina dsb dengan sukarela ini, si corona macam ngeyel, dikasih hati minta jantung, malah keenakan diem di mari ya kak🤣 Ujung-ujungnya seperti skrg, yang kurang lebih juga dialami oleh banyak orang, bosan, kesel, dan eneq banget😫

      Sejatinya rumah hanya cocok jadi tempat kita beristirahat dari rutinitas di luar sana sebagai makhluk sosial, karena itu kalau semua aktivitas dilakukan secara daring di rumah gak selamanya baik juga. Aku jadi inget pernah ngomongin soal keseimbangan sama kak Eno, tapi lupa di postingan siapa dan yang mananya😅. Pada akhirnya kita hidup pasti butuh keseimbangan itu, boleh kerja dari rumah sesekali, tapi jangan lupa buat ngisi energi dengan bekerja di kantor atau di luar ruangan.

      Kalau kak Eno breaknya dengan kegiatan-kegiatan self-love, berhubung aku udh cukup eneq sama kegiatan self love yang terlalu sering dilakuin, huahahaha, kayaknya aku harus cari kesempatan deh minimal sebentar ajaa buat berbaur dengan alam, as long as menghindari kerumunan😂🤔.

      Oh iya, btw, sama kayak teammate kak Eno yang mendadak lupa cara berkomunikasi, aku sempet juga lupa cara nulis dan balas-balasin komentar kemarin (padahal baru jeda sebulan aja)😂. Untungnya skrg udh bisa balik dikit-dikit lah, jadi nggak bingung-bingung banget wkwkwkwk.

      Semangat juga untuk kak Eno!💪🏻🔥

      Hapus
  5. Awlll, aku baru main lagi ke sini. Apa kabar kamu? Skripsi aman? :D Btw, ternyata kita sama ya, aku juga dulu mahasiswi pendidikan, sempat magang ngajar juga di sekolah Pekanbaru hahahaha

    Duh, as an introvert I am, aku paham sekali perasaanmu ini. Awal-awal pandemi itu aku honeymoon phase banget. Senang rasanya nggak usah ketemu orang tiap hari hahahaha nggak perlu basa-basi, pokoknya mau ngapa-ngapain sendirian, bebas! Tapi nggak lama setelah itu, aku ngerasa drained. Mendadak kangen interaksi langsung dengan sahabat dan keluarga, karena vidcall dan chats itu nggak pernah cukup. Ada satu hari aku benar-benar penat gara-gara ini, akhirnya aku calling salah satu sahabatku dan ngobrol hampir sejam. Setelah itu rasanya seperti di-charge ulang sih. Emang pada dasarnya manusia itu makhluk sosial yang butuh berinteraksi, ya. Mau dikata introvert secuek apapun, ternyata kita butuh sesama lainnya (:

    Semoga pandemi ini cepat kelar, dunia cepat pulih. Kamu juga sehat-sehat ya, Awl!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Skripsiku alhamdulillah masi aman mbak😂 yaa walaupun masi belum direvisi sih, (mager banget ya Tuhaaaan tolong aku mbak Jane😭😭 wkw). Wah kukira mbak Jane anak sastra gitu lho, ternyata kita satu jalur😀🎉.

      Udah naturalnya manusia ternyata begini ya, mbak:'). Makanya aku bingung kalau ada org yg ngecap dirinya introvert tapi keukeuh merasa bisa hidup sendiri, padahal kan gak begitu jugaaa, hiks. Akupun ngerasain bgt gimana rasanya badan ke-recharge lg setelah vidcall bareng temen ngalor ngidul, ibaratnya eksistensi sebagai manusia masih bisa terasa. padahal sebelumnya udh drained banget🤧😫.

      Aamiin Aamiin, sehat selalu juga mbak Jane ya🤧

      Hapus
  6. Sejarang-jarangnya orang keluar rumah, pasti gusar juga dengan masa pandemi ini. Apalagi ini sudah hampit setahun. Meski sudah terlihat normal, tapi beberapa akses masih coba dinormalisasi.

    Saya rindu pergi ke kampus pagi lalu melipir nonton biar ngga pulang karena masih ada kuliah sore. Saya rindu main kartu remi sama teman-teman. 2021 kurang dari 100 hari lagi. Mudah-mudahan lekas membaik

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener banget Rahuul, persis seperti kata mbak Jane di atas, pada dasarnya manusia itu makhluk sosial yang butuh berinteraksi. Jadi mau dikata secuek apapun, ternyata kita selalu butuh berkomunikasi dgn orang-orang. Bahkan gak cuma orang aja, tapi suasana bising kehidupan di luar sana yg normal seperti biasa. Eh skrg malah ibukota jg mulai psbb lagi, Rahul, sedih liat berita nggak ada perkembangan yg signifikan di waktu sepanjang ini. *tuhkan jd curhat deh😫*

      Aamiin semoga kita bisa segera menjalani kehidupan normal seperti sebelumnya ya, Rahul.

      Hapus
  7. Now u makes me open my eyes that what introvert people think .

    I use to have introvert roomate , I even thought she's probs has problem bcs she been too quiet and I'm bored ATM .

    But yeah its just her character . I should learn more to understand people around me

    BalasHapus
    Balasan
    1. glad we can share each other what matters about personality that it affects so much to other people's character. i hope i can learn too from other personality (extroverts), just like you!😁

      Hapus
  8. Hemm... Covid-19 itu sebuah tantangan Awl. Buat menghadapinya butuh manajemen, cuma yang terpenting sebenarnya bagi masyarakat adalah manajemen ego mereka.

    Mau introvert atau ekstrovert berada dalam ruangan terbatas dan tidak bebas melakukan yang diinginkan adalah siksaan. Kalau sebentar sih masih tahan, tetapi kalau sudah kelamaan...

    Hadeeuhhhh....

    Saya seorang introvert juga Awl dan sebenarnya merasa nyaman di rumah. Tapi, sejak pandemi, terasa banget boooosaaaannnnnnnnya dan sampai kepala rasanya nggak bisa mikir.

    Cuma, lama-kelamaan, saya menyadari kalau situasinya memang sedang kritis. Kalau saya memaksakan untuk bebas, hasilnya justru berbahaya bagi semua, jadi saya harus menemukan solusi mengatasi diri sendiri..

    Caranya ya macem-macem, mulai dari bantu nyapu, ngepel, sampe masak, semua saya kerjakan demi mencegah saya melakukan tindakan konyol dalam situasi kritis seperti sekarang.

    Bagaimanapun hanya hal itu yang bisa mencegah penyebaran si virus lebih masif lagi.

    Kegagalan memanage diri sendiri bisa terlihat dengan terus melonjaknya pasien akibat tertular. Ketika ego berkuasa dan manusia membebaskan diri, maka si virus memiliki mangsa lebih banyak.

    Sebuah ujian berat bagi siapapun dalam masa ini. Persis seperti pepatah yang mengatakan "musuh terbesar itu adalah diri sendiri".

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju banget kak Anton, manajemen ego yang paling penting dari semua akar permasalahan. Sayapun pernah ada dalam kondisi dilema itu soalnya🤧 Pernah sampai di posisi ingin keluar aja rasanya cari udara segar, toh orang-orang udah banyak yg melanggar aturan, ramai-ramai ke suatu tempat. Saya pikir selama saya nggak berkumpul seperti itu dan tetap physical distancing, saya masih bisa aman. Toh kita pun memang sudah dipaksa "new normal". Tapi setelah dipikir-pikir, apa bedanya saya dengan orang-orang yg mementingkan ego mereka kalau begitu. Kan bahaya juga meski semisal sudah menerapkan social distancing, tapi ternyata saya kena virus hanya karena memegang suatu benda di luar sana dan lupa cuci tangan, apapun bisa terjadi. Akhirnya diam di rumah pun sudah jadi pilihan yg tepat, selagi memang bisa dihandle semuanya dari sana🙁.

      Dalam situasi seperti ini memang kita benar-benar ditampakan betapa sulitnya melawan diri sendiri ya kak Anton🤧. Pada akhirnya menyibukan diri adalah langkah yg bisa dipakai untuk solusi. Ngomong-ngomong sekarang sudah hampir 9 bulan hidup begini, bisa-bisa tercapai ini hidup satu tahun di tengah pandemi😅🤦🏻‍♀️.

      Hapus
  9. nggak terasa pandemi ini udah berlangsung 7 bulanan di Indo, dan angkanya belum turun turun. semoga segera berakhir ya

    kalau aku kayaknya gabungan dua duanya, intro dan extro. kalau ga salah istilahnya ambivert. waktu pandemi ini aku merasa nggak ada perubahan signifikan dari kebiasaan sehari hari, kalau lagi nggak ngantor dan wiken nggak ada event kantor, bisa ngendon di kamar seharian. Apalagi kayak sekarang, event event gede juga dilarang, jadinya tiap wiken cuman di dalam rumah atau dalam kota aja

    kadang nih, aku suka nggak nyaman dengan sikap orang orang yang menurut aku "bertentangan" denganku, jadinya aku mending milih jalan sendiri, misah dari mereka.

    inilah yang dinilai orang kalau aku introvert, padahal ya ga introvert banget

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin mbak Ainun, banyak gak kerasanyaa. Karena jujur buatku pribadi kegiatan di rumah lebih banyak wasting timenya daripada produktifnya. Sebab aku termasuk orang yg lebih senang "bekerja" atau melakukan aktivitas yg setara dengan pekerjaan di luar rumah, dan ini nggak ada kaitannya dengan keintrovertan menurutku, karena naluriah aja sebagai manusia nyamannya bekerja di luar😂. Jadi, rumah adalah tempat kita beristirahat dan khusus bersantai. Maka dari itu aku bisa merasakan waktu sepanjang ini sangat jomplang dibandingkan tahun lalu, saat aku masih sibuk-sibuknya🤧.

      Hoalah ternyata ambivert itu justru lebih unik ya mbak, sepertinya lebih bisa ngeswitch saat harus menyesuaikan diri dalam situasi dan kondisi apapun😍.

      Hapus
  10. stay safe ya.

    I've followed you here ^^

    BalasHapus
  11. sesama introvert, baca tulisannya kyk aku yg curhat sendiri, hehe

    Kalo aku, pandemi atau engga, pasti lebih suka tinggal di rumah.

    Dan begitulah, introvert itu ga melulu mengidam-idamkan sendirian karena ketika udah recharge, udah siap jg berinteraksi dengan orang lain.


    ari lamun sesama introvert ketemu, bakal ngobrol panjang lebar atau gimana? jd penasaran?

    BalasHapus
    Balasan
    1. nah itu dia, kalau udh waktunya pingin berinteraksi sama org lain, alias udah recharge pun pasti kita juga berinteraksi sama org lain seperti normalnya manusia, nggak ngerem di rumah terus😂

      kalau aku sendiri sama temen² malah riang riang aja kak, kalo ngobrol ya rame bisa panjang lebar juga. cuma nggak sebawel itu😆 kalo ada yg humoris ya ngebanyol terus (ini sih aku ceritanya😆) dan ketawa bareng². karena temen²ku pun sebagian besar introvert. cuma memang ketika bareng² itu kita hampir nggak pernah sedikit pun ngerumpiin orang. jd benar-benar ngomongin seputar kehidupan sehari-hari, struggle, hobi, dan keluhan masing-masing aja. syukurlah inner circle ku bisa sefrekuensi😅

      kalau kak Ady sendiri bagaimana?

      Hapus
  12. Se introvert introvertnya saya juga kalo kelamaan terkungkung gini mual rasanya mba

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya banget mbak Sekar, biar gimanapun kan kita perlu "hidup" dengan manusia-manusia lainnya.

      Hapus