Diberdayakan oleh Blogger.
  • Home
  • About
  • Lifestyle
  • Personal
    • Opini
    • Thoughts
    • Slice of Life
    • Poetry
    • Intermeso
  • Podcast
  • Review
instagram LinkedIn Spotify YouTube Email

Notes of Little Sister



rasanya menjadi dewasa di era digital
This photo is belong to this incredible Japanese photographer: Akine Coco

Usia sepertinya memang bisa selalu menipu dan bikin gelisah. Terlebih untuk gue yang di usia sekarang ini masih clueless soal masa depan, akan jadi apa setelah lulus nanti. Berkali-kali gak habis pikir bisa menyentuh angka 21 tahun. Dari kecil, gue memang selalu melihat orang dewasa sebagai superior dan "tua". Orang-orang yang dewasa pasti hebat karena pernah melalui berbagai macam problema dalam hidupnya, tanpa pernah berpikir gue suatu saat akan dewasa. Percayalah, ketika menjadi dewasa seperti sekarang, rasanya bener-bener aneh. Sampai sekarang gue masih amazed ketika ngeliat temen yang udah nikah, yang udah kerja, yang udah buka usaha dan sukses—walaupun gue gak tau tolak ukur kesuksesan itu apa, tapi bagi gue mereka udah sukses menjadi orang dewasa, karena gue seringkali masih merasa seperti anak kecil, seakan-akan raga gue tertinggal 10 tahun yang lalu di tempat tidur, masih pake piyama dan tidur dengan mimpi panjang.

Seharusnya gue bersyukur bisa diberi kesempatan untuk beribadah dan memperbaiki diri oleh Allah, sehingga gue bisa mencicipi bagaimana pula rasanya hidup sebagai orang dewasa, yang harus bisa mandiri, yang harus bisa mengontrol segala perasaan yang muncul, yang harus bisa menjaga perasaan orang lain, yang harus bisa mengerti manusia lainnya, yang harus bisa mencari solusi dari setiap masalah sendiri, yang harus menangis sendiri saat orang-orang pergi dengan segala misi pribadinya, yang harus dihadapkan dengan segala sistem dan peraturan yang kadang gak masuk akal, dan yang harus lainnya.

Entah keadaan yang memaksa gue untuk jadi dewasa bahkan sebelum waktunya, atau memang gue hanya sedang menyangkal bahwa gue sebetulnya sudah cukup dewasa untuk merasa dewasa. Keduanya mungkin bisa iya atau nggak. Iya, gue dewasa sebelum waktunya, karena harus menghadapi gimana rasanya jadi anak broken home sedari kecil, sekaligus anak pertama yang mau nggak mau beban dan segala kesedihan dipeluk sendiri. Bisa juga nggak, karena gue mungkin hanya merasa menjadi orang dewasa itu sucks. Banyak hal yang diribetin, yang dibawa pusing, yang dibawa perasaan, yang gak bisa dibikin santai.

Dulu, saat masih kecil, perjalanan panjang di dalam bus atau kereta selalu menyenangkan karena gue bisa belajar banyak hal dari sekitar. Belajar mengamati orang-orang dewasa dengan segala tampang semrawut dan cueknya, memperhatikan pak supir dan kondekturnya yang seakan gak mengenal lelah nganterin penumpang, juga ngeliat objek-objek di jalanan sana. Pemandangan alam dan kehidupan selalu asik buat kita perhatiin sampe ngantuk. Sekarang, perjalanan sepanjang apapun nggak banyak yang bisa dinikmati kecuali pikiran yang bergulat sendiri. Mikirin kerjaan numpuk, deadline yang berdekatan, mikirin pasangan yang nggak ngehubungin kita, mikirin ortu dan keluarga di rumah, mikirin teman-teman di lingkungan kerja atau mereka yang menghilang total dari kehidupan kita, mikirin gaji yang serasa gak cukup buat memenuhi kebutuhan, semuanya menjadi lebih kompleks buat sekadar dipikirin. Belum lagi kenyataan bahwa kita hidup di jaman dimana perlombaan antar manusia seakan menjadi lebih jelas kelihatannya, sehingga banyak kekhawatiran-kekhawatiran yang datang tanpa diundang.

Dulu juga, saat masih kanak-kanak, gue ngerasa segala tindak tanduk gue gak berpengaruh untuk orang banyak. Apa yang gue lakuin semua murni dari hati, atau paling nggak karena pingin menang piala, dapet snack dan hadiah. Namun pada prosesnya, gue gak butuh pengakuan orang lain untuk membuat gue bisa berjalan di arena gue. Sekarang, semuanya berbanding terbalik. Gue merasa orang-orang seringkali terlalu ikut campur di arena balap gue, bikin semua yang gue kerjakan serasa tumpang tindih, antara niat, ambisi, dan emosi untuk bisa menghalau omongan-omongan gak mengenakan. Padahal bisa saja itu semua cuma sugesti gue, walaupun gak bisa dipungkiri, menjadi dewasa berarti mau nggak mau memang harus menerima banyak omongan pahit yang datang dari lingkungan sekitar. Semakin kesini, bahkan bukan cuma omongan yang datang dari mulut perseorangan lah yang jadi pressure, hal-hal abstrak dari pikiran sendiri pun bisa jadi tekanan. Misalnya, mudah iri ketika melihat orang-orang di luar sana yang udah selangkah lebih maju daripada gue. Mudah frustrasi karena merasa bahwa gue satu-satunya orang yang tertinggal. Beberapa hal itu seringkali gue alami di media sosial, yang parahnya, selama ini gue justru gak sadar bahwa dengan hal itu gue sudah menekan diri sendiri akibat kebodohan yang gak bisa mem-filter apapun yang gue lihat di media sosial.

Realita hidup di era digital memang lumayan pedih untuk orang-orang dewasa yang punya banyak problema. Kalau kita gak pintar memanfaatkan media sosial yang ada, bisa habis diri sendiri dibuat depresi karena kehidupan chill and gaul yang dipertontonkan orang lain. Omong-omong, kenapa gue sangkut pautin sama media sosial? Karena benda tak berbentuk itu buat gue pribadi cukup memberi pengaruh dalam keberlangsungan hidup gue. Terkhusus sisi gue yang akhir-akhir ini sering melo dan galau mengkhawatirkan masa depan. Gak jarang media sosial justru menyita waktu gue yang teramat berharga, padahal isinya cuma scrolling dan swipe gak jelas ngelihat hidup orang lain satu per satu.

Seperti di seri Black Mirror episode Nosedive, gue nggak menemukan alasan kenapa hidup kita harus diukur dari rank atau rating, dan kenapa ini harus mempengaruhi status sosio-ekonomi kita. Kalau rating kita di media sosial ada di bawah 3, maka jangan harap bisa dapat akses dengan mudah untuk pergi ke tempat-tempat tertentu. Bahkan untuk tinggal di apartemen mewah aja seseorang harus terdaftar di atas 4,5. Kalau sampai rate-nya turun, bisa-bisa diusir dari tempat tinggalnya sendiri. Kita memang gak sampai disana—atau belum, tapi dari seri itu gue belajar bahwa hidup harus berjalan sesuai dengan kapasitas kita, dan harus ada di bawah kendali kita. Jangan jadi Lacie yang sebegitu terobsesinya dengan rating tinggi sampai lupa diri sendiri, lupa saudara, lupa kalau dia juga manusia yang punya harga diri, yang bisa merasakan emosi, yang gak harus selalu pura-pura tersenyum dan ceria hanya untuk dapat rating tinggi setiap kali berinteraksi dengan orang lain, yang punya kebebasan buat melakukan apapun yang dia mau—ofc, selama itu baik. Jangan juga jadi Naomi yang dibutakan oleh peringkat sampe-sampe dia memandang teman lamanya sebagai barang yang pas harganya udah jatuh dia bisa buang begitu aja.

Enough with Black Mirror episode, menjadi dewasa di era sekarang gak cuma dihadapkan dengan eksistensi media sosial yang seringkali merenggut waktu produktif kita, tapi juga harus dihadapkan dengan orang-orang dewasa lain yang gak cukup dewasa untuk disebut dewasa. Kebebasan dalam berinternet gak lantas membuat semua orang terinformasi dan terpenuhi wawasannya dengan baik, karena nyatanya ada orang-orang yang gak bisa memilah konten apa yang baik untuk dirinya dan mana yang nggak. Alhasil akan banyak dijumpai orang-orang yang dibutakan oleh preferensi politiknya sendiri, menutup mata dan hati terhadap realita karena terlalu menyembah tindak tanduk sang idola, sampai-sampai gak tau caranya bertutur kata dengan baik kepada mereka yang berkomentar lain. Mereka gak sadar bahwa ada sosok manusia di balik akun-akun instagram, facebook, twitter, etc, yang mungkin kita bisa lebih hargai jika bertemu secara langsung. Gak cuma itu, tingkat kedewasaan seseorang di internet bisa dilihat dari cara dia memperlakukan seseorang. Gak sedikit yang merasa bebas untuk mengumpat atau mencaci orang lain yang dibenci, atau bahkan ngajak sex strangers yang bagi dia menarik. Cyber bullying, sexual harassment/verbal, adalah yang marak terjadi dan seringkali dianggap biasa. Lagi-lagi karena komunikasi tanpa tatap muka membuat kita hilang respek terhadap orang lain. Kita akhirnya seperti anak kecil yang harus disuapi caranya bersikap dan bertutur kata di internet, karena kehidupan nyata dan maya ibarat Ahmad Dani dan Maia yang gak bisa lagi disatukan.

Hidup di belahan mana pun realitasnya akan selalu sama. Termasuk hidup di dunia maya. Kita gak boleh lupa dengan identitas diri, yang punya kebebasan dan kontrol atas diri sendiri, supaya gak dengan mudahnya dikendalikan oleh media. Jaman sekarang tuh gak perlu sering denger ocehan tetangga, tapi lihat kehidupan mewah orang lain di instagram udah cukup bikin panas. Liat yang nikah, pengen ikutan nikah. Liat yang jalan-jalan ke LN, pengen ke LN juga. Liat yang udah punya anak, pengen punya anak juga. Segitu mudahnya keinginan kita tercipta. Lihat orang bikin video tiktok, ikutan juga. Yaa ini sih terserah ya, gue cuma agak geram sama yang pingin ikut-ikutan dalam urusan yang sifatnya besar dan personal like i said. Sebagai orang dewasa, harusnya kita tahu bahwa setiap orang punya pace-nya masing-masing, punya goals-nya masing-masing, punya prinsip masing-masing. Jangan jadi anak kecil yang selalu iri melihat pencapaian orang lain, yang selalu mudah tersulut lihat orang lain yang punya preferensi berbeda akan suatu hal, yang gak tau caranya berbicara dengan strangers—padahal gak sedikit anak kecil yang lebih tau tata krama daripada orang dewasa, yang sadar akan potensi diri sendiri dan mau untuk berkembang, yang terus jalan tanpa menghiraukan pandangan negatif di sekelilingnya.

Oh iya, sisi positifnya, gue jadi tahu bahwa gue bukan satu-satunya orang yang tertinggal. Ada ribuan orang di luar sana yang mungkin sama depresinya dengan gue, sama khawatirnya dengan gue soal masa depan.  Dan ini membuat gue lebih sadar dan tenang, gak semua hal harus didapatkan dengan berlari. Maybe some of them do so, maybe not, dan gue salah satu dari sekian orang yang bergerak perlahan, merangkak, nungging, atau mungkin jalan jongkok. Better correct the words 'left behind' with 'chase behind', karena sesungguhnya semua orang hanya sedang saling mengejar, bukan sedang meninggalkan. Mengobservasi orang lain di media sosial juga kadang selalu jadi inspirasi buat gue nulis-nulis hal baru. Interesting, huh? Sama kayak hidup, yang ada ups and downs-nya. Sama kayak sifat manusia, yang ada lebih dan kurangnya, media sosial juga punya sisi positif dan negatifnya di kehidupan kita.

Menurut gue, sosok Ryan Pond, adik Lacie di episode Nosedive adalah representasi orang dewasa yang lumayan bisa jadi contoh untuk masyarakat yang hidup di tengah-tengah era digital seperti kita. Dia nggak peduli dengan peringkat, dengan segala privilege yang bisa dia dapat hanya dengan bertemu orang-orang dan bersikap sok friendly,  dengan kepura-puraan yang ditampilkan Naomi, dengan media sosialnya sendiri yang cuma di-rate tiga koma sekian. Walaupun yang dia lakuin cuma main game, at least dia tahu apa yang mau dia lakukan. Dan setidaknya, dia nggak seperti orang-orang di luar sana yang penuh kepalsuan dan mau aja dibudaki media sosial.
Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar

Pernah gak sih lo merasa terjebak dalam lingkaran setan dan mengulang pattern yang sama?

If you do, itu artinya lo normal—katanya sih gitu.

Mungkin udah nature-nya manusia kali ya untuk jatuh ke lubang yang sama berkali-kali, seakan-akan kita gak cukup pintar untuk bisa mengambil hikmah dari setiap kesalahan yang terjadi. Padahal bukannya gak bisa mencerna setiap pelajaran, menurut gue terkadang kita justru menjadikan pengalaman itu sebagai tameng buat bisa menghadapi kegagalan berikutnya. Instead of blocking away the anxiety and avoiding failure, kita malah cenderung membiarkan kesalahan terjadi lagi hanya untuk tahu apakah kali ini bisa lebih kuat atau malah lebih keok pertahanannya dari sebelumnya, atau hanya karena udah merasa cukup kuat buat menghadapi segala risiko—ini sih gak masalah bagi gue, artinya kita masih punya kesadaran untuk siap gagal. Tapi yang lebih parahnya, ada momen dimana justru kita gak tahu kalau kita sedang berjalan menuju kesalahan yang sama, ke dalam lubang yang sama dan gak sadar bahwa perlu waktu sebentar lagi untuk kembali jatuh.

Contoh terkecil dalam kehidupan sehari-hari adalah melewatkan kesempatan dengan cuma-cuma. Gue personally, sering banget secara sadar atau nggak, melewatkan gitu aja kesempatan yang harusnya bisa gue ambil. Kesempatan, yang harusnya bisa jadi tempat gue mencicipi sesendok kecil petualangan dalam hidup, tempat gue mencoba pengalaman yang gak pernah gue temui sebelumnya. Terkadang gue jadi penasaran sendiri, seandainya kesempatan-kesempatan itu gue ambil, ada di bubble seperti apa gue sekarang? Yang pasti gue bisa selangkah atau dua langkah lebih maju daripada sebelumnya, atau mungkin sekarang. Mungkin aja gue ada di bubble yang lebih besar, lebih segar, lebih melegakan, dan lebih menantang. Lucu kalau membayangkan mungkin Tuhan sedang menertawakan gue yang hobinya sambat sama misuh-misuh soal hidup gue yang gini-gini aja, padahal gue sendiri yang ngelewatin kesempatan emas yang Allah kasih. Gue sendiri yang hobinya uncang-uncang kaki dan rebahan gak jelas. Kadang meringis sendiri sih, perlu digetok seberapa keras gue buat bangkit dan berjalan? Mengambil setiap kesempatan yang datang.

Mungkin, ini normal. Again, seperti yang gue bilang di atas. But do you know? It's all normal as its looks. It seems normal, karena itu biasa kita lakuin. It sounds normal, karena melewatkan kesempatan berharga dan mengulang kesalahan yang sama adalah pola hidup manusia. Kita yang membuat semuanya tampak normal. Coba deh bayangin, gimana kalau dari sejak awal kita mengenal hidup semuanya benar-benar dilakukan dengan hati dan hati-hati, mungkin gagal bukanlah sesuatu yang normal. Tapi lagi-lagi ngeri juga membayangkan betapa seramnya persaingan di antara kita. Manusia akan selalu menghalalkan segala cara supaya bisa sampai ke titik yang mereka mau. Terus, gimana cara orang-orang gagal menghadapi hidup mereka? Depresi, pasti. Sementara tekanan yang datang bertubi-tubi. Lihat orang sukses kiri kanan. Padahal kapasitas manusia gak bisa disama ratain. Orang-orang yang sangat rajin pun pasti pernah gagal, pasti pernah melewatkan kesempatan yang datang dalam hidupnya, disadari atau nggak.

Pesan gue adalah, segala sesuatu yang normal gak bisa selamanya dimaklum. Normal hanya kumpulan stigma yang dianggap common oleh sebagian orang. Normal is just assumption that we, our own selves made. Gak apa-apa melewatkan kesempatan, selama semuanya diputuskan dengan matang, selama kesempatan itu dilewat untuk sesuatu yang lebih bernilai buat diri lo. Tapi tidak membiarkan diri mengulang kesalahan yang sama sesungguhnya sangatlah bijak, daripada mengulang hal yang bikin kita menyesal. 

Blog kali ini sengaja gue isi lebih personal, supaya masing-masing dari kita bisa refleksi. Kira-kira kesempatan apa aja sih yang udah dilewatin dengan percuma? Lalu setelah itu bertekad dalam diri buat gak mengulang jatuh di lubang yang dalam, di kesalahan yang sama.

Anyway, stay safe, guys. Stay healthy and stay at home. Lebih baik jaga kesehatan, jangan sakit. Not to be rude, tapi jadi sakit di Indonesia menurut gue cukup memprihatinkan. Apalagi melihat death rate nya udah sampe puluhan orang gini. Kalau ngebandingin sama di Thailand yang sama-sama negara berkembang dan asia tenggara, jumlah pasien yang positif corona disana udah 1000 orang tapi yang meninggal sampai saat ini 4 orang. Ngeri, makanya. Semoga kita diberikan perlindungan selalu ya.

Share
Tweet
Pin
Share
6 komentar
perilaku manusia-manusia di abad ini


Bulan ketiga, tahun 2020. Kerusuhan, kebodohan dan kekacauan dimana-mana. Penyakit, ketidakadilan, segala bentuk kekerasan yang semakin masif hadir di tengah-tengah kita membuat gue bungkam seribu bahasa. Berada di akhir zaman membuat gue semakin takut. Bukannya enggan untuk beropini, tapi situasi dunia yang runyam ini perlahan membuat gue berpikir bahwa kayaknya manusia semakin nggak terkontrol perilakunya. Seiring dengan banyaknya pergerakan-pergerakan yang menuntut keadilan dan kebaikan terhadap sesama umat manusia, kejahatan-kejahatan yang seringkali ditutup rapat pun ikut meluap nggak terbendung. Hasilnya, mata kita disuguhkan dengan kenyataan bahwa lagi-lagi orang dungu dan tolol di sekitar kita itu jumlahnya tidak kalah masif dengan orang-orang yang menginginkan perubahan,  menginginkan pergerakan untuk didengar.

Realita itu membuat gue pada akhirnya fokus mengamati. Kok begini amat ya manusia? Ego mereka seakan sudah merasuk sampai ke daging, demi melakukan kepentingan pribadi yang dianggap penting. Demi memuaskan hawa nafsu, meski yang dikorbankan adalah nyawa bernasib pilu. Begini, mungkin dari kita gak sadar, hampir seluruh manusia yang ada di sekitar kita, including us, seakan sudah lupa apa makna hidup di dunia. Bukan lagi tenteram dan damai yang dikejar, tapi materi, kepuasan diri, sampai atensi orang lain. Kalau dulu membunuh adalah tindakan yang masih bisa dihindari beritanya karena orang-orang mungkin masih sedikit waras, sekarang nggak. Bunuh-membunuh selalu jadi headline. Dan parahnya, bukan hanya fisik yang dibunuh, tapi pemikiran, demokrasi, kebebasan berpendapat, dan idealisme. Agama udah bukan lagi jadi tiang. Asal perut kenyang, ego senang, negara aman, tenang. 

Bukan salah negara ini memang, bukan juga salah dunia, kalau kita mengingat betapa banyak moralitas manusia-manusia di luar negeri sana yang gak kalah sadisnya dibanding negara kita. Seperti yang sudah jelas-jelas tercantum dalam Al-Qur'an, manusia sejatinya adalah perusak di muka bumi.  Maka sudah jelas ini semua salah siapa. Salah kita yang bodoh, yang gak menggunakan akal sebagaimana mestinya, yang gak tahu apa tujuan hidup di bumi. Negara kita cuma korban, dari bobroknya kapitalis, penguasa-penguasa, dan orang-orang t*l*l yang gak punya setitik pun niat untuk hidup dengan baik. Our world as well, is the victim of all the victim.

Coba kita lirik sebentar berita yang masih baru-baru ini, in case you still don't get what i'm saying. Media dunia belum lama ini dihebohkan dengan berita tentang muslim di India yang dipersekusi, didiskriminasi, dan diserang oleh masyarakat yang tadinya dianggap kawan, dan oleh pemerintah mereka sendiri. Rumah-rumah di bakar, dihancurin, sampai gak terhitung berapa banyak korban jiwa, termasuk lansia dan balita. Di Jerman, para ekstrimis dan rasisme yang dibawa dari golongan sayap kanan yang anti-imigran dan anti-muslim sekarang semakin menyebar dan berkembang kebenciannya, hal itu dibuktikan dengan kasus penembakan di Hanau yang menewaskan kurang lebih sepuluh imigran. Sementara itu di London, seorang imam masjid di Regents Park Mosque ditikam oleh orang berkulit putih saat sedang sholat Ashar. Di saat yang sama, seorang pengungsi Syria di Amerika ditembak sesaat sebelum dia berangkat untuk sholat jum'at and fyi, refugee ini berhasil melarikan diri dari Syria ketika perang, berharap untuk bisa melanjutkan hidupnya dengan normal but he tragically ended up getting murdered there. Lalu berita virus corona yang dengan ditulisnya postingan ini belum juga hilang wabahnya.

Di Indonesia sendiri, gue rasa kalian udah bisa mengira apa aja yang terjadi di negara kita. Sepertinya segala bentuk egoisme manusia numplek jadi satu disini. Kasus-kasus pelecehan seksual, pemerkosaan, entah itu dilakukan oleh orang random atau saudara kandung sendiri! Pembunuhan tanpa pandang iba, begal dimana-mana, pendidikan yang gak setara, yang pandang bulu dan juga timpang implikasinya antara desa dan perkotaan—dan entah sampai kapan gue bisa berhenti sedih kalau menyadari banyak anak-anak yang bahkan gak tau untuk apa mereka sekolah. Duka yang tanpa perasaan dieksploitasi oleh media, demi rating, demi views. Pemerintahan yang cacat, yang gak pro-rakyat, dan orang-orang yang gak berusaha mengisi otak mereka dengan berbagai informasi bermutu, yet appreciating jokes too much. Apalagi kaum-kaum yang berpikiran sempit, gak bisa mencari sisi positif dari ideologi yang mereka anggap berseberangan. Padahal berseberangan bukan berarti salah, bukan berarti sesat, hence mereka cuma bisa bergumul dengan pemikiran yang sama juga dan gak bisa menerima perbedaan.

Baca juga: Indonesia Krisis Moral dan Terlalu Besar Untuk Gagal

Tapi di antara semua itu, lo tau gak sih? Ada yang paling bikin gue sebel dan ini sering banget. Satu hal yang bikin gue makin gedek sama Indonesia adalah media-medianya. Media di Indonesia tuh sering banget lebay dan naruh clickbait yang sama sekali gak ada hubungan sama isi berita yang ditulis *lagi-lagi trik sih memang. Ditambah kontennya sama sekali gak bikin gue merasa acknowledge. Berita artis yang begini lah, begitu lah, berita pemerintahan yang kadang kurang informatif lah. Contoh aja ya, kalau ada berita pemerkosaan, yang dikupas tuntas bukan tentang proses kasus itu berlangsung, tapi privasi korban, hubungan korban dan pelaku, etc, yang menurut gue gak bagus untuk membuka informasi seorang korban yang privat ke ruang publik. Belum lagi program televisi yang seneng banget ngasih suguhan acara gosip dan sinetron kaleng. Perlu gue akui kayaknya acara televisi kita makin kesini makin gak kreatif. Bisanya cuma ngambil berita-berita yang lagi hot dan ngetrend di medsos atau yutub. Gue berasa nonton yutub versi layar gede sih.

OK, gue tau gue bilang kayak gitu karena gue gak kerja di stasiun TV. Gue tau betapa berat perjuangan mereka untuk bisa mengikuti perkembangan jaman dengan membawa apa yang jadi isu terkini di internet, tapi bukan berarti gak ada cara lain untuk membuat tontonan kita lebih bermutu.  Toh gue gak menyalahkan pekerjanya, tapi kapitalisme yang bersembunyi di balik ide-ide cemerlang para produser atau bos-bosnya TV. Gue percaya kok di antara mereka masih banyak  sekali orang kreatif dan inovatif tapi tertahan oleh rating. 

Gue hanya bingung setiap kali ada orang TV yang jawab bahwa mereka mengikuti konsumsi masyarakat ketika ditanya kenapa programnya begini begitu blablabla. TV yang berkedudukan sebagai ruang publik dan milik publik, gak semestinya selalu ngikutin pasar, malahan harus bisa ngendaliin pasar, dong. Kalau pasar bagus seleranya, kalau nggak, terbukti kan sekarang gimana tampilan program TV Indonesia?

Melihat watak orang Indonesia yang apa-apa perlu "diatur" dan "ditertibkan", seharusnya penting bagi media untuk menggeser tontonan dan program-programnya ke jalur yang benar, yang lebih baik seleranya, yang sesuai dengan undang-undang. Toh kalau semua channel bersinergi bikin tontonan yang  lebih berbobot dan bernilai, mau gak mau akan tetap dilahap sama masyarakat. Coba deh, lo mending dikasih asupan empat sehat lima sempurna tapi sehat, atau dikasih jengkol lima kilo sampe asem urat? Untuk mencapai sesuatu yang lebih baik, memang kita harus dihadapkan dengan sesuatu yang lebih pahit. Tapi kalau untuk kebaikan, masa sih gak ada hasil yang setimpal?

Sebagai tambahan, gue cantumkan beberapa  pasal dari Undang-undang No. 32 tahun 2002 tentang penyiaran.

(1) Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.

(2) Isi siaran dari jasa penyiaran televisi, yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Swasta dan Lembaga Penyiaran Publik, wajib memuat sekurang-kurangnya enam puluh per seratus mata acara yang berasal dari dalam negeri.

(3) Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran.

(4) Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu.

(5) Isi siaran dilarang :
a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;
b. menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau
c. mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan.

(6) Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.

Gimana? Apa menurut kalian penyiaran kita masih berpegang pada undang-undang? Sebagian mungkin iya, tapi gue sih ragu. Wong TV publik kita udah gak netral juga kan preferensi politiknya. Hm. Mungkin tayangan televisi yang selama ini ada sudah lolos KPI dan itu artinya memenuhi undah-undang yang berlaku, tapi somehow gue justru merasa bahwa semua yang ada sekarang ini terkesan dipaksakan untuk sesuai dibandingkan sesuai secara murni.

Kesimpulan dari tulisan ini, manusia jaman sekarang udah gak punya akal. Even now animal more human than human themselves. Apapun dilakukan demi ego diri sendiri. Demi rating, demi views, demi preferensi politik yang dielu-elu tapi nyatanya nihil hasil, demi menguntungkan golongan tertentu. Banyak demi yang terbuang sia-sia, cuma untuk kepuasan semata. Sepertinya kita lupa, manusia bukan cuma seonggok daging yang bisa berjalan di muka bumi. Kita punya misi, punya tujuan, salah satunya ya untuk bumi juga, untuk jadi bermanfaat buat sesama.
Share
Tweet
Pin
Share
5 komentar


Generasi dimana orang-orang lebih senang menertawakan kehidupan orang lain dan menganggap lucu konten-konten sampah

Gue sepertinya sedang ada di masa-masa jenuh buat nulis. Bukan karena nggak punya ide, tapi karena gue gak merasa punya dorongan buat menyampaikan sesuatu yang seharusnya penting untuk dibaca. Gue merasa menulis disini jadi sia-sia karena poin penting yang ingin gue sampaikan hanya diterima oleh sedikit orang–itupun kalau doi beneran baca. Mungkin ini suka dukanya jadi idealis. Gak semua orang bisa menikmati konten yang isinya cenderung terlalu serius dan mumet. Jujur gue juga kalau udah terlalu mumet sama urusan ini itu kayaknya gak ada waktu buat baca-baca tulisan yang bisa numbuhin mumet-mumet baru. Akhirnya yang dicari pun hiburan, atau paling nggak konten yang seger yang bisa bikin kita lupa sejenak dari problema dan rutinitas yang menyita. I see.

Kita tuh selalu tertarik buat dikasih postingan lucu dan menggelikan yang gak jarang bikin kepala geleng-geleng sendiri. Mungkin ngetawain orang memang jadi salah satu tindakan paling enak, paling bikin puas dan lo gak butuh effort lebih untuk mendapatkan kepuasan itu. Gue pun seringkali begitu. Cuma lama-lama jengkel juga sih kalau sampe setiap hari yang trending isinya konten-konten gak bermutu. Saking senengnya orang sama konten menghibur, udah deh, terus aja dikasih asupan begitu sama para "content creator" yang nggak jelas. Bahkan acara televisi yang seharusnya serius, berkelas dan minim bercanda pun, sekarang di-setting untuk paling nggak ada satu segmen dimana komedian atau pelawak muncul disitu, atau kalau nggak komedian, ya hostnya dituntut buat bawain segmen lucu-lucuan bareng bintang tamu. Gue yang tadinya semangat pingin ngedengerin cerita-cerita inspiratif dan asik dari si bintang tamu akhirnya cuma bisa "hm okay" dan terpaksa matiin TV. Iya, matiin TV. Gue gak perlu lagi ganti channel karena toh gak ada program yang well-informed dan well-educated di era sekarang selain isinya ketawa ketiwi, dangdut, sama kepo dan rumpiin hidup artis.

Kayaknya di balik kejenuhan ini gue nggak sama sekali mendapat pencerahan. Gimana nggak, nonton TV gak mungkin, udah dari kapan tau gue puasa nonton. Buka yucub sama medsos, yang ada isinya misuh-misuh semua liat berita si anu yang berantem sama lulove, terus liat berita video dara arafah yang viral–yang ujung-ujungnya ada nama lulove juga huft, berita sunda empire, rumah kuya yang entah untuk keberapa kalinya masuk top trending, prank ojol, halilintar, kue ricis, lulove lagi, bocil-bocil tiktok yang entah gimana caranya bisa punya fanbase sampe bikin meet&greet, drama perseteruan artis, drama perselingkuhan artis, drama perjulidan selebgram, and ANOTHER STUPIDITY THAT I CAN'T BELIEVE IT'S TRULY EXIST.

Kayaknya gak salah kalau gue bilang orang-orang ini adalah generasi hobi bercanda. Mereka cuma tau caranya bikin konten bobrok yang berkedok hiburan. Ada influencer yang hobinya ngomong cursing words dianggap lucu dan keren. Kalau dikomentarin gak lucu, kita yang dianggap kurang main dan ujung-ujungnya menyalahkan selera. Kalau ditanya kenapa kok influencer ngomongnya gitu, kontennya gitu, "ya gue kan emang kerjaannya ngelucu", "gue cuma menghibur orang". Perasaan dari jaman dulu pelawak atau orang yang senang ngelucu di depan orang lain itu punya effort lebih karena harus bisa melucu dengan berbagai topik. Lah ini cuma ngomong ng*n**t doang bisa jadi lucu? Anehnya banyak orang yang bertingkah geram dengan pointing out kesalahan dan kekurangan si pembuat konten karena mengajarkan yang gak baik dan bikin konten gak bermutu, tapi mereka gak sadar telah membuang waktu untuk mencari kekurangan dengan bela-belain nontonin konten mereka. Pura-pura iwh, tapi tetep kepo sama kontennya terus mantengin di instagram itu gimana malih? Gue jadi takut lama kelamaan kita jadi orang yang munafik karena gak bisa bedain mana yang jahil dan bathil, mana yang baik dan buruk, mana yang pura-pura dan tulus, mana yang berfaedah dan mana yang nggak.

Masa iya kan kalau mau jadi influencer harus ada penyaringannya dulu? Dengan membludaknya para content creator dan influencer, ini jelas susah. Harusnya udah pada tahu lah hal-hal basic macem gini. Tapi ya itu, makin susah karena masing-masing mungkin udah punya pasarnya. Gen Halilintar sampe anak cucu cicitnya—yakali—udah punya pasarnya sendiri, yang menurut gue sangat disayangkan para subscribersnya seperti nggak bisa memilah konten apa yang bisa mereka tonton dan nggak. Terus channel gaming, juga udah punya sasarannya. Channel kuliner, channel masak, channel edukasi, dll. Tapi pembagian pasar dan sasaran penonton itu gak bikin gue puas karena lagi-lagi (seperti politik kita yang sama sekali nggak cerdas) banyak ketimpangan disana-sini. Konten yang positifnya mungkin gak lebih banyak dari konten serampangan.

Gue bener-bener jenuh. Sangat jenuh karena cuma tiga puluh atau empat puluh persen kayaknya postingan atau konten yang bener-bener mengedukasi dan menginform diri. Apakah udah jadi watak? Apa karena bagian dari identitas? Bahwa orang Indonesia, rakyat negara +62 tuh apa-apa dibawa santai, dibercandain. Saking senengnya bercanda, apa aja bisa dijadiin konten. Sampe ke masalah yang menyangkut financial dan hidup orang aja bisa di-prank. Gue nggak menyangka hal-hal bercanda bisa bikin orang lupa diri dan gelap mata. Oh iya, asal kalian tau aja, kebanyakan ketawa bisa bikin otak dan hati kita mati. Bisa bikin lupa diri dan hilang empati. Gak percaya? Butuh bukti secara ilmiahnya? Oh, don't worry guys. Allah has said it clearly. You can easily find it in your Holy Qur'an and it's absolute. And if you know already, that's okay. Gak ada salahnya mengingatkan hati yang udah ketutup rating, trafik dan jumlah followers.

Mungkin kita selama ini banyak lupanya, bahwa gak semua hal bisa dibercandain. Mungkin kerasnya hidup membuat kita lupa dengan kenyataan bahwa hidup nggak sebercanda itu untuk dimainin dan diketawain seenak jidat, hingga akhirnya menertawakan orang lain lewat "konten-konten" pun dijadikan sebuah pelarian, which is gak memberi efek apa-apa pada diri lo yang butuh hiburan selain hati yang semakin mati. Sejujurnya gue udah pernah bahas sedikit yang nyenggol tentang ini di postingan yang judulnya "Everything Goes Viral with Social Media" but that's that. Gue bener-bener nggak menyangka hal semacam itu terus menjamur dan menjadi candu yang gak ada abisnya. Lagi-lagi gue menyayangkan kenapa pengaruh yang ditimbulkan dari internet menjadi nggak terbendung kayak gini? Kenapa kita nggak memanfaatkan media sosial dengan sebaik-baiknya, dengan seberguna-bergunanya.

Untungnya di balik generasi yang hobi bercanda ini ternyata ada juga orang-orang baik dan waras yang gak mau kalah dengan dibodohi konten-konten prank nggak jelas. Gue bersyukur banget karenanya ada platform yang memanfaatkan jaringan internet seperti kitabisa.com, ruangguru, Kophi, Komunitas Jendela, beasiswa10000, @perempuangagal, @pedulikucingpasar, dan masih banyak lagi. Untungnya juga, orang-orang yang mungkin sama jenuh dan gedeknya dengan gue bisa terjaring dengan platform itu supaya akhirnya bisa saling bermanfaat untuk sesama. Buat yang masih awam dengan platform-platform penebar kebaikan, mending kalian abisin waktu dengan itu, deh. Paling nggak jadi donatur kecil-kecilan gitu. Dijamin hidup lo bakal lebih bahagia dibanding nontonin selebgram gak jelas yang katanya lucu padahal garing. Internet itu luas cuy, coba carilah yang isinya faedah dikit.
Share
Tweet
Pin
Share
3 komentar

Seputar pengalaman tentang bullying

Before 2019 really end, i wanna tell you something and this might be the briefest story i have ever written.

Ada alasan kenapa gue nggak senang bergaul dengan orang, pilih-pilih teman dan cenderung mengucilkan diri. Gue selalu punya pengalaman nggak mengenakan dari sejak SD dalam pertemanan. Entah itu diledek, diejek, dikatain manja lah, belo lah, etc. But it has nothing to do with me now. Ada alasan lain dibalik semua itu. Dibalik antipati gue terhadap manusia lainnya. Lebih tepatnya terhadap orang-orang yang nggak bisa menghargai manusia lainnya.

Gue pake kacamata sekitar kelas satu SMA. But it's not because i have eye problems like minuses or cylinders. No. I was tried to covering my eye-bags that's so "baggy" and "dark" that time—seperti yang mungkin temen real life gue tahu. Gue sangat nggak nyaman dengan ini. Sangat.

Pada awalnya gue nggak pernah mempersalahkan itu. Gue sama sekali gak pernah berusaha melihat kekurangan diri gue cause i think i'm normal just like my friends out there. Gue sama dengan mereka. But apparently some of them saw me another way.

Sebelum kenal skincare dan make-up, so pasti gue ke sekolah cuma pake bedak bayi. Setiap kali gue dateng ke sekolah, instead of say hello or ask me how was my holiday, or have you done your homework, etc, my friends chose to asked 'am i sick?' or 'did i stay up last night?' karena gue terlihat sangat pucat. Saat itu kira-kira SMP kelas satu, dan seharusnya, gue ketemu dengan teman-teman baru yang 90% gak pernah ditemuin di SD. Emang sih, dulu gue dikenal sebagai anak yang penyakitan karena saat kelas 1—2 SD dulu gue sering banget gak masuk gara-gara sakit, bahkan pernah sampe diopname berminggu-minggu karena tifus. Maka itu gak aneh kalau gue dikatain penyakitan dan setiap pelajaran olahraga gak boleh ngelakuin olahraga berat. Tapi yang bikin gue bingung saat itu adalah, kenapa teman-teman baru gue di SMP harus menanyakan hal yang sama? Mereka tau darimana gue penyakitan? Lagian itu kan dulu sering sakitnya, pikir gue. Apakah gue terlihat penyakitan?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus terlintas dalam kepala gue meski akhirnya hilang dengan sendirinya karena gue nggak mau memikirkan hal yang gak penting, toh gue tetep main sama mereka. Tapi agaknya gue memang harus disadarkan saat itu tentang bagaimana orang lain melihat gue, dan semua itu berawal ketika ada anak laki-laki yang ngatain gue zombie. Iya. Zombie, sosok mayat hidup yang berbagi virus dengan manusia normal dengan makan daging mereka, dan kalau di film-film barat biasanya digambarkan dengan jalan sempoyongan sambil tangan ke depan kayak vampire China. Bersama teman-temannya, mereka mengolok-olok gue dari bangku bagian belakang, laughing at me because at that time they thought i'm zombie, karena gue kelihatan penyakitan dan pucat. Seperti biasa, gue nggak mau cari ribut sama mereka, jadi yang gue lakukan hanyalah melotot dan muterin mata—etdah gimana tuh bahasa. Mendelik lah ya. Untungnya pelototan gue cukup ampuh untuk nggak bikin mereka mengulang hal yang sama kepada gue di kemudian hari. Tapi sejak hari itu, ucapan mereka terus terngiang-ngiang di kepala gue. Kenapa? Kenapa mereka ngatain gue zombie? Apa karena gue penyakitan? Apa karena gue pucat? Karena gue gak bisa menemukan alasan lain selain dua itu.

Sepulang sekolah, gue pun menatap cermin. Meniti wajah gue sepersekian detik. I'm beautiful. Gue manis kok—iya gue sePD itu kalau lagi ngaca. But then i've finally found something. Ada semacam kantung mata yang gelap di area bawah mata gue. Entah sejak kapan dark circle ini muncul, mungkin memang gen dari kecil, i don't know. Foto-foto gue kecil kebanyakan dari jarak jauh, jadi gue nggak bisa menemukan detail wajah gue sampai ke mata-matanya.

Sejak saat itu gue pun tau, kenapa anak laki-laki itu ngatain gue zombie. Dan sejak saat itu, gue seperti nggak bersyukur dengan kesempurnaan yang Tuhan kasih. Gue jadi sering ngeluh, "coba mata gue cantik kayak orang lain, pasti banyak temen😟", "kenapa sih mata gue harus gini". Berkali-kali gue googling 'how to reduce dark circle' dan gimana cara ngilanginnya, serta alasan kenapa seseorang bisa memiliki dark circle. Ada banyak artikel yang mungkin gue lahap tentang itu selama bertahun-tahun. 

Gue insecure. Gue nggak PD ikut ekskul ini itu. Bahkan ikut ekskul PMR aja setelah pelantikan malah keluar. Gue nggak nyaman ketika ada orang yang berusaha menelisik wajah gue—dan itu jelas banget—bukan karena gue menarik, atau cantik di mata mereka, tapi karena gue mungkin terlihat 'berbeda'.

Untungnya perasaan itu agak mereda ketika gue kelas 2 SMP, karena gue mulai mau untuk berusaha deket sama orang, termasuk temen cowok—and you know where does the story continue. Tapi ternyata orang-orang yang 'sok' gak hilang juga dari muka bumi. Menjadi anak yang terlihat culun mungkin memang sasaran empuk geng-geng sok iye. Beralih dari problem soal mata, gue pernah diejek, diketawain gara-gara salah beli barang yang mereka suruh gue buat beli ke koperasi. Iya, mereka nyuruh gue beli minuman ke koperasi siswa. Sebagai anak yang baik—atau bego—gue iya-iya aja nurut apa kata mereka. Kebetulan suasana di kelas waktu itu emang lagi rame banget, makanya gue gak begitu dengar apa yang mereka pinta, sampai akhirnya pas gue bawain minuman yang salah, gue diketawain habis-habisan satu kelas. Gue ikut ketawa, tapi hati gue sakit. Gue cuma bisa ngedumel dalam hati. "Belagu lu!" "Hm, gini ya rasanya jadi anak cupu."

Masalah ini nggak pernah gue ceritakan ke siapapun. Even keluarga gue. Karena gue pikir ini cukup sepele pada awalnya. Tapi dengan seringnya orang-orang bertanya perihal keadaan mata gue, gue semakin menganggap bahwa ini nggak sepele. Ini bisa mengganggu psikis gue. Pertanyaan-pertanyaan gak bermutu kalian bisa mempengaruhi hidup gue and how i deal with it.

Kembali ke soal kenapa gue memakai kacamata. Dari kelas tiga SMP, gue udah coba-coba beli kacamata dan sesekali gue pakai ke sekolah untuk membuat gue terbiasa. Of course, kacamata biasa. Tapi kegiatan itu nggak rutin gue lakuin, karena gue pikir biarlah semua itu gue akhiri di masa SMP. Gue pingin buka lembaran baru. Gue pingin memberi kesan baik ketika bertemu dengan teman-teman baru gue nanti di SMA.

So, apakah itu berhasil? Gue nggak bisa bilang iya. Tapi setidaknya masa SMA gue lebih baik daripada masa SMP. Gue cukup aktif di organisasi dan ekskul, gue punya banyak temen dari setiap kelas, dan gue berhasil bikin mereka 'mau' melihat gue karena kagum—maybe🙄, bukan karena apa yang terlihat di wajah gue.

Jadi, apa sekarang gue masih pura-pura minus buat pake kacamata? Nggak. Mata gue beneran minus sekarang. Blur. Dari sejak kelas dua SMA, setahun setelah gue pake kacamata bohongan, tapi saat itu emang gak parah. Gue bercerita seperti ini bukan karena gue pingin seeking attention or something ya, no. Gue pingin orang-orang yang baca ini dan orang-orang lain di luar sana supaya sadar, bahwa komentar-komentar terhadap penampilan seseorang yang nggak memiliki kesan baik ternyata  bisa mempengaruhi hidup mereka, dan tentu saja ini semua nggak bisa dianggap remeh.

Sekarang gue udah berdamai dengan masa itu. Gue udah bisa menerima diri gue apa adanya, termasuk kondisi mata gue. Dan gue lebih gak peduli sekarang setiap ada orang yang berusaha untuk memberi komentar terhadap mata gue. Kadang kalau orang-orang di deket gue ngomongin soal kecantikan dan mata, gue langsung menghindari pembicaraan itu atau nggak pura-pura melakukan kegiatan lain. Bukan karena gue masih insecure, tapi karena gue nggak mau hati kecil gue ngedenger hal-hal yang menjadi strugglenya selama ini. Gue butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa seperti sekarang, dan gue nggak bisa membiarkan hal itu mengusik diri gue lagi. Gue nggak mau bilang keadaan mereka-mereka yang "ngebully" gue sekarang gimana, tapi gue yakin lo semua udah bisa paham apa yang dinamakan karma.

Pesan yang ingin gue sampaikan adalah, gak semua hal bisa dikomentari. Gak semua hal butuh untuk dikoreksi. Kadang apa yang kita pikir becanda, bisa jadi nggak sebecanda itu dalam hidup seseorang. If you want to be something bad in someone's memory, then be it. Tapi nyatanya nggak ada, kan, yang mau menyisakan kenangan buruk dalam hidup orang lain—seharusnya. Apa yang gue alami mungkin memang nggak setara dengan apa yang dialami korban-korban bullying di luar sana, tapi ini membekas cukup dalam di ingatan gue. For years.

Akhir kata, gue harap semoga kita-kita ini bisa lebih sadar akan pentingnya menjaga perkataan. Terkhusus untuk orang-orang yang senang memberi penilaian berdasarkan penampilan semata. Kita ini hidup untuk menikmati hidup. Dan menikmati apa yang ada dalam hidup itu sudah terlalu sulit. Tolong jangan dibuat sulit dengan berucap yang nggak baik. Kalau nggak bisa menanyakan dan memberi komentar baik, alangkah indahnya kalau mulut kita cukup diam, bersihkan hati dari segala komentar julid dan kepo yang sama sekali nggak ada untungnya.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Bukan Salah Indonesia
  • Childfree yang Diperdebatkan
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Just Listen
  • Terlalu Besar Untuk Gagal

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

My Podcast

Newsletter

Get new posts by email:

Popular Posts This Week

  • Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
  • Just Listen
  • Bukan Salah Indonesia
  • Di Balik Angkasa
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Goodbye Wasteful Life, Welcome Minimalism
  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Luka Dalam Lentera
  • Body Positivity Bukan Validasi
  • Lika Liku Jadi Career Shifter dan Tips Memulainya

Blog Archive

  • ▼  2024 (2)
    • ▼  Oktober 2024 (1)
      • Posture Perfect: How Wearing a Waist Trainer Can I...
    • ►  Agustus 2024 (1)
  • ►  2023 (1)
    • ►  Februari 2023 (1)
  • ►  2022 (9)
    • ►  November 2022 (1)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (1)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  Maret 2022 (2)
    • ►  Februari 2022 (2)
  • ►  2021 (30)
    • ►  Desember 2021 (1)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  Juli 2021 (3)
    • ►  Juni 2021 (2)
    • ►  Mei 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  Maret 2021 (5)
    • ►  Februari 2021 (1)
    • ►  Januari 2021 (5)
  • ►  2020 (46)
    • ►  Desember 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  Oktober 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (10)
    • ►  Juli 2020 (8)
    • ►  Juni 2020 (4)
    • ►  Mei 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  Desember 2019 (3)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Agustus 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Februari 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Pengikut

Categories and Tags

Intermeso Krisis 1/4 Abad Opini Perempuan Podcast Poetry Review Thoughts digital marketing karir lifestyle slice of life

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.