Diberdayakan oleh Blogger.
  • Home
  • About
  • Lifestyle
  • Personal
    • Opini
    • Thoughts
    • Slice of Life
    • Poetry
    • Intermeso
  • Podcast
  • Review
instagram LinkedIn Spotify YouTube Email

Notes of Little Sister



marah-marah virtual kegiatan ospek di tengah pandemi
Photo by Life Matters from Pexels 

Pertama-tama, sebetulnya gue nggak punya kapasitas yang cukup untuk berkomentar soal ini—ospek virtual adegan marah-marah yang baru-baru ini viral. Namun berhubung gue pernah punya pengalaman di sana, sebisa mungkin gue akan mencoba untuk melihat dari dua sisi. Penulisan tentang ini tergerak setelah gue baca artikel "Merdeka Belajar" Gaya Menteri Nadiem: Apanya Yang Merdeka? yang ditulis oleh Ben Laksana pada Indo Progress. Meski terlihat seperti nggak berkaitan, terdapat tali yang sebetulnya saling berkesinambungan kalau menilik pada konsep dan garis besar pemahaman. Apabila tulisan ini dirasa lebay atau bias bagi beberapa teman mahasiswa, silahkan, bebas untuk menginterpretasikan, kok. Semua yang gue tulis disini murni pendapat gue dan berangkat dari pengalaman serta riset kecil-kecilan di media sosial dan beberapa artikel kependidikan. Jadi, sebisa mungkin gue sudah menjauh dari bias tersebut.

Kedua, sepengetahuan gue, ospek sendiri bisa terbagi menjadi beberapa bagian, di antaranya ospek universitas, ospek fakultas, dan ospek jurusan. Ospek universitas dan ospek fakultas biasanya disatukan dalam rangkaian ospek di awal semester secara umum yang mana tujuannya memang untuk mengenalkan mahasiswa pada kampus, sebagaimana kepanjangan ospek; Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus, meski lagi, hal ini juga tidak bisa disamaratakan karena setiap instansi pasti berbeda kebijakannya, pun dalam hal penamaan. Berdasarkan pengalaman pribadi, keseluruhan ospek di kampus gue sebetulnya termasuk ospek yang sangat menyenangkan, walaupun beberapa aturan semacam harus berangkat pagi buta—bahkan sebelum adzan shubuh—masih dirasa cukup merepotkan. Selebihnya, aksi marah-marah senior dari divisi terkait memang sekadar untuk menertibkan.

Namun masa-masa "dididik" oleh kakak senior yang galak ini berlaku saat ospek jurusan dimulai, yang rata-rata salah satu tujuan diadakannya hal ini bermaksud menyaring anggota baru untuk kepengurusan selanjutnya. Pada bagian ospek jurusan inipun bisa berbeda-beda nama kegiatannya, sebab memang sudah memisahkan diri dari acara ospek universitas. Kegiatan di dalam ospek jurusan tersebut lah yang terbilang cukup keras, setidaknya begitu menurut kesaksian beberapa kerabat dari jurusan dan universitas yang berbeda.

Permasalahan tentang "senioritas", perpeloncoan, dan pembodohan mahasiswa baru dalam setiap kegiatan ospek sebetulnya akan selalu jadi pembicaraan, baik di dalam institusi terkait, maupun pembahasan secara nasional—seperti sekarang—kalau belum juga ada pembaharuan yang dirasa cukup solutif dan adaptif untuk bisa diimplementasikan. Sebagai contoh, di jurusan gue, menjelang penerimaan mahasiswa baru, nggak jarang panitia dari himpunan kami harus gontok-gontokan dengan dosen untuk meyakinkan mereka bahwa acara dalam ospek jurusan ini (re: adanya komdis) bertujuan baik dan segala tindakannya diatur dalam peraturan yang sah secara organisatoris—tentunya peraturan ini berbeda setiap departemen atau instansi. 

Adegan marah-marah yang sering disalahpahami inipun sering menjadi fokus utamanya.

"Mahasiswa kok gak kreatif! Masih zaman woy bentak-bentakan?"
"Kita bukan lagi sekolah militer."
"Mental itu gak dibentuk dalam waktu singkat cuma karena bentakan."

Gue sangat setuju, meski gue tahu, tindakan tersebut nggak semata-mata memarahi maba. Sederhananya, mereka ini ingin agar mahasiswa baru tersebut dapat lebih kritis dan punya mental "nggak mau diinjak-injak" supaya si komdis ini bisa dilawan.

Lho, bagaimana bisa?

Iya, memang begitu tujuannya (setidaknya yang gue tahu ya, mungkin treatment setiap kating di univ lain akan berbeda), karena itu gue bisa bilang ini klise. Kenapa klise? Karena pola seperti ini terlalu sering digunakan sehingga membuat tujuan atau makna asli dari hal tersebut pada kenyataannya memudar seiring berjalannya waktu. Sebetulnya konsep pemikiran inipun tergantung pada masing-masing si kakak senior, apakah dia murni ingin "membuat mental dan cara berpikir maba tersebut kritis" atau memang hanya ingin melampiaskan kekesalan mereka saat dibodoh-bodohi senior dulu—kebanyakan sih yang kedua ini kayaknya. It depends.

Namun secara keseluruhan, gue nggak bisa membenarkan bahwa adegan marah-marah yang selama ini melekat dalam kegiatan ospek di tiap universitas di Indonesia adalah sesuatu yang benar dan relevan. Gue melihat rata-rata dari pelaku dan dalang di balik itu terjebak dalam konstruksi berpikir "ospek" yang telah ada sejak puluhan tahun lalu, baik era Soeharto maupun sejak awal era reformasi, yang bahkan memang telah diwariskan sejak zaman kolonialisme dulu. Mereka masih belum tahu apa solusi yang tepat untuk membuat suatu kegiatan ospek dengan tujuan dan misi yang sama, namun berbeda metode. Jadi, pada praktiknya yang dilakukan ya gaya ospek yang seperti itu lagi, itu lagi. Marah lagi, marah lagi. Oleh karena itu, meski beberapa modifikasi perpeloncoan dan "senioritas" telah dihapuskan sepenuhnya di beberapa perguruan tinggi, nyatanya beberapa mahasiswa banyak yang masih terjebak dalam skema "marah-marah dan bentakan" yang dianggap harus ada dalam setiap acara penerimaan mahasiswa baru.

Ospek Tidak Sepenting itu Dalam Perkembangan Nalar Seseorang 

Melihat dari serangkaian kasus yang viral beberapa tahun kebelakang ini, dimana contohnya ada beberapa mahasiswa baru dari U** dan beberapa univ lain yang meninggal dan celaka saat ospek, dan ada pula kegiatan dimana maba disuruh merangkak melewati selangkangan seniornya lalu ramai-ramai minum air bercampur ludah, lalu video siswa disuruh makan makanan yang sudah dicampur dalam satu ember secara ramai-ramai (gue lupa liat video ini dimana), sampai ke persoalan marah-marah virtual kemarin, menurut gue ini sudah keterlaluan. Apa bedanya kita sama para diktator dan pemerintah yang sering didemo oleh mahasiswa itu sendiri jika konsep meng-ospek seperti ini masih dipertahankan? Supaya mahasiswa baru ini tahu rasanya diinjak-injak dan memberontak? Supaya mahasiswa yang menjadi agen perubahan ini mampu berpikiran maju dan mendobrak sistem yang bobrok? Begitu?

Konsep seperti ini justru kontraproduktif dengan teori yang telah dikenalkan sejak tahun 1900-an oleh Thomas Lickona bahwa pendidikan karakter mencakup tiga unsur pokok, di antaranya mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (desiring the good) dan melakukan kebaikan (doing the good). Mencoba "membentuk" karakter seseorang dengan cara yang keras untuk menghasilkan reaksi yang bertentangan dengan maksud melahirkan pemikiran yang baik, kritis, dan bijak bukanlah suatu cara yang benar. Bisa saja benar dan berhasil, jika reaksi tersebut mampu dihasilkan oleh maba-maba yang kritis dan "berani" tersebut, bagaimana jika tidak? Bagaimana jika aksi tersebut hanya melahirkan ketakutan-ketakutan baru akan hilangnya kebebasan berpendapat dan malah membentuk generasi yang manut-manut saja, sebab "kebenaran" tersebut telah diakuisisi maknanya?

Jika cara ini dianggap efisien untuk melahirkan "pemberontak-pemberontak" atas sistem yang bobrok, coba kita lihat sejenak. Mereka yang berdiri di kursi pemerintahan sana juga berangkat dari seorang mahasiswa yang kritis dan aktif, dilatih dengan ospek yang katanya lebih keras, tapi apakah hal tersebut menjamin bisa membentuk karakter "pemimpin-pemimpin" ini menjadi lebih progresif dan sadar diri rasanya di bawah? Tidak juga. Bahkan posisinya saat ini kontradiktif, mereka yang dulunya di bawah dan diinjak, berbalik menginjak. Apakah hal ini karena dipengaruhi oleh gaya ospek yang kejam? Tidak juga. Menurut gue, tindakan semacam ini pada akhirnya tidak terlalu mempengaruhi seseorang untuk bertindak sebagai seorang intelek, atau bahkan sebagai bagian dari masyarakat nantinya di dalam kehidupan sehari-hari, karena esensi yang diterima oleh masing-masing anak tentu berbeda.

Dimarah-marahi senior tidak lantas membuat mental kita seperti baja, tidak lantas membuat cara berpikir kita bisa kritis pula, sebab kedua hal ini sifatnya sustainable, yakni terus berkelanjutan selama individu tersebut masih memiliki peran di dalam lingkungannya, dan tentu ada proses panjang yang menggiring kita untuk bisa sampai di tahap tersebut. Bahkan jika seseorang sudah kritis pun, hal tersebut harus selalu diimbangi dengan latihan yang intens. Bagaimana contohnya? Membaca, banyak berdiskusi dan mendengarkan. Latih otak kita untuk berpikir.

Baca juga: Kenapa Perlu Berpikir Kritis?

Mahasiswa-mahasiswa tersebut kemudian seolah hanya menyontek dan menerapkan tindakan tradisional dalam teori tindakan sosial Max Weber, yakni mengamalkan tradisi atau kebiasaan di dalam lingkungan tersebut tanpa perencanaan dan dilakukan secara repetitif, tidak benar-benar mengelaborasi konsep keseluruhan tindakan sosial yang berorientasi nilai, rasional dan afektif.

Senioritas yang Disalahgunakan

Manusia pada dasarnya adalah makhluk individu yang memiliki kebebasan untuk berpikir dan menentukan mana hal yang menurut mereka baik atau tidak, pun jika hal tersebut bertentangan dengan norma, kegiatan ospek yang bergaya militer dan keras (baik secara verbal dan non-verbal) tidak termasuk ke dalam norma-norma yang berlaku dalam kehidupan sosial. Disinilah kita kemudian perlu membedakan senioritas dan perpeloncoan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan para ahli bahasa, senioritas menggambarkan situasi yang sifatnya perihal junior dan senior (bukan hanya merujuk pada perguruan tinggi) dimana terdapat keadaan seseorang lebih tinggi pangkat, pengalaman, dan usianya; serta prioritas status atau tingkatan seseorang yang diperoleh dari umur atau lamanya bekerja. Sementara perpeloncoan adalah praktik ritual dan aktivitas lain yang melibatkan pelecehan, penyiksaan, atau penghinaan saat proses penyambutan seseorang ke dalam suatu kelompok. Berdasarkan KBBI, aktivitas ini menjadikan seseorang tabah dan terlatih serta mengenal dan menghayati situasi di lingkungan baru dengan penggemblengan, yang jika ditelaah pada kasus-kasus ospek tersebut seringkali dibenarkan dengan dalih senioritas dan adaptasi. Padahal perlakuan dalam ospek yang terbilang keras tersebut tidak selamanya menggambarkan lingkungan baru secara utuh yang perlu diadaptasi oleh mahasiswa baru, dan senioritas itu sendiri kini bergeser maknanya. Sebab tindakan menghargai seseorang atau lawan bicara yang lebih tua dan lebih tinggi secara pangkat, jabatan, pengalaman dan usia tersebut bagian dari norma dan tata krama yang memang sudah semestinya kita terapkan. Sayangnya marah-marah pada ospek ini seringkali hanya dibungkus dengan istilah senioritas.

Mengutip pada artikel dari indoprogress tersebut, nilai-nilai seperti "hierarki, keteraturan, struktur, formalitas, paternalisme dan patriarki" merupakan nilai-nilai kunci dalam upaya rezim Presiden Soeharto yang sebagaimana disebutkan Bourchier dalam bukunya, Illiberal Democracy in Indonesia: The Ideology of the Family State (2015), terus dilegitimasi oleh negara sampai hari ini, bahkan hingga lingkup universitas sebagai alat ideologi pada ranah pendidikan. Bisa dibilang pola melatih dalam ospek yang terus dinormalisasi seperti ini sama saja dengan mengiyakan tatanan kehidupan yang regresif dan terlalu "kolot".

Hierarki ini digambarkan sebagai senior yang terlalu memposisikan dirinya dan junior sebagai di atas, di bawah, atau mengkategorikannya "pada tingkat yang sama" dengan kategori lain. Keteraturan dan struktur, yang mengarah pada pola didik yang keras yang dapat tergambarkan melalui paternalisme; sistem kepemimpinan yang berdasarkan hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin, seperti hubungan ayah dan anak, yang mengungkapkan perilaku superioritas jelas termasuk di dalamnya. Sementara formalitas dapat ditunjukan dengan tujuan klise yang kini menyimpang yang gue sebut pada paragraf sebelumnya, serta patriarki seringkali digambarkan melalui tindakan meremehkan dan menganggap mahasiswi lebih lemah daripada mahasiswa, harus selalu dilindungi dan diayomi seolah perempuan tidak bisa memiliki kendali atas dirinya sendiri. Padahal, tidak sedikit juga perempuan yang justru lebih berani untuk bersuara saat "dimarahi" tersebut.

Perlu diingat, bahwa gue tidak sedang menyoroti kegiatan pada ospek-ospek tertentu secara spesifik, apalagi bermaksud menyinggung. Gue melihat ini secara lebih general yang memang berlaku dalam lingkungan kampus, seperti yang baru-baru ini kembali meruak lewat ospek online di beberapa universitas.

Kekerasan pada ospek ini yang kemudian sama saja membentuk warga negara atau civitas akademika agar tunduk, serta secara sukarela dan secara aktif merangkul nilai-nilai yang telah dibentuk oleh negara—active consent of manufactured consent (Gramsci, 1971; Herman & Chomsky, 2008; Wright, 2010). Strategi atau pola pembentukan karakter ini termasuk menjustifikasi tindakan-tindakan opresif yang dilakukan negara (sebagai aktualisasi nilai-nilai negara) dan melihat hal tersebut sebagai sebuah kewajaran atau "akal sehat" (common sense) dalam keseharian kita. Semua dilakukan demi terwujudnya "kemajuan dan keteraturan" negara di mana definisinya pun telah dimonopoli oleh negara (dalam hal ini kata negara merujuk pada sistem dan pola tindakan kekerasan fisik dan non-fisik yang diberlakukan dalam kegiatan ospek).

Pola asuh otoriter yang diterapkan dalam ospek selama bertahun-tahun sebagai wujud dari hierarki, keteraturan, struktur, formalitas, paternalisme dan patriarki tersebut pada akhirnya hanya akan melahirkan komitmen dan pola pikir yang juga otoriter, sebab sifatnya memaksa untuk tunduk pada aturan-aturan yang telah dinormalisasi, terlepas dari tujuannya baik atau tidak. Lebih dari itu, memaksakan tradisi tanpa inovasi sama saja dengan mengamalkan ideologi Orde Baru yang selama ini dikemas dalam reformasi. Pendidikan bukan lagi bersifat emansipatoris, hanya menurunkan nilai-nilai yang tunduk dan patuh pada sistem negara dan kapitalis. 

Gue pikir Revolusi Industri 4.0 yang selama ini dielu-elukan, serta transisi digitalisasi di era pandemi ini bisa membuat perspektif kebanyakan pemuda menjadi lebih progresif dan kreatif, ternyata nggak. Pandemi ini hanya membuat beberapa kelompok terjebak di dalamnya, dan mendaur ulang konsep-konsep yang telah ada sebelum pandemi dengan gaya lebih "kekinian", yakni secara virtual.

Share
Tweet
Pin
Share
16 komentar

Suka Duka Introvert di Masa Pandemi
Iyaak tangan belum masuk saku keburu dijepret🤣

Awalnya tulisan ini gue beri judul Suka Duka Jadi Introvert, berhubung memang sempat gue buat draftnya beberapa bulan yang lalu. Namun karena nggak pernah sempat diperbarui, dan berhubung gue baru aja mengalami beberapa hal menarik terkait ke-introvert-an gue di masa pandemi,  jadilah judul yang sekarang! Hehe. Sebetulnya konsep cerita gue yang sebelumnya ingin ditulis pun terasa terlalu general sih, jadi sepertinya nggak memungkinkan buat ngupas tuntas semuanya😂. 

Buat teman-teman yang ngikutin tulisan gue dari arsip terdalam, pasti sedikit banyaknya tau kalau gue adalah seorang introvert, bahkan dari zaman masih piyik-piyik ciak-ciak kali, ya. Di tahun 2020 ini gue seakan benar-benar bebas dari tuntutan menjadi makhluk sosial yang (akhirnya) bisa totally punya space sendiri dalam mengembangkan potensi diri, dan betul-betul lepas dari interaksi yang seringkali membuat gue kelelahan hingga butuh waktu berhari-hari lamanya untuk recharge di kamar—disinilah kemudian weekend biasanya gue gunakan. 

Di masa awal pandemi, 'dirumahkan' mungkin menjadi hadiah terindah buat introvert kayak gue, karena gue sendiri nggak perlu bertemu dengan banyak orang dan basa basi ini itu setiap harinya, gue nggak perlu berpura-pura nyaman kalau ada dalam suatu obrolan yang kurang gue sukai, gue nggak perlu ngerasa pusing kalau lagi di keramaian, gue nggak perlu misuh-misuh denger bunyi klakson di jalan (it doesn't define you as an introvert tho😂), gue nggak perlu berhadapan dengan kemacetan di lampu merah yang setiap hari bikin kepala sakit kayak mau pecah (literally). Walaupun, tentu, memiliki waktu sebebas-bebasnya berada di rumah dengan alasan pandemi bukan menjadi suatu hal yang baik, tapi paling nggak gue bersyukur bisa sedikit lebih cepat terselamatkan dari si virus mungil covid-19 ini. Sebab kegiatan karantina tersebut betul-betul gue patuhi secara sukarela dan 'gembira', nggak ngeyel keluyuran sana sini kayak anak muda sok edgy yang hobinya ngomongin teori konspirasi. *Iya, pada awalnya sih, gitu.

Semakin lama hidup dalam kondisi nggak normal nyatanya bikin gue juga lelah. Semua kegiatan yang dialihkan via online membuat gue overwhelming, dan rasa tidak nyaman dalam bersosialisasi yang bikin lelah pun gue bisa rasakan juga disitu. Nggak terhitung udah berapa kali gue mengabaikan beberapa inbox yang masuk lewat whatsapp dan e-mail, hanya karena gue nggak sanggup dan keteteran buat sekadar membalas 'iya'. Jangankan mau bales, ngelirik aja rasanya udah bergidik duluan. Iya, sampe segitunya.

Though gue nggak banyak bertatap muka lewat zoom, skype, google meet, google duo, dsb. (karena udah nggak ada kelas), gue tetep ngerasa capek bukan main. Apalagi saat gue harus menyelesaikan sisa-sisa waktu praktik lapangan di bulan Maret yang terpaksa dialihkan lewat daring. Setiap pagi gue harus siapin materi, kuis, terus stand by di Google Classroom buat ngirimin semua materi itu—termasuk video pembelajaran yang gue rekam malam sebelumnya. Belum lagi banyak murid yang nggak masuk tepat waktu—nggak terdaftar di kelas sampai berhari-hari, telat ngirim tugas, ada juga yang ngirimnya berceceran sampai ke personal chat, atau bahkan ada yang ngilang sampai berminggu-minggu.  Ditambah guru pembimbing gue yang suka tiba-tiba video call di grup pagi-pagi banget, saat kami masih sayup-sayup melek abis begadang semalam suntuk, dan tiba-tiba ngasih kabar mendadak untuk kami buat soal ulangan, materi latihan soal PAT (UAS), dll. Oh iya, berhubung sempat ada yang menyangka gue guru, entah dari postingan yang mana, jadi gue mau mengingatkan kalau gue bukan guru😂 . Cuma karena kampus gue basic-nya adalah kampus pendidikan, untuk mahasiswa yang jurusannya pendidikan (karena banyak juga jurusan yang non-dik), di semester menjelang akhir kita pasti praktik di sekolah. Dan ini nggak serta merta berarti kita otomatis akan jadi guru setelah lulus. Nggak, untuk jadi guru juga harus belajar lagi PPG (Pendidikan Profesi Guru). Kegiatan PPLSP ini sebatas memenuhi syarat kelulusan mata kuliah tertentu, mungkin kalau di kampus atau jurusan lain disebutnya magang. Nah, lanjut lagi.

Ternyata, pada akhirnya gue masih harus berurusan dengan orang-orang di luar sana meski cara berkomunikasinya beda.

Lama-lama gue pun kembali menjadi seseorang yang kaku dan socially awkward. Contohnya, belum lama ini gue sempet ketemu beberapa temen di kampus dan di luar kampus. Nggak seperti gue biasanya yang bisa terlihat 'sok akrab' kalau ketemu kenalan, at the time i was completely clueless of what i have to say or what i have to do—bahkan sama orang yang gue anggap deket, lho. Padahal kalau dibilang kangen, jelas iya dong! Udah lama banget gue nggak ngeliat wajah-wajah teman kuliah. Karena canggung level maksimum ini, alhasil setiap kali berusaha membuka topik gue sering keserimpet lidah sendiri. Canggung abis dah pokoknya, lucu juga kalau dipikir-pikir🤣. Seculun-culun dan sekaku-kakunya gue, nggak pernah gue merasa secanggung ini ngobrol dengan orang lain. Jujur aja, selama hampir tujuh bulan pandemi ini gue memang nggak selalu get in touch sama temen-temen, karena nggak semuanya gue punya kontak WA (sohib segeng dan yang memang deket banget sih udah pasti gue simpan nomornya). Paling tiga atau empat orang yang tetep chatting sama gue, itupun jarang. Kalau gue lagi butuh referensi, lagi kangen, atau sekadar pingin ngobrolin hidup dan topik-topik lain, baru kita saling kirim pesan dan balas story, atau bahkan video call. Circle pertemanan gue emang sekecil itu.

Awalnya gue pikir ini wajar, walaupun kaget juga. Sebab selama ini gue mengenal diri sendiri bukan termasuk orang yang kesulitan secara verbal dalam public speaking. Gue ngerasa fine-fine aja, kapanpun dan dimanapun gue berada, ketika gue diharuskan untuk fit in dengan lingkungan dan situasi tersebut gue akan dengan mudah beradaptasi dan nge-switch diri. Karena itu, beberapa teman gue dulu sempet punya kesan bahwa gue anak yang ekstrovert, padahal bukan. Tapi sekarang, rasanya bener-bener aneh. Bayangin aja gimana rasanya nggak ketemu relasi selama berbulan-bulan, yang bahkan lewat SNS pun ngga keep in touch betul-betul, saat diketemukan rasanya pasti canggung, kan!? Dan nggak taunya, kejadian belibet lidah sama a-eu-a-eu ini malah berulang pas gue diajak ngobrol sama pasutri yang ngejual susu murni di sekitar kost gue. Lagi-lagi yang biasanya gue nggak bermasalah kalau diajak ngomong, sekarang kayak orang dusun yang udah kelamaan tinggal di goa dan baru keluar ke permukaan. Asli deh😫. Sejak kapan gue ketemu sama ibu penjual soto (ini beda lagi makanannya) jadi kayak ketemu Obama?

Entah sampai kapan gue bisa bertahan untuk hidup seperti ini di tengah pandemi. Karena, meski kepribadian gue tertutup begini, gue pikir kenapa kita perlu untuk tetap hidup normal dan berurusan dengan segala pekerjaan, orang-orang, dan lain-lainnya, adalah karena disitulah gue bisa melihat segala sesuatu dari sudut pandang lain. Dari sisi diri gue yang nggak selamanya pendiam, kuper, dan cuek. Saat bertemu dengan orang-orang di tempat kerja, misalnya, suka atau nggak suka dengan mereka, mau nggak mau gue harus tetap bisa berlaku baik dan bersosialisasi dengan orang-orang tersebut. Artinya, gue jadi tau caranya menempatkan diri dan menempatkan ego. Sebab nggak semua bagian dari karakter dalam diri kita harus diikuti. Misalnya lagi, kalau gue orangnya tempramental, dan ada seseorang yang selalu memicu gue buat ngomong nggak baik karena nggak demen sama sikapnya, gue nggak harus menuruti ego gue untuk menampakan kebencian gue, kan. Padahal tu orang ada salah sama gue aja nggak.

Menjalani hidup sesuai dengan keinginan gue dan personality gue sebagai introvert nggak selamanya enak. Banyak suka dan dukanya, seperti yang gue ceritakan di atas. Dalam keadaan seperti ini, gue memang merasa sangat-sangat difasilitasi karena semua orang saling menjaga jarak, dan saling mengerti akan adanya batas dan privasi, sesuatu yang selama ini selalu gue agung-agungkan. Boundary, privacy, independency and freedom. Namun ternyata, perlahan-lahan gue malah jadi terkukung dalam dunia sendiri. Gue terlalu nyaman ada dalam zona ini. Satu-satunya yang bisa membuka mata gue lebar-lebar di tengah kesendirian ini hanyalah media sosial—yang sedihnya, menjadi sumber kesedihan dan insecurity terbesar dalam beberapa waktu. Untungnya gue masih punya temen yang bisa jadi tong sampah pikiran gue selama beberapa bulan ini, begitupun sebaliknya.

Gue sangat-sangat berharap semoga situasi ini nggak bertahan lama dan bisa segera pulih. Nggak tau lagi rasanya kalau di tahun depan nanti kita masih harus berurusan dengan virus, PSBB, protokol kesehatan, dsb.

Kalau teman-teman sendiri, gimana nih? Apa kesan dan pesannya selama pandemi? Baik sesama introvert ataupun ekstrovert ya😁.


Share
Tweet
Pin
Share
25 komentar
Being a Good Listener

Before you start reading this post, i'd like to apologize for any grammar and writing errors and i'm so sorry for the sudden appearance with this kind of post which is NOT SO me LOL. I've checked my writing using an app before publishing this so i can proofread and learn but, you know, sometimes such apps can't be trusted either😌. Well, i don't know why, but i feel like i have to improve my writing skill (esp. in English) so the idea to share this has suddenly just crossed in my mind. My friends keep telling me to not to be afraid over things that require mistakes to help us learn and grow—especially in learning foreign languages. So i encourage myself to write this as best as i can. Maybe next time i'll write one with Japanese😬. Semoga bisa sedikit mengobati rasa kangen (jiaah sapa juga yang kangen yak😆), dan memberi sedikit warna baru di blog gue. Cheerio! xx

o-o

I recently watched a video on YouTube whose created by my favorite musical actress ever. Her YouTube channel contains videos about music and light lessons, a kind of sharing videos with inspirational thoughts that help us to grow, to reflect, to think, to unlearn, to relearn, and to get to know more about ourselves and our lives. I actually have started some other videos before, but today i decided to go for episode 3 which is about Listen. 

I think it's such an interesting topic to talk about in my blog because you know... nobody is born the same way, nobody wakes up the same way, nobody goes to sleep the same way, nobody's days go exactly the same, even if you spend the entire day with someone. So, it really is the most amazing gift to be able to listen and to realize there's always different perspective of life that we have to listen to—aaaaaand to share with each other😜.

Speaking of listen, have you ever had a conversation that put yourself in situation to think 'i must give her/him some response' in order to make them feel comfortable or even only to assure them that you are being presented at the moment? I personally have been there for almost all the time—before i realized that such habits and attitudes are actually bad enough to have.

Why is it bad to have? 

Doesn't that mean we are being responsible for responding to them?

I know, for some people this might be the best solution to come up with another response just to make the others feel better, but you ended up not really listening to them because your brain is busy to accumulate and to adjust what kind of response will you say, what kind of advice that you want to give, without really hearing and understanding the context and the story. If you think you can still hearing what exactly they say while trying to find words to respond,  that would be good. But what if you're not? Here the thing is. 

Even since childhood, at school, we were trained to always answer every question that our teachers asked, without really knowing what the best answer to say was. Well, they never actually have us answer some questions without knowing the context, but we're unconsciously trained to become ones, weren't we? Every time our teachers ask some quizzes, instead of really hearing what they say and comprehending the topic, we're busy memorizing so many theories we have learned just to make the teacher feel satisfied with our answers. In fact, we didn't really listen to them. We were just busy thinking about the responses and answers that we should have given.

Now in conversation, again, we're often times thinking of the next thing that we're gonna say. Whatever they're saying, the sparking something in us that makes us want to speak. Here another misconception about good listening is when we listen and go 'oh, i understand, that happened to me!' then we always start going into our story. Even though we think we're saying 'oh yes, i totally understand! I hear you, i understand because...', this couldn't make our friends feel comfortable at all. As soon as you say 'because', it's now become about you and your story and there's nothing we can even learn about being a listener. Of course, there's a time for you and your story, but this might not be it. Not when you don't have the urge to say, and not when you are being needed. This might be the time that you're listening to somebody else.

For me, this kind of mindset can eventually lead us to become the selfish one, who doesn't really care of what others are feeling at the moment, and what they've been through that makes them wanna share their stories with us. Because in the end, it's all about us, not about them and the stories we have to listen to.

Have you ever imagined and reflected on yourself that everything happened in your life, after all these times, it's only about you, about your story, your ego, and your perspective? I mean, any time we get depressed and exhausted, maybe this isn't because of someone else that you think it is? Maybe it's all because of us who can't deal with the situations, people, and egos that have brought the negativity into our minds. This is why we have to really listen (even to ourselves) every now and then.

So how do we listen?

Listen without judgment, listen without coming up with the response that you're gonna already say. Just really listen. Train yourself to think, what if i'm listening to listen? Not listening to respond. 

Then choose to get quiet sometimes and hear all the voices that are talking to us constantly, the ego that telling us you aren't enough, and the ego that telling us you're the best thing that ever been. Yash, there's always some spectrum telling you to be this and that, to take the black side and the white side, being energized and exhausted. Therefore, we listen to be more aware that there is always something in between and it is the time to look at many different perspectives between the two sides.

Some may suggest you to meditate (as mentioned in the video), but since i've never tried this one, i'd like to advise us to sit down with the intention of listening to the only voice that is worthy of being listened to. 'That' voice always speaks to us. It's not just listening to listen, but it's listen to hear. 

Since Bandung has recently been in the rainy season, before goes to sleep, i usually pause myself for a moment to just listen to the sound of water droplets from pipes, the sound of crickets and other insects, or even the sound of the rain itself—to the extent that i can hear the sound of my own heart beat. Somehow, when i let myself to be involved and attached to everything around me, i feel more alive and being present. I feel like they're listening to me listening to them, and it becomes a cycle of listening. Eventually, when we are open to hearing, we will also be heard with openness.

This cycle actually also happens when we are in a situation as someone who wants to be heard. Before we share stories, in order to avoid some misunderstanding with one another, i think we should make sure our partners at first, what are we really want by telling them these stories, since there are many of us who have different concepts about listening. Do we just want to be heard? Or do we actually need support and advice to be more motivated? 

So, if you just want to be heard, tell them (IMO, this isn't the only way to tell someone how your feeling is); "I want to share this with you not because i want to give you such a heavy burden. I just want you to listen, so don't push yourself so much that you think you have to encourage me by saying kind words when you actually don't have to." 

However, if you expect them to respond to you, this could be a problem (or could be not) for you. Why? Because we can't control how people are going to react towards us, we can't get them to read our minds just because we share the stories.

So what can I say?

Tell them that you "might need their advice and encouragement," which may make you feel better, "but don't take this as a burden to you because i don't want you to feel that way. Take it easy and if you don't mind hearing me, i'll be very happy." Then, the rest we can do is do not put expectation too high on them because we already said it truthfully with openness. Is it possible for them to be open to hearing us? It is very possible because the cycle never ends.

You know people say a lot that we have to think twice before you speak, right? What if (at least start from now) we listen twice before we speak? Because sometimes, when we listen once and listen again, we hear it—of course, depends on the context in which occasion you are in and who you're talking to, but it is also worth to 'listen' twice before we speak. 

Lastly, we live on the same planet, but it's a completely different world. When you don't know what to do, listen. When you feel uncomfortable, listen. Not just listening to everybody around you, but 'listen' to the knowing inside of you. There's a knowing that might be telling you actually simply to listen. Who knows?


It is you who know.


Share
Tweet
Pin
Share
24 komentar
Bad For Good to be Empowered (Pergi Untuk Kembali)

Seperti yang pernah gue sebut beberapa kali di postingan sebelumnya, bahwa bulan ini terhitung adalah bulan ketiga dimana gue mulai fokus nge-blog dan meninggalkan media sosial, khususnya Instagram. Namun belum pernah gue ceritakan apa alasan di balik itu. 

Sejak pertama kali gue memutuskan untuk memposting tulisan di blog, media yang gue gunakan untuk bisa menyalurkan tulisan-tulisan gue ini hanyalah media sosial. Ibaratnya ini satu-satunya teknik SEO Off Page yang gue tau😂. Setiap kali gue update postingan baru, pasti gue share di IG Story atau Twitter. Hal inipun sebetulnya berbanding lurus dengan salah satu tujuan gue nge-blog, bahwa gue ingin mengajak teman-teman di media sosial untuk paling tidak memiliki minat literasi yang lebih tinggi dari yang dimiliki sebelumnya, plus bertujuan untuk membuka diskusi agar kita bisa berbagi sudut pandang disini. Karena itu seringkali opini yang gue angkat cenderung tentang isu sosial atau pendidikan. Tapi tampaknya nggak semua orang tertarik dengan hal ini, sebab kita nggak bisa memaksa orang lain untuk suka dengan apa yang kita lakukan, meski niatnya baik. Semua orang tentu punya seleranya masing-masing dalam mengakses konten di media sosial.

Di masa awal gue mengerjakan blog ini, dukungan positif memang selalu datang, tapi hanya dari sohib-sohib se-geng dan orang terdekat aja. Sisanya beberapa teman atau senior di kampus yang memang tertarik untuk membaca blog gue—setidaknya hanya mereka yang gue tau lewat respon berupa DM di media sosial. I was so happy at the moment, menyadari bahwa ternyata beberapa orang rutin membaca dan mengapresiasi tulisan gue. Well, it's not about the numbers, actually. It's all about the message, itu yang gue harapkan bisa orang lain dapatkan ketika berkunjung kesini.

Kenyataannya, sebaik-baiknya berusaha adalah tentu dengan tidak berekspektasi. Mungkin tujuan gue yang terlalu ideal tersebut membuat gue sedih setiap kali respon yang gue dapat bisa dihitung jari, atau bahkan nihil. Ditambah dengan gue yang diperlihatkan oleh kenyataan bahwa orang-orang tampaknya lebih senang mengakses konten yang cenderung isinya "bercanda". Yaah, memangnya siapa juga gue sampai-sampai perlu untuk didengar? I'm just nothing. 

Kondisi ini pula yang membuat gue sering mengeluh tentang "konten-konten" di media sosial dan penggemar setianya. Sederhananya, gue merasa orang-orang di sekitar gue kurang apresiatif. Kasarnya, orang-orang hanya peduli dengan foto-foto OOTD gue daripada apa yang gue tulis. Belum lagi diam di Instagram selalu memunculkan insecurity yang menyiksa setiap kali gue secara reflek harus membanding-bandingkan hidup gue dengan mereka yang hidupnya berada di atas gue. Sialnya lagi, dengan bertindak seperti itu tanpa sadar gue telah membiarkan diri gue terpuruk semakin dalam ke lubang-lubang masa lalu dan penyesalan. "Kenapa sih gue begini?", "Kenapa gue nggak bisa kayak mereka?". Padahal kalau menunduk sedikit saja ke bawah, banyak hal yang bisa gue syukuri, termasuk eksistensi di dunia ini.

Oleh karena beberapa alasan itu, gue memutuskan untuk stop dan deactivate sementara akun IG gue. Kenapa sementara? Memangnya mau balik lagi? Yaa, sebagai bagian dari individu yang hidup di era digital seperti saat ini, gue masih menganggap bahwa memiliki media sosial adalah sesuatu yang penting. Apalagi gue dengar beberapa perusahaan terkadang menanyakan media sosial para pelamar kerja saat interview. Toh sebetulnya banyak hal positif yang gue bisa dapat dari sana, kalau kita tau cara memfilter diri dari konten yang dirasa kurang baik—but not this time. Saat itu gue melihat media sosial sebagai racun yang betul-betul nggak sehat untuk keadaan mental gue. Sehingga fitur deactivate sementara ini sangat gue syukuri keberadaannya. Kalau twitter gak gue deactivate karena fiturnya langsung permanen. Sayang bok, gue gak bisa misuh-misuh lagi disana kalau hilang akunnya😂.

Singkat cerita, pada saat hiatus dari medsos itu gue menemukan komunitas Blogger Perempuan lewat salah satu akun twitter. Penasaran lah gue dengan situs ini dan ternyata setelah ditelusuri banyaaak banget blog-blog yang bagus dan inspiratif. Gue serasa menemukan surganya blog, dan ternyata lagi, setelah gue cari tahu komunitas ini bukan satu-satunya komunitas yang mewadahi para blogger untuk bisa membagikan ceritanya dan terjaring dengan blogger lain. Sejak saat itu gue mulai rajin blogwalking dan mengembangkan blog gue—paling nggak memoles templatenya biar lebih eye-catching.

Disini, gue seperti menemukan kehidupan baru dan napas segar dalam menggeluti dunia tulisan. Nggak hanya lewat tulisan-tulisan yang selalu bermakna dan inspiratif yang gue baca dari tiap blog, tapi juga lewat komentar-komentar blogger yang sangat apresiatif dan suportif. Sesuatu yang nggak gue temukan di media sosial. Sesuatu yang membuat hidup gue merasa sedikit bermakna dan nggak sia-sia untuk menulis. Benar kata Tere Liye, kebaikan itu memang tak selalu harus berbentuk sesuatu yang terlihat (Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin). Bahkan jika kalimat-kalimat positif yang gue dapatkan selama ini sebetulnya terlihat. 

Hal ini juga sejalan dengan sebuah pepatah, bahwa meninggalkan sesuatu yang buruk pasti akan bernilai lebih baik. Lebih tepatnya, kalimat ini adalah apa yang selama ini gue dapat dalam ajaran agama gue,

"Sesungguhnya tidaklah Engkau meninggalkan sesuatu karena ketakwaan kepada Allah Ta’ala, kecuali Allah pasti akan memberikan sesuatu (sebagai pengganti) yang lebih baik darinya." (HR. Ahmad no. 20739. Dinilai shahih oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth).

Meski pengalaman gue ini tidak bernapaskan religius, tetapi benang merah yang gue bisa ambil adalah, seberat apapun kita memutuskan untuk meninggalkan sesuatu yang buruk kepada kebaikan, niscaya kita pasti akan mendapat gantinya yang berkali lipat lebih berharga dan bernilai dibanding berdiam diri di dalam lubang keburukan itu selamanya.

Lewat blog, gue menemukan kakak-kakak dan juga teman-teman blogger yang selalu suportif dan sangat mengapresiasi tulisan-tulisannya satu sama lain. Rasanya gue ingin mention satu persatu dari mereka yang selalu memberi warna dalam hidup gue akhir-akhir ini, entah itu lewat komentar maupun personal chat-nya, seperti kak Eno, kak Renov, kak Lia, Lutfia, tapi tentu saja masih ada baaaanyak lagi yang gak bisa gue sebut satu persatu disini (soalnya nanti kepanjangan😆), yang meski baru mengenal secara singkat bahkan lewat dunia maya, kebaikannya dalam menyemangati lewat komentar di blog nggak pernah bisa gue lupakan. Mungkin beberapa dari kalian tidak menyangka apa yang dilakukan ternyata betul-betul memberi pengaruh positif untuk orang lain, kenyataannya it really means a lot untuk seseorang seperti gue yang hampir nggak pernah mendapatkan apresiasi dari orang lain. Keluarga dan orang-orang terdekat tentu memberi dukungan (as i mentioned before), tapi rasanya berbeda ketika kita bisa menemukan itu dari orang-orang yang bahkan belum pernah kita temui secara langsung, seperti kakak-kakak semua. Sending virtual big hug to all of you🤗💕. Really, gue sangat bersyukur bisa terhubung dengan kakak-kakak dan teman-teman semua😍.

Belum lama ini gue pun dibuat terharu dengan postingan di blognya kak Anton, Maniak Menulis. Biasanya kalau blogwalking ke situs beliau, gue memang belum berani berkomentar, jadi cukup menikmati saja tulisan-tulisannya😁, apalagi banyak juga postingan seputar blogging dan tips-tipsnya yang gue dapat sepulang dari sana. Eh sekalinya gue jalan-jalan blog lagi, gue malah dikagetkan dengan postingan yang ada nama guenya😱.

Bad For Good to be Empowered (Pergi Untuk Kembali)

Padahal gue kira tulisan ini hanya sebatas misuh-misuh yang penuh dengan bualan dan bahkan tidak memberi tindakan nyata juga pengaruh apapun. Jadi, gue sangat bersyukur dan nggak menyangka bisa mendapat apresiasi yang segini besarnya hingga dibuat dalam satu postingan😫. Terima kasih banyak kak Anton!😭😍

Semoga kakak-kakak dan teman-teman semua selalu dilimpahkan kesehatan, keberkahan dan rezeki yang lebih dari cukup. Sekali lagi, gue sangat bersyukur bisa bertemu dengan kalian di dunia maya ini🤗😊.

Sejak memutuskan untuk fokus di blog inipun gue akhirnya mengubah tujuan penulisan gue menjadi lebih sempit, bahwa gue hanya ingin berbagi apa saja yang pingin gue bagikan, dan bahwa blog ini semata-mata hanyalah sarana tempat gue melepas diri dari segala kerumitan di dunia nyata. Ternyata setelah tujuan gue berubah, gue justru jadi semakin produktif dan semakin semangat menulis. Dan yah, ujung-ujungnya balik lagi deh ke poin yang gue bilang sebelumnya; sebaik-baiknya berusaha ya tidak berekspektasi. 

Sekarang ketika menulis, gue murni hanya ingin menulis. Bukan karena alasan sok ideal tadi😂. Sebab satu hal yang gue pelajari dari proses menulis ini, berbuat lah karena kamu merasa ingin berbuat, berbagi lah karena kamu merasa ingin berbagi, dan menulis lah karena kamu merasa ingin menulis, bukan karena ingin agar orang lain suka atau bahkan berubah berkat tulisanmu. Karena kita nggak bisa mengontrol tindakan orang lain. Satu-satunya yang bisa memberi kontrol atas tulisan gue ya tentu diri gue sendiri.

Baca juga: Blog Story

Anyway, kayaknya agak melo gimana gitu yaa postingan kali ini, hehe. Mungkin karena gue lagi kurang sehat, jadi bawaannya sedih aja🤔. Oh iya, in case ada yang menyadari, kenapa sih gue menuliskan  kalimat "pergi untuk kembali" pada gambar di atas?

Sebetulnya dari semua komentar baik yang diberikan, tentu membuat gue pingin terus menulis di blog. Namun sayangnya dalam beberapa bulan ini, gue justru nggak akan bisa aktif seperti sebelum-sebelumnya. Gue harus menyelesaikan pendidikan gue yang mana menjadi salah satu resolusi di tahun ini (dan nggak enak juga udah ditanyain sama ortu "kapan lulus?" haha😆😐). Mungkin sesekali gue akan posting satu atau dua tulisan, hanya saja gue nggak bisa berlama-lama stay disini untuk blogwalking. Karenanya mohon maaf kalau gue sering menghilang dan nongol sesekali.

Kali ini kepergian gue dari blog yang sementara, bukan karena keburukan seperti halnya gue meninggalkan media sosial. Melainkan untuk tujuan yang lebih baik lagi, untuk langkah kehidupan gue selanjutnya dan untuk masa depan blog ini. Semoga setelah semua urusan gue selesai, gue bisa beli domain baru dan berbagi akan banyak hal yang belum sempat gue bagikan😁.

Sekali lagi, terima kasih banyak atas kebaikan yang dicurahkan! Semoga suatu saat nanti kita bisa dipertemukan dan bisa berbagi cerita secara langsung, Aamiin😍❣️.
Share
Tweet
Pin
Share
52 komentar


Belum lama ini gue menemukan beberapa topik menarik di media sosial terkait relationship, salah satunya tentang silent treatment. Biasanya dalam sebuah hubungan bahasa semacam ini terdengar nggak asing, karena langsung dialami oleh beberapa pasangan. Walaupun belum menikah, tapi gue pernah tau rasanya bagaimana didiamkan saat ada suatu masalah alih-alih ngobrol atau diskusi. 

Dulu, gue melihat ini sebagai sesuatu yang mungkin wajar dan normal dalam suatu hubungan—and let me clear this, nggak mesti spesifik dalam hubungan antara lawan jenis lho, ya. Silent treatment bisa saja terjadi dalam relasi pertemanan, hubungan kerja, atau bahkan lingkungan keluarga yang memang cara mendidiknya terbiasa seperti itu: mendiamkan seseorang dengan dalih agar mereka bisa merenung dan mencaritahu alasannya sendiri, lalu menemukan jalan keluarnya sendiri, dan kalau memang mereka yang salah (atau disalahkan), mereka akan diminta untuk menyelesaikannya sendiri. Yaa mungkin ujung-ujungnya meminta maaf dan berjanji nggak mengulang kesalahan.

Melansir dari Life Hack dalam tirto.id, "silent treatment" ini bisa dikatakan sebagai metode untuk memberi hukuman secara psikologis dengan mengabaikan orang lain, baik dalam hubungan pacaran, keluarga, maupun pertemanan, yang seolah memperlihatkan sikap tidak peduli pada seseorang dan bahkan hal yang lebih buruk dari itu. Beberapa orang yang percaya bahwa mereka memiliki kontrol diri yang tinggi mungkin menggunakan silent treatment sebagai cara untuk "mengambil jalan yang tinggi" atau apa yang mereka lihat tidak menyerah pada tingkat komunikasi yang terjadi dengan orang lain. Orang lain melihatnya sebagai reaksi rasional untuk masalah atau percakapan, bukan suatu emosional.

Menurut gue, nggak seharusnya silent treatment ini dibiasakan. Menjalin relasi dengan seseorang atau anggota keluarga, berarti membangun komunikasi dua arah yang mana segala halnya harus didiskusikan, terlebih mengenai suatu permasalahan yang terjadi. Bukan berarti semua hal harus diobrolin, sih. Kalau menurut lo ada beberapa hal yang sifatnya privasi dan baiknya disimpan, ya nggak apa-apa juga, it's very okay. ,

Namun kalau sudah menyangkut masalah yang menjadi persoalan berdua, sudah seharusnya diselesaikan berdua, bukan? Bahkan ketika masalah tersebut menjadi kesalahan yang dibuat salah satu pihak, gak semata-mata silent treatment menjadi solusinya. Apalagi kalau sampai berminggu-minggu gak ada kabar, dan ketika diminta kepastian malah balik menyalahkan, "aku kan begini karena kamu", "coba kamu pikir sendiri", "menurutmu kenapa aku kayak gini?". Duh nggak deh, kayaknya udah nggak sehat relasimu kalau seperti ini terus. Malah counter argument seperti itu menandakan bahwa dia memang menjadikan kesalahan kamu sebagai alasan agar dia bisa menghilang sementara.

Silent treatment is truly a silent killer. Perbuatan ini manipulatif, bentuk dari psychological abuse atau bahkan emotional abuse, dimana satu pihak hanya mengutamakan diri sendiri tanpa memikirkan perasaan orang lain. Jangan percaya kalau si dia bilang "ini untuk kebaikan kamu!". Sebab namanya kebaikan ya dilakukan dengan baik-baik dan membuat perasaan nyaman, bukan malah menyudutkan pasangan.

Silent treatment nggak hanya berpengaruh buruk terhadap kesehatan hubungan, tetapi juga bisa berdampak negatif terhadap kesehatan mental kita, atau bahkan kesehatan fisik. Jika mental kita terganggu dan merasa tidak nyaman, tentu akan berpengaruh terhadap fisik kita. Walaupun kondisi silent treatment ini nggak dilakukan secara sengaja, melainkan karena salah satu pihak nggak tahu bagaimana mengkomunikasikan permasalahan dan kekesalannya, hal ini tetap saja bisa memicu aura yang negatif dalam hubungan tersebut. Sebab sebaik-baiknya tindakan yang solutif adalah mengkomunikasikan hal tersebut, bukan dengan mendiamkan diri terlalu lama. Nggak baik juga untuk kesehatan psikis kita.

Tindakan ini bisa dianggap kekerasan emosional, yaitu ketika:

  • Salah satu pihak bermaksud melukai orang lain dengan cara mendiamkannya
  • Keheningan berlangsung untuk waktu yang lama
  • Keheningan hanya berakhir ketika mereka memutuskan itu
  • Mereka berbicara dengan orang lain tetapi tidak dengan pasangan mereka
  • Mereka mencari dukungan dari orang lain atas perbuatan yang dilakukan
  • Mereka menggunakan keheningan untuk menyalahkan pasangan mereka dan membuat mereka merasa bersalah
  • Mereka menggunakan keheningan untuk memanipulasi atau berusaha mengubah perilaku orang lain

Jika kamu mengalami hal ini baik dari pasangan, teman, relasi kerja atau keluarga, dan kamu bingung bagaimana harus bertindak, sebaiknya kamu ceritakan masalahmu kepada orang terdekat yang memang bisa dipercaya, entah itu meminta saran atau meminta bantuan untuk lepas dari kondisi tersebut. Jika cara ini juga dianggap nggak efektif, mungkin kamu bisa konsultasikan dengan psikolog di rumah sakit terdekat. Karena permasalahan semacam ini seringkali sangat mempengaruhi mental kita dan kegiatan kita secara tidak langsung.

Sebuah hubungan kekerabatan atau romansa yang dewasa seharusnya sama-sama memperjuangkan dan menyadari bahwa masing-masing adalah individu yang biar bagaimanapun nggak luput dari kesalahan dan kekhilafan, kalau salah satu salah ya diingatkan. Marah, kecewa, sah-sah aja selama nggak menyakiti orang lain dan masih bisa terkontrol. Namun yang jelas, mendiamkan sampai berhari-hari, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, dengan harapan orang lain akan bisa berubah itu bukan jalan keluarnya, cuz people don't change only in a few days or weeks. Toh perubahan seseorang itu sifatnya abstrak, nggak bisa terlihat, ngga bisa dengan mudah dilakukan hanya karena ada masalah dalam sebuah hubungan. 

Bahkan kalau memang seseorang berubah, mungkin bukan karena kamu juga pemicunya. Sad indeed, but this is how the reality works and playing trick on us. Dikhawatirkan silent treatment ini justru bisa menjadi bom waktu nantinya, sebab banyak hal yang dipendam dan nggak diutarakan secara langsung. Bukankah lebih baik kalau segala sesuatunya dibicarakan baik-baik agar bisa melepas rasa kesal, daripada menyimpan marah dan dendam berlarut-larut?


Referensi:

Good Therapy. Diakses pada 2018. Psychpedia: Silent Treatment 

Halodoc. Diakses pada 2020. Mengenal Silent Treatment dan Efeknya Pada Sebuah Hubungan

Tirto.id. Diakses pada 2019. Mengenal Silent Treatment, Perilaku Mengabaikan yang Menyakitkan

Share
Tweet
Pin
Share
16 komentar
Newer Posts
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Bukan Salah Indonesia
  • Childfree yang Diperdebatkan
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Just Listen
  • Terlalu Besar Untuk Gagal

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

My Podcast

Newsletter

Get new posts by email:

Popular Posts This Week

  • Di Balik Angkasa
  • Become a Fighter
  • by.U: Solusi #SemuanyaSemaunya
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Goodbye Wasteful Life, Welcome Minimalism
  • Romantisisasi Generasi 90-an
  • Menjadi Manusia
  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • How I See Feminist as a Muslim
  • Series Review: The Billion Dollar Code, Pelanggaran Paten Terhadap Google Earth?

Blog Archive

  • ▼  2024 (2)
    • ▼  Oktober 2024 (1)
      • Posture Perfect: How Wearing a Waist Trainer Can I...
    • ►  Agustus 2024 (1)
  • ►  2023 (1)
    • ►  Februari 2023 (1)
  • ►  2022 (9)
    • ►  November 2022 (1)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (1)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  Maret 2022 (2)
    • ►  Februari 2022 (2)
  • ►  2021 (30)
    • ►  Desember 2021 (1)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  Juli 2021 (3)
    • ►  Juni 2021 (2)
    • ►  Mei 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  Maret 2021 (5)
    • ►  Februari 2021 (1)
    • ►  Januari 2021 (5)
  • ►  2020 (46)
    • ►  Desember 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  Oktober 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (10)
    • ►  Juli 2020 (8)
    • ►  Juni 2020 (4)
    • ►  Mei 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  Desember 2019 (3)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Agustus 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Februari 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Pengikut

Categories and Tags

Intermeso Krisis 1/4 Abad Opini Perempuan Podcast Poetry Review Thoughts digital marketing karir lifestyle slice of life

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.