Diberdayakan oleh Blogger.
  • Home
  • About
  • Lifestyle
  • Personal
    • Opini
    • Thoughts
    • Slice of Life
    • Poetry
    • Intermeso
  • Podcast
  • Review
instagram LinkedIn Spotify YouTube Email

Notes of Little Sister




Cewek Matre: Realistis atau Materialistis?

Beberapa hari lalu sebuah pertanyaan di akun base Twitter lagi-lagi kembali menggelitik gue. Kira-kira begini pertanyaannya:

Cewek Matre: Realistis atau Materialistis?
Pertama-tama, gue sengaja menghindari untuk menulis judul dengan kata kunci "cewek matre", karena sebetulnya fenomena matre atau materialistis ini bisa terjadi kepada siapa saja, terlepas dari gender-nya perempuan atau laki-laki. Hanya saja sebagai makhluk sosial yang kelak diharapkan menjadi seorang istri, wanita lebih sering diposisikan atau memposisikan dirinya sendiri sebagai sosok yang perlu selalu dibiayai dan ditunjang kebutuhannya oleh laki-laki—meski pada kenyataannya belum menikah sekalipun.

Jadi, perlu ditekankan bahwa narasi yang gue angkat disini bukan semata-mata menunjukan kebencian terhadap sesama perempuan atau melanggengkan budaya misoginis, tetapi menyoroti sebuah perilaku atau fenomena sosial yang selama ini divalidasi sebagai tindakan realistis berdasarkan kacamata gue.

Gue sering mendengar jawaban yang sangat umum dari beberapa orang ketika dirinya ditanya, "kenapa sih cewek itu matre?", dengan dalih bahwa mereka tidak matre, melainkan realistis. Seolah mengiyakan stereotip yang berlaku di kalangan perempuan sebagai makhluk yang berorientasi pada uang dan barang-barang mahal nan branded. Padahal, entah dirinya memang hidup pas-pasan atau minimalis sehingga apa yang dibeli murni adalah kebutuhan, atau memang berusaha melarikan diri dari kenyataan bahwa barang-barang yang dibelanjakan selama ini bukan keluar dari kantong pribadinya.

Banyak juga narasi yang gue dengar seperti ini, "sebagai cewek jangan mau keluar uang. Masa dari sekarang aja cowok lu nggak mau bayarin? Gimana nanti jadi suami?". Dan serangkaian opini yang mengatasnamakan komitmen serta tanggungjawab laki-laki sebagai pencari nafkah.

Realistis dan materialistis (matre) sebetulnya adalah dua hal yang berbeda dan nggak bisa dipaksakan beriringan. Realistis memiliki arti bahwa seseorang tidak selalu memikirkan sesuatu terlalu tinggi, melainkan semampunya. Ia berorientasi pada hal-hal yang bisa ia lakukan tanpa harus merugikan orang lain. Sementara materialistis adalah perilaku dimana seseorang secara sadar atau tidak, terlalu fokus dan bahkan bisa terobsesi terhadap uang dan kebendaan—yang digantungkan kepada orang lain. Rajeev Kamineni dalam jurnalnya mengatakan bahwa, "materialism is the ‘devotion to material needs and desires, to the neglect of spiritual matters; a way of life, opinion or tendency based entirely upon material interests’". 

Jika merujuk pada pengertian di atas, materialistis jauh dari kata lawannya, realistis, sebab perilaku ini mengabaikan nilai-nilai spiritual yang mana merupakan salah satu fondasi menjadi realis; yakni menjalani hidup apa adanya, sewajarnya dan semampunya.

Meski begitu, di sisi lain nggak semua orang yang money-oriented dapat digolongkan sebagai manusia matre, karena bergantung pada perspektif dan kondisi tertentu. Jika seseorang tidak mampu membiayai kehidupannya sendiri karena satu dan lain hal—katakanlah tidak memiliki pekerjaan yang stabil dan kesulitan dalam hal ekonomi, dimana situasi tersebut membuatnya membutuhkan bantuan orang lain yang dia percayai, tindakan ini masih bisa dikatakan realistis, selama ada consent dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Tetapi kalau memang seseorang menggantungkan seluruh hidupnya pada manusia lain hanya untuk memuaskan keinginan akan hal-hal yang berada di luar kuasanya, maka jangan mengelak juga kalau hubungannya berlandaskan materialisme, bukan rasa cinta.

Memang, hidup tanpa uang rasanya bakal hampa dan morat-marit bikin pusing kepala. Bahkan dalam menjalin hubungan, kita nggak bisa cuma mengandalkan cinta. Untuk apa ada komitmen dan rumah tangga kalau semua bisa diselesaikan hanya dengan "cinta". Tapi konsep ini nggak bisa dijadikan alasan untuk kita hambur-hamburkan uang hanya untuk memenuhi keinginan pribadi, apalagi menjadikan individu lain tambang materi saat keadaan kita sendiri sebetulnya mengharuskan kita untuk hidup lebih cukup.

"Men always have to pay the bills, though!"

"Yaa nggak selamanya harus, dong. Apalagi kalau baru nge-date doang😅. Katanya hubungan itu kerjasama, bareng-bareng. Kalau masih bisa berbagi, kenapa nggak?"

I know how hard and suck life is. Terkadang ada juga gue temukan perempuan-perempuan kuat yang mandiri dan menjadi tulang punggung keluarga, plus menjadi ibu dari anaknya, tapi masih dianggap sosok matre hanya karena dia terlihat berusaha menyenangkan dirinya sendiri sesekali dengan barang yang dia suka. Ini juga menjadi masalah, menurut gue. Tentang bagaimana kondisi matre atau tidaknya seseorang tidak sesuai dengan konteks yang sebenarnya, seperti para lelaki yang sering melabeli perempuan dengan kata matre secara asal. 

Karena itu, gue sedih setiap kali mendengar narasi-narasi yang mengkerdilkan kaum perempuan sendiri hanya karena konstruksi sosial yang mengatur bahwa memang sudah seharusnya perempuan apa-apa dibayarin, apa-apa nggak bisa membiayai keperluannya sendiri meski belum menikah dengan pasangannya ini diiyakan begitu saja—yang sejak tadi membawa pada satu kesimpulan: cewek itu matre! 

Hanya karena perempuan ujung-ujungnya di rumah, ngurus anak dan di dapur, begitu? Hanya karena kebutuhan perempuan lebih banyak, begitu? Dan menurut gue inipun sebetulnya nggak bisa dijadikan tolak ukur. Namanya materialistis bisa hidup dalam diri siapapun, dan jangan salah, keinginan dan kebutuhan laki-laki pun bisa sama banyaknya, lho, kalau ditimbang-timbang. Hanya saja jenis dan bentuknya bisa beda-beda. Lagi-lagi ini masalah perspektif dan bagaimana tindakan sosial mempengaruhi pandangan seseorang akan suatu kelompok atau komunitas (dalam hal ini perspektif gender). 

Menjadi realistis bukan artinya semua keinginan harus jadi butuh, tapi bisa menempatkan yang mana kebutuhan dan mana keinginan, serta yang mana prioritas dan mana yang perlu dikesampingkan, kemudian bertanggungjawab atas pilihan diri sendiri.

Menurut gue, ini bukan soal cewek nggak boleh kalah dari cowok, bukan soal cewek harus jadi leader pada setiap kesempatan, bukan soal cewek harus jadi kepala rumah tangga melawan kodrat, bukan soal cewek harus mandiri dan hidup selamanya sendiri tanpa perlu bantuan lawan jenis, sebab sudah sepantasnya masing-masing dari kita menjadi pribadi yang mandiri dan tangguh menghadapi berbagai situasi dan kondisi. Akan tetapi lebih kepada menghargai diri sendiri sebagai individu yang nilainya lebih besar dan berharga dari sekadar prinsip materi yang membutakan.



Artikel terkait:
Kamu Cewek Matre atau Cewek Realistis?
Share
Tweet
Pin
Share
37 komentar
Ada kalanya saya merasa begitu gagal menjadi seorang manusia. Tak berharga. Selalu sia-sia. Tapi ada kalanya pula saya merasa menjadi orang yang beruntung, dan teramat berharga. Banyak hal yang saya bisa dan mungkin orang lain tidak bisa—meski hal sebaliknya pun berlaku. Banyak mimpi-mimpi saya yang baik, yang tak sekadar untuk kenikmatan diri sendiri, tapi juga orang-orang di sekitar saya.

Meski usia yang "bertambah" semakin kesini semakin terasa tak ada gunanya untuk dirayakan, namun saya bersyukur diingatkan bahwa setidaknya saya pernah dilahirkan di hari yang sama 22 tahun lalu—nenurut kalender masehi. Hari dimana mungkin perekonomian belum begitu membaik, tetapi kedua orangtua saya berhasil survived dan mendidik saya hingga menjadi sosok manusia seperti saat ini. Bahkan masih bersama atau tidaknya orangtua saya, saya percaya apapun jalannya proses itu tetap dapat mendidik dan menjadikan saya seseorang yang selalu belajar, yang masih selalu tumbuh dan melakukan banyak kesalahan, yang masih perlu belajar banyak hal tentang hidup, termasuk tentang mimpi dan kenyataan. Saya masih harus belajar mengembangkan skill di bidang apapun, khususnya dalam bidang yang saya pelajari.

Menjadi dewasa membuat saya semakin realistis menjalani kehidupan, dalam aspek apapun. Bahkan dalam persoalan akademik, saya banyak belajar untuk lebih realistis dan mengabaikan idealisme jika memang sudah tak bisa lagi diperjuangkan. Sebab, sulit rasanya hidup di dunia di mana idealisme hidup dalam lembah jurang penuh ketakutan dan keputusasaan. Semua orang berlomba-lomba mengisi perutnya masing-masing, entah bagaimanapun caranya, yang mereka tahu mereka bisa sampai di "tujuan".

Sudahlah, terlalu bosan saya menyinggung tentang carut marut manusia-manusia "lapar" di luar sana.

Terima kasih untuk keluarga, yang selalu menguatkan, mendo'akan, menjadi tempat saya pulang dari segala macam keresahan, dan menjadi alasan utama saya masih bisa selalu bersyukur sampai detik ini. Terima kasih untuk sahabat, teman hidup, partner, orang-orang yang sangat saya sayangi dan syukuri kehadirannya. Tanpa support dari mereka, saya hanya akan selamanya menjadi ignorant. Tanpa teman, tanpa harapan, kelabu rasanya. Terima kasih pula kepada teman-teman di internet, yang bisa membuka sedikit mata saya untuk berharap akan hal baik di dunia yang penuh candu ini, membuat hari-hari saya setidaknya menjadi lebih baik.

Masih panjang perjalanan dan rintangan yang harus saya lewati, sebab itu artinya saya masih harus belajar dengan kesalahan-kesalahan lain yang mungkin akan saya lakukan di masa depan—disengaja atau tidak, kecil atau besar. Jika Tuhan mengizinkan, saya berharap semoga Dia menjemput saya dalam keadaan di mana saya telah belajar dari kesalahan-kesalahan tersebut, mewujudkan motto sederhana dalam hidup saya belakangan ini; menjadi manusia sebaik-baiknya.

Sampai jumpa di usia yang telah berkurang lagi, nanti—insya Allah.
Share
Tweet
Pin
Share
18 komentar
Tentang Harta yang Paling Berharga

Setelah tujuh bulan ini berkutat dengan ruang hampa sendiri, akhirnya hari Senin kemarin gue dijemput pulang sama ayah gue supaya bisa menikmati libur tahun baru di rumah—yang sebetulnya nggak betul-betul bisa gue nikmati, bahkan semakin bikin stress, karena itu artinya gue nggak bisa santai-santai lagi dalam menyelesaikan tanggung jawab gue, yang selama ini seringkali tertahan dan dikuasai oleh segala macam mood (yang naik turun tanpa henti) dalam waktu singkat. Meskipun minggu depan gue sudah harus segera balik, tapi daripada gue semakin  stress dan overwhelmed di Bandung, setidaknya pulang ke rumah pun menjadi solusi paling baik yang bisa gue lakukan untuk back to reality.

Bicara soal rumah, sebetulnya definisi rumah bagi gue ada banyak. Rumah, tempat gue pulang dari melaksanakan tugas dan kewajiban di luar sana sebagai individu, dimana gue nyaman untuk melakukan segala hal yang pingin gue lakukan disana. Rumah, juga tempat keluarga gue tinggal, yang tentu dalam kenyataan sebenarnya buat gue ada banyak pula, karena ibu dan ayah gue tinggal di tempat yang berbeda, dan adik-adik gue pun tinggal bersama eyang dan tante kami—meski jaraknya nggak terlalu jauh. Terakhir, rumah bagi gue adalah tempat dimana gue kembali ke Yang Maha Kuasa, yang mana menjadi kesimpulan paling jelas bahwa pada akhirnya rumah adalah tempat gue kembali. Dan untuk sekarang, rumah menjadi tempat gue kembali dari segala macam ketakutan, kekhawatiran, dan keegoisan tak berujung yang selama ini hinggap dalam kepala gue  saat harus menjalani hari-hari seorang diri.

Mungkin nggak hanya bagi gue, tapi juga bagi sebagian orang di luar sana, keluarga adalah rumah, dimana mereka nggak hanya sekadar jadi saudara, atau sekadar jadi orang-orang terpenting yang lahir di garis keturunan yang sama—atau bukan sekalipun, tapi literally jadi support system, tanpa harus menunjukan bahwa mereka mendukung gue dalam keadaan apapun. Terkadang, hanya dengan obrolan-obrolan ringan dan cerita-cerita lama tentang kehidupan (yang bahkan sudah sering gue dengar tanpa bosan) dari eyang gue, bagian negatif dalam diri gue terasa seperti healing dengan sendirinya. Kehangatan itu benar-benar bisa jadi obat untuk gue yang beberapa waktu ini terlalu sibuk dengan urusan sendiri sampai lupa gimana rasanya pulang. 

Thankfully, gue menemukan kembali kesederhanaan yang gue (sebetulnya) rindukan selama ini. Kesederhanaan yang cukup untuk membuat gue kembali kepada kenyataan—seperti yang gue mention sebelumnya. Bahwa gue seharusnya cukup berjalan maju tanpa terlalu merisaukan banyak hal. Bahwa gue perlu sadar, satu tahun panjang yang baru saja gue lewati sebetulnya sama dengan tahun-tahun sebelumnya yang berat, penuh tantangan, dan penuh sukacita. Mengutip seperti kata Pak Anton, it's just another year, actually. Karena pada kenyataannya, meski gue berhasil survived, gue tetap melakukan kesalahan besar dengan menyia-nyiakan waktu. Another lesson learned from 2020.

But let's now move on to another topic. Gue sudah cukup banyak belajar menasehati diri gue sendiri beberapa waktu kebelakang ini. Kasian juga lama-lama diomongin terus😂 Consequences are consequences, all i can do is deal with it. Sekarang gue cuma mau bagi-bagi yang manisnya aja.

Hari ini gue merasa lebih hidup. Kayak judul film tentang zombie tahun kemarin; Alive. Karena apalagi kalau bukan gue bisa ketawa bareng keluarga, makan bareng, denger cerita-cerita waktu dulu kedua eyang gue masih muda dan banyak dikejar cowok, lalu pernah naik becak dan nyusruk gara-gara jalanan yang bolong, sampai cerita soal mereka yang nekad bawa motor jauh-jauh dari Jakpus ke Bogor tanpa surat-surat dan SIM karena masih SMP (yang ujung-ujungnya ditilang polisi juga)😂, dan masih banyaaaak lagi cerita seru lainnya. Gue juga bisa main bareng ponakan gue yang lucu dan menggemaskan😍, plus hari ini gue dimasakin palumara sama eyang gue. Yepp! Salah satu masakan khas Sulawesi kesukaan gue—tapi khusus cuma kalau buatan eyang gue🤣. 

Jadi, sedikit cerita tentang silsilah, karena alm. kakek gue orang Makassar, dari dulu eyang putri gue sering banget masakin makanan-makanan khas sana, salah satunya palumara ini—though setelah gue searching ada juga yang bilang masakan ini asalnya dari Palu😂. Paling nggak masih sama-sama Sulawesi lah yaa, wk. Dan karena kebetulan dulu eyang gue sempat buka usaha catering, jadi masakan-masakannya pasti nggak pernah mengecewakan di lidah gue🤤—selain kenyataan bahwa masakan rumah emang terrrdabessttt dan nggak ada yang bisa ngalahin, mau sejauh apapun dan seenak apapun tempat makan yang gue datangi.

So, that's all for me. Walaupun ceritanya sedikit, tapi rasa puas dan bahagia di hati of course lebih banyak dari ini😍. Not bad lah yaa untuk mengawali postingan pertama di tahun 2021😉

o-o

How 'bout you guys? Adakah cerita yang pingin teman-teman bagikan juga di hari pertama di bulan Januari ini? Let me know, ya!
Share
Tweet
Pin
Share
16 komentar
Things I Have Stopped Doing

Sebetulnya gue nggak berniat untuk update blog dalam waktu dekat ini, karena memang lagi rungsing banget dengan beberapa hal in real life—yang membuat gue perlahan harus menjauh dari dunia maya. Pengecualian untuk salah satu platform called Quora, yang baru-baru ini lebih sering gue visit karena somehow media ini lebih sehat dan bisa lebih terkontrol algoritmanya IMO, karena gue bisa memilih sendiri mana topik yang mau gue konsumsi dan mana yang nggak—i don't even know is the algorithm works in this platform?😆

Dan pertanyaan yang terus melekat di kepala gue dari sekian topik yang muncul disana adalah, hal apa saja yang sudah berhenti gue lakukan—yang of course, memberi dampak positif untuk keberlangsungan hidup gue? Tapi karena gue nggak biasa jawab pertanyaan semacam ini di Quora, so just let me share what things i have stopped doing so far in here. Hitung-hitung sebagai refleksi diri dan postingan penutup di akhir tahun.

So, what 10 things you have reduced/stopped doing in your life?

1. Watching TV

Terhitung kurang lebih udah lima atau enam tahun ini gue nggak pernah lagi nonton TV dalam waktu yang lama, itulah kenapa jawaban ini yang paling pertama berkelebat di pikiran gue. Alasannya? Cuz i just don't feel the need to watch any of them, selain karena memang banyak program televisi yang semakin kesini semakin membosankan. Tayangan televisi yang gue tonton terakhir kali ya Mata Najwa, itupun nontonnya di YouTube😂. Ditambah menurut gue, kalau kita kebanyakan nonton TV, rasa nasionalisme gue justru malah semakin luntur karena yang kelihatan pasti yang jelek-jeleknya doang. Berita-berita rungsing tadi lah, acara-acara rumpi lah, atau program pencarian bakat yang berubah jadi acara lawak lah (sampe juri-jurinya juga jadi ikutan lawak), hingga soal sinetron yang alurnya ketebak alias gitu-gitu aja. Pokoknya nggak bikin gue happy dan makin cinta sama negara ini.

2. Using social media extensively

Kehidupan selama pandemi ini jujur bikin gue semakin attached sama media sosial, alhasil gue menyadari banyak waktu yang terbuang percuma. Ditambah kondisi psikis gue nggak merasa lebih baik saat nongkrong disana. Iya sih, saat keadaan gue sedang baik-baik aja, no problemo untuk sesekali cek Instagram, Twitter, Facebook, dsb, untuk dapet informasi terbaru dari komunitas, teman-teman, dan konten informatif lainnya, tapi pada akhirnya kegiatan ini tetap sia-sia. Even untuk mengakses berita yang paling penting sekalipun, otak gue berasa runyam dan drained banget karena yang muncul selalu berita negatif, hoax dan serangkaian polarisasi politik lainnya. So yeah.. saat ini gue sangat membatasi penggunaan medsos. Dua puluh sampai tiga puluh menit sehari cukup, and i'm happier with my real life!

3. Saying yes

Gue rasa salah satu kelemahan menjadi orang yang gak enakan adalah selalu berkata "iya", when i don't really wanna say yes. Entah sejak kapan gue mulai berani untuk memilah-milah kapan saatnya gue bisa bilang iya dan tidak, tapi seingat gue hal ini sudah gue terapkan lumayan lama. Ini bukan meromantisisasi self-love, tapi lebih kepada menghargai diri sendiri dan orang lain, bahwa alangkah lebih baik jika sesuatu dilakukan dengan hati yang tulus dan ikhlas. Bukan karena sekadar.

4. Trying to blend in

One thing I can never tolerate in a group is gossiping other people. Karena itu blend in yang gue maksud disini adalah memaksakan diri hanya agar bisa diterima di suatu kelompok, padahal gue sadar dari sejak awal bahwa gue nggak bisa fit in dengan mereka. Salah satunya kebiasaan ngerumpi. Awal-awal gue masih bisa ngikutin arus, sih, tapi semakin kesini gue semakin bisa memberi batasan untuk diri sendiri. That's why gue sangat sayang dengan teman-teman gue sekarang (yang juga sangat sedikit) ini, karena ternyata kami sefrekuensi.

5. Overdressing

Well, in fact gue nggak semencolok dan selebay itu dalam berpakaian, hanya saja dalam kurun waktu tiga tahun kebelakang ini gue betul-betul prefer cara berpakaian yang lebih simple, baik itu soal style maupun pemilihan warna. Kalau dulu overdressing yang gue maksud adalah gue bisa pakai dua baju dalam satu kali dengan warna yang terbilang terang, contohnya kaos lengan pendek berwarna biru dongker yang dilapisi kemeja warna biru langit as an outer, sekarang nggak, or let's say jarang. I thought this was too much. Harusnya kalau gue mau pake outer untuk menutupi baju yang lengannya pendek, gue bisa pake outer yang bener-bener proper atau paling nggak warnanya jangan terlalu terang. Oh iya, warna pakaian yang gue punya dulu juga lebih variatif, banyaknya sama warna-warna pastel. Now i prefer earth tone as my favorite. It's preference, ofc. Pada intinya gue happy karena sekarang lebih bodo amat sama penampilan😁.

6. Impulsive buying of unnecessary things

Semoga hal ini nggak cuma berhenti gue lakukan karena bokek, LOL. Tapi nggak, sih, kenyataannya gue memang lebih pingin hidup minimalis dari sekarang. Memiliki barang-barang yang sebenarnya nggak terlalu gue butuhin itu bisa makan tempat banyak (dan sangat gue sesali), belum lagi kalau dibuang pun gue bingung harus buang kemana. Kecuali kalau sistem pemilahan sampah di Indonesia lebih tertib dan teratur macam di Jepang, kayaknya sih oke-oke aja *hush😂*.

7. Living in the past

Dengan segala permasalahan hidup as a decent human being, tentu gue nggak bisa selamanya lari dari masa lalu. Banyak malam-malam yang berlalu dengan tangis dan trauma akan segala macam ketakutan, baik itu apa yang gue alami atau justru kesalahan-kesalahan yang pernah gue lakukan yang menghantui. Yah, meski gue tahu gue masih harus struggling dengan ini, tapi setidaknya gue jadi lebih sadar dan merasa lebih content dengan kehidupan yang sekarang. Whatever happened in the past, stay there. Karena yang bisa gue lakukan sekarang hanyalah berjalan maju. Diri gue terlalu berharga hanya untuk menoleh pada hal-hal yang sudah usang.

8. Putting high expectation on people

Jujur gue bingung, apakah gue udah betul-betul berhenti menaruh harapan pada orang lain? Karena seringkali kenyataan nggak seindah harapan. Tapi dari postingan yang terakhir, gue memang belajar banyak untuk nggak lagi-lagi menggantungkan harapan terlalu tinggi terhadap mereka yang justru sama-sama manusia lemah dan banyak bolongnya kayak gue—i'm tryin'. Toh nggak semua orang bisa sejalan dengan gue, nggak semua orang harus sama personality traits-nya kayak gue, nggak semua orang harus sesuai pula dengan ekspektasi gue. I don't wanna be the ones who treat others the way they think God wants them to behave.

9. Judging a book by its cover

Gue punya beberapa cerita lucu sekaligus menohok soal bagaimana tindakan judgmental atau menilai sesuatu dari cover-nya itu mengubah sudut pandang gue. Iya, tapi hanya satu yang sampai saat ini memorable banget. Suatu hari gue lagi kepingin banget makan pempek tapi yang asli dari Palembang. Karena disini susah nyari yang khas Sumatera sana, gue jadi skeptis duluan sama pedagang-pedagang yang jualan pempek disini, sampai pada saat gue ketemu pedagang baru, gue malah suudzon duluan kalau pempek abang itu pasti sama aja kayak pempek lain yang dijual disini, dan akhirnya gue memutuskan untuk nggak beli sama sekali. Kemudian beberapa bulan setelahnya gue pingin makan pempek lagi, tapi karena memang nggak nemu-nemu juga tempat yang gue rasa itu khas Palembang, jadi gue pilih untuk menyambangi salah satu pedagang baru tadi, dan tebak apa? Ternyata si masnya ini baru dateng jauh-jauh dari Palembang buat buka usaha pempek, that's why gue nggak pernah lihat sebelumnya (yang parahnya malah skeptis duluan). Dan tebak lagi gimana?😅 Pempeknya enak bangeettt, asli. Rasa ikan dan cukonya nggak sepahit yang biasa gue makan, jadi pas banget di lidah. Bau ikannya juga nggak menonjol banget, walaupun tetap nggak menghilangkan rasa pempeknya. Pokoknya mirip sama pempek khas Palembang yang pernah gue makan, deh🤧. Sejak saat itu, gue mulai ngurang-ngurangin perilaku buruk yang menilai sesuatu hanya dari luarnya aja. Lucu ya, Tuhan memang punya ribuan cara untuk nyadarin hamba-Nya. Semacam langsung ditampakin, "nih, lihat", begitu😅.

10. Wearing skinny jeans

Katakanlah gue udah kehabisan topik di poin terakhir ini, atau memang kesulitan buat menentukan karena banyak hal yang masih sedang gue usahakan untuk berhenti dilakukan atau dikurangi. Tapi berhenti pakai celana skinny jeans tiba-tiba berkelebat di kepala gue. Well, sebenarnya ini bukan sesuatu yang buruk juga. Setiap orang pasti punya preferensi masing-masing dalam memilih pakaian. Hanya saja buat gue pribadi skinny jeans itu bikin gerak gue nggak leluasa, ditambah membuat bentuk kaki gue terlalu kelihatan. Ini yang gue kurang suka. Memakai pakaian yang terlalu menonjolkan lekukan atau bentuk tubuh itu bikin gue berasa nggak pakai baju. Ditambah badan gue kurus, sangat sangat nggak direkomendasikan untuk pakai baju yang ketat macam gitu—emang udah paling bener pakai baju oversized. So far gue lebih pilih boyfriend jeans atau celana jeans lain yang gombrang, sisanya of courseeee celana bahan atau chino kesukaan gue dari brand lokal😁. Oh iya, skinny jeans yang terakhir gue beli itu sekitar tahun 2015, pas dicoba udah nggak muat lagi LOL.

Dari sekian daftar di atas, setelah dipikir-pikir kayaknya gue paling banyak berkompromi dengan internal diri, bukan sesuatu yang terlihat dengan mata kepala gue sendiri atau orang lain, semacam pakai skinny jeans, atau nonton televisi. Mungkin karena itu bagian dari pendewasaan, dan merupakan sebagian dari hal buruk yang ada dalam diri gue, yang nggak dapat dilihat oleh orang lain, dan hal-hal yang hanya diri gue sendiri yang rasakan. Sebetulnya di balik daftar tadi masih ada banyak hal yang pingin gue berhenti lakukan, atau setidaknya mulai dikurangi, di antaranya procrastinate, nggak males olahraga, overthinking, being a night owl—which i'm still doing right now😌. Semoga perubahan ini nggak cuma sesaat gue lakukan, tapi bisa selamanya berhenti dengan kebiasaan-kebiasaan buruk lain.

Kalau teman-teman sendiri, adakah hal spesifik yang kalian berhenti lakukan dalam kurun waktu lima tahun kebelakang ini? Kalau ada, let me know, ya! I'd love to hear from you!😁
Share
Tweet
Pin
Share
34 komentar
The Gift of Imperfection


Lagi-lagi malam ini Tuhan menegur gue dengan cara-Nya, sekaligus mengingatkan gue bahwa kita nggak bisa mengubah seseorang kecuali semua atas ridho dan hidayah-Nya. Beberapa kali gue dihadapkan dengan hal ini—sesuatu yang nggak gue sukai yang ada pada diri orang lain, dan dalam beberapa waktu itu pula gue bertingkah seolah gue adalah mentor atau bahkan hakim yang bisa dengan lantang menghakimi bahwa yang dia lakukan itu salah, jelek, dosa, atau suatu keburukan. Sementara gue lupa, bahwa gue juga makhluk yang tidak sempurna, yang kadang kala melakukan kesalahan yang sama. Dan gue lupa, bahwa jalan hidup setiap orang, termasuk keburukan dan kebaikan yang dilakukan, bukan campur tangan gue dan bukan hak gue untuk masuk ke dalamnya sesuka hati, apalagi untuk bersikap seakan menjadi yang paling benar atas hidup mereka. 

It's true that we can't expect people to be the way we want them to be, cuz it's not our job to change others. It's God's. The only thing we can do is trying our best to be a kind human being as He wants us to be, pray the best for them, and let Him do the rest.

Sebab mungkin, bisa aja sebetulnya gue adalah salah satu dari sekian penyebab buruk yang membuat hal negatif kemudian muncul dalam diri seseorang. Hanya saja seseorang itu nggak mengungkapkannya ke gue. Karena itu, gue harus sadar, yang perlu gue lakukan ialah mendo'akan yang terbaik untuk kebaikan bersama. Bahwa gue pingin menjadi manusia yang sebaik-baiknya, dan bahwa gue ingin melalui proses itu dengan orang-orang yang gue sayangi. Meski sempat beberapa kali gue berpikir bahwa gue berlebihan, lebay, "gak gahol", terlalu polos, atau terlalu kaku, tapi setelah dipikir-pikir gue justru berpikiran seperti ini karena sejujurnya gue sangat sayang dan peduli, dan menginginkan yang terbaik untuk orang-orang di sekitar gue. Gue nggak mau melepas sesuatu yang berharga, hanya karena sesuatu itu gue anggap memiliki satu ketidaksempurnaan. Sesakit apapun kenyataan itu, dan sesedih apapun. Namun karena sekarang gue sadar akan segala keterbatasan diri gue sebagai manusia yang juga banyak salah dan dosa, selain mendo'akan, yang bisa gue lakukan saat ini ya cukup memperbaiki diri gue sebaik-baiknya, memperbaiki hubungan gue dengan Yang Maha Kuasa, dan tentu dengan orang lain. Bukankah contoh terbaik atas perubahan dari diri kita adalah salah satu cara paling baik yang bisa kita lakukan? Instead of giving such a harsh comment, memaksa dengan kekerasan, etc.

Selama ini, tanpa sadar gue hanya mengenal sifat "ketidaksempurnaan" manusia sebagai teori, nggak pernah benar-benar diilhami, dipahami. Sampai ketika Tuhan menegur gue untuk yang kesekian kalinya, dengan cara yang selama ini gue anggap ceroboh dan bodoh, bahwa terkadang ketidaksempurnaan itu ada untuk kita terima, dan untuk kita do'akan. Bukan untuk kita judge. Supaya gue sadar, apakah gue bisa menerima ketidaksempurnaan itu atau tidak? Apakah gue harus selalu berujung menuntut kesempurnaan yang justru nggak akan berefek apa-apa kecuali kebohongan semata? Sebab artinya gue sudah memaksa orang lain untuk sama seperti apa yang gue inginkan. And now i realized that i have to accept it since it's not my job. Mungkin, apa yang terjadi kepada gue sekarang adalah sebuah cerminan akan segala noda dan ketidaksempurnaan yang ada pada diri gue.

Dengan ini, gue berharap semoga segala beban yang nggak seharusnya hinggap di hati gue bisa Ia angkat, dan gue harus berlapang dada sambil mendo'akan yang terbaik. Mendo'akan apa? Mendo'akan agar tangan-Nya sampai di hatinya, mendo'akan agar apa yang telah jauh dari-Nya bisa Dia tuntun kembali, dan bahwa gue ingin berjalan bersama menuju sesuatu yang baik yang selalu Dia lindungi langkahnya. Gue menginginkan sebuah pantulan yang ketika gue lihat di "cermin", pantulan itu adalah pantulan yang bisa menuntun gue untuk menjadi seseorang yang lebih baik setiap harinya. 

Is it too much? Gue harap nggak. Semoga. Sebab gue percaya Tuhan Maha Baik atas segala niat baik yang kita miliki. Seperti yang Dia katakan, "Aku sesuai dengan persangkaanmu kepada-Ku".

And.. why do i name the title as "The Gift of Imperfection"?

No, it's not Brené Brown's book yang punya judul sama. Bagi gue, ketidaksempurnaan yang berkali-kali gue temukan dan baru gue sadari kali ini adalah sebuah hadiah yang Tuhan tunjukan agar gue bisa sabar, bisa menerima dan sekaligus hadiah yang menyadarkan gue akan sebuah cinta yang tulus. Iya, sebab alasan utama kenapa gue nggak bisa membiarkan sesuatu yang menurut gue nggak sejalan dengan prinsip gue ini adalah karena gue yakin dari hati terdalam gue ada niat yang tulus yang bukan sekadar memberi makan ego agar gue tampak terlihat paling benar, bukan. I do care so much, justru.

For the last, i'm sorry if you guys couldn't get what i'm talking about, since it is something personal that i've ever wrote. Tapi satu yang pasti, gue sedang belajar untuk menerima ketidaksempurnaan sebagai sesuatu yang betul-betul bisa gue terima, dan bisa selalu gue do'akan agar menemukan sisi baik dan hikmah pada akhirnya (tentu sempurna dalam kadar manusia). Sebab hidup itu proses. Meski apa yang gue risaukan tetap bukan menjadi sesuatu yang bisa dibenarkan, tapi at least gue harus percaya dengan proses itu. Dan kuncinya seperti yang gue bilang, membiarkan rencana Tuhan bekerja sebagaimana mestinya—bersama dengan do'a kita.

Insya Allah.
Share
Tweet
Pin
Share
16 komentar
Newer Posts
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Bukan Salah Indonesia
  • Childfree yang Diperdebatkan
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Just Listen
  • Terlalu Besar Untuk Gagal

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

My Podcast

Newsletter

Get new posts by email:

Popular Posts This Week

  • Di Balik Angkasa
  • by.U: Solusi #SemuanyaSemaunya
  • Become a Fighter
  • Goodbye Wasteful Life, Welcome Minimalism
  • Menjadi Manusia
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • How I See Feminist as a Muslim
  • 2020 Wrapped: Top 3 Genre For You
  • Romantisisasi Generasi 90-an

Blog Archive

  • ▼  2024 (2)
    • ▼  Oktober 2024 (1)
      • Posture Perfect: How Wearing a Waist Trainer Can I...
    • ►  Agustus 2024 (1)
  • ►  2023 (1)
    • ►  Februari 2023 (1)
  • ►  2022 (9)
    • ►  November 2022 (1)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (1)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  Maret 2022 (2)
    • ►  Februari 2022 (2)
  • ►  2021 (30)
    • ►  Desember 2021 (1)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  Juli 2021 (3)
    • ►  Juni 2021 (2)
    • ►  Mei 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  Maret 2021 (5)
    • ►  Februari 2021 (1)
    • ►  Januari 2021 (5)
  • ►  2020 (46)
    • ►  Desember 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  Oktober 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (10)
    • ►  Juli 2020 (8)
    • ►  Juni 2020 (4)
    • ►  Mei 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  Desember 2019 (3)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Agustus 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Februari 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Pengikut

Categories and Tags

Intermeso Krisis 1/4 Abad Opini Perempuan Podcast Poetry Review Thoughts digital marketing karir lifestyle slice of life

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.