Katanya Agen Perubahan?

by - Agustus 15, 2018



Beberapa orang mikir kalau demo mahasiswa itu gak ada gunanya. Instead of berkoar-koar nyapein diri sendiri panas-panasan di depan gedung pemerintah atau rektorat atau apapun itu, mereka lebih sering ngasih saran atau lebih tepatnya berkomentar buat nyerah. "Udahlah, hidup itu penuh perjuangan. Ngapain kita capek2 turun ke jalan cuma buat perjuangin org2 yg bisa jadi nantinya kacang lupa kulit."
Ada juga yang bilang, "sistem itu gak bisa kita ubah. Mau sejahtera ya kerja keras!" Intinya setiap yang mereka katakan adalah lo harus kerja keras! Kerja keras! Berjuang! Kalau mau sukses, mau negara kita maju, mau masuk perguruan tinggi tanpa bayar uang pangkal yang nominalnya puluhan juta, lo harus berjuang!

Gue memang bukan orang yang suka turun ke jalan, ikut demo, menyuarakan pikiran rakyat atau meneriakan keluhan dari teman-teman gue yang membutuhkan keadilan (in this case, masalah demo yang biasa terjadi di PTN/PTS, dan masalah ini yg akan jadi poin utamanya). Gue juga bukan orang yang tau seluk beluk tentang sistem yang ada di pemerintahan, atau kalau gue kerucutkan, gue sama sekali gak mengerti hal-hal yang sebenernya terjadi di balik biaya masuk yang mahal di perguruan tinggi. Padahal at least lo masih kuliah di Indonesia, bukan ke negara lain. Terus pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana uang mahasiwa itu dialokasikan, atau tentang transparansi pembayaran UKT, serta bagaimana bantuan-bantuan yang ada untuk pendidikan itu dimanfaatkan. Gue sangat buta akan hal itu, karena yang gue lakukan adalah hal-hal sewajarnya yang biasa dilakuin mahasiswa. Belajar, berorganisasi, nambah-nambah penghasilan dengan manfaatin keahlian, atau hal-hal lain. Tapi bukan berarti gue membenarkan apa yang mereka katakan tentang kesia-siaan melakukan demo, karena gue sadar betul siapa gue dan posisi gue sekarang.

Gue termasuk salah satu dari sekian banyak orang yang mereka perjuangin buat bisa masuk ke perguruan tinggi (of course gue lolos seleksi masuk, tp pas masuk kudu bayar lg). Gue bisa kuliah itu karena dibantu oleh mereka-mereka yang demo di gedung rektorat, buat menuntut hak pendidikan anak-anak bangsa yang punya tekad buat kuliah tapi terkendala biaya. Kenapa nama gue akhirnya bisa ada di PTN yang gue pilih adalah berkat orang-orang ini, mereka yg jadi perantara Allah buat ngebantu orang-orang yang sebenernya sedang berjuang. Jadi kalau ada yg mikir bahwa orang-orang yang sedang diperjuangin lewat demo itu sesungguhnya gak berjuang, mereka salah. Anak-anak muda yang gabisa bayar kuliah atau uang pangkal itu justru sedang berjuang, dan orang-orang yg demo inilah yang mau membersamai perjuangan mereka. Supaya mereka bisa kuliah, bisa belajar, bisa jadi orang yang cerdas, hebat, dan bisa berkontribusi buat negara, entah dengan hal apa nantinya.

Gue gak bohong bahwa seringkali suara mahasiswa emang sangat berperan dalam mengatasi masalah yang ada, terutama sebagai penyambung pikiran rakyat, buktinya kan mahasiswa yang bergerak di era awal reformasi. Tapi, semakin kesini justru peran kita rasanya semakin disepelein. Apa karena sering turun ke jalan? Panas-panasan terus jadi keliatan kumal, item, dekil, sampe-sampe orang lain yang merasa pinter itu tutup mata dan telinga. Padahal gak semata-mata tanpa tujuan orang-orang gak kenal lelah ini bersuara.

Yah, kadang sebetulnya penguasa-penguasa emang harus ditegur supaya sadar, kalau mereka kebanyakan ngepulin asep rokok daripada kerja. Kadang mereka harus didemo, supaya sadar bahwa masih banyak pemuda-pemudi bangsa yang peduli, cerdas, dan gak rela dibodoh-bodohin. Oke lanjut!

Jadi gini, (setelah tadi dibuka dengan kata-kata yang sedikit esmosi) dalam sebuah kelompok mahasiswa pasti ada yang namanya pro dan kontra. Gue mencoba menjelaskan bahwa kelompok yang kontra dengan segala aturan atau kebijakan pemerintah itu adalah mereka yang rela demo di tengah terik matahari, hanya agar mendapat perhatian dan juga jawaban dari kaum birokrat. Sementara anggota yang pro itu adalah golongan mahasiswa yang masa bodo, yang 'yaudah semuanya seterah aja', yang mikir 'ngapain sih demo-demo gak jelas? toh mereka yang punya jabatan pasti lebih tau', sampe akhirnya mikir kyk yg gue bilang tadi, 'sistem itu gabisa diubah. Jadi let it flow aja.' Mahasiswa kayak gini biasanya disebut mahasiswa apatis. Yeah. Apatis yang bener-bener apatis level kakap.

Kalau boleh jujur, gue berusaha untuk netral karena gue sendiri pun punya pemikiran bahwa berjuang dengan diri sendiri untuk bisa punya tempat yang layak di bangsa sendiri itu lebih baik daripada demo. Tapi jelas, tidak lantas gue membenarkan pemikiran mereka, si kelompok pro soal sistem yang gak bisa diubah, karena gue sama sekali gak lupa dengan orang-orang yang pernah berjuang untuk gue, padahal mereka gak kenal siapa gue, dan pemikiran itu bukan sebuah arti dari kacang lupa kulit. Justru saking kasian dan mirisnya gue ngeliat temen-temen, juga kating-kating di luar sana yang menyuarakan hak mereka sebagai mahasiswa buat turun ke jalan, tapi apa yang mereka lakukan itu seringkali dianggap remeh oleh orang lain. 'Orang-orang' ini yang sering berkomentar tadi. 'Orang-orang' ini yang mikir sistem gak bisa diubah. 'Orang-orang' ini yang sok-sokan nyuruh orang lain berjuang, padahal mereka gak tau barang sedikitpun yang sebenarnya terjadi.

Gue berpikiran seperti itu karena gue merasa muak dengan orang-orang ini. Apalagi sama birokrat-birokrat yang ngeremehin suara mahasiswa. Gue berpikiran seperti itu karena gue pikir salah satu cara supaya kita gak diinjak-injak adalah masuk ke ruang lingkup yang tinggi, dan mengubah sistem yang ada. Entah kenapa mungkin terdengar mustahil dan membara, tapi emang itu salah satu cara supaya lo gak dipandang sebelah mata lagi, dan supaya lo bisa menghentikan kebrutalan yang ada di birokrasi manapun.

So, singkatnya adalah, sistem itu bisa kita ubah, kalau kita punya sesuatu yang bikin mereka menatap ke bawah dan mengakui keberadaan kita, anak-anak bangsa yang gak cuma bisa teriak-teriak di jalan. Layaknya pendidikan kita yang tertinggal 128 tahun dari negara-negara maju, pasti ada sesuatu yang bisa diubah. Maka kalau ada yang berpikir kita gak bisa mengubah sistem yang ada, artinya mereka gak mau maju dong? Artinya mereka mau-mau aja jadi generasi yang stuck di tempat, doing nothing, cuma bisa pidato cuap-cuap dan menganggap kebobrokan dan ketertinggalan yang ada sebagai warisan yang mesti dipertahankan. Kalau banyak orang-orang yang pemikirannya kayak gitu, gue khawatir kita emang gak bisa maju. Gue khawatir kualitas pendidikan kita bahkan bisa lebih dari 128 tahun tertinggal dari negara lain. Gue khawatir pendidikan kita justru semakin merosot, dari yang tadinya urutan ke 62 dari 70 negara, jadi di posisi paling akhir. Dan gue khawatir, 'orang-orang' macem gini yang nantinya mimpin negara.

Omong-omong soal pendidikan, again, apakah kita gak malu dengan angka yang gak sedikit itu? Ketinggalan 128 tahun lho. Masih adem ayem aja bersifat apatis?

Semua orang memang punya hak untuk tidak melakukan apapun, atau bersikap apatis layaknya dia/mereka/siapapun benar-benar bisa hidup mandiri tanpa peduli lingkungan sekitar. Tapi please, Indonesia itu milik kita semua. Tanah air kita. Kalaupun mau jadi orang yang masa bodo, setidaknya jadilah orang yang mau berkarya. Jangan mentang-mentang hidup di negara yang subur, terus jadi keenakan, entar lama-lama diambil orang baru tau rasa kan.

Apa karena orang Indonesia seneng ngelanjutin tradisi? Saking cintanya sama leluhur-leluhur yang udh bangun negara lebih dulu, kita jadi takut buat berbenah. Tradisi emg harus dilestarikan, tapi sebagai generasi 45 harusnya lebih tau tradisi apa aja yang mesti kita lestarikan. Katanya agen perubahan?

You May Also Like

0 komentar