Diberdayakan oleh Blogger.
  • Home
  • About
  • Lifestyle
  • Personal
    • Opini
    • Thoughts
    • Slice of Life
    • Poetry
    • Intermeso
  • Podcast
  • Review
instagram LinkedIn Spotify YouTube Email

Notes of Little Sister




Belum lama ini gue menemukan beberapa topik menarik di media sosial terkait relationship, salah satunya tentang silent treatment. Biasanya dalam sebuah hubungan bahasa semacam ini terdengar nggak asing, karena langsung dialami oleh beberapa pasangan. Walaupun belum menikah, tapi gue pernah tau rasanya bagaimana didiamkan saat ada suatu masalah alih-alih ngobrol atau diskusi. 

Dulu, gue melihat ini sebagai sesuatu yang mungkin wajar dan normal dalam suatu hubungan—and let me clear this, nggak mesti spesifik dalam hubungan antara lawan jenis lho, ya. Silent treatment bisa saja terjadi dalam relasi pertemanan, hubungan kerja, atau bahkan lingkungan keluarga yang memang cara mendidiknya terbiasa seperti itu: mendiamkan seseorang dengan dalih agar mereka bisa merenung dan mencaritahu alasannya sendiri, lalu menemukan jalan keluarnya sendiri, dan kalau memang mereka yang salah (atau disalahkan), mereka akan diminta untuk menyelesaikannya sendiri. Yaa mungkin ujung-ujungnya meminta maaf dan berjanji nggak mengulang kesalahan.

Melansir dari Life Hack dalam tirto.id, "silent treatment" ini bisa dikatakan sebagai metode untuk memberi hukuman secara psikologis dengan mengabaikan orang lain, baik dalam hubungan pacaran, keluarga, maupun pertemanan, yang seolah memperlihatkan sikap tidak peduli pada seseorang dan bahkan hal yang lebih buruk dari itu. Beberapa orang yang percaya bahwa mereka memiliki kontrol diri yang tinggi mungkin menggunakan silent treatment sebagai cara untuk "mengambil jalan yang tinggi" atau apa yang mereka lihat tidak menyerah pada tingkat komunikasi yang terjadi dengan orang lain. Orang lain melihatnya sebagai reaksi rasional untuk masalah atau percakapan, bukan suatu emosional.

Menurut gue, nggak seharusnya silent treatment ini dibiasakan. Menjalin relasi dengan seseorang atau anggota keluarga, berarti membangun komunikasi dua arah yang mana segala halnya harus didiskusikan, terlebih mengenai suatu permasalahan yang terjadi. Bukan berarti semua hal harus diobrolin, sih. Kalau menurut lo ada beberapa hal yang sifatnya privasi dan baiknya disimpan, ya nggak apa-apa juga, it's very okay. ,

Namun kalau sudah menyangkut masalah yang menjadi persoalan berdua, sudah seharusnya diselesaikan berdua, bukan? Bahkan ketika masalah tersebut menjadi kesalahan yang dibuat salah satu pihak, gak semata-mata silent treatment menjadi solusinya. Apalagi kalau sampai berminggu-minggu gak ada kabar, dan ketika diminta kepastian malah balik menyalahkan, "aku kan begini karena kamu", "coba kamu pikir sendiri", "menurutmu kenapa aku kayak gini?". Duh nggak deh, kayaknya udah nggak sehat relasimu kalau seperti ini terus. Malah counter argument seperti itu menandakan bahwa dia memang menjadikan kesalahan kamu sebagai alasan agar dia bisa menghilang sementara.

Silent treatment is truly a silent killer. Perbuatan ini manipulatif, bentuk dari psychological abuse atau bahkan emotional abuse, dimana satu pihak hanya mengutamakan diri sendiri tanpa memikirkan perasaan orang lain. Jangan percaya kalau si dia bilang "ini untuk kebaikan kamu!". Sebab namanya kebaikan ya dilakukan dengan baik-baik dan membuat perasaan nyaman, bukan malah menyudutkan pasangan.

Silent treatment nggak hanya berpengaruh buruk terhadap kesehatan hubungan, tetapi juga bisa berdampak negatif terhadap kesehatan mental kita, atau bahkan kesehatan fisik. Jika mental kita terganggu dan merasa tidak nyaman, tentu akan berpengaruh terhadap fisik kita. Walaupun kondisi silent treatment ini nggak dilakukan secara sengaja, melainkan karena salah satu pihak nggak tahu bagaimana mengkomunikasikan permasalahan dan kekesalannya, hal ini tetap saja bisa memicu aura yang negatif dalam hubungan tersebut. Sebab sebaik-baiknya tindakan yang solutif adalah mengkomunikasikan hal tersebut, bukan dengan mendiamkan diri terlalu lama. Nggak baik juga untuk kesehatan psikis kita.

Tindakan ini bisa dianggap kekerasan emosional, yaitu ketika:

  • Salah satu pihak bermaksud melukai orang lain dengan cara mendiamkannya
  • Keheningan berlangsung untuk waktu yang lama
  • Keheningan hanya berakhir ketika mereka memutuskan itu
  • Mereka berbicara dengan orang lain tetapi tidak dengan pasangan mereka
  • Mereka mencari dukungan dari orang lain atas perbuatan yang dilakukan
  • Mereka menggunakan keheningan untuk menyalahkan pasangan mereka dan membuat mereka merasa bersalah
  • Mereka menggunakan keheningan untuk memanipulasi atau berusaha mengubah perilaku orang lain

Jika kamu mengalami hal ini baik dari pasangan, teman, relasi kerja atau keluarga, dan kamu bingung bagaimana harus bertindak, sebaiknya kamu ceritakan masalahmu kepada orang terdekat yang memang bisa dipercaya, entah itu meminta saran atau meminta bantuan untuk lepas dari kondisi tersebut. Jika cara ini juga dianggap nggak efektif, mungkin kamu bisa konsultasikan dengan psikolog di rumah sakit terdekat. Karena permasalahan semacam ini seringkali sangat mempengaruhi mental kita dan kegiatan kita secara tidak langsung.

Sebuah hubungan kekerabatan atau romansa yang dewasa seharusnya sama-sama memperjuangkan dan menyadari bahwa masing-masing adalah individu yang biar bagaimanapun nggak luput dari kesalahan dan kekhilafan, kalau salah satu salah ya diingatkan. Marah, kecewa, sah-sah aja selama nggak menyakiti orang lain dan masih bisa terkontrol. Namun yang jelas, mendiamkan sampai berhari-hari, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, dengan harapan orang lain akan bisa berubah itu bukan jalan keluarnya, cuz people don't change only in a few days or weeks. Toh perubahan seseorang itu sifatnya abstrak, nggak bisa terlihat, ngga bisa dengan mudah dilakukan hanya karena ada masalah dalam sebuah hubungan. 

Bahkan kalau memang seseorang berubah, mungkin bukan karena kamu juga pemicunya. Sad indeed, but this is how the reality works and playing trick on us. Dikhawatirkan silent treatment ini justru bisa menjadi bom waktu nantinya, sebab banyak hal yang dipendam dan nggak diutarakan secara langsung. Bukankah lebih baik kalau segala sesuatunya dibicarakan baik-baik agar bisa melepas rasa kesal, daripada menyimpan marah dan dendam berlarut-larut?


Referensi:

Good Therapy. Diakses pada 2018. Psychpedia: Silent Treatment 

Halodoc. Diakses pada 2020. Mengenal Silent Treatment dan Efeknya Pada Sebuah Hubungan

Tirto.id. Diakses pada 2019. Mengenal Silent Treatment, Perilaku Mengabaikan yang Menyakitkan

Share
Tweet
Pin
Share
16 komentar
Disclaimer: Tulisan ini hanya berisi misuh-misuh yang dilandasi kegerahan seorang rakyat akan berbagai hal yang terjadi di sekitarnya, maka dari itu mungkin isinya tidak cukup informatif dan bahkan tidak didukung oleh riset. Segala riset yang berkaitan dengan isi tulisan telah tersimpan sepenuhnya di memori hingga membentuk opini penulis. Karenanya mohon maaf kalau kurang berkenan di hati. Tadinya post ini ingin gue publish tepat di tanggal 17 Agustus, tapi karena fokus terbagi-bagi jadi tulisan gak rampung hari itu. Anyway, selamat membaca!

o-o

"Ketika merdeka berakhir hanya sebuah seremoni.."

Bukan Salah Indonesia

Tumbuh dan besar di sebuah kota kecil di Jawa Barat membuat gue banyak belajar tentang kehidupan. Benar-benar "kehidupan". Bertemu dengan orang-orangnya yang punya beragam kesulitan, mulai dari gaya hidup, keuangan, pendidikan, hubungan sosial, sampai persoalan berpikir. Gue merasakan betul berbagai ketimpangan antara mereka yang tinggal di pedesaan dan di perkotaan (specifically wilayah tempat gue tumbuh). Terkadang lucu membayangkan, orang-orang elite dan berpendidikan di perkotaan sana yang—mari kita garis bawahi—lupa dimana mereka berpijak, sibuk berkoar-koar bahwa "kita harus menstabilkan perekonomian bangsa!", "tidak boleh ada kesenjangan antara rakyat ekonomi ke bawah dengan menengah ke atas!", padahal mereka yang hidupnya serba terbatas mana peduli sama pidato-pidato kosong mereka? Yang orang-orang kecil tahu, mereka hanya harus cari uang setiap hari supaya bisa makan. Yang mereka pikir, mereka hanya harus berjuang untuk dirinya sendiri karena orang-orang di luar sana pun sibuk ngenyangin perut mereka sendiri, sibuk suap sana sini supaya bisa bekerja di tempat yang mereka mau, supaya bisa ada di tempat yang mereka incar. 

Isu kesetaraan gender pun gak hanya sebatas gaji yang tidak sesuai antara laki-laki dan perempuan meski posisinya sama, juga tidak hanya soal pelecehan seksual, pemerkosaan, catcalling dan serangkaian kekerasan seksual lainnya, tapi lebih luas lagi. Banyak sekali pabrik-pabrik yang mempekerjakan wanita bahkan dengan jam kerja yang melebihi seharusnya, dan menyempitkan lapangan pekerjaan buat laki-laki. Sebagian bekerja atas kemauan sendiri, sebagian bekerja karena ada opresi bahwa dia harus mencukupi kebutuhan rumah tangga, atau kebutuhan keluarga, karena suaminya sebagai kepala keluarga tidak memiliki pekerjaan tetap alias serabutan, atau bahkan lebih parahnya nggak bekerja sama sekali. It really happens, dan gue tahu gak hanya terjadi pada satu atau dua orang. I saw it. I observed it, and i've heard of many.

Bukan hanya itu, persoalan nikah muda karena orangtua yang udah nggak sanggup buat ngasih makan anaknya dengan dilandasi pemikiran bahwa si anak sudah pantas mengurus suami/istri (padahal usianya masih sangat muda) pun menjadi sesuatu yang terlihat normal dan seakan memang diwajarkan secara nggak langsung. Padahal seharusnya pendidikan anak mereka lebih penting daripada sibuk ngurusi pesta pernikahan, ini dan itu, sementara dari segi kesiapan baik mentally and financially belum bisa disanggupi oleh mempelai pria. Lucunya, memiliki pernikahan dengan resepsi yang "ramai" dan "megah" adalah goals-nya, bukan masa depan pernikahannya. Mereka bahkan sepertinya gak sadar bahwa masalah patriarki dan RUU P-KS yang belum juga disahkan itu ada di negara ini. Iya, gue sadar betul bahwa beberapa hal yang gue sebutkan di atas adalah sesuatu yang sifatnya privat, ranah pribadi sebab menyangkut pilihan individu, bukan hak gue melarang siapapun, bahkan tetangga gue tersebut untuk menikahkan anaknya. Pada akhirnya mereka tetap menikah dan punya kehidupan masing-masing, dan gue pun mengerjakan segala urusan gue sendiri. Hanya saja, gue menyayangkan suatu kondisi dimana banyak sekali orang-orang yang bertindak bukan karena mereka telah paham, tapi karena tindakan itu sudah dilakukan oleh orang banyak dan menjadi terlihat normal, seperti perkara menikah muda tadi.

Belum lagi saat melihat banyak sekali berita-berita di ranah pendidikan tentang guru honorer di pedalaman sana, seperti berita seorang ibu di Flores.

Ketika merdeka hanya sebatas seremoni

Beliau hanya digaji kurang lebih sebesar Rp. 200.000 per bulannya, itupun seringkali nunggak, bahkan pernah tertunda sampai delapan bulan. Sekalinya gaji turun, yang dibayarkan hanya tiga bulan pertama. Padahal beban beliau dalam mengemban tugas, apalagi di daerah pedalaman tentu gak ringan, tanggungjawab sama besarnya dengan guru-guru di luar sana, mendidik anak-anak di desanya yang semata-mata untuk memenuhi sebagian Undang-Undang 1945,  yakni mencerdaskan anak bangsa. Apalagi dengan situasi pandemi yang mengharuskan sekolah ditutup, nggak sedikit guru-guru yang terpaksa menyambangi rumah beberapa anak didiknya untuk mengajar sebab murid mereka tak punya fasilitas yang dibutuhkan untuk belajar daring. 

ketika merdeka hanya sebuah seremoni

ketika merdeka hanya sebuah seremoni

Baca Juga: Terlalu Besar Untuk Gagal

See, ini hanya sekian persen dari kenyataan yang terjadi. Berapa banyak berita semacam ini yang harus gue temui selama pandemi—yang seperti baru menguap tampak di permukaan?

"Gak ada gunanya kamu berkoar-koar disini."

"Kalau mau mengkritik pemerintah bukan disini tempatnya."

Gue menulis ini memang bukan untuk tujuan politis, apalagi ingin agar pemerintah melirik tulisan ini (hmm mana sempat mereka baca blog abal-abal, iyaa mana sempat), oleh sebab itu mungkin memang gak ada gunanya. I just want to share my thoughts. Toh gue percaya selama ini sudah banyak sekali media, aksi, tulisan dari asosiasi atau instansi tertentu yang bergerak di bidang sosial yang menyuarakan dan mewakili masyarakat, namun pada kenyataannya pun gak banyak didengar, kan? Sekarang mengkritik pemerintah  bukan dimana-mana tempatnya sebab pemerintahan kita sendiri sudah anti-kritik. Ada influencer sindir aparat negara soal kasus penyiraman air keras Novel Baswedan langsung diserang buzzer, dituduh narkoba. Ada juga wartawan yang aktif dengan kritik tajamnya di media sosial malah diserang hacker, difitnah atas masalah pencemaran nama baik sampai diancam kena UU ITE. Apa itu bukan mengarah fasis namanya?

Belum beberapa lama ini gue juga dibuat jengkel dengan berita Gilang pelaku pelecehan seksual fetish kain jarik yang kemungkinan hanya dikenai ancaman pelanggaran UU ITE pasal 27 ayat 4 dan pasal 29 tentang pengancaman atas tindakannya, sementara yang merujuk pada KUHP sendiri hanya pada pasal 335 tentang perbuatan tidak menyenangkan. Perbuatan tidak menyenangkan lho ya, yang mana tidak sesuai dengan laporan korban yang sejak awal sudah menekankan bahwa kasus ini adalah pelecehan seksual, yang jika bisa diusut dengan UU Penghapusan Kekerasan Seksual seharusnya dapat lebih lugas, plus dapat lebih adil dalam mengayomi korban baik memberi perlindungan secara psikis atau fisik. Pihak kepolisian bilang bukti-bukti yang diberikan kurang kuat untuk bisa menjebloskan tersangka dengan pasal-pasal asusila yang ada di KUHP, sebab banyak ambiguitas di dalamnya. Huft. Bahkan mereka sendiri sebagai aparatur negara berharap agar pemerintah segera mendiskusikan kelanjutan nasib RUU P-KS agar ada payung hukum jelas mengenai isu ini. 

Karena hal itu pula, gue semakin jengkel dengan kenyataan bahwa RUU P-KS tampaknya masih dianggap main-main oleh segelintir penguasa. Beberapa dari beliau-beliau ini sering berkomentar bahwa isi dari RUU P-KS terkesan ambigu dan cenderung mengarahkan hukum menjadi lebih liberal dengan konsep LGBT atau legalisasi prostitusi dan aborsi yang secara implisit tertulis. Iya iya, gue mengerti. Tapi mbok ya kalau memang ambigu kan didiskusikan gitu lho harusnya ya? Bukan cuma diperdebatkan ambigu atau nggaknya, bahkan dilempar sana sini. Seharusnya perlu ada pembahasan lebih lanjut yang substansial untuk mencari solusi dari permasalahan yang ada, bukan cuma ribut memperebutkan siapa yang mengusulkan ini dan itu (seriously, beberapa fraksi awalnya rebutan mau jadi pengusung RUU ini, mungkin kalau nanti goal biar nama partainya bisa ikut naik kali yaa auk ah).

Seringkali gue sedih dan gak jarang bisa langsung sakit kepala hanya dengan melihat segala macam kerumitan yang ada di negara ini, bahkan jika hanya lewat berita sekalipun. Lebih parah lagi, kalau dalam sehari ada lebih dari enam berita yang gue baca, gue bisa menangis saking sedihnya. Gak jarang merasa menyesal juga, "kenapa sih gue harus dilahirkan di negara yang budayanya santuy, malas dan korup?" Kenapa gue harus tinggal di negara yang sama sekali nggak pro-rakyat? Kenapa gue harus tinggal dengan pemandangan berita-berita bodoh para penguasa? Kenapa gue harus menyaksikan betapa terinjak-injaknya mereka yang ada di bawah? Kenapa gue merasa iri dengan negara lain yang bisa mensejahterakan rakyatnya? Kenapa gue harus merasa aneh dengan negara sendiri sebab orang yang warasnya nggak kelihatan? Kenapa gue harus ditampakan wajah-wajah lugu calon generasi di masa depan yang harus hidup di jalanan dan mengais untuk makan? Kenapa juga gue harus tinggal di negara yang mana orang-orangnya bebal dan egois, dan terlihat seperti saat pandemi? Kenapa gue harus hidup di tengah-tengah pengguna media sosial yang bahkan gak tau caranya menginform diri mereka dengan segala pengetahuan yang seharusnya mereka lahap sebelum berbicara? Kenapa gue harus bertemu dengan orang-orang yang bahkan gak tau caranya berperilaku dengan baik dan tau caranya memanusiakan manusia? Kenapa gue harus mendengar ada wakil rakyat yang sibuk berkoar menjunjung pancasila tapi bahkan kelima sila-nya aja nggak mereka penuhi? Kenapa gue harus tinggal di Indonesia? Kenapa?

Berbagai hal yang gue temui dari sejak kecil sampai saat ini telah membentuk diri gue yang sekarang, yang sedikit-sedikit merasa gerah tinggal di Indonesia, dan yang sedikit-sedikit mempertanyakan kenapa sih orang-orang bebal itu nggak bisa hidup selayaknya manusia normal? Sehingga nggak jarang gue menyalahkan Indonesia karena menjadi negara yang nggak cukup nyaman untuk gue tinggali, terkhusus secara mental. Ditambah adanya segala pressure yang membuat timpang salah satu gender. Iya, dengan segala kerumitan ini, hidup menjadi perempuan bukan sesuatu yang mudah sebab masyarakat kita masih begitu kental budaya patriarkinya.

Lalu bertemu dengan nepotisme lah, korup dimana-mana lah, hukum yang patut dipertanyakan lah, suara-suara rakyat yang nggak didengar lah, pemerintah yang selalu sibuk membuat RUU baru dengan dalih memberi solusi padahal sebagian isi Undang-Undangnya menekan rakyat menengah ke bawah lah. Jujur gue jadi kasihan sama pejabat-pejabat pemerintah yang masih punya hati namun tergeser tempatnya sama mereka yang punya kepentingan pribadi untuk bertengger di kursi tinggi sana. Gue malah melihat sekarang rakyat semakin nggak punya pegangan dan tempat yang bisa dituju untuk menyuarakan apa yang menjadi keresahan kami. Wong wakil rakyat aja nggak punya, mau mengadu ke siapa lagi kalau bukan Yang Di Atas? 

Beberapa bulan gue pun melepas diri dari media sosial yang selama ini cenderung menjadi penyumbang nomor satu atas kesedihan dan kegelisahan gue. Paling sesekali gue buka twitter untuk cari tahu isu apa yang lagi hangat. Kayaknya tiap hari tuh ada aja kasus aneh yang trending, dan lagi-lagi membuat gue geleng-geleng kepala. Akhirnya berbaur dengan alam menjadi salah satu obat untuk gue beristirahat sejenak. 

Sebetulnya, gue bersyukur sekali bisa hidup di sebuah negara yang kaya akan sumber daya alamnya. Apalagi gue sendiri memang tinggal di sebuah kota yang bisa dibilang masih asri dibandingkan ibukota. Dalam proses perenungan ini, gue juga prihatin melihat alam kita yang semakin kesini semakin tidak asri, semakin kotor dan sepertinya jauh sekali dibandingkan saat dulu sebelum banyak infrastruktur berdiri. Sampah dimana-mana, banyak pohon yang ditebang untuk kebutuhan komoditas dan lahan-lahannya yang dibangun untuk perhotelan, gedung-gedung tinggi, dll.

Setelah gue pikir-pikir, ternyata semua ini bukan salah Indonesia. Bukan salah Indonesia kalau negara ini isinya hanya orang-orang yang bebal, santuy dan korup. Bukan salah Indonesia kalau rakyatnya nggak bisa sejahtera dan terbelenggu dalam kemiskinan struktural bahkan kultural. Bukan salah Indonesia kalau hukum yang berlaku di negara ini tajam ke bawah. Bukan salah Indonesia kalau berita yang muncul selalu tentang kebodohan para penguasa. Bukan salah Indonesia kalau nepotisme ada dimana-mana. Bukan salah Indonesia kalau alamnya menjadi rusak dan hewan-hewan langka semakin punah, bahkan yang nggak langka pun menjadi langka sebab banyak perburuan liar. Bukan salah Indonesia kalau rakyatnya gak tau cara menginform diri dengan benar meski dimudahkan dengan gadget dan internet. Bukan salah Indonesia kalau keadilan sosial yang bahkan ada dalam pancasila gak berlaku di negara ini. Bukan salah Indonesia kalau masih banyak anak-anak yang terlantar meninggalkan bangku sekolah. Bukan salah Indonesia kalau orang yang waras nggak kelihatan, simply karena orang yang waras nggak akan mau membuang waktu dan tenaganya dengan berkomentar buruk dan melakukan tindakan yang gak ada gunanya juga, also simply karena mereka terlalu sibuk untuk bergulat memenuhi tanggungjawab. Bukan salah Indonesia kalau negara ini masih patriarkis dan belum cukup aman untuk ditinggali. Ini semua bukan salah Indonesia. Indonesia, ibu pertiwi ini hanya korban dari bobroknya perlakuan manusia-manusia yang berkacak pinggang di atas kepentingan mereka.

Salah siapa kalau negara ini tidak cukup mensejahterakan rakyatnya? Salah mereka yang dibutakan mata dan hatinya untuk bisa berlaku sebaik-baiknya manusia. Salah mereka yang hidupnya dimakan oleh egoisme sendiri. Salah mereka yang nggak berusaha mengisi otak dengan segala pengetahuan dan haus akan banyak hal. Salah mereka yang nggak pakai hati di balik isi kepala yang dianggapnya sudah banyak itu. Salah mereka yang lupa bahwa diri mereka adalah seorang hamba, yang tak ubahnya hanyalah penghuni di dunia yang fana, yang diberi mandat oleh Tuhan untuk berbuat sebaik-baiknya ciptaan. 

Share
Tweet
Pin
Share
23 komentar

Secuil Perjalanan di Dunia Blogging

Sesuai judulnya, hari ini gue pingin cerita soal perjalanan ngeblog gue, dari yang tadinya sendiri di ruang kosong nan hampa sampai akhirnya bisa melihat dunia lebih luas lagi lewat komunitas yang ada yang akhirnya mempertemukan gue dengan teman-teman dan juga kakak-kakak blogger sekalian😁. 

Sebetulnya gue pertama kali buat akun blogger itu tahun 2011, kebetulan waktu itu adalah masa-masa dimana gue juga terjun ke Facebook, Twitter, dan Yahoo. Sebelum buat akun blogger, gue udah sering banget menyambangi akun-akun blogspot, namun yang isinya seputar Korea seperti FanFiction dan Cerpen. Iyap, dulu gue termasuk K-Popers Generasi II dan Korean Drama Lovers. Saking sukanya sama drama Korea, gue sampe belajar bahasanya secara autodidak lewat buku yang ada di perpus sekolah. Saat itu gue sedang di bangku kelas dua SMP. Sampai detik ini gue masih ingat kosakata bahasa Korea pertama yang gue pelajarin adalah 아니요 (aniyo: tidak), karena sering banget diucapin di drama dan ketika lihat subtitle pun artinya tidak, jadi gue menyimpulkan kata tersebut artinya adalah tidak. Btw gue belajar kosakata tersebut dari drama Surgeon Bong Dal Hee. Iyaap, kalau ada yang tau, ini drama bergenre kedokteran yang tayang pada tahun 2007 dan jadi salah satu drama SBS tersukses dengan rata-rata rating 22,4% dan 29,3% di akhir episode yang mana menjadi tayangan nomor satu yang tayang di jam yang sama, plus mendapat banyak penghargaan dari SBS Drama Award dan 43rd Baeksang Art Award,

Secuil Perjalanan di Dunia Blogging


and it's still one of my favorite medical drama compared to dramas nowadays. Oh iya, omong-omong soal drama Korea, my another top 3 Korean drama ada Princess Hours sama Painter of the Wind. Lah kok jadi kepanjangan tentang Korea-nya ini mah HAHAHA. Kayaknya nanti gue akan bikin tulisan khusus soal perjalanan gue mengenal Korea dari mulai pop culture dan drama-dramanya. Cuz to be honest, i was growing up as teenager with Korean stuff dari mulai bahasa, tulisan, sejarah, dll, walaupun sekarang udah lupa ingatan kayak adegan di sinetron.

Balik lagi soal blog, ternyata setelah dijalani kok gue cuma senang jadi pembaca aja, padahal tadinya berencana untuk posting beberapa cerpen milik gue. Dan karena akun tersebut awalnya dibuat sekadar iseng, alhasil gue nggak inget dengan akun tersebut, bahkan sampai ke judul atau domainnya aja lupa.

Barulah di tahun 2014 gue punya e-mail resmi yang memang digunakan untuk urusan akademik dan kepentingan personal lainnya, bukan cuma untuk bikin medsos😂. Tapi seperti yang terlihat, di tahun itu gue nggak langsung aktif ngeblog, karena sudah nggak berminat juga untuk menulis. Maklum, saat itu adalah masa-masa breakdown gue dari dunia tulisan setelah gagal menyelesaikan novel impian. Sampai akhirnya pada tahun 2017 akhir, gue mulai concern dengan isu-isu sosial, politik hingga pendidikan yang membuat gue gerah. Menyadari bahwa gue ternyata masih punya minat terhadap menulis, akhirnya menulis pun jadi salah satu jalan ninja untuk gue meluapkan segala pemikiran dan keluh kesah gue tentang semua hal yang terjadi, baik di sekitar gue maupun dari apa yang gue ketahui lewat media-media massa. Namun memang interest gue akan menulis ini masih hanya terbatas pada tulisan beropini, bukan prosa yang mendayu-dayu yang dulu sempat jadi hobi gue. Alasannya adalah saat itu sebetulnya gue pengen keluar dulu dari bubble gue yang hanya terlena pada kesusastraan, sementara kurang peduli dengan isu-isu sosial.

Tulisan terkait: Diam itu Bukan Emas

Oleh karena itu, gue pun membutuhkan platform untuk bisa menampung isi tulisan gue ini, dan teringat lah dengan blog—yang sampai saat ini ternyata masih eksis dan banyak sekali penggunanya. Iya, jadi dulu gue sempet mikir kalau dunia blog ini udah sepi. Mungkin hanya situs-situs tertentu yang memang tujuannya bisnis dan bukan personal, ternyata GUE SALAH BESAR *ampun para suhu🙇🏻‍♀️😅*. Karena pada kenyataannya memang gue aja yang saat itu gak main blog huhu, dan gue rasa beberapa orang di luar sana masih ada yang mikir begini, nih.🤔 Padahal segala informasi di google darimana datangnya ya kalau bukan dari situs-situs blog juga, wkwk.

Meski begitu, dengan berbagai kesibukan, gue nggak sempat untuk benar-benar aktif terjun menulis dan beberapa opini pun gue posting di tahun 2018. Sejak saat itu gue hanya posting apa yang menurut gue pantas dibagikan, alasannya bisa dipicu karena kekesalan tadi, atau karena memang gue lagi gabut—namun sebisa mungkin temanya selalu tentang opini. Nah, karena gagasan-gagasan itulah tulisan gue pun benar-benar dibuat secara personal dengan bahasa sehari-hari dan menggunakan kata "gue", sebab saat itupun memang gak ada yang baca kecuali para sobat terdekat😂.

Sebetulnya ini, sih, intinya. Bulan ini terhitung sudah tiga bulan gue benar-benar aktif di blog dengan join beberapa komunitas dan blogwalking ke banyak sekali teman-teman blogger dan blogger senior yang menginspirasi. Seringkali saat lagi blogwalking dan dikunjungin balik, gue merasa cemas takut dianggap nggak sopan dan "sok" karena penggunaan kata "gue". Padahal sebetulnya ini murni antara ketidaksengajaan dan mungkin kesengajaan gue pada saat memutuskan untuk mem-posting tulisan di blog. Tidak sengaja, karena gue nggak bermaksud untuk terlihat lebih sok dan nggak sopan. Ini juga merupakan kesengajaan, sebab tujuan gue nge-blog pada awalnya memang ingin bisa mengungkapkan segala pemikiran gue melalui tulisan yang begitu personal, dan diharapkan bisa terasa dekat dengan pembaca.

Oleh karena itu, sejak mulai kembali meluangkan waktu untuk aktif (yang benar-benar aktif) di blog dan berteman dengan banyak sekali blogger, sometimes gue benar-benar takut bahasa gue ini kurang sopan. Pernah beberapa kali gue berpikir untuk mengganti bahasa di blog ini menjadi aku atau saya, seperti halnya saat gue menulis puisi. Namun setelah dipikir-pikir, gue akan kehilangan "menjadi diri gue" yang sebelumnya dengan tujuan-tujuan di awal tersebut. Hingga akhirnya gue memutuskan untuk stay true to myself. Maka dari itu, solusi dari permasalahan yang berlaku di kepala gue ini adalah, gue tetap berlaku sopan dengan penggunaan kata saya atau aku terhadap teman-teman juga kakak-kakak blogger semua saat menyambangi blog mereka dan dalam berkomentar. Semata-mata bahwa gue yang ada di dalam tulisan ini ataupun tulisan-tulisan yang telah diposting sebelumnya hanyalah sebatas buah pemikiran gue, bagian dari sisi personal gue yang memang ingin dibagikan. Namun gue pribadi meminta maaf sebesar-besarnya kalau ada kata-kata yang kurang berkenan dan kurang nyaman di setiap tulisan yang gue buat, memang anaknya suka menggebu-gebu kalau nulis sesuatu😅. Seiring berjalannya waktu, gue akan terus berusaha memperbaiki diri dan juga blog ini agar bisa lebih baik untuk kedepannya.

Terlepas dari itu semua, gue bersyukur banget dalam kurun waktu yang cukup singkat ini bisa dipertemukan dengan teman-teman blogger yang, seriously, sangat menginspirasi gue dan memotivasi gue untuk terus berkarya💕. Meski ada beberapa blog yang jarang gue beri komentar padahal sering baca, karena bingung mau komentar apa, tapi jujur sincerely gue merasa diri gue yang sempat redup semangat menulisnya ini merasa kembali hidup berkat kalian.😭😍 

Sampai saat ini gue belum berminat untuk kembali menulis cerpen atau novel, sih. Entahlah, gue nyaman dengan dunia menulis yang sekarang. Mungkin ada beberapa yang penasaran "emangnya cerpen gue kayak gimana, sih?", sebetulnya gak bagus-bagus amat😂😁. Kurang lebih gayanya sama dengan puisi-puisi yang gue posting disini.

Jha, jadi begitulah cerita perjalanan gue dengan blog. Meski gak sepanjang dan gak sedalam itu, karena gue sendiri baru mulai aktif lagi baru-baru ini, semoga tetap bisa menemani waktu gabut teman-teman, ya!😁

Kalau teman-teman sendiri gimana cerita perjalanan nge-blognya? Boleh share di kolom komentar, yap!

Share
Tweet
Pin
Share
38 komentar


Puisi cinta Luka Dalam Lentera

Halo! Sebelumnya aku pingin berterimakasih yang sebesar-besarnya atas apresiasi teman-teman untuk label Podcast dan Poetry yang sejauh ini sudah terbit 3 episode untuk podcast dan 4 untuk puisi. Aku nggak mengira antusiasme-nya akan sebesar ini. Iya, bagiku segala apresiasi yang diberikan teman-teman sampai saat ini sudah begitu besar, hingga aku bisa selalu termotivasi untuk menulis setiap minggunya. Terima kasih banyak!🤗❤️

Unfortunately, minggu ini aku nggak bisa buat podcast seperti biasanya karena satu dan lain hal. Tapi tenang ajaa, aku punya puisi untuk teman-teman semua, yeay! Actually, this isn't mine. This poem is written by significant other. So, semoga suka dan selamat membaca!

o-o

Luka Dalam Lentara


ditulis oleh: LH

Ada apa di dalam lentera?
Lelaki itu berkata,
"Ada ia yang ada, lalu tiada".
Ialah sang hawa
yang terucap namanya,
dalam sujud di waktu duha.

Ada apa di dalam lentera?
"Ada tuan yang hilang tawanya".
Kecewanya mengutuk sang hawa
yang ia sebut namanya,
dalam malam berjumlah sepertiga.

Ada apa di dalam lentera?
"Ada pemuda yang bermuram durja".
Sedihnya menangisi sang hawa.
Ia tak tahu,
nama yang ia tengadahkan ke angkasa
tak sesuai,
dengan takdir pemberian Tuhannya.

Sudah jelas kiranya,
wahai puan pembawa beribu tanya.
Jangan sekali-kali,
kau melihat ke dalam lentera.
Takkan kau temukan suatu apa.
Hanya seonggok jasad penuh luka.

Kau tanya siapa pelakunya?
Sang hawa.

Nah, kira-kira ada yang bisa nebak nggak isinya tentang apa? Tuliskan pendapatmu di kolom komentar yaak!😄
Share
Tweet
Pin
Share
12 komentar

Stigma Posisi Anak di Keluarga Dalam Sudut Pandang Si Sulung


Sebelumnya, saya ingin berterimakasih kepada kak Eno yang sudah buat konten Paid Guest Post di situs blognya sehingga saya punya kesempatan untuk menuliskan pemikiran ini, yang sudah lama sekali ingin dibagikan namun terkendala writer's block. Meski ada sedikit perubahan atau penambahan dari tulisan aslinya di beberapa bagian setelah melalui proses perenungan (re-read), akhirnya bisa tertuang juga disini.😁🎊

Ini mungkin salah satu cerita paling personal yang gue tulis lagi setelah sekian lama, semoga suka dan bisa menginspirasi teman-teman dan kakak sekalian untuk mau terus sama-sama belajar dari orang lain, dari mereka, orang-orang hebat di luar sana yg tanpa sadar sosoknya selalu dekat dengan kita.😇

Sembari menikmati waktu santai, gue cantumin playlist dari album Mantra Mantra milik Kunto Aji di bawah ini. Selamat membaca dan mendengarkan!💕


o-o

Sebagai manusia, sifat ingin menjadi nomor satu sepertinya selalu melekat di dalam diri, secara sadar atau nggak. Bukan hanya persoalan misoginis atau misandris yang menjadikan orang lain atau gender lain inferior karena pingin terlihat berbeda, but it also happens to certain circles, bahkan ruang lingkup keluarga. Sebagai seorang anak, pernah gak sih lo merasa lebih kuat dari yang lain? Atau merasa dibedakan dan dianggap lemah daripada saudara yang lain?

Beberapa waktu lalu gue nemu sebuah postingan di twitter tentang stigma anak perempuan pertama.

Stigma Posisi Anak di Keluarga Dalam Sudut Pandang Si Sulung
Dari reply-an itu banyak yang merasa jadi anak pertama itu sebuah beban. Berat, harus selalu jadi contoh yang baik, harus terlihat kuat, tegar, mandiri, jadi tulang punggung keluarga, tanggungjawab pun lebih besar, segala masalah dan kesedihan harus ditelan sendiri—sebab nggak ingin rasa sedihnya dibagi, lalu jadi pengharapan keluarga, terlebih saat dia juga menjadi cucu pertama yang lahir. Saat ada masalah dia yang harus merangkul, saat ditimpa segala macam rasa nggak menyenangkan pun dia yang pertama kena getahnya, nggak jarang dia juga harus mendengarkan dari berbagai sisi saat dirinya sendiri selalu memendam semua masalah.

Gue paham, semua itu bukan cuma stigma dan isapan jempol. Sebagai anak sulung, i know exactly how it feels. Apalagi tumbuh sebagai anak "broken home" sejak di tingkat akhir bangku sekolah dasar, banyak perasaan yang gue nggak ngerti apakah itu kesedihan atau bukan, sehingga akhirnya dipendam sendiri. Sebagai anak sulung, gue juga merasa harus selalu kuat, gue harus tampak berwibawa untuk menerima segala problema yang ada—yang tanpa sadar membuat gue memendam luka cukup lama. Dulu, waktu pertama kali harus tumbuh di tengah-tengah orangtua yang "divorced", gue nggak merasakan sedih sama sekali. Kecewa mungkin ada, tapi ayah gue yang selalu menasihati gue untuk jangan menangisi perceraian ayah dan ibu karena itu masalah mereka, sehingga gue pun mengerti untuk tetap menjalani hidup seperti biasanya, dan bahwa gue nggak boleh sedih. Toh gue harus bisa merangkul adik-adik gue yang masih kecil, yang bahkan nggak tahu kenapa mamanya nggak lagi tidur bareng mereka—which was so painful. Mungkin karena hal itu, gue pun sempat tumbuh menjadi seseorang yang beku hatinya. Ngeliat orang lain terluka sedikit, gue cibir. Ngeliat orang lain nangis hanya karena masalah pacar, nggak gue hirauin. Gue selalu merasa apa yang gue alami lebih menyedihkan daripada itu semua dan gue merasa gue berhasil buat melewati itu—yang sebetulnya nggak sama sekali, sebab gue hanya terbiasa memendam kesedihan dan denial dengan perasaan gue. 

Sebagai anak sulung dan tinggal dalam keluarga sederhana, gue pun berkeinginan untuk memberikan keluarga gue lebih dari apa yang mereka miliki saat ini, dan mungkin apa yang sempat mereka miliki dulu. Karenanya gue menjadikan diri ini sebuah beban, meski keluarga sendiri pun sebetulnya gak berharap gue memandang mereka dan diri gue sendiri sebagai beban, but it does. Entah kenapa rasanya udah otomatis aja tertanam dalam pikiran gue, mereka—si anak sulung—untuk menanggung beban yang tidak seharusnya mereka pikul dan nggak seharusnya dianggap beban. Semua itu kemudian membentuk mental dan pola pikir bahwa anak pertama itu hebat, powerful, gak tertandingi dan kuat, baik anak laki-laki maupun perempuan. Gue pun awalnya berpikiran seperti itu, apalagi melihat sosok ayah dan ibu yang sama-sama memiliki figur sebagai anak sulung di dalam keluarganya masing-masing. Sampai pada suatu masa dimana gue mendengar curhatan beberapa teman gue yang tumbuh bukan sebagai anak sulung, yang membuat gue mencoba membuka mata lebih lebar soal peran masing-masing anak dalam keluarga.

Gue pernah beberapa kali mendengar curhatan teman gue yang hidup sebagai anak tengah, atau pangais bungsu. Menjadi anak tengah, yang sebelumnya gue pikir gak banyak menanggung beban pun sama, mereka ternyata menanggung beban, perasaan dan tekanan masing-masing. Seringkali mereka harus tumbuh dibayang-bayangi oleh kakak mereka yang sukses, atau kalau nggak, mereka pun jadi pengharapan ayah dan ibu jika anak pertamanya dianggap mengecewakan—layaknya memiliki anak adalah sebuah catur yang dipaksa berjalan dan menang. Sering juga mereka kehilangan perhatian dan kasih sayang secara utuh, karena semuanya sudah dikerahkan untuk si sulung saat ia belum lahir, dan lagi-lagi semuanya harus dikerahkan untuk si bungsu yang akan atau sudah lahir. Berada di tengah-tengah sosok kakak dan adik seringkali membuat mereka terombang-ambing untuk bagaimana seharusnya bersikap sebagai adik yang baik dan juga sebagai kakak yang harus turut berperan menjadi contoh yang baik. At the same time, mereka harus terlihat seperti anak yang biasa-biasa saja, dan tampak bahagia karena punya kakak dan adik yang bisa dirangkul dan bisa merangkul dirinya. Kenyataannya, hidup nggak serta merta selalu seindah itu. Dia juga harus merangkul dirinya sendiri, menyadari bahwa masing-masing kakak dan adiknya tengah berjuang dengan kehidupannya. 

Gue pun berusaha melihat lebih jauh ke dalam sosok adik-adik gue. Saat melihat adik-adik gue, selama ini yang ada di kepala gue adalah rasa sedih mengetahui masa kecil mereka yang tidak selengkap gue. Gue hanya menyayangkan tentang mereka yang harus tumbuh dalam keluarga broken home bahkan sedari balita, tapi gue nggak sadar bahwa mereka juga punya peran masing-masing. Sebagai kakak, gue tahu betapa seringnya adik gue dibanding-bandingkan untuk paling nggak sama dengan gue. Mungkin secara tidak langsung hanya gurauan singkat, but who knows what's inside his heart? Pasti pernah beberapa kali ada perasaan bosan dan lelah dibanding-bandingkan, diminta untuk berlaku sama dengan kakaknya. Sering juga gue menyaksikan adik pertama gue ini—technically anak kedua, diminta untuk memberikan contoh yang baik kepada adik bungsunya yang usianya tidak terpaut jauh. Itu artinya, segala tugas dan tanggungjawab dalam tali persaudaraan gak mesti selalu ada di tangan anak pertama seperti gue. Even as the older one, he also has the responsibility to take care his brother. Apalagi saat gue sendiri sedang jauh dari rumah, posisi anak pertama akan dilimpahkan ke anak kedua untuk memberi contoh bagi adiknya.

Soal banding-membandingkan pun kerap berlaku pada si bungsu. Tumbuh dan berkembang di antara kakak-kakak yang terbilang lumayan bagus secara akademik pun terkadang menjadi tekanan bagi mereka yang terlahir paling akhir—dalam hal ini adik gue, untuk paling tidak dituntut bisa menyamai posisi kakak-kakaknya. Terlebih sebagai anak yang sedikit berbeda, dianggap lebih lambat (biasanya orang lain juga sering mengaitkan kepintaran dengan posisi anak dalam keluarga nih) dan cenderung tempramental, gue tahu, berat pastinya menjadi dia karena harus dibandingkan seperti kakak-kakaknya, padahal bukan salahnya kalau dia tumbuh menjadi seseorang yang berbeda dari kami. Contohnya dalam hal mengaji, adik gue yang bontot ini terbilang lebih lamban dalam belajar soal tajwid dibanding kami, yang mana semua itu terjadi bukan tanpa alasan. Ini juga yang kadang bikin gue sedih, adik gue ini tumbuh saat orang-orang di sekitarnya sudah mulai sibuk dengan kegiatan masing-masing, sehingga gak ada lagi waktu untuk mengajarinya mengaji. Gue, yang saat itu sudah kuliah di luar kota harus berhenti mengajarinya dan melimpahkan tugas gue kepada adik gue yang pertama. Tapi karena usia mereka memang cuma terpaut dua tahun, otomatis banyak berantemnya daripada akurnya, alhasil si bungsu lebih milih belajar sendiri daripada diajarin kakaknya yang kedua. Stigma soal anak bungsu selalu dapat perhatian penuh dan dituruti orangtua pun nggak gue temukan di dalam sosok adik gue. Tentu, gue nggak menyudutkan orangtua gue, gue percaya ini yang namanya bagian dari takdir, dan gue tahu orangtua gue juga mengalami masa-masa yang sulit, tapi begini realitanya. Gak semua anak bungsu bahagia dan dimanja. Gak semua anak bungsu dekat sama mama atau papanya.

Inipun berlaku untuk tante gue, sosok anak bungsu yang juga bikin gue bisa belajar tentang hidup dan melihat dunia lebih luas lagi. Dia anak bungsu dan perempuan satu-satunya dari tiga bersaudara (sama seperti gue), dan mungkin memang terkesan lebih dimanja dan diatur (terbukti doi dulu jarang banget nyuci pakaian dan nyetrika😂), tapi fakta itu gak bisa dijadikan alasan bahwa hidupnya sebagai anak bungsu selalu enak, karena kenyataannya nggak. Dia tetap jadi pengharapan keluarga dan tulang punggung karena ayah kami, yang mana adalah anak pertama, tidak bisa sepenuhnya membiayai kebutuhan keluarga karena harus memikirkan soal anak-anaknya dan kebutuhan lain. Being one of those called the sandwich generation, she has also been through a hard life when it comes to man, gue nggak bisa menceritakan ini lebih dalam since it's too private, tapi dari situ gue mendapatkan banyak sekali tambahan pelajaran soal pernikahan. Bayangin, dari anak bungsu yang selama ini dianggap orang manja dan gak bisa apa-apa, justru gue bisa mendapat pelajaran dan nilai-nilai kehidupan dari lika liku yang dia alami. Gue juga menjadi salah satu saksi hidupnya, saat tante gue dari SMP sudah bekerja mencari tambahan uang jajan untuk sekolahnya. Dia pernah bekerja menjadi penjaga toko, dia juga sempat beberapa kali berjualan nasi ketan keliling komplek perumahan setiap pagi sebelum berangkat sekolah, bahkan saat dia sudah lulus dan bekerja pun masih sempat-sempatnya memikirkan kami, keponakan-keponakannya dengan membelikan pakaian baru, memberi uang jajan, membelikan ini itu, membawakan makanan dan berbagai camilan, sampai mengajak jalan-jalan kemanapun. I learned a lot from her that being the younger one doesn't always have a happy little tale.

Stigma yang berlaku di lingkungan sekitar pun seringkali menayangkan sisi yang enaknya saja dari menjadi seorang anak bungsu dengan segala fasilitas yang terpenuhi. Padahal kata siapa anak bungsu nggak punya beban dan hidupnya enak terus? Mereka pikir mudah dibayang-bayangi antara kesuksesan atau bahkan kegagalan kakak-kakaknya? Mereka pikir mudah hidup dengan kasih sayang berlebihan yang terkadang mengekang dan membatasi ruang gerak? Nggak. Gak ada yang mudah, karena masing-masing punya beban psikis atau fisik yang harus ditanggung, sadar atau ngga.

Keegoisan gue sebelumnya menjadi anak perempuan pertama yang terkesan sangat berat pun mulai terkikis perlahan-lahan. Bahwa hidup setiap anak, apapun peranannya memiliki tanggungjawab dan beban yang dipikul masing-masing, yang bagaimanapun gak bisa disamakan. Peranan ini pun bahkan gak cuma berlaku untuk anak-anak yang punya saudara. Gue sering pula mendengar stigma bahwa anak tunggal cenderung hidupnya enak, serba difasilitasi dan dimanja karena dia jadi satu-satunya harapan keluarga. Emang mereka pikir enak jadi satu-satunya harapan keluarga? Nggak, beban pasti lebih besar. Ditambah harus hidup dalam kesendirian dan kesepian mendambakan sosok kakak dan adik yang dimiliki orang lain. 

Gue bilang seperti ini bukan tanpa alasan. Gue pun punya sahabat, dia anak tunggal, ayahnya nggak merawat dia sejak kecil, dan bahkan keluarga ayahnya gak mengakui keberadaannya. Kenyataan paling menyakitkan yang juga gue saksikan sebagai teman kecilnya adalah dia harus tinggal sendiri alias tanpa sosok ayah dan ibu sejak kelas 5 SD karena ibunya meninggal saat itu. Dia dirawat oleh keluarganya, yang kata orang lain sih serba enak, serba ada karena keluarganya borjuis, but man.. it's not all about money. Gue tahu betapa kosong dan hampanya menjadi anak tunggal yang digadang-gadang oleh orang lain serba enak dan serba dimanja. Gue tahu cerita hidupnya, gimana dia menghadapi berbagai cemoohan atau kalimat nggak mengenakan yang datang dari orang-orang sekitarnya, dan harus menanggung semuanya sendiri karena nggak ingin membagikan rasa sedih ke saudara yang lain, atau mungkin karena gak ada seseorang yang bisa dia jadikan tumpuan. She was being lonely and carries the sadness all alone. Tinggal di keluarga yang berkecukupan gak serta merta membuat hidupnya berkecukupan, dia tetap bekerja menghidupi dirinya sendiri. Meski begitu, gue sangat bersyukur karena dia masih punya paman, tante dan ponakan yang setidaknya membuat hidupnya terasa lebih penuh, dan tambah bersyukur karena dia sekarang punya sosok lelaki yang memberi warna baru dalam hidupnya. 

Lesson learned. Menjadi anak tunggal pun gak seindah itu. Bahkan gue percaya masih banyak anak tunggal lain di luar sana yang punya bebannya masing-masing, yang memendam perasaannya masing-masing, yang hidupnya gak selalu bahagia tanpa air mata. Gue namai sosok ini sebagai Langit, karena perannya gak disebut dalam keluarga Narendra. Oh iya, siapa keluarga Narendra? 

Keluarga Narendra ini ada kaitannya dengan judul yang gue sematkan di atas. Mungkin ini juga yang menjadi pertanyaan teman-teman sekalian kenapa judul tulisan ini harus berbau astronomi. Well, seperti yang sudah gue ceritakan di atas, semua ini tentang sudut pandang gue terhadap stigma mengenai posisi masing-masing anak dalam keluarga. Narendra adalah kepala keluarga atau ayah dari Angkasa, Aurora, dan Awan. Mereka ini adalah tiga bersaudara dalam film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini, salah satu film bertema keluarga yang tayang pada awal Januari lalu. Meski secara pribadi gue nggak terlalu relate sama isi cerita film ini karena menggambarkan kehidupan keluarga di kelas menengah atas dan memperlihatkan keluarga yang utuh, gue tetap mengapresiasi keseluruhan cerita yang secara garis besar  dapat menggambarkan intrik yang selama ini terjadi dalam sebuah keluarga. Ditambah dengan fokus utamanya yang memang tidak lepas dari penggambaran karakter masing-masing, dimana Angkasa adalah anak pertama, Aurora adalah anak kedua, dan Awan sebagai anak bungsu. Tadinya gue ingin menamai tulisan ini sebagai; Di Balik Keluarga Narendra, tetapi karena semua tulisan ini adalah tentang sudut pandang gue, si anak sulung yang berusaha untuk melihat lebih luas tentang sosok Aurora, Awan, dan Langit, maka gue ubah menjadi Di Balik Angkasa. 
 Sumber gambar: Swara Tunaiku

Karena semua ini adalah tentang sudut pandang gue, maka apa yang tertulis mungkin tak lebih baik dari kenyataannya. Bisa saja benar, atau bahkan bisa saja salah. Namun gue pribadi murni hanya ingin berbagi tentang apa yang gue dapat selama ini dari proses belajar dalam memahami dan mendengarkan cerita-cerita mereka sebagai sesama anak sulung, lalu mendengarkan cerita si anak tengah, bungsu, bahkan tunggal, orang-orang terpenting dalam hidup gue yang pastilah punya sisi berbeda dalam perjalanan hidupnya. Toh bukankah kenyataannya stigma yang selama ini hidup dalam lingkungan kita memang selalu terkesan mengungguli salah satu dan membanding-bandingkan satu dengan yang lainnya?

Oleh karena itu juga, gue ingin menjelaskan bahwa sepanjang tulisan ini dibuat, gue sama sekali gak bermaksud menyudutkan para orangtua—atau orangtua gue sendiri. Gue sama sekali nggak menyalahkan mereka atas berbagai problema yang gue dan adik-adik sendiri alami. Gue tahu, mereka hanya sesosok manusia yang tidak sempurna, punya salah dan kekhilafan, mereka juga gak selamanya bisa memahami perasaan dari masing-masing anak mereka, dan gue yakin pasti seburuk apapun mereka berkeinginan agar anaknya menjadi versi terbaik dari dirinya.

Berangkat dari pembelajaran-pembelajaran itu, gue yang tadinya menutup mata dan selalu merasa menjadi yang paling kuat dan tegar di antara tiga bersaudara pun perlahan bisa membuka mata selebar-lebarnya. Gue berusaha untuk mengerti, bahwa bahkan gak hanya seorang anak dalam sebuah keluarga saja yang boleh sedih dan merasa terpuruk, tetapi kita, sebagai manusia, pada dasarnya semua merasakan sakit dan punya masalahnya masing-masing. Nggak perlu merasa tinggi hati dan merasakan bahwa sakit itu hanya kita yang punya seorang diri—mungkin sebetulnya sah-sah saja, but let me tell you, terus beranggapan bahwa hanya diri sendiri yang merasakan sakit hanya akan membuat diri kita selamanya tinggal dalam rasa sakit itu sendiri. Sesekali kita perlu menengok, melihat, mendengar dan mengamati kehidupan di luar sana. Karena semua orang sudah ada porsinya, bahkan untuk merasa sedih dan bahagia. Gak ada anak pertama yang lebih kuat, gak ada anak bungsu yang lebih dimanja, gak ada anak tengah yang hidupnya penuh kasih sayang, gak ada anak tunggal yang bebas dari tanggungjawab karena serba difasilitasi. Kita semua kuat, tangguh dengan caranya masing-masing. Sebab semua manusia sudah punya bagiannya, untuk menikmati hidup yang sebenar-benarnya. Tidak ada yang lebih dan kurang. 

Mungkin menjadi anak pertama memang berat, selalu ada beban yang besar menanti di barisan paling utama. Namun, kita lupa bahwa berada di barisan tengah dan terakhir pun punya beban yang harus ditanggung yang tak kalah beratnya. Apalagi menjadi satu-satunya orang yang berdiri di barisan tersebut, kebayang kan hampa dan takutnya bagaimana? Hanya saja, kita terlalu asik untuk bisa menengok ke belakang dan ke samping. Bahwa ternyata anak tunggal, tengah dan bungsu pun punya ceritanya masing-masing.

Untuk Angkasa-Angkasa lain di luar sana, Aurora, Awan, dan Langit, this is about us. I know it's been always tough for you. Apa yang dibilang orang lain tentang kalian, segala komentar atas perbandingan, gak selamanya benar dan harus diterima. Setiap anak punya cerita dan peranannya masing-masing. Gak ada yang lebih inferior dan superior. Pun rasa sedih yang selama ini tidak bisa dibagi, bukan tanggungjawab orang lain untuk menilai siapa yang patut disandingkan dan dianggap pemenang, karena sejatinya hidup ini adalah tentang memaknai dan memahami, bukan persaingan untuk menjadi yang paling berat hidupnya. Kenapa pula menjadi yang paling sengsara pun harus dinilai sebagai persaingan?

Share
Tweet
Pin
Share
49 komentar
Newer Posts
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Bukan Salah Indonesia
  • Childfree yang Diperdebatkan
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Just Listen
  • Terlalu Besar Untuk Gagal

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

My Podcast

Newsletter

Get new posts by email:

Popular Posts This Week

  • 36 Questions Movie Tag
  • Di Balik Angkasa
  • Goodbye Wasteful Life, Welcome Minimalism
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • How I See Feminist as a Muslim
  • Kejar Passion itu Omong Kosong
  • Silent Treatment: Diam Yang Menyiksa
  • Lika Liku Jadi Career Shifter dan Tips Memulainya
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek Yang Regresif

Blog Archive

  • ▼  2024 (2)
    • ▼  Oktober 2024 (1)
      • Posture Perfect: How Wearing a Waist Trainer Can I...
    • ►  Agustus 2024 (1)
  • ►  2023 (1)
    • ►  Februari 2023 (1)
  • ►  2022 (9)
    • ►  November 2022 (1)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (1)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  Maret 2022 (2)
    • ►  Februari 2022 (2)
  • ►  2021 (30)
    • ►  Desember 2021 (1)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  Juli 2021 (3)
    • ►  Juni 2021 (2)
    • ►  Mei 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  Maret 2021 (5)
    • ►  Februari 2021 (1)
    • ►  Januari 2021 (5)
  • ►  2020 (46)
    • ►  Desember 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  Oktober 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (10)
    • ►  Juli 2020 (8)
    • ►  Juni 2020 (4)
    • ►  Mei 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  Desember 2019 (3)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Agustus 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Februari 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Pengikut

Categories and Tags

Intermeso Krisis 1/4 Abad Opini Perempuan Podcast Poetry Review Thoughts digital marketing karir lifestyle slice of life

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.