Diberdayakan oleh Blogger.
  • Home
  • About
  • Lifestyle
  • Personal
    • Opini
    • Thoughts
    • Slice of Life
    • Poetry
    • Intermeso
  • Podcast
  • Review
instagram LinkedIn Spotify YouTube Email

Notes of Little Sister



Ada yang pernah dengar istilah Spoonerism? Atau adakah di antara kalian yang kalau ngomong suka keselip alias terbolak-balik? Seperti Isyana Sarasvati, dari "bener dong" jadi "beneng dor", dan "terpesona" jadi "tersepona".

Jika ada di antara kalian yang sering mengalami hal serupa, welcome to the club!🙌🏻

Spoonerisme, Alasan Utama Lidah Keseleo

Gue pribadi adalah satu dari sekian orang yang sering banget mengalami selip lidah atau terbolak-balik saat bicara. Contohnya persis seperti yang gue sebut di atas. Kosakata yang baru-baru ini nggak sengaja gue ucapkan itu adalah, "enak" jadi "anek". Gue juga belum lama keseleo pas bilang gave birth, jadi give barth, padahal nggak ada artinya. Gue pikir awalnya aneh, tapi pada kenyatannya banyak banget orang-orang di luar sana yang sering mengalami hal demikian. 

Awalnya gue nggak peduli untuk cari tahu lebih lanjut tentang ini, yang gue tahu, mungkin thinking proccess-nya lebih cepat daripada mulut gue, dan barangkali memang gue aja yang kalau ngomong kecepetan. Setelah ditelusuri, ternyata kondisi semacam ini dinamakan Spoonerisme.

Spoonerisme (spoonerism) adalah kesalahan bicara yang berkaitan dengan transposisi fonetik dalam huruf mati, huruf hidup atau morfem yang biasanya terbolak-balik di antara dua kata dalam sebuah frasa. Istilah spoonerism diambil dari nama William Archibald Spooner (1844-1930), penjaga New College, Oxford, Inggris, yang sering bicara terbolak-balik saat itu. Spoonerisme juga dikenal sebagai marrowsky, seperti nama seorang Polandia yang juga mengidap kebiasaan serupa. 

Biasanya seseorang secara spontan melakukan kesalahan pengucapan ini disebabkan karena gugup, kurang konsentrasi atau terlalu cepat berbicara. Namun ada juga yang memang memiliki kesulitan secara verbal karena terlalu lama diam di suatu negara yang berbeda dengan yang dia tinggali sekarang. Dan karena situasi ini dialami oleh banyak sekali orang di belahan dunia, tentu saja kata atau kalimat yang keselip gak hanya ada dalam bahasa Indonesia. Bahasa Inggris pun banyak yang seringkali bisa keseleo, seperti contoh di bawah ini:
  • "A blushing crow." ("crushing blow")
  • "A well-boiled icicle" ("well-oiled bicycle")
  • "You were fighting a liar in the quadrangle." ("lighting a fire")
  • "Is the bean dizzy?" ("Dean busy")
  • "Someone is occupewing my pie. Please sew me to another sheet." ("Someone is occupying my pew. Please show me to another seat.")
Dalam bahasa Indonesia sendiri, kata atau kalimat yang biasa kepleset adalah sebagai berikut (contoh ini diambil langsung dari testimoni gue saat sedang keselip lidah):
  • "Nanti aku kuping jewermu ya!" ("Nanti aku jewer kupingmu ya!")
  • "Hudas kok." ("Sudah kok") 
  • "Aku makan sudah" (Aku sudah makan) 
  • "Dasar budaya darat" (Dasar buaya darat) 
  • "Aku mau odun!" (Aku mau udon—makanan Jepang) 
  • "Tutupnya pintu." (Tutup pintunya) 
Nah, kira-kira begitulah contoh kosakata yang sering terbalik saat gue ucapkan. Tentu ini belum termasuk kata-kata lain yang gue lupa untuk catat di notes😂

Kalau teman-teman, bagaimana? Apakah ada yang mengalami hal serupa? Let me know, ya!🤩
Share
Tweet
Pin
Share
5 komentar
Berawal Dari Kegelisahan (How to produce a creative content with Raditya Dika)

Mendadak gue ingat pernah ikut kelas "Persiapan Menjadi Video Creator" bersama Raditya Dika yang diselenggarakan oleh Kominfo x Siberkreasi tahun lalu dan ingin menuliskan sedikit bahasan pentingnya pada kelas waktu itu. Dalam salah satu sesi, Bang Radit sempat memberikan tips tentang bagaimana caranya membuat ide konten yang kreatif dan bermanfaat.

Menurutnya, hal tersebut bisa dimulai dengan memikirkan kegelisahan diri sendiri, diikuti dengan memikirkan cara untuk bisa menghadapi kegelisahan tersebut. Iyap, jadi pada dasarnya, kita yang punya masalah, kita sendiri yang cari jalan keluarnya, lalu kita coba bagikan deh, ke khalayak umum. Barangkali konten tersebut ngena di sebagian orang, atau mungkin bisa menjadi solusi dan jawaban juga atas kegelisahannya.

Contohnya terdapat di dalam konten-konten Raditya Dika sendiri yang mana salah satunya dapat kita lihat lewat video reels berikut ini:

View this post on Instagram

A post shared by Raditya Dika (@raditya_dika)


Dalam video itu, kegelisahan Radit adalah: tidak bisa tidur dengan lampu dinyalakan, namun ia lupa mematikan lampu dan malas turun lagi saat sudah beranjak ke kasur. 

Cara unik yang dia lakukan untuk bisa mematikan lampu, atau supaya bisa tidur meski lampu dinyalakan adalah dengan melemparkan bola kasti ke arah saklar menggunakan tongkat baseball. Hal itu ia lakukan bukan semata-mata agar saklar bisa tertekan off, tapi agar dia merasa kelelahan dan setelah itu bisa tidur meski lampu dinyalakan.

Well, cara ini memang nggak bisa dilakukan untuk semua orang, mengingat ini hanya komedi🤣. Tapi itulah fondasi yang dimiliki Bang Radit dalam membuat konten-kontennya yang out of the box. 

Selama kelas berlangsung, gue jadi mikir, kira-kira konten atau tulisan apa yang bisa gue buat based on kegelisahan yang gue miliki, ya🤔 Apakah jangan-jangan sebenernya gue udah pernah buat yang sesuai dengan content pillar Bang Radit?

Turns out, setelah gue baca-baca ulang beberapa postingan lama, selama ini gue sudah banyak menuliskan tentang kegelisahan gue ke blog—dan mungkin juga teman-teman bloggers yang lain secara nggak sadar. Walaupun memang nggak semua gue terapkan pilar yang kedua: cara mengatasi kegelisahan tersebut, tapi gladly gue sudah mengerti gimana basis dalam membuat konten itu berkat ilmu yang gue dapat dalam kelasnya Bang Radit.

Beberapa contoh tulisan gue yang berangkat dari kegelisahan adalah Bahagia Perlu Uang? dan Don't Stop. Dalam postingan yang pertama, gue mengajak orang-orang terkhusus teman-teman yang sama-sama sedang mengalami krisis seperempat abad untuk bekerja keras dan memiliki growth mindset terhadap uang, karena bagaimana pun alat tukar ini bisa memberi sedikit banyaknya power dalam hidup kita, entah itu untuk menghidupi diri dan keluarga, atau membantu orang-orang yang tengah kesulitan di luar sana. 

Mengapa ini jadi kegelisahan gue? Karena ketika menulis itu, keluarga gue sedang mengalami masalah pelik soal keuangan. Mungkin ada tiap hari dimana kami harus memutar otak gimana agar uang ini bisa terus berputar, misalnya dipakai untuk berdagang, dan gimana caranya agar uang yang dihasilkan bisa jadi modal untuk hari esok dan nggak habis dipakai menutupi kebutuhan rumah tangga.

Therefore, I came up with the conclusion bahwa keluarga gue akan bisa lebih sejahtera dan senang if I could earn more money for them. Supaya gue bisa bantu biayai adik-adik yang sebentar lagi akan masuk kuliah tahun depan, bisa bayar orang untuk bantu-bantu jalankan UMKM eyang gue, supaya bisa support financial kedua orangtua gue, lalu sisanya ingin bisa membantu orang-orang yang membutuhkan di sekitar. Sebab gue pernah dengar dan belajar, bahwa ujian bagi seseorang itu sebetulnya bisa jadi ujian juga untuk kita. Apakah kita mau bantu seseorang itu untuk melalui 'ujiannya' atau nggak?

Lalu tulisan yang kedua, Don't Stop, berangkat dari kegelisahan gue yang merasa belum qualified enough untuk lulus dari jurusan yang gue tempuh. Gue merasa bodoh dan salah jurusan, karena nggak banyak ilmu yang bisa gue bawa sampai detik itu menjadi mahasiswi. 

Karena saat itu gue masih ingin mengejar cita-cita di bidang yang linear, maka dalam tulisan itu gue maksudkan (lebih tepatnya kepada diri sendiri) bahwa penting untuk kita kembali fokus dengan tujuan awal dan kembali menata rencana-rencana yang bisa kita susun saat diri kita tengah goyah dan kehilangan arah akan tujuan hidup kedepan. Tentunya dalam kasus gue adalah mencari metode belajar yang cocok, dan mengurangi intensitas penggunaan media sosial agar bisa lebih fokus, nggak lagi terdistraksi dengan bisingnya kehidupan internet. 

Hal yang sama juga gue terapkan pada podcast gue, Notes of Little Sister. Kalau teman-teman perhatikan, hampir semuanya mengarah pada kegelisahan dan bagaimana sebaiknya kita deal dengan itu (tentunya menurut diri gue sendiri), and yesss, semua topik itu nggak jauh-jauh dari kehidupan personal gue yang diharapkan bisa jadi salah satu sarana pengembangan diri untuk siapapun yang mendengar. Nanti gue akan posting khusus tentang podcast, bakal ada yang baca nggak yaa?😆

Lihat juga: Manusia Lemah


Berawal Dari Kegelisahan (How to produce a creative content with Raditya Dika)

Kembali soal tips membuat konten dari Raditya Dika, selain mengambil inspirasi dari kegelisahan diri sendiri, tentunya kita juga bisa menjadikan kegelisahan yang kita miliki terhadap lingkungan sekitar sebagai ide konten. Dan tanpa disadari, ini cara yang sudah dilakukan banyak content creator untuk menghasilkan konten-konten yang menarik dan untuk menjangkau massa yang sesuai dengan segmentasinya masing-masing. 

Para content creator ini berbondong-bondong memproduksi konten berdasarkan kegelisahan dan isu-isu yang happening di kehidupan sosial kita. Misalnya aja isu kesehatan mental, pelecehan seksual, investasi bodong, sampai ke persoalan quarter life crisis. Masing-masing dari mereka menawarkan cara uniknya tersendiri untuk bisa melewati atau menemukan solusi bagi audiens dari berbagai permasalahan tersebut—and most of the time it helps! 

Yang paling menarik, nggak cuma konten dengan topik yang serius aja yang bisa diangkat dari keresahan publik, konten berjenis komedi atau hiburan pun masuk-masuk aja, lho. Contohnya yaa kayak video Bang Radit di atas😆

So, buat yang sering kena writer's block, stuck dan kehabisan ide untuk menulis konten, mungkin bisa mencoba dengan breakdown satu per satu apa yang menjadi kegelisahan teman-teman. Dimulai dari skala yang paling kecil, yakni dalam diri, sampai skala yang terbesar. 

Kira-kira, ide konten apa aja sih yang udah teman-teman buat based on kegelisahan? Yuk, sharing!🤩






Share
Tweet
Pin
Share
6 komentar
Body Positivity Bukan Validasi


Teman-teman, ada yang masih ingat? Lebih dari setahun yang lalu, jagat maya kita sempat dihebohkan oleh pernyataan salah satu influencer yang sempat keblinger freedom of speech, karena mengata-ngatai tubuh seseorang di tempat gym dengan sebutan "polusi visual". 

Kemudian setelahnya, muncul lagi pernyataan kontroversial dari MH, seorang model alias "Menteri Kecantikan" yang mengeluh di media sosial pribadinya dikarenakan standard kecantikan Victoria Secret's Angels dan tayangan Gossip Girl favoritnya kini telah bergeser dari yang ia yakini selama ini. Seolah tak kuasa menahan kekesalan, dengan lantang ia melabeli "buriq" seorang perempuan berkepala pelontos dan berkulit gelap yang diketahui sebagai pemeran baru seri Gossip Girl.

Ujaran tidak mengenakan terhadap perempuan yang dianggap tidak memiliki tubuh seperti standard masyarakat juga pernah dialami oleh Nurul, seorang atlet angkat besi sepulang dari Olimpiade Tokyo di Bandara Soekarno-Hatta pada pertengahan Agustus tahun lalu. 

Sikap ini seakan-akan semakin melanggengkan eksklusivitas standard kecantikan yang tidak merangkul semua kalangan dan jenis tubuh. Karena itu, gerakan women support women pun tampaknya hanya berlaku untuk lingkaran tertentu.

Pergelutan di media sosial terhadap self-acceptance semacam ini lagi-lagi menunjukan adanya miskonsepsi perihal body positivity. Bagi orang-orang bertubuh "privilege" yang bisa sesuai dengan standard Victoria Secret, gerakan body positivity tampaknya hanyalah bentuk validasi rasa malas bagi orang-orang yang tidak bisa memiliki badan seperti bihun—kurus, langsing, dan berkulit terang. Seakan-akan perjuangan mayoritas perempuan selama berpuluh-puluh tahun tak ada artinya bagi mereka. Padahal body positivity, atau gerakan mencintai dan menerima diri tanpa harus sesuai dengan standard yang berlaku di masyarakat ini sudah diperjuangkan sejak tahun 1960-an di Amerika Serikat.


Asal Usul Kampanye Body Positivity

Kampanye ini berawal dari adanya tindakan diskriminatif terhadap orang-orang yang berbadan gemuk.  Fat Acceptance dan Fat Liberation diusung oleh kelompok NAAFA (National Association for Advancement of Fat Acceptance) dan juga feminisme yang aktif di California. Mereka lalu menerbitkan manifesto yang inovatif, dimana isinya ialah menuntut kesetaraan bagi para pemilik tubuh gemuk atau penyandang obesitas dalam seluruh aspek kehidupan. Mereka bahkan menyinggung perihal industri-industri tertentu yang berperan dalam mendukung standard kecantikan dan budaya diet, hingga menyatakan industri ini sebagai musuh.

Gerakan perjuangan inipun terus berkembang pesat. Pada tahun 1980-an, antusiasme terhadap pembebasan orang gemuk dari diskriminasi mulai terus tersebar ke penjuru dunia. London Fat Women’s Group menyusul terbentuk pada pertengahan 80-an dan aktif selama bertahun-tahun. 

Orang-orang memang tidak menggunakan istilah Body Positivity pada masa itu, tapi para aktivis yang berperan dalam menyuarakan anti-diskriminasi pada penyandang obesitas ini dapat dengan mudah dijumpai di berbagai acara talk show dan media lainnya. Lalu pada era 90-an, aktivis-aktivis tersebut berdemonstrasi di depan White House, menggelar protes di depan pusat kebugaran yang memajang iklan bernada fatphobic, dan menari-nari bersama rombongan kendaraan pawai pada parade San Francisco’s Pride.

Topik yang kemudian mencuat tentang dorongan mencintai tubuh sendiri ada yang membingungkan beberapa pendengar, namun di saat yang sama juga ada banyak orang yang merasa terinspirasi. Mungkin karena pada saat itu istilah self-love, self-acceptance, dan body positive tidak lazim seperti sekarang. Tampaknya orang-orang ini berpikir bahwa, jika seseorang yang terlihat seperti mereka (dianggap tidak sesuai standard kecantikan) saja bisa belajar untuk mencintai diri sendiri, siapapun tentu bisa. 

Baca juga:  Childfree yang Diperdebatkan

Hingga memasuki awal 2000-an, internet akhirnya menjadi salah satu platform dimana berbagai bentuk penghinaan terhadap tubuh orang lain dan kampanye tentang mencintai tubuh sendiri mulai banyak tersebar. Meski kondisi tersebut dibarengi dengan munculnya anonimitas (orang-orang yang tidak menunjukan identitas diri di media sosial) dan menyebabkan perundungan, namun kondisi ini tidak dapat terelakan juga menunjukan bentuk ekspresi diri.

Ketika beragam papan pesan dan ruang obrolan tahun 90-an digantikan dengan media sosial, para aktivis ini terus membangun aksinya secara digital. Mereka berpindah dari grup AOL dan forum online NAAFA ke Tumblr dan Instagram. Adanya tagar dan grup-grup Facebook pun membantu banyak orang untuk terhubung dengan cara yang baru. Generasi yang baru ini kemudian menyebarkan aura positif yang dikenal sebagai Body Positivity. 


Menerapkan Body Positivity, Tak Mesti Jadi Toxic Positivity

Bagi orang-orang yang memiliki badan lebih kecil dan minim mendapat ejekan seputar kondisi tubuh, mungkin merasa bahwa gerakan body positivity hanyalah bentuk validasi atas rasa malas mereka yang bertubuh gemuk untuk memiliki gaya hidup lebih sehat. Nyatanya, tujuan awal kampanye ini adalah untuk meyakinkan orang-orang bahwa siapapun harus diperlakukan dengan baik, tidak peduli bagaimana bentuk badan mereka, warna kulit mereka, hingga cantik atau tidak rupanya. Toh, segala standard cantik yang berlaku di masyarakat tidak bisa menentukan bagaimana value diri seseorang, dan bagaimana ia berperilaku di lingkungan sekitarnya.

"Lantas, bagaimana kalau para penyandang obesitas atau pemilik tubuh gemuk itu sendiri yang menjadikan ini validasi?"

It's not the campaign that is wrong. It's on them and their mindset. Karena biar bagaimanapun, gue percaya tubuh yang sehat adalah kunci untuk hidup yang juga lebih sehat. Dan gue rasa, mereka sendiri sadar bahwa tubuhnya adalah aset berharga yang mesti dijaga, dirawat dan diberi asupan gizi dengan baik agar bisa bugar hingga tua nanti. Percayalah, gue yang memiliki tubuh kurus pun masih berjuang untuk bisa memiliki hidup yang lebih sehat, dengan pola makan yang teratur dan bergizi. Lagipula, kenapa sih, badan kurus dan langsing harus diasosikan dengan tubuh yang indah dan molek? Apa semua hal yang berkaitan dengan tubuh juga harus dipandang sebagai estetika?

Perlu diingat, bahwa kita bukan patung yang tubuhnya bisa sama rampingnya, bisa dibentuk molek sedemikian rupa, tidak tampak kekurangan sama sekali, tanpa gelambir dan stretchmark disana sini. We have different shapes, sizes, and bone structures. 

Tidak semua orang yang kurus hidupnya sehat atau penyakitan, begitupun dengan orang-orang yang memiliki tubuh gemuk. Bisa jadi mereka memang memiliki struktur tulang yang lebih padat dari orang kebanyakan, and that's okay, as long as mereka merawat tubuhnya dengan baik dan sadar akan kesehatan diri sendiri.

Hal ini berkaitan dengan sub-judul yang gue sematkan di atas. Yap, meski body positivity adalah gerakan yang bagus untuk menyadarkan siapapun bahwa setiap orang berhak memiliki citra tubuh yang positif, namun tidak semata-mata kita jadi bisa merayakan obesitas begitu saja tanpa mau mengubah diri sendiri ke arah yang lebih positif. Bukankah sejatinya itu yang dimaksudkan body positivity? 

Tidak merawat tubuh kita sebagaimana mestinya dengan mengonsumsi makanan secara sembarangan dan berlebihan dengan dalih body positivity justru akan berdampak buruk bagi diri kita. Inilah yang disebut dengan toxic positivity.

"Duh, ribet banget yaa jaman sekarang terlalu banyak istilah."

Indeed. Tapi menurut gue istilah seperti ini cukup penting untuk diketahui, agar kita bisa lebih mengenal diri sendiri dan tahu kapan waktunya untuk ngerem saat kita sudah terlalu memaksakan prinsip "body positivity" ini. 

Dilansir dari Alodokter, toxic positivity adalah kondisi ketika seseorang menuntut dirinya sendiri atau orang lain untuk selalu berpikir dan bersikap positif serta menolak emosi negatif. 

Melihat suatu hal dengan positif memang baik, tapi tidak jika malah mendiskreditkan emosi negatif tersebut, seolah-olah perasaan yang tidak positif adalah sesuatu yang tidak valid untuk kita terima. Karena hal ini bisa berdampak buruk bagi kesehatan mental, seperti yang dikutip dari City Nomads di bawah.
Radiating positivity 24/7 is a tough feat for anyone. The pressure to be positive can become toxic quickly. This toxic positivity may not exactly improve one's self or body-image. In fact, may even be counterproductive, because it can manifest as mental health conditions like depression and body dysmorphia, eating disorders and more in the long run.
So, kalau kamu sedang merasa tidak puas dengan kondisi tubuhmu karena berbagai hal, it's okay to feel that way sometimes. Siapa tahu perasaan itu malah mendorong kamu untuk bisa memiliki gaya hidup yang lebih sehat dan teratur. Tapi juga jangan merasa buruk sampai berlarut-larut, karena sesungguhnya setiap orang punya kekurangan dan kelebihannya masing-masing.

Believe me, segala standard yang dibangun oleh masyarakat selama ini adalah buah dari kapitalisme. That's why you shouldn't feel guilty about your own body that doesn't fit the beauty standard. Tidak salah juga sebetulnya kalau menteri kecantikan yang gue mention di atas merasa sebal ketika tipe model favoritnya di Victoria's Secret berubah secara inklusif, karena dia hanyalah "korban" dari citra kecantikan yang berusaha dibangun oleh orang-orang di balik Victoria's Secret--the capitalistic marketing itself. 

Instead of spending time in front of the mirror criticizing our shortcomings, why don't we use the time we have to examine our strengths and upgrade skills for the sake of our future and our own happiness? Furthermore, we can stop using our bodies to define ourselves and our worth at all. Because our lives isn't only about body and appearance. It's broader than that.


Reference:

BBC: The History of the Body Positivity Movement
Mengenal Lebih Jauh Tentang Toxic Positivity
Citynomads.com: Why Body Positivity Isn't All that Positive


Share
Tweet
Pin
Share
9 komentar
 
Seksisme: Basi Lo!

Pernah nggak sih, kamu ngalamin dilecehkan secara nggak langsung di ruang publik atau ketika menggunakan transportasi umum? Dilirik, dilihatin dari atas sampai bawah dengan tatapan sensual sama laki-laki—yang terlihat jelas dari tatapannya bukan seseorang yang bisa memuliakan perempuan. Lalu digangguin saat lagi jalan, disiulin, dipriwitin kayak pemain bola, ditanya-tanya sesuatu yang sifatnya personal as if kamu sengaja lagi mejeng untuk menarik perhatian mereka?

Gue pernah, bahkan sering sekali dalam beberapa bulan terakhir ini. Saking seringnya, gue sampai muak dan enggan keluar rumah kalau urusannya nggak penting-penting amat. Males juga harus bolak balik pakai angkutan umum, males meladeni sebagian sopirnya yang nggak tau bagaimana caranya beretika terhadap stranger yang kebetulan perempuan ini. Udah pakai masker, kerudung, ditambah jaket yang disleting hingga leher, dan tertutup sedemikian rupa nyatanya nggak bikin manusia-manusia mata keranjang ini berhenti menggoda cewek yang lewat dan muncul di hadapannya. Seperti yang gue bilang tadi, seakan-akan kehadiran kita disitu adalah 'hadiah' atas dahaga nafsunya yang belum tersalurkan. 


Dipaksa Menguasai Pertahanan Diri


Gue termasuk cukup beruntung karena memiliki wajah jutek yang bisa gue manfaatkan dalam situasi-situasi semacam ini. Tapi lama-lama lelah juga kalau harus auto jalan ngangkang kayak ibu hamil setiap jalan melewati kerumunan bapak-bapak atau anak muda seperti mereka hanya agar gue nggak terlihat feminim di depan mereka. Dan gue rasa, gue bukan satu-satunya yang mengalami mekanisme pertahanan diri seperti ini.

Tumbuh di lingkungan yang patriarkis dengan segala stereotip gendernya terhadap perempuan, mau nggak mau membuat gue terbiasa menjalani hidup dengan penuh ketakutan. Terutama bagaimana kami seakan-akan hanya dipandang sebagai makhluk "visual", makhluk pemuas nafsu, makhluk yang dianggap seperti barang karena segala lekuk tubuhnya adalah tontonan. Meskipun, ya, gue nggak sepolos itu untuk nggak menyadari ada dari kaum perempuan sendiri yang berprofesi demikian. 

Namun masalahnya, nggak semua orang demen dicat-callingin, nggak semua perempuan suka cari perhatian, nggak semua perempuan mau dideketin dan dilecehkan hanya karena dianggap menarik, nggak semua perempuan berprofesi seperti apa yang laki-laki ini pikirkan. Bahkan kalau ada orang-orang yang memang ingin terlihat menarik untuk lawan jenis, bukan berarti mereka nggak bisa dihargai. Gue rasa pelaku-pelaku pelecehan seksual dari skala kecil sampai besar ini perlu direhabilitasi dan mendapatkan pendidikan khusus tentang bagaimana seharusnya dia bersikap dan memposisikan perempuan nggak lebih dari sosok manusia yang memang faktanya punya banyak perbedaan. Dan perbedaan ini bukan untuk dimanfaatkan, tapi untuk dihormati. 

Gue sangat amat lelah dengan ini semua. Bahkan jikalau gue diberikan satu saja kesempatan—yang sangat nggak mungkin—untuk mengubah dunia, mungkin gue lebih memilih untuk menghapuskan segala perasaan dan syahwat antara laki-laki dan perempuan. Biar bisa sama-sama saling jaga tuh mata dan hati.

"Auto jadi malaikat kali!"

Ya jangan dipikirin sampe jauh juga, namanya lagi nge-rant dan berandai-andai sesuatu yang mustahil bagi manusia. Kalau dilawan sama nalar memang nggak masuk, jangan, yang ada malah makin pusing. 

Baca juga: How I See Feminist As A Muslim

Belum lagi serangkaian berita kekerasan seksual yang wara wiri belakangan di media secara nggak langsung semakin menambah kewaspadaan gue sebagai perempuan—dan pastinya teman-teman di luar sana. Gue jadi khawatir, dimana tempat yang aman bagi kami kalau predator-predator seksual seperti itu berkeliaran di sekitar kita? Dan bukan hanya predator itu sendiri, kita juga harus dihadapkan dengan berbagai konstruksi sosial dan stigma yang mengikat masyarakat. Bahkan banyak instansi pemerintah dan tokoh masyarakat, sampai-sampai segelintir tenaga kesehatan yang ikut mengiyakan stigmasisasi dan seksisme macam ini.

Nggak terhitung berapa banyak masyarakat—khususnya perempuan—di media sosial yang sering mengeluh mendapatkan perlakuan kurang nyaman ketika mereka harus memeriksakan diri ke dokter obgyn, ketika masalah yang dialami bukan soal kehamilan, melainkan cuma soal sembelit, menstruasi yang nggak teratur, dan serangkaian konsultasi lain terkait organ reproduksinya. Ditambah lagi kelakuan lucu polisi-polisi kita yang sangat sering bertindak nggak adil dalam mengurus kasus pelecehan, kasus pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, dan lain-lain.

Sebagai instansi yang seharusnya mengayomi dan melindungi rakyat, kebanyakan dari mereka malah ikut menghakimi korban, menutup-nutupi kasus, menyepelekan pengalaman korban seakan-akan mengusut kasus hanya akan membuang waktu mereka. Karena jawabannya apa?

"Kamu yakin? Nanti kamu sendiri lho yang menanggung malu."
"Kita nikahkan saja ya, dengan pelaku."
"Saya sih mau bantu, tapi nanti Anda siap tidak dengan segala konsekuensinya? Semisal dituduh balik dengan pasal pencemaran nama baik?" 

Lha, apa ini? Gaslighting? Bukannya bantu kuatkan dan support, kok malah nambah-nambah beban pikiran korban. Seakan-akan menikahkan korban dengan rapist adalah jawaban terbaik, seakan-akan asas kekeluargaan bisa menyelesaikan semua masalah begitu saja. Memangnya lagi main koperasi-koperasian?

Coba kita rewind sejenak berita yang selama ini mencuat, ada berapa banyak kasus-kasus pelecehan atau kekerasan seksual yang diabaikan oleh aparat, sampai harus menunggu viral dulu untuk bisa diusut? Dalam catatan gue, setidaknya ada enam kasus pelecehan yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir—yang mana terus bertambah sejak terakhir kali gue cek linimasa Twitter sore tadi. Bahkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) pun mencatat kira-kira ada 8.800 kasus kekerasan seksual yang terjadi dari bulan Januari sampai November tahun lalu. Itu yang tercatat di laporan, belum termasuk kasus-kasus lain yang terhambat di persoalan internal keluarga, dan lain-lain.

Beberapa yang sempat ramai di media nasional, di antaranya ada kasus pemerkosaan seorang anak penyandang disabilitas rungu-wicara yang dilakukan secara beramai-ramai (gang rape) di Makassar pada awal tahun 2021, kasus pelecehan seksual di lingkungan kerja pemprov DKI Jakarta yang dilakukan oleh mantan Kepala Badan Pelayanan Pengadaan Barang dan Jasa (BPPBJ), kasus kekerasan seksual 14 anak remaja yang dilakukan oleh pemilik sebuah sekolah, hingga serangkaian kasus pelecehan seksual di perguruan tinggi yang sempat ramai beberapa bulan lalu. 

Baca juga: Kenapa Kita Misoginis?

Let's Break the Bias


Pandangan seksis yang menganggap satu gender lebih superior daripada gender lainnya juga menimbulkan berbagai polemik lain seperti bias gender yang mengganggu kehidupan sehari-hari. Misalnya, perempuan dianggap nggak terlalu penting untuk bersekolah tinggi-tinggi, karena toh nantinya akan berurusan di dapur, mengelola rumah tangga, dan sebagainya—yang secara nggak langsung juga merendahkan pekerjaan ibu rumah tangga (internalized misogyny). Selain itu, perempuan nggak boleh menjadi pemimpin dalam sebuah organisasi jika masih ada anggota laki-laki di dalamnya, nggak peduli sekompeten apa perempuan ini.

Berbagai batasan-batasan yang stereotypical ini pada akhirnya hanya akan mematikan mimpi-mimpi ribuan anak perempuan yang ingin memiliki kehidupan lebih layak dengan meng-upgrade diri mereka sendiri. Sadar nggak, sih? Lingkungan masyarakat kita sudah sering mengingatkan agar anak-anak dan pemuda pemudinya bisa memiliki taraf kehidupan yang lebih baik, bisa sukses dan menjadi orang yang berguna, tapi sekali saja anak mereka melangkahkan kaki untuk mendobrak stigma-stigma, mereka juga yang menghentikan langkahnya. Langkah-langkah kecil yang berharap bisa sampai di suatu perubahan.

Oleh karena itu, International Women's Day yang diperingati pada tanggal 8 Maret lalu mengusung tema #BreakTheBias, seolah menjadi penggerak sekaligus pengingat bagi siapapun bahwa berbagai bias gender yang dilanggengkan terhadap kaum perempuan selama ini sebetulnya telah memberi pengaruh yang begitu besar tentang bagaimana pandangan-pandangan masyarakat selama ini terbentuk. 

We want to remind everyone that it's not about wanting to be the first or to be the most powerful  over men, but simply wanting the justice we deserve, not just as women, but as human beings—in the name of humanity. Setara bukan berarti melawan kodrat dan memaksa untuk sama, despite segala perbedaan biologis yang dimiliki laki-laki dan perempuan. In my humble opinion, setara berarti seimbang. Nggak ada lagi bias, nggak ada lagi superioritas tanpa batas, nggak ada lagi interseksionalitas terhadap perempuan, nggak ada lagi sistem patriarkis yang menempatkan perempuan sebagai sosok manusia yang nggak punya pilihan, nggak ada lagi kesenjangan dan ketidakadilan sosial terhadap perempuan (atau bahkan kelompok marjinal) di tempat kerja, dan nggak ada lagi pandangan seksis terhadap siapapun. 

To those who think sexism is normal and should be considered as something understandable, basi lo! Let's break the bias, as much as we want changes.



References:

HitsSuara.com: Nakes Dianggap Judgmental ke Pasien KB
CNN Indonesia: Marak Kekerasan Seksual Sepanjang 2021
Share
Tweet
Pin
Share
11 komentar

Siapa disini yang suka banget sama coklat? atau ada yang punya usaha kuliner dengan bahan dasar coklat? Pas banget nih, gue punya informasi lengkap seputar harga coklat batangan Colatta yang bisa kalian beli kiloan dengan harga yang terjangkau!😍


Coklat Dengan Segudang Manfaat


Sejak kecil, bisa dibilang gue suka banget dengan makanan apapun yang berbahan dasar coklat, entah kue, cookies, biskuit, hingga minuman. Kalau disuruh memilih antara susu vanilla, strawberry, atau coklat, gue nggak akan segan-segan, pasti langsung memilih coklat. Karena selain rasanya yang enak, coklat juga nggak kalah banyak manfaatnya dengan buah-buahan lain. Yapp! 

Makanan ini setidaknya punya lima manfaat untuk tubuh kita. Ia bisa mengontrol kadar gula darah, menjaga kesehatan jantung dan pembuluh darah, menurunkan kadar kolesterol, mengendalikan nafsu makan, dan meningkatkan mood.

Itulah kenapa, coklat sering dijadikan opsi bagi orang-orang yang ingin diet, dan selalu laris pada saat valentine. Mungkin untuk menaikan mood para pasangannya yang lagi BT😆. 

Ketika mempunyai usaha kuliner pun, coklat tentu menjadi salah satu bahan yang sering dibutuhkan. Bahan sejuta umat ini hampir selalu sukses membuat siapapun nggak bisa menolak untuk nggak memakannya. 

Ada banyak coklat yang tersedia di pasaran dan bisa dipilih sesuai kebutuhan dan makanan, ataupun minuman yang akan dibuat. Mulai dari coklat batangan, cokelat bubuk, coklat chip, coklat meses, hingga coklat lapis. Dan dari sekian jenis coklat, ada salah satu merk coklat batangan yang terkenal di Surabaya, namanya Coklat Colatta. 

Daftar Harga Lengkap Coklat Colatta Kiloan

Berbagai jenis coklat tersebut bisa teman-teman dapatkan dengan mudah dan lengkap di Tokowahab.com yang menawarkan banyak pilihan kategori coklat😋. Selain dari jenisnya, Tokowahab juga menyediakan coklat dari berbagai merk yang tersedia, lho. Yaa salah satunya Coklat Colatta😍. 


Daftar Harga Coklat Colatta Kiloan

Ada pilihan coklat Colatta, coklat Tulip, coklat Nutella, coklat Holland, coklat Hagel, coklat Bensdorp, dan coklat Bendico. Keunggulan lain dari toko ini juga menyediakan dengan harga yang lebih terjangkau!😍 

Selain itu, teman-teman bisa mengajukan nego dan mendapatkan pengiriman gratis dengan ketentuan dan syarat yang berlaku.

TokoWahab menyediakan produk coklat Colatta kiloan yang bisa dibeli. Sehingga produk tersebut bisa menjadi pilihan bagi usaha yang membutuhkan coklat dengan harga lebih miring. 

Di bawah ini berbagai pilihan coklat merk Colatta kiloan yang bisa teman-teman beli di TokoWahab:

  1. Colatta chip 5 kg = 241 ribuan
  2. Colatta chip mini 5 kg = 251 ribuan
  3. Colatta dark coating 4x2 kg = 365 ribuan
  4. Colatta dark compound 12x1 kg = 612 ribuan
  5. Colatta dark compound 4x5 kg = 924 ribuan
  6. Colatta drinking chocolate 6x1 kg = 527 ribuan
  7. Colatta white compound 4x5 kg = 1,1 jutaan
  8. Colatta white compound 12x1 kg = 629 ribuan

Selain pilihan di atas juga masih ada banyak produk coklat bubuk, coklat batangan, dan coklat chip dari merk Colatta yang bisa didapatkan di TokoWahab😉

So, bagi moms atau kakak-kakak blogger yang memiliki usaha kue dan membutuhkan coklat kiloan dari merk Colatta dan merk lainnya, bisa langsung membelinya secara online di toko bahan kue ini, yang menawarkan gratis ongkos kirim untuk pengiriman di Jabodetabek dengan minimal order 10 juta rupiah!

Huwaa, jadi pingin makan coklat sekarang juga🤤 Anyways, kalau teman-teman suka makan coklat jenis apa, nih? Kasih tau gue dong di kolom komentar😍. 

Share
Tweet
Pin
Share
10 komentar
Newer Posts
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Bukan Salah Indonesia
  • Childfree yang Diperdebatkan
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Just Listen
  • Terlalu Besar Untuk Gagal

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

My Podcast

Newsletter

Get new posts by email:

Popular Posts This Week

  • Di Balik Angkasa
  • Become a Fighter
  • by.U: Solusi #SemuanyaSemaunya
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Goodbye Wasteful Life, Welcome Minimalism
  • Romantisisasi Generasi 90-an
  • Menjadi Manusia
  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • How I See Feminist as a Muslim
  • Series Review: The Billion Dollar Code, Pelanggaran Paten Terhadap Google Earth?

Blog Archive

  • ▼  2024 (2)
    • ▼  Oktober 2024 (1)
      • Posture Perfect: How Wearing a Waist Trainer Can I...
    • ►  Agustus 2024 (1)
  • ►  2023 (1)
    • ►  Februari 2023 (1)
  • ►  2022 (9)
    • ►  November 2022 (1)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (1)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  Maret 2022 (2)
    • ►  Februari 2022 (2)
  • ►  2021 (30)
    • ►  Desember 2021 (1)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  Juli 2021 (3)
    • ►  Juni 2021 (2)
    • ►  Mei 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  Maret 2021 (5)
    • ►  Februari 2021 (1)
    • ►  Januari 2021 (5)
  • ►  2020 (46)
    • ►  Desember 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  Oktober 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (10)
    • ►  Juli 2020 (8)
    • ►  Juni 2020 (4)
    • ►  Mei 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  Desember 2019 (3)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Agustus 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Februari 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Pengikut

Categories and Tags

Intermeso Krisis 1/4 Abad Opini Perempuan Podcast Poetry Review Thoughts digital marketing karir lifestyle slice of life

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.