Diberdayakan oleh Blogger.
  • Home
  • About
  • Lifestyle
  • Personal
    • Opini
    • Thoughts
    • Slice of Life
    • Poetry
    • Intermeso
  • Podcast
  • Review
instagram LinkedIn Spotify YouTube Email

Notes of Little Sister



Things I Have Stopped Doing

Sebetulnya gue nggak berniat untuk update blog dalam waktu dekat ini, karena memang lagi rungsing banget dengan beberapa hal in real life—yang membuat gue perlahan harus menjauh dari dunia maya. Pengecualian untuk salah satu platform called Quora, yang baru-baru ini lebih sering gue visit karena somehow media ini lebih sehat dan bisa lebih terkontrol algoritmanya IMO, karena gue bisa memilih sendiri mana topik yang mau gue konsumsi dan mana yang nggak—i don't even know is the algorithm works in this platform?😆

Dan pertanyaan yang terus melekat di kepala gue dari sekian topik yang muncul disana adalah, hal apa saja yang sudah berhenti gue lakukan—yang of course, memberi dampak positif untuk keberlangsungan hidup gue? Tapi karena gue nggak biasa jawab pertanyaan semacam ini di Quora, so just let me share what things i have stopped doing so far in here. Hitung-hitung sebagai refleksi diri dan postingan penutup di akhir tahun.

So, what 10 things you have reduced/stopped doing in your life?

1. Watching TV

Terhitung kurang lebih udah lima atau enam tahun ini gue nggak pernah lagi nonton TV dalam waktu yang lama, itulah kenapa jawaban ini yang paling pertama berkelebat di pikiran gue. Alasannya? Cuz i just don't feel the need to watch any of them, selain karena memang banyak program televisi yang semakin kesini semakin membosankan. Tayangan televisi yang gue tonton terakhir kali ya Mata Najwa, itupun nontonnya di YouTube😂. Ditambah menurut gue, kalau kita kebanyakan nonton TV, rasa nasionalisme gue justru malah semakin luntur karena yang kelihatan pasti yang jelek-jeleknya doang. Berita-berita rungsing tadi lah, acara-acara rumpi lah, atau program pencarian bakat yang berubah jadi acara lawak lah (sampe juri-jurinya juga jadi ikutan lawak), hingga soal sinetron yang alurnya ketebak alias gitu-gitu aja. Pokoknya nggak bikin gue happy dan makin cinta sama negara ini.

2. Using social media extensively

Kehidupan selama pandemi ini jujur bikin gue semakin attached sama media sosial, alhasil gue menyadari banyak waktu yang terbuang percuma. Ditambah kondisi psikis gue nggak merasa lebih baik saat nongkrong disana. Iya sih, saat keadaan gue sedang baik-baik aja, no problemo untuk sesekali cek Instagram, Twitter, Facebook, dsb, untuk dapet informasi terbaru dari komunitas, teman-teman, dan konten informatif lainnya, tapi pada akhirnya kegiatan ini tetap sia-sia. Even untuk mengakses berita yang paling penting sekalipun, otak gue berasa runyam dan drained banget karena yang muncul selalu berita negatif, hoax dan serangkaian polarisasi politik lainnya. So yeah.. saat ini gue sangat membatasi penggunaan medsos. Dua puluh sampai tiga puluh menit sehari cukup, and i'm happier with my real life!

3. Saying yes

Gue rasa salah satu kelemahan menjadi orang yang gak enakan adalah selalu berkata "iya", when i don't really wanna say yes. Entah sejak kapan gue mulai berani untuk memilah-milah kapan saatnya gue bisa bilang iya dan tidak, tapi seingat gue hal ini sudah gue terapkan lumayan lama. Ini bukan meromantisisasi self-love, tapi lebih kepada menghargai diri sendiri dan orang lain, bahwa alangkah lebih baik jika sesuatu dilakukan dengan hati yang tulus dan ikhlas. Bukan karena sekadar.

4. Trying to blend in

One thing I can never tolerate in a group is gossiping other people. Karena itu blend in yang gue maksud disini adalah memaksakan diri hanya agar bisa diterima di suatu kelompok, padahal gue sadar dari sejak awal bahwa gue nggak bisa fit in dengan mereka. Salah satunya kebiasaan ngerumpi. Awal-awal gue masih bisa ngikutin arus, sih, tapi semakin kesini gue semakin bisa memberi batasan untuk diri sendiri. That's why gue sangat sayang dengan teman-teman gue sekarang (yang juga sangat sedikit) ini, karena ternyata kami sefrekuensi.

5. Overdressing

Well, in fact gue nggak semencolok dan selebay itu dalam berpakaian, hanya saja dalam kurun waktu tiga tahun kebelakang ini gue betul-betul prefer cara berpakaian yang lebih simple, baik itu soal style maupun pemilihan warna. Kalau dulu overdressing yang gue maksud adalah gue bisa pakai dua baju dalam satu kali dengan warna yang terbilang terang, contohnya kaos lengan pendek berwarna biru dongker yang dilapisi kemeja warna biru langit as an outer, sekarang nggak, or let's say jarang. I thought this was too much. Harusnya kalau gue mau pake outer untuk menutupi baju yang lengannya pendek, gue bisa pake outer yang bener-bener proper atau paling nggak warnanya jangan terlalu terang. Oh iya, warna pakaian yang gue punya dulu juga lebih variatif, banyaknya sama warna-warna pastel. Now i prefer earth tone as my favorite. It's preference, ofc. Pada intinya gue happy karena sekarang lebih bodo amat sama penampilan😁.

6. Impulsive buying of unnecessary things

Semoga hal ini nggak cuma berhenti gue lakukan karena bokek, LOL. Tapi nggak, sih, kenyataannya gue memang lebih pingin hidup minimalis dari sekarang. Memiliki barang-barang yang sebenarnya nggak terlalu gue butuhin itu bisa makan tempat banyak (dan sangat gue sesali), belum lagi kalau dibuang pun gue bingung harus buang kemana. Kecuali kalau sistem pemilahan sampah di Indonesia lebih tertib dan teratur macam di Jepang, kayaknya sih oke-oke aja *hush😂*.

7. Living in the past

Dengan segala permasalahan hidup as a decent human being, tentu gue nggak bisa selamanya lari dari masa lalu. Banyak malam-malam yang berlalu dengan tangis dan trauma akan segala macam ketakutan, baik itu apa yang gue alami atau justru kesalahan-kesalahan yang pernah gue lakukan yang menghantui. Yah, meski gue tahu gue masih harus struggling dengan ini, tapi setidaknya gue jadi lebih sadar dan merasa lebih content dengan kehidupan yang sekarang. Whatever happened in the past, stay there. Karena yang bisa gue lakukan sekarang hanyalah berjalan maju. Diri gue terlalu berharga hanya untuk menoleh pada hal-hal yang sudah usang.

8. Putting high expectation on people

Jujur gue bingung, apakah gue udah betul-betul berhenti menaruh harapan pada orang lain? Karena seringkali kenyataan nggak seindah harapan. Tapi dari postingan yang terakhir, gue memang belajar banyak untuk nggak lagi-lagi menggantungkan harapan terlalu tinggi terhadap mereka yang justru sama-sama manusia lemah dan banyak bolongnya kayak gue—i'm tryin'. Toh nggak semua orang bisa sejalan dengan gue, nggak semua orang harus sama personality traits-nya kayak gue, nggak semua orang harus sesuai pula dengan ekspektasi gue. I don't wanna be the ones who treat others the way they think God wants them to behave.

9. Judging a book by its cover

Gue punya beberapa cerita lucu sekaligus menohok soal bagaimana tindakan judgmental atau menilai sesuatu dari cover-nya itu mengubah sudut pandang gue. Iya, tapi hanya satu yang sampai saat ini memorable banget. Suatu hari gue lagi kepingin banget makan pempek tapi yang asli dari Palembang. Karena disini susah nyari yang khas Sumatera sana, gue jadi skeptis duluan sama pedagang-pedagang yang jualan pempek disini, sampai pada saat gue ketemu pedagang baru, gue malah suudzon duluan kalau pempek abang itu pasti sama aja kayak pempek lain yang dijual disini, dan akhirnya gue memutuskan untuk nggak beli sama sekali. Kemudian beberapa bulan setelahnya gue pingin makan pempek lagi, tapi karena memang nggak nemu-nemu juga tempat yang gue rasa itu khas Palembang, jadi gue pilih untuk menyambangi salah satu pedagang baru tadi, dan tebak apa? Ternyata si masnya ini baru dateng jauh-jauh dari Palembang buat buka usaha pempek, that's why gue nggak pernah lihat sebelumnya (yang parahnya malah skeptis duluan). Dan tebak lagi gimana?😅 Pempeknya enak bangeettt, asli. Rasa ikan dan cukonya nggak sepahit yang biasa gue makan, jadi pas banget di lidah. Bau ikannya juga nggak menonjol banget, walaupun tetap nggak menghilangkan rasa pempeknya. Pokoknya mirip sama pempek khas Palembang yang pernah gue makan, deh🤧. Sejak saat itu, gue mulai ngurang-ngurangin perilaku buruk yang menilai sesuatu hanya dari luarnya aja. Lucu ya, Tuhan memang punya ribuan cara untuk nyadarin hamba-Nya. Semacam langsung ditampakin, "nih, lihat", begitu😅.

10. Wearing skinny jeans

Katakanlah gue udah kehabisan topik di poin terakhir ini, atau memang kesulitan buat menentukan karena banyak hal yang masih sedang gue usahakan untuk berhenti dilakukan atau dikurangi. Tapi berhenti pakai celana skinny jeans tiba-tiba berkelebat di kepala gue. Well, sebenarnya ini bukan sesuatu yang buruk juga. Setiap orang pasti punya preferensi masing-masing dalam memilih pakaian. Hanya saja buat gue pribadi skinny jeans itu bikin gerak gue nggak leluasa, ditambah membuat bentuk kaki gue terlalu kelihatan. Ini yang gue kurang suka. Memakai pakaian yang terlalu menonjolkan lekukan atau bentuk tubuh itu bikin gue berasa nggak pakai baju. Ditambah badan gue kurus, sangat sangat nggak direkomendasikan untuk pakai baju yang ketat macam gitu—emang udah paling bener pakai baju oversized. So far gue lebih pilih boyfriend jeans atau celana jeans lain yang gombrang, sisanya of courseeee celana bahan atau chino kesukaan gue dari brand lokal😁. Oh iya, skinny jeans yang terakhir gue beli itu sekitar tahun 2015, pas dicoba udah nggak muat lagi LOL.

Dari sekian daftar di atas, setelah dipikir-pikir kayaknya gue paling banyak berkompromi dengan internal diri, bukan sesuatu yang terlihat dengan mata kepala gue sendiri atau orang lain, semacam pakai skinny jeans, atau nonton televisi. Mungkin karena itu bagian dari pendewasaan, dan merupakan sebagian dari hal buruk yang ada dalam diri gue, yang nggak dapat dilihat oleh orang lain, dan hal-hal yang hanya diri gue sendiri yang rasakan. Sebetulnya di balik daftar tadi masih ada banyak hal yang pingin gue berhenti lakukan, atau setidaknya mulai dikurangi, di antaranya procrastinate, nggak males olahraga, overthinking, being a night owl—which i'm still doing right now😌. Semoga perubahan ini nggak cuma sesaat gue lakukan, tapi bisa selamanya berhenti dengan kebiasaan-kebiasaan buruk lain.

Kalau teman-teman sendiri, adakah hal spesifik yang kalian berhenti lakukan dalam kurun waktu lima tahun kebelakang ini? Kalau ada, let me know, ya! I'd love to hear from you!😁
Share
Tweet
Pin
Share
34 komentar
The Gift of Imperfection


Lagi-lagi malam ini Tuhan menegur gue dengan cara-Nya, sekaligus mengingatkan gue bahwa kita nggak bisa mengubah seseorang kecuali semua atas ridho dan hidayah-Nya. Beberapa kali gue dihadapkan dengan hal ini—sesuatu yang nggak gue sukai yang ada pada diri orang lain, dan dalam beberapa waktu itu pula gue bertingkah seolah gue adalah mentor atau bahkan hakim yang bisa dengan lantang menghakimi bahwa yang dia lakukan itu salah, jelek, dosa, atau suatu keburukan. Sementara gue lupa, bahwa gue juga makhluk yang tidak sempurna, yang kadang kala melakukan kesalahan yang sama. Dan gue lupa, bahwa jalan hidup setiap orang, termasuk keburukan dan kebaikan yang dilakukan, bukan campur tangan gue dan bukan hak gue untuk masuk ke dalamnya sesuka hati, apalagi untuk bersikap seakan menjadi yang paling benar atas hidup mereka. 

It's true that we can't expect people to be the way we want them to be, cuz it's not our job to change others. It's God's. The only thing we can do is trying our best to be a kind human being as He wants us to be, pray the best for them, and let Him do the rest.

Sebab mungkin, bisa aja sebetulnya gue adalah salah satu dari sekian penyebab buruk yang membuat hal negatif kemudian muncul dalam diri seseorang. Hanya saja seseorang itu nggak mengungkapkannya ke gue. Karena itu, gue harus sadar, yang perlu gue lakukan ialah mendo'akan yang terbaik untuk kebaikan bersama. Bahwa gue pingin menjadi manusia yang sebaik-baiknya, dan bahwa gue ingin melalui proses itu dengan orang-orang yang gue sayangi. Meski sempat beberapa kali gue berpikir bahwa gue berlebihan, lebay, "gak gahol", terlalu polos, atau terlalu kaku, tapi setelah dipikir-pikir gue justru berpikiran seperti ini karena sejujurnya gue sangat sayang dan peduli, dan menginginkan yang terbaik untuk orang-orang di sekitar gue. Gue nggak mau melepas sesuatu yang berharga, hanya karena sesuatu itu gue anggap memiliki satu ketidaksempurnaan. Sesakit apapun kenyataan itu, dan sesedih apapun. Namun karena sekarang gue sadar akan segala keterbatasan diri gue sebagai manusia yang juga banyak salah dan dosa, selain mendo'akan, yang bisa gue lakukan saat ini ya cukup memperbaiki diri gue sebaik-baiknya, memperbaiki hubungan gue dengan Yang Maha Kuasa, dan tentu dengan orang lain. Bukankah contoh terbaik atas perubahan dari diri kita adalah salah satu cara paling baik yang bisa kita lakukan? Instead of giving such a harsh comment, memaksa dengan kekerasan, etc.

Selama ini, tanpa sadar gue hanya mengenal sifat "ketidaksempurnaan" manusia sebagai teori, nggak pernah benar-benar diilhami, dipahami. Sampai ketika Tuhan menegur gue untuk yang kesekian kalinya, dengan cara yang selama ini gue anggap ceroboh dan bodoh, bahwa terkadang ketidaksempurnaan itu ada untuk kita terima, dan untuk kita do'akan. Bukan untuk kita judge. Supaya gue sadar, apakah gue bisa menerima ketidaksempurnaan itu atau tidak? Apakah gue harus selalu berujung menuntut kesempurnaan yang justru nggak akan berefek apa-apa kecuali kebohongan semata? Sebab artinya gue sudah memaksa orang lain untuk sama seperti apa yang gue inginkan. And now i realized that i have to accept it since it's not my job. Mungkin, apa yang terjadi kepada gue sekarang adalah sebuah cerminan akan segala noda dan ketidaksempurnaan yang ada pada diri gue.

Dengan ini, gue berharap semoga segala beban yang nggak seharusnya hinggap di hati gue bisa Ia angkat, dan gue harus berlapang dada sambil mendo'akan yang terbaik. Mendo'akan apa? Mendo'akan agar tangan-Nya sampai di hatinya, mendo'akan agar apa yang telah jauh dari-Nya bisa Dia tuntun kembali, dan bahwa gue ingin berjalan bersama menuju sesuatu yang baik yang selalu Dia lindungi langkahnya. Gue menginginkan sebuah pantulan yang ketika gue lihat di "cermin", pantulan itu adalah pantulan yang bisa menuntun gue untuk menjadi seseorang yang lebih baik setiap harinya. 

Is it too much? Gue harap nggak. Semoga. Sebab gue percaya Tuhan Maha Baik atas segala niat baik yang kita miliki. Seperti yang Dia katakan, "Aku sesuai dengan persangkaanmu kepada-Ku".

And.. why do i name the title as "The Gift of Imperfection"?

No, it's not Brené Brown's book yang punya judul sama. Bagi gue, ketidaksempurnaan yang berkali-kali gue temukan dan baru gue sadari kali ini adalah sebuah hadiah yang Tuhan tunjukan agar gue bisa sabar, bisa menerima dan sekaligus hadiah yang menyadarkan gue akan sebuah cinta yang tulus. Iya, sebab alasan utama kenapa gue nggak bisa membiarkan sesuatu yang menurut gue nggak sejalan dengan prinsip gue ini adalah karena gue yakin dari hati terdalam gue ada niat yang tulus yang bukan sekadar memberi makan ego agar gue tampak terlihat paling benar, bukan. I do care so much, justru.

For the last, i'm sorry if you guys couldn't get what i'm talking about, since it is something personal that i've ever wrote. Tapi satu yang pasti, gue sedang belajar untuk menerima ketidaksempurnaan sebagai sesuatu yang betul-betul bisa gue terima, dan bisa selalu gue do'akan agar menemukan sisi baik dan hikmah pada akhirnya (tentu sempurna dalam kadar manusia). Sebab hidup itu proses. Meski apa yang gue risaukan tetap bukan menjadi sesuatu yang bisa dibenarkan, tapi at least gue harus percaya dengan proses itu. Dan kuncinya seperti yang gue bilang, membiarkan rencana Tuhan bekerja sebagaimana mestinya—bersama dengan do'a kita.

Insya Allah.
Share
Tweet
Pin
Share
16 komentar
Akhir-akhir ini gue lagi keranjingan banget dengerin lagu PJ Morton yang judulnya 'I Can't Wait'. Well, sebenernya udah dari dua minggu lalu, sih. Dari sejak awal denger lagu ini sejujurnya gue pingin banget bikin video cover, karena musiknya nggak berat di telinga gue, tapi in the end selalu memunculkan bad mood tersendiri karena gue nggak PD sama suara gue dan kualitas rekamannya yang ancur abiizzz, hoho. Jadilah berhari-hari instrumentalnya cuma nangkring di laptop gue. 

Tapi entah ada angin apa setelah bangun tidur tadi gue iseng-iseng untuk rekaman ulang with no pressure, semata-mata cuma iseng dan mengisi sedikit waktu luang. So yeah, i made this video.. sekadar untuk mengapresiasi diri gue yang akhir-akhir ini sedang merasa kecil sekali dan kehilangan semangat untuk melakukan hal-hal yang biasanya gue passionate (even blogging sekalipun). Memang bener ya kata orang-orang, segala sesuatu yang mendadak itu lebih pasti kejadian daripada sesuatu yang direncanakan LOL. Sebetulnya malu banget share ini, canggung banget gueee😭 tapi gue sedang berusaha untuk lebih percaya diri dari sebelumnya, so yeah.. sori banget kalau kualitas video dan audionya jelek. Just for fun😂✌🏻


PJ Morton ini adalah seorang musisi, termasuk penyanyi, penulis lagu, dan bahkan produser rekaman yang baru saja memenangkan salah satu penghargaan di Grammy Award 2020 untuk lagunya yang berjudul Say So sebagai Best R&B Song, yang juga merupakan penghargaan keduanya setelah 2019 lalu. Dan bagi teman-teman yang belum tahu, dia pernah bergabung bersama Maroon 5 sebagai keyboardist dan backing vocalist, sebelum akhirnya bergabung menjadi full-time member di tahun 2012. Tapi seingat gue sih sekarang doi udah lepas dari Maroon 5. The last album where he participated in was Red Pill Blues in 2017. Ini gue cantumin di bawah lagu I Can't Wait yang asli😁.


And hey hooooo, hampir aja gue ketinggalan menyantumkan informasi penting! Beberapa minggu lalu, PJ Morton juga meluncurkan single kolaborasinya sama Vidi Aldiano, lho! Jadi, lagu terbarunya yang berjudul I Can't Wait ini dikolaborasiin sama single Vidi yang berjudul Tak Bisa Bersama. Bangga deh, gueeee, musisi yang lagi gue gandrungin ini tiba-tiba duet sama salah satu penyanyi Indonesia favorit gue. You guys should listen this!


Sekian dulu postingan gue kali ini. Hehe, semoga bisa menemani waktu senggang manteman. Akhir kata, selamat menikmati akhir pekan, semuanyaa!💗
Share
Tweet
Pin
Share
20 komentar
 
2020 Wrapped Spotify

Hi folks, happy weekend!✨

Berhubung pagi ini sedang hujan berturut-turut, gue mau berbagi genre musik favorit gue di tahun ini yang mungkin bisa menemani waktu santai kalian di hari-hari berikutnya. Tapi sebelum itu gue mau share sedikit seputar 2020 wrapped yang mana terinspirasi dari postingan kak Lia, huehehehehe😁


2020 Wrapped Spotify

Ada Five Top Songs and Artist yang terakumulasi di akun spotify gue dan yeppp, a hundred percent sangat mencerminkan apa yang gue dengarkan sepanjang tahun ini. Yeay! (Ya iyalah namanya juga wrapped). Seperti yang terlihat di gambar, ternyata lagu teratas yang paling sering gue putar ada 'biarkan aku tertidur' dari Isyana Sarasvati. Buat teman-teman yang belum tahu, lagu ini semacam mengisyaratkan kesendirian, mimpi, harapan, dan rasa lelah yang mencoba diungkapkan oleh si empunya lagu. That's why lagu ini sangat relate untuk gue, bahkan sampai menemani gue untuk istirahat dari burn-out 'pikiran' yang gak berhenti-berhenti. Kira-kira begini lagunya..



Sementara untuk top artists, di urutan pertama ada Lloyd Webber, komposer kesukaan gue yang menciptakan musikal Phantom of the Opera. Yuhuuu! Tahu sendiri, kan, betapa cintanya gue sama musikal ini sampai dibuatkan satu postingan😂. Sisanya ada pop, Chill RnB/LoFi dari Mac Ayres dan Jack Dine, serta jazz (of coursee😱!!!) oleh Ardhito Pramono. Iya, sudah cukup kita bicarakan karya-karya Ardhito yang memorable di blog kak Lia, wkwkwkwkw🤣.

Sebenarnya gue nggak mengerti kenapa top genre-nya jatuh ke Indonesian Pop, since gue jarang sekali mendengarkan lagu-lagu pop Indonesia tahun ini. Ternyata setelah gue ingat-ingat, di awal tahun ini gue banyak memutar lagu pop era 2000-an jamannya Om Glenn, Tangga, T-Five (oh youuuuu did it again😙🎙️), dll. on repeat. Barulah menuju karantina sampai saat ini gue mengeksplore genre lain ke Classical dan Lo-Fi.

Nah, kalau kak Li menyebutkan 3 top lagu Ardhito, gue akan sebutkan 3 top genre favorit gue tahun ini yang menurut gue cocok menemani waktu santai dan ngupi teman-teman. Apalagi sambil diiringi gemercik suara hujan di pekarangan rumah, kan, hihiww! Here it is😍

1. R&B/Lo-Fi Type Beat

Lo-Fi Beats adalah salah satu genre yang paaaliiing sering menemani waktu gue kala lagi bengong, mendengarkan rintik-rintik hujan, ngopi atau minum susu santai, belajar, dan yang terpenting, ngeblog! Lumayan, kan, daripada gue jauh-jauh ke coffee shop hanya untuk menikmati playlist soul coffee atau cafè jazz, mending gue putar sendiri di laptop gue😎😆



(dan satu playlist di atas untuk teman-teman supaya nggak bosan musiknya itu-itu aja😁)

Btw karena lo-fi itu rata-rata memang hanya menyajikan susunan instrumen musik aja, jadi gue mau share dua versi, instrumental dan lagu Easy dari Mac Ayres kesukaan gue, hehehehe.


2. Musik Klasik

Kenapa musik klasik jadi salah satu genre yang recommended untuk didengarkan kala santai dan rileks? Karena banyak ahli yang mengatakan bahwa harmoni melodi dari musik-musik klasik itu sangat menenangkan dan dapat berdampak positif pada otak. Dan oleh sebab musik klasik mirip dengan lagu pengantar tidur, musik ini juga bisa membantu kita agar lebih rileks dan lebih cepat tidur. That's why bisa dikatakan juga bahwa musik klasik hampir seperti bentuk meditasi. Due to all these positive effects, musik klasik bahkan dapat membuat seseorang lebih berempati dan cerdas secara emosional, karena tubuh dan pikirannya damai😉. Of coursseee, musik yang didengarkan juga harus yang berirama lembut. Jangan yang terlalu berisik😂  


Oleh karena itu, piece yang gue cantumkan di atas pun termasuk piece yang menenangkan, yakni berjudul The Swan dari album The Carnival of the Animals, karya komposer Saint-Saens. Berhubung di spotify sendiri pasti banyak playlist classical, so, teman-teman bisa cari sendiri😉

3. Jazz

Yapp, absolutely! Gue bingung mau mencantumkan yang mana lagi karena isi kepala gue terus berteriak jazz, jadi gue nggak bisa untuk nggak bagikan ini😂 Tentunya dengan musisi jazz favorit gue, Frank Sinatra with They Say It's Wonderful. By the way, ini lagu yang dinyanyikan Mary Jane dalam film Spiderman 3 and i love this song ever since😍


Nah, itu diaaaa top 3 genre kesukaan gue, entahlah ini bermanfaat atau nggak😅 Tapi semoga bisa bermanfaat untuk menambah playlist teman-teman di kala gabut supaya lebih produktif. Jujur, gue bingung sebetulnya mau mencantumkan pieces atau lagu yang mana aja karena memang hampir semua komposer atau penyanyi dari genre di atas gue sukaaaa, huhuhu, semoga ketiga ini bisa mewakili.

Gue pingin tau dong, dari ketiga genre di atas, adakah yang juga menjadi favorit teman-teman? Atau kalian punya genre favorit lain? Yuk, sharing, guuuuys! I wanna know about yours!😍 Hihi cheerio👋🏻 xx

Share
Tweet
Pin
Share
20 komentar

 

Menjadi Sebaik-baiknya Manusia

Sudah beberapa waktu kebelakang ini gue merasa sangat kosong. Banyak hal yang ingin gue tulis, tapi entah kenapa ketika diurai satu persatu nggak ada yang bisa gue tuliskan sama sekali. Postingan mengenai komentar sosial yang biasanya gue publish pun kira-kira udah dua bulan ini nggak gue lakukan. Kenapa? Karena  isi kepala gue rasanya mau meledak (selain kenyataan bahwa gue memang nggak bisa juggling terus menerus dari tanggung jawab gue yang lain). Saking penuhnya, seringkali nggak tahu lagi apa saja yang gue pikirkan. Maka dari itu, sepanjang waktu ini gue nggak banyak mengikuti perkembangan berita di media sosial, and that's why kalau teman-teman menyadari, gue hanya memposting tulisan yang ringan-ringan, yang memang mencerminkan hobi gue, seperti postingan tentang Kaligrafi Jepang, dan yang baru-baru ini gue publish, Unlock the Key: Neoclassical Metal Versi Isyana Sarasvati?.

Sejujurnya, gue masih nggak menyangka bahwa tahun 2020 ini benar-benar 180 derajat berbanding terbalik dengan tahun sebelumnya, dimana pada sepanjang tahun 2019, bisa dibilang kegiatan gue full. Beberapa bulan di awal tahun 2019, gue dapat kerjaan sebagai tutor untuk salah satu lembaga pelatihan kerja di sekitar kampus gue. Meski dari segi penghasilan nggak sebesar saat gue jadi freelance writer di awal tahun ini, tapi feel-nya sangat terasa berbeda karena pekerjaan itu gue lakukan rutin selama tiga bulan, dan tentu secara tatap muka. Ditambah gue melakukan pekerjaan itu bersama teman-teman sesama tutor yang juga sohib segeng dan sekelas gue. Setiap kali mengajar, gue seperti mendapatkan energi baru dari murid-murid yang semangat banget ingin magang di Jepang, meski mereka tau kehidupan disana nantinya pun nggak akan mudah. Padahal beberapa di antara mereka usianya masih sangat muda di bawah gue. Gue juga sempat mengikuti kegiatan KKN selama empat puluh hari pada pertengahan tahun, tinggal satu rumah dengan sepuluh teman-teman baru satu kelompok yang membuat keintrovertan gue sangat sangat diuji saat itu.

Sambil kerja part-time, kehidupan perkuliahan gue pun berjalan baik-baik aja seperti biasanya. Meski gue harus tetap struggling dengan kemampuan yang sangat terbatas alias nggak berkembang banyak, semuanya ketutup sama rasa syukur gue atas kesibukan yang bermanfaat. Bahkan setiap saat gue mengalami turbulence nih, baik dalam persoalan akademik, pekerjaan, dll, gue merasa bisa mengatasinya dengan baik. Eventually, meski banyak masalah juga, at least ada ending yang bisa gue dapatkan. Sementara sekarang.. gue merasa nggak ada akhirnya. Kita masih harus hidup begini, berjarak dengan ketidakpastian. Petinggi-petinggi negara yang semrawut, regulasi yang serba tumpang tindih, masalah financial yang nggak ada habisnya, selalu gali lobang tutup lobang, belum lagi rencana-rencana yang gagal. Bahkan rencana yang baru dibangun untuk menyesuaikan dengan keadaan aja belum pasti bisa terealisasi. Lihat, kan, lagi-lagi seperti a never-ending journey.

Jangan tanya berapa banyak gue menangis dan sakit di tahun ini, karena kadarnya pastilah berkali lipat lebih sering dari tahun-tahun sebelumnya. Kalau gue boleh trackback lagi, tahun lalu gue banyak menangis karena hal-hal yang berkaitan dengan individu lain. Well, gue memang nggak bisa menyalahkan bahwa sepanjang tahun ini hanyalah mimpi buruk, karena biar bagaimanapun dari kacamata duniawi, gue masih bisa hidup dengan hati yang tenang dua bulan di awal tahun. 

Gue punya waktu cukup dengan keluarga di hari ulangtahun gue, gue pun bisa mendampingi sahabat gue di pernikahannya dari mulai persiapan sampai pertengahan acara (karena setelah itu gue sudah harus segera pulang), gue juga masih sempat merasakan gimana praktik ngajar langsung di SMA meski murid-muridnya lumayan menyebalkan, dan seperti yang gue mention di atas, pertama kalinya di bulan Februari gue dapat job baru sebagai penulis lepas yang mana pertama kali pula gue dapat gaji di atas 1jt. Biasanya pasti di bawah itu mengingat gue hanya freelancer, so i was really grateful. Tapi lagi-lagi inipun nggak bertahan lama karena gue overwhelming dengan dunia virtual.

Ternyata Tuhan memang punya cara-Nya tersendiri untuk menunjukan betapa Maha Kuasa Zat-Nya. Dia seolah ingin mengingatkan kita bahwa planet ini berputar bukan hanya secara fisik, tapi secara spiritual. Dalam esensi kehidupan itu sendiri sejatinya dunia selalu berputar tanpa henti bersama kita. Dan ini sebabnya kenapa gue bilang di atas bahwa dari kacamata duniawi, hidup gue tenang hanya saat dua bulan pertama. Karena dari kacamata spiritual, gue tahu jelas banyak sekali pelajaran yang bisa mendewasakan gue tahun ini.

Pertama, tentu gue jadi bisa lebih mengenal diri gue sendiri dalam segala kondisi. Senang, haru, sedih, rindu (dan rindu ini sendiri banyak cabangnya), sakit, frustrasi, insecure, desperate, gelisah, takut, kecewa, sesal, trauma, dan masih banyak lagi. Gue jadi lebih punya banyak waktu untuk berkontemplasi atas apa yang selama ini tersimpan dalam diri gue, dan apa saja yang sudah gue kerjakan, baik yang membawa manfaat atau keburukan bagi diri gue dan orang lain. Mungkin tanpa adanya pandemi ini, gue justru nggak bisa sadar bahwa gue punya banyak rasa yang selama ini gue abaikan. Bahkan gue jadi lebih bisa berdiri di atas kedua kaki sendiri. Gue jadi lebih sabar dan lebih tahu makna cukup in everything. Dan gue tentu bisa lebih berdamai dengan diri gue. Meski ada satu ilmu yang sampai saat ini—dan mungkin seterusnya—masih sulit gue kuasai, yaitu ikhlas, ikhlas, dan ikhlas, tapi at least i know i'm on my way and now i've found the right track already.

Gue semakin sadar rasanya jadi manusia. Manusia si tempatnya salah, manusia yang punya banyak rasa, manusia yang selalu memendam rasa-rasa itu, manusia yang selalu pura-pura, manusia yang seharusnya cukup berperilaku sebaik-baiknya manusia, manusia yang tahu kemana seharusnya ia kembali saat diri sudah nggak lagi berdaya menempa kerasnya hidup. Nggak merebut "job" Tuhan dengan menghakimi sesama manusia lain (itupun Tuhan nggak dengan lantas menghakimi hamba-Nya jika kita berdosa). Iya, yang kita ingat dari Tuhan itu seringkali hanya bagian yang menakutkan dan menyeramkan. Kita lupa, bahwa Dia Maha Penyayang dan Maha Baik. Kenapa manusia-manusianya malah berlomba-lomba jadi Tuhan dengan bertindak beseberangan?

Nggak menganggu makhluk-makhluk lain yang hidup di sekitar kita, itu juga tugas kita sebagai manusia yang sering sekali dilupakan. Manusia pikir, kita hidup hanya untuk diri sendiri, apa-apa bisa dieksploitasi dan dijadikan uang. Untuk apa? Untuk memenuhi ego manusia. Bahkan nggak hanya binatang dan tumbuh-tumbuhan, manusia lain yang dianggap lemah dan nggak selevel dengan manusia-manusia sombong ini, bisa dieksploitasi juga selagi menguntungkan.

Kembali soal gimana gue survive di tahun ini, gue betul-betul diingatkan tentang bagaimana seharusnya gue bersyukur ketika sampai saat ini masih diberi kesempatan hidup oleh Allah, di saat jutaan orang di luar sana mesti terinfeksi virus—yang sadly sampai saat ini masih juga disepelekan oleh sebagian orang Indonesia. Lalu cukup.

Enoughness yang gue rasakan hikmahnya sepanjang tahun ini lebih besar dari sekadar cukup yang gue tahu selama hidup. Bukan hanya cukup dalam uang, bukan juga cukup tahu kayak lagu Rizky Febian. Tapi cukup, literally cukup menjadi manusia. Ketika kita merasa sedih, ya sedih aja. Ketika bahagia, sebisa mungkin tetap merunduk dan bagi kebahagiaan itu dengan orang lain yang membutuhkan. Tapi ketika kita lagi depresi, ya nggak apa-apa juga untuk merasa begitu dan meluapkan semua emosi yang tertahan di hati, cause it's pretty normal. I've been there. Bahkan alasan kenapa di tahun ini gue banyak menangis, ya salah satunya karena gue merasa depresi dengan segala rencana dan pencapaian yang nggak sejalan dengan harapan. Gue selalu merasa kurang. Kurang cukup, kurang cerdas, kurang baik, kurang berusaha. Sampai akhirnya gue belajar tentang enoughness itu sendiri.

Selama ini gue merasa kurang, karena gue menolak untuk merasa cukup. Gue pikir cukup adalah kurang, nggak bisa memuaskan diri. When i can't afford something i'm craving for, artinya gue kekurangan. Sama ketika gue selalu menyalahkan diri sendiri atas berbagai kegagalan, gue menganggap diri gue kurang. Padahal nggak semua harus diukur dengan lebih dan kurang, kalau kita tahu rasanya cukup. Saat gue nggak bisa beli sesuatu yang gue dambakan karena harganya terlalu mahal, gue bisa beli sesuatu yang harganya di bawah itu atau nggak sama sekali, karena apa yang gue dambakan itu belum tentu berguna bagi diri gue. Mungkin aja kehadirannya bisa digantikan oleh sesuatu yang lain yang sama bermanfaatnya, dan itu cukup. Ketika gue nggak sanggup makan McD sering-sering (ya tekor juga dong tiap hari makan fast food), gue bisa makan-makanan lain yang lebih affordable. Makan di warteg atau di warkop dekat kost gue, misalnya, it's more than enough untuk perut gue. Lalu ketika gue menganggap diri gue bodoh karena belum punya sertifikat Noken/JLPT—sebetulnya dalam hal pengetahuan memang kita selalu perlu haus dan nggak boleh merasa cukup gitu aja sebab ilmu apapun luas sekali jangkauan dan maknanya, harus selalu kita gali. But in order to keep me sane dan supaya gue bisa menghargai diri sendiri, gue harus sadar bahwa saat ini Tuhan mencukupkan gue (bahkan melebihkan gue) dengan keahlian yang lain. I can write, i can sing (paling nggak untuk menghibur diri sendiri), and that's enough.

Berkaitan dengan spiritual journey, gue pun semakin menyadari bahwa sebagai manusia, hamba-Nya Allah, langkah kaki kita nggak akan pernah bisa jauh dari Dia yang punya kuasa atas hidup kita. Dengan segala kesemrawutan dunia yang gue tangisi, satu-satunya yang bisa menenangkan dan memberi harapan adalah Tuhan. Bahkan di saat gue sedang jauh pun, Dia masih mau merangkul gue untuk kembali di jalan yang Dia restui. 

Tahu, nggak? Tuhan itu cemburu sama kita yang selalu mengagung-agungkan kenikmatan duniawi, yang selalu lupa atas keberkahan rezeki yang dilimpahkan terhadap kita. Cemburu karena kita jarang sekali mengingat keberadaan-Nya. Sampai-sampai kita sendiri lupa bahwa kita hanyalah seonggok daging yang lemah jika hidup tanpa arah dan pegangan. Satu hal yang gue pahami hingga detik ini, when we're trying our best to get close to God and asking Him to love us, Dia akan menyayangi kita lebih dari yang kita pinta, and it happens to me as well.

Pernah di suatu momen gue sudah sangat lelah dan ingin berserah, sampai-sampai do'a yang tersisa di akhir sujud gue hanyalah satu, "ya Allah, tolong rangkul saya. Saya ingin Kau peluk, ya Allah. Bantu saya."

You know what? Selalu ada jalan untuk gue nggak melakukan kesalahan yang selalu gue ulangi, bahkan sampai ke hal detailnya. Semacam langsung diarahkan ke jalan yang seharusnya, dan saat itulah gue tahu, terlepas dari segala dosa, problema dan kekhilafannya, manusia adalah makhluk yang paling Dia sayangi jika kita bergantung kepada-Nya, menempatkan wujud-Nya tepat di hati kita sebagai pegangan. Dan kembali mengingat-Nya dengan sungguh-sungguh adalah cambuk yang sangat keras bagi gue setahun kebelakang ini. Dari sini gue semakin belajar rasanya jadi manusia.

Manusia yang sabar, yang nggak dzalim atau merugikan orang lain, manusia yang mau selalu berbagi dengan orang lain, manusia yang nggak pernah lupa dimana kakinya berpijak dan dari apa mereka berasal, manusia yang punya beragam emosi, manusia yang nggak sekadar hidup dengan asal, manusia yang punya lebih dari segudang kesalahan, manusia yang bisa dan mau untuk selalu belajar dari kesalahan-kesalahan itu, manusia yang diberi privilege berupa nalar yang seharusnya digali dan dimanfaatkan dengan baik, manusia yang selalu kekurangan tapi sebetulnya selalu dicukupkan, manusia yang tahu mana yang baik dan benar, serta mana yang buruk untuk dirinya. 

Iya, gue tahu, berat memang tugas kita untuk "selamat" dari macam-macam ujian yang ada, dari yang ringan sampai yang paling berat sekalipun, but that's just how life works, man. If we succeed, we can get everything priceless. But if we don't pass, we gotta pay for all of the bad deeds that we have done in our entire lives. Gue pun masih berusaha untuk kesana, masih belum sempurna dalam kadar manusia, tapi gue tahu ada Zat yang Maha yang selalu membersamai langkah gue saat orang lain nggak bisa memberikan ketenangan yang sama besarnya dengan ketenangan yang Dia berikan untuk diri gue. So, 2020 betul-betul memberi gue banyak pelajaran, baik secara fisik, mental, maupun spiritual yang nggak akan pernah bisa gue lupa.

Dulu, setiap kali ditanya sama orang apa motto hidup gue, gue selalu kelimpungan mencari quotes yang tepat yang dapat mewakilkan hidup gue. Ya iyalah, wong masih cilik mana ngerti hidup. Tapi sekarang, kalau ada orang yang bertanya ke gue apa motto hidup gue, i can simply answer; jadi sebaik-baiknya manusia.

Now, could you share to me what does "being a human" mean in your version? Are we actually in the same boat of life?
Share
Tweet
Pin
Share
26 komentar
Newer Posts
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Bukan Salah Indonesia
  • Childfree yang Diperdebatkan
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Just Listen
  • Terlalu Besar Untuk Gagal

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

My Podcast

Newsletter

Get new posts by email:

Popular Posts This Week

  • Di Balik Angkasa
  • Goodbye Wasteful Life, Welcome Minimalism
  • by.U: Solusi #SemuanyaSemaunya
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • How I See Feminist as a Muslim
  • Kenapa Harus Berpikir Kritis?
  • Become a Fighter
  • Romantisisasi Generasi 90-an
  • Cuma Cerita

Blog Archive

  • ▼  2024 (2)
    • ▼  Oktober 2024 (1)
      • Posture Perfect: How Wearing a Waist Trainer Can I...
    • ►  Agustus 2024 (1)
  • ►  2023 (1)
    • ►  Februari 2023 (1)
  • ►  2022 (9)
    • ►  November 2022 (1)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (1)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  Maret 2022 (2)
    • ►  Februari 2022 (2)
  • ►  2021 (30)
    • ►  Desember 2021 (1)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  Juli 2021 (3)
    • ►  Juni 2021 (2)
    • ►  Mei 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  Maret 2021 (5)
    • ►  Februari 2021 (1)
    • ►  Januari 2021 (5)
  • ►  2020 (46)
    • ►  Desember 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  Oktober 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (10)
    • ►  Juli 2020 (8)
    • ►  Juni 2020 (4)
    • ►  Mei 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  Desember 2019 (3)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Agustus 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Februari 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Pengikut

Categories and Tags

Intermeso Krisis 1/4 Abad Opini Perempuan Podcast Poetry Review Thoughts digital marketing karir lifestyle slice of life

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.