Diberdayakan oleh Blogger.
  • Home
  • About
  • Lifestyle
  • Personal
    • Opini
    • Thoughts
    • Slice of Life
    • Poetry
    • Intermeso
  • Podcast
  • Review
instagram LinkedIn Spotify YouTube Email

Notes of Little Sister




Suka Duka Introvert di Masa Pandemi
Iyaak tangan belum masuk saku keburu dijepret🤣

Awalnya tulisan ini gue beri judul Suka Duka Jadi Introvert, berhubung memang sempat gue buat draftnya beberapa bulan yang lalu. Namun karena nggak pernah sempat diperbarui, dan berhubung gue baru aja mengalami beberapa hal menarik terkait ke-introvert-an gue di masa pandemi,  jadilah judul yang sekarang! Hehe. Sebetulnya konsep cerita gue yang sebelumnya ingin ditulis pun terasa terlalu general sih, jadi sepertinya nggak memungkinkan buat ngupas tuntas semuanya😂. 

Buat teman-teman yang ngikutin tulisan gue dari arsip terdalam, pasti sedikit banyaknya tau kalau gue adalah seorang introvert, bahkan dari zaman masih piyik-piyik ciak-ciak kali, ya. Di tahun 2020 ini gue seakan benar-benar bebas dari tuntutan menjadi makhluk sosial yang (akhirnya) bisa totally punya space sendiri dalam mengembangkan potensi diri, dan betul-betul lepas dari interaksi yang seringkali membuat gue kelelahan hingga butuh waktu berhari-hari lamanya untuk recharge di kamar—disinilah kemudian weekend biasanya gue gunakan. 

Di masa awal pandemi, 'dirumahkan' mungkin menjadi hadiah terindah buat introvert kayak gue, karena gue sendiri nggak perlu bertemu dengan banyak orang dan basa basi ini itu setiap harinya, gue nggak perlu berpura-pura nyaman kalau ada dalam suatu obrolan yang kurang gue sukai, gue nggak perlu ngerasa pusing kalau lagi di keramaian, gue nggak perlu misuh-misuh denger bunyi klakson di jalan (it doesn't define you as an introvert tho😂), gue nggak perlu berhadapan dengan kemacetan di lampu merah yang setiap hari bikin kepala sakit kayak mau pecah (literally). Walaupun, tentu, memiliki waktu sebebas-bebasnya berada di rumah dengan alasan pandemi bukan menjadi suatu hal yang baik, tapi paling nggak gue bersyukur bisa sedikit lebih cepat terselamatkan dari si virus mungil covid-19 ini. Sebab kegiatan karantina tersebut betul-betul gue patuhi secara sukarela dan 'gembira', nggak ngeyel keluyuran sana sini kayak anak muda sok edgy yang hobinya ngomongin teori konspirasi. *Iya, pada awalnya sih, gitu.

Semakin lama hidup dalam kondisi nggak normal nyatanya bikin gue juga lelah. Semua kegiatan yang dialihkan via online membuat gue overwhelming, dan rasa tidak nyaman dalam bersosialisasi yang bikin lelah pun gue bisa rasakan juga disitu. Nggak terhitung udah berapa kali gue mengabaikan beberapa inbox yang masuk lewat whatsapp dan e-mail, hanya karena gue nggak sanggup dan keteteran buat sekadar membalas 'iya'. Jangankan mau bales, ngelirik aja rasanya udah bergidik duluan. Iya, sampe segitunya.

Though gue nggak banyak bertatap muka lewat zoom, skype, google meet, google duo, dsb. (karena udah nggak ada kelas), gue tetep ngerasa capek bukan main. Apalagi saat gue harus menyelesaikan sisa-sisa waktu praktik lapangan di bulan Maret yang terpaksa dialihkan lewat daring. Setiap pagi gue harus siapin materi, kuis, terus stand by di Google Classroom buat ngirimin semua materi itu—termasuk video pembelajaran yang gue rekam malam sebelumnya. Belum lagi banyak murid yang nggak masuk tepat waktu—nggak terdaftar di kelas sampai berhari-hari, telat ngirim tugas, ada juga yang ngirimnya berceceran sampai ke personal chat, atau bahkan ada yang ngilang sampai berminggu-minggu.  Ditambah guru pembimbing gue yang suka tiba-tiba video call di grup pagi-pagi banget, saat kami masih sayup-sayup melek abis begadang semalam suntuk, dan tiba-tiba ngasih kabar mendadak untuk kami buat soal ulangan, materi latihan soal PAT (UAS), dll. Oh iya, berhubung sempat ada yang menyangka gue guru, entah dari postingan yang mana, jadi gue mau mengingatkan kalau gue bukan guru😂 . Cuma karena kampus gue basic-nya adalah kampus pendidikan, untuk mahasiswa yang jurusannya pendidikan (karena banyak juga jurusan yang non-dik), di semester menjelang akhir kita pasti praktik di sekolah. Dan ini nggak serta merta berarti kita otomatis akan jadi guru setelah lulus. Nggak, untuk jadi guru juga harus belajar lagi PPG (Pendidikan Profesi Guru). Kegiatan PPLSP ini sebatas memenuhi syarat kelulusan mata kuliah tertentu, mungkin kalau di kampus atau jurusan lain disebutnya magang. Nah, lanjut lagi.

Ternyata, pada akhirnya gue masih harus berurusan dengan orang-orang di luar sana meski cara berkomunikasinya beda.

Lama-lama gue pun kembali menjadi seseorang yang kaku dan socially awkward. Contohnya, belum lama ini gue sempet ketemu beberapa temen di kampus dan di luar kampus. Nggak seperti gue biasanya yang bisa terlihat 'sok akrab' kalau ketemu kenalan, at the time i was completely clueless of what i have to say or what i have to do—bahkan sama orang yang gue anggap deket, lho. Padahal kalau dibilang kangen, jelas iya dong! Udah lama banget gue nggak ngeliat wajah-wajah teman kuliah. Karena canggung level maksimum ini, alhasil setiap kali berusaha membuka topik gue sering keserimpet lidah sendiri. Canggung abis dah pokoknya, lucu juga kalau dipikir-pikir🤣. Seculun-culun dan sekaku-kakunya gue, nggak pernah gue merasa secanggung ini ngobrol dengan orang lain. Jujur aja, selama hampir tujuh bulan pandemi ini gue memang nggak selalu get in touch sama temen-temen, karena nggak semuanya gue punya kontak WA (sohib segeng dan yang memang deket banget sih udah pasti gue simpan nomornya). Paling tiga atau empat orang yang tetep chatting sama gue, itupun jarang. Kalau gue lagi butuh referensi, lagi kangen, atau sekadar pingin ngobrolin hidup dan topik-topik lain, baru kita saling kirim pesan dan balas story, atau bahkan video call. Circle pertemanan gue emang sekecil itu.

Awalnya gue pikir ini wajar, walaupun kaget juga. Sebab selama ini gue mengenal diri sendiri bukan termasuk orang yang kesulitan secara verbal dalam public speaking. Gue ngerasa fine-fine aja, kapanpun dan dimanapun gue berada, ketika gue diharuskan untuk fit in dengan lingkungan dan situasi tersebut gue akan dengan mudah beradaptasi dan nge-switch diri. Karena itu, beberapa teman gue dulu sempet punya kesan bahwa gue anak yang ekstrovert, padahal bukan. Tapi sekarang, rasanya bener-bener aneh. Bayangin aja gimana rasanya nggak ketemu relasi selama berbulan-bulan, yang bahkan lewat SNS pun ngga keep in touch betul-betul, saat diketemukan rasanya pasti canggung, kan!? Dan nggak taunya, kejadian belibet lidah sama a-eu-a-eu ini malah berulang pas gue diajak ngobrol sama pasutri yang ngejual susu murni di sekitar kost gue. Lagi-lagi yang biasanya gue nggak bermasalah kalau diajak ngomong, sekarang kayak orang dusun yang udah kelamaan tinggal di goa dan baru keluar ke permukaan. Asli deh😫. Sejak kapan gue ketemu sama ibu penjual soto (ini beda lagi makanannya) jadi kayak ketemu Obama?

Entah sampai kapan gue bisa bertahan untuk hidup seperti ini di tengah pandemi. Karena, meski kepribadian gue tertutup begini, gue pikir kenapa kita perlu untuk tetap hidup normal dan berurusan dengan segala pekerjaan, orang-orang, dan lain-lainnya, adalah karena disitulah gue bisa melihat segala sesuatu dari sudut pandang lain. Dari sisi diri gue yang nggak selamanya pendiam, kuper, dan cuek. Saat bertemu dengan orang-orang di tempat kerja, misalnya, suka atau nggak suka dengan mereka, mau nggak mau gue harus tetap bisa berlaku baik dan bersosialisasi dengan orang-orang tersebut. Artinya, gue jadi tau caranya menempatkan diri dan menempatkan ego. Sebab nggak semua bagian dari karakter dalam diri kita harus diikuti. Misalnya lagi, kalau gue orangnya tempramental, dan ada seseorang yang selalu memicu gue buat ngomong nggak baik karena nggak demen sama sikapnya, gue nggak harus menuruti ego gue untuk menampakan kebencian gue, kan. Padahal tu orang ada salah sama gue aja nggak.

Menjalani hidup sesuai dengan keinginan gue dan personality gue sebagai introvert nggak selamanya enak. Banyak suka dan dukanya, seperti yang gue ceritakan di atas. Dalam keadaan seperti ini, gue memang merasa sangat-sangat difasilitasi karena semua orang saling menjaga jarak, dan saling mengerti akan adanya batas dan privasi, sesuatu yang selama ini selalu gue agung-agungkan. Boundary, privacy, independency and freedom. Namun ternyata, perlahan-lahan gue malah jadi terkukung dalam dunia sendiri. Gue terlalu nyaman ada dalam zona ini. Satu-satunya yang bisa membuka mata gue lebar-lebar di tengah kesendirian ini hanyalah media sosial—yang sedihnya, menjadi sumber kesedihan dan insecurity terbesar dalam beberapa waktu. Untungnya gue masih punya temen yang bisa jadi tong sampah pikiran gue selama beberapa bulan ini, begitupun sebaliknya.

Gue sangat-sangat berharap semoga situasi ini nggak bertahan lama dan bisa segera pulih. Nggak tau lagi rasanya kalau di tahun depan nanti kita masih harus berurusan dengan virus, PSBB, protokol kesehatan, dsb.

Kalau teman-teman sendiri, gimana nih? Apa kesan dan pesannya selama pandemi? Baik sesama introvert ataupun ekstrovert ya😁.


Share
Tweet
Pin
Share
25 komentar
Being a Good Listener

Before you start reading this post, i'd like to apologize for any grammar and writing errors and i'm so sorry for the sudden appearance with this kind of post which is NOT SO me LOL. I've checked my writing using an app before publishing this so i can proofread and learn but, you know, sometimes such apps can't be trusted either😌. Well, i don't know why, but i feel like i have to improve my writing skill (esp. in English) so the idea to share this has suddenly just crossed in my mind. My friends keep telling me to not to be afraid over things that require mistakes to help us learn and grow—especially in learning foreign languages. So i encourage myself to write this as best as i can. Maybe next time i'll write one with Japanese😬. Semoga bisa sedikit mengobati rasa kangen (jiaah sapa juga yang kangen yak😆), dan memberi sedikit warna baru di blog gue. Cheerio! xx

o-o

I recently watched a video on YouTube whose created by my favorite musical actress ever. Her YouTube channel contains videos about music and light lessons, a kind of sharing videos with inspirational thoughts that help us to grow, to reflect, to think, to unlearn, to relearn, and to get to know more about ourselves and our lives. I actually have started some other videos before, but today i decided to go for episode 3 which is about Listen. 

I think it's such an interesting topic to talk about in my blog because you know... nobody is born the same way, nobody wakes up the same way, nobody goes to sleep the same way, nobody's days go exactly the same, even if you spend the entire day with someone. So, it really is the most amazing gift to be able to listen and to realize there's always different perspective of life that we have to listen to—aaaaaand to share with each other😜.

Speaking of listen, have you ever had a conversation that put yourself in situation to think 'i must give her/him some response' in order to make them feel comfortable or even only to assure them that you are being presented at the moment? I personally have been there for almost all the time—before i realized that such habits and attitudes are actually bad enough to have.

Why is it bad to have? 

Doesn't that mean we are being responsible for responding to them?

I know, for some people this might be the best solution to come up with another response just to make the others feel better, but you ended up not really listening to them because your brain is busy to accumulate and to adjust what kind of response will you say, what kind of advice that you want to give, without really hearing and understanding the context and the story. If you think you can still hearing what exactly they say while trying to find words to respond,  that would be good. But what if you're not? Here the thing is. 

Even since childhood, at school, we were trained to always answer every question that our teachers asked, without really knowing what the best answer to say was. Well, they never actually have us answer some questions without knowing the context, but we're unconsciously trained to become ones, weren't we? Every time our teachers ask some quizzes, instead of really hearing what they say and comprehending the topic, we're busy memorizing so many theories we have learned just to make the teacher feel satisfied with our answers. In fact, we didn't really listen to them. We were just busy thinking about the responses and answers that we should have given.

Now in conversation, again, we're often times thinking of the next thing that we're gonna say. Whatever they're saying, the sparking something in us that makes us want to speak. Here another misconception about good listening is when we listen and go 'oh, i understand, that happened to me!' then we always start going into our story. Even though we think we're saying 'oh yes, i totally understand! I hear you, i understand because...', this couldn't make our friends feel comfortable at all. As soon as you say 'because', it's now become about you and your story and there's nothing we can even learn about being a listener. Of course, there's a time for you and your story, but this might not be it. Not when you don't have the urge to say, and not when you are being needed. This might be the time that you're listening to somebody else.

For me, this kind of mindset can eventually lead us to become the selfish one, who doesn't really care of what others are feeling at the moment, and what they've been through that makes them wanna share their stories with us. Because in the end, it's all about us, not about them and the stories we have to listen to.

Have you ever imagined and reflected on yourself that everything happened in your life, after all these times, it's only about you, about your story, your ego, and your perspective? I mean, any time we get depressed and exhausted, maybe this isn't because of someone else that you think it is? Maybe it's all because of us who can't deal with the situations, people, and egos that have brought the negativity into our minds. This is why we have to really listen (even to ourselves) every now and then.

So how do we listen?

Listen without judgment, listen without coming up with the response that you're gonna already say. Just really listen. Train yourself to think, what if i'm listening to listen? Not listening to respond. 

Then choose to get quiet sometimes and hear all the voices that are talking to us constantly, the ego that telling us you aren't enough, and the ego that telling us you're the best thing that ever been. Yash, there's always some spectrum telling you to be this and that, to take the black side and the white side, being energized and exhausted. Therefore, we listen to be more aware that there is always something in between and it is the time to look at many different perspectives between the two sides.

Some may suggest you to meditate (as mentioned in the video), but since i've never tried this one, i'd like to advise us to sit down with the intention of listening to the only voice that is worthy of being listened to. 'That' voice always speaks to us. It's not just listening to listen, but it's listen to hear. 

Since Bandung has recently been in the rainy season, before goes to sleep, i usually pause myself for a moment to just listen to the sound of water droplets from pipes, the sound of crickets and other insects, or even the sound of the rain itself—to the extent that i can hear the sound of my own heart beat. Somehow, when i let myself to be involved and attached to everything around me, i feel more alive and being present. I feel like they're listening to me listening to them, and it becomes a cycle of listening. Eventually, when we are open to hearing, we will also be heard with openness.

This cycle actually also happens when we are in a situation as someone who wants to be heard. Before we share stories, in order to avoid some misunderstanding with one another, i think we should make sure our partners at first, what are we really want by telling them these stories, since there are many of us who have different concepts about listening. Do we just want to be heard? Or do we actually need support and advice to be more motivated? 

So, if you just want to be heard, tell them (IMO, this isn't the only way to tell someone how your feeling is); "I want to share this with you not because i want to give you such a heavy burden. I just want you to listen, so don't push yourself so much that you think you have to encourage me by saying kind words when you actually don't have to." 

However, if you expect them to respond to you, this could be a problem (or could be not) for you. Why? Because we can't control how people are going to react towards us, we can't get them to read our minds just because we share the stories.

So what can I say?

Tell them that you "might need their advice and encouragement," which may make you feel better, "but don't take this as a burden to you because i don't want you to feel that way. Take it easy and if you don't mind hearing me, i'll be very happy." Then, the rest we can do is do not put expectation too high on them because we already said it truthfully with openness. Is it possible for them to be open to hearing us? It is very possible because the cycle never ends.

You know people say a lot that we have to think twice before you speak, right? What if (at least start from now) we listen twice before we speak? Because sometimes, when we listen once and listen again, we hear it—of course, depends on the context in which occasion you are in and who you're talking to, but it is also worth to 'listen' twice before we speak. 

Lastly, we live on the same planet, but it's a completely different world. When you don't know what to do, listen. When you feel uncomfortable, listen. Not just listening to everybody around you, but 'listen' to the knowing inside of you. There's a knowing that might be telling you actually simply to listen. Who knows?


It is you who know.


Share
Tweet
Pin
Share
24 komentar
Bad For Good to be Empowered (Pergi Untuk Kembali)

Seperti yang pernah gue sebut beberapa kali di postingan sebelumnya, bahwa bulan ini terhitung adalah bulan ketiga dimana gue mulai fokus nge-blog dan meninggalkan media sosial, khususnya Instagram. Namun belum pernah gue ceritakan apa alasan di balik itu. 

Sejak pertama kali gue memutuskan untuk memposting tulisan di blog, media yang gue gunakan untuk bisa menyalurkan tulisan-tulisan gue ini hanyalah media sosial. Ibaratnya ini satu-satunya teknik SEO Off Page yang gue tau😂. Setiap kali gue update postingan baru, pasti gue share di IG Story atau Twitter. Hal inipun sebetulnya berbanding lurus dengan salah satu tujuan gue nge-blog, bahwa gue ingin mengajak teman-teman di media sosial untuk paling tidak memiliki minat literasi yang lebih tinggi dari yang dimiliki sebelumnya, plus bertujuan untuk membuka diskusi agar kita bisa berbagi sudut pandang disini. Karena itu seringkali opini yang gue angkat cenderung tentang isu sosial atau pendidikan. Tapi tampaknya nggak semua orang tertarik dengan hal ini, sebab kita nggak bisa memaksa orang lain untuk suka dengan apa yang kita lakukan, meski niatnya baik. Semua orang tentu punya seleranya masing-masing dalam mengakses konten di media sosial.

Di masa awal gue mengerjakan blog ini, dukungan positif memang selalu datang, tapi hanya dari sohib-sohib se-geng dan orang terdekat aja. Sisanya beberapa teman atau senior di kampus yang memang tertarik untuk membaca blog gue—setidaknya hanya mereka yang gue tau lewat respon berupa DM di media sosial. I was so happy at the moment, menyadari bahwa ternyata beberapa orang rutin membaca dan mengapresiasi tulisan gue. Well, it's not about the numbers, actually. It's all about the message, itu yang gue harapkan bisa orang lain dapatkan ketika berkunjung kesini.

Kenyataannya, sebaik-baiknya berusaha adalah tentu dengan tidak berekspektasi. Mungkin tujuan gue yang terlalu ideal tersebut membuat gue sedih setiap kali respon yang gue dapat bisa dihitung jari, atau bahkan nihil. Ditambah dengan gue yang diperlihatkan oleh kenyataan bahwa orang-orang tampaknya lebih senang mengakses konten yang cenderung isinya "bercanda". Yaah, memangnya siapa juga gue sampai-sampai perlu untuk didengar? I'm just nothing. 

Kondisi ini pula yang membuat gue sering mengeluh tentang "konten-konten" di media sosial dan penggemar setianya. Sederhananya, gue merasa orang-orang di sekitar gue kurang apresiatif. Kasarnya, orang-orang hanya peduli dengan foto-foto OOTD gue daripada apa yang gue tulis. Belum lagi diam di Instagram selalu memunculkan insecurity yang menyiksa setiap kali gue secara reflek harus membanding-bandingkan hidup gue dengan mereka yang hidupnya berada di atas gue. Sialnya lagi, dengan bertindak seperti itu tanpa sadar gue telah membiarkan diri gue terpuruk semakin dalam ke lubang-lubang masa lalu dan penyesalan. "Kenapa sih gue begini?", "Kenapa gue nggak bisa kayak mereka?". Padahal kalau menunduk sedikit saja ke bawah, banyak hal yang bisa gue syukuri, termasuk eksistensi di dunia ini.

Oleh karena beberapa alasan itu, gue memutuskan untuk stop dan deactivate sementara akun IG gue. Kenapa sementara? Memangnya mau balik lagi? Yaa, sebagai bagian dari individu yang hidup di era digital seperti saat ini, gue masih menganggap bahwa memiliki media sosial adalah sesuatu yang penting. Apalagi gue dengar beberapa perusahaan terkadang menanyakan media sosial para pelamar kerja saat interview. Toh sebetulnya banyak hal positif yang gue bisa dapat dari sana, kalau kita tau cara memfilter diri dari konten yang dirasa kurang baik—but not this time. Saat itu gue melihat media sosial sebagai racun yang betul-betul nggak sehat untuk keadaan mental gue. Sehingga fitur deactivate sementara ini sangat gue syukuri keberadaannya. Kalau twitter gak gue deactivate karena fiturnya langsung permanen. Sayang bok, gue gak bisa misuh-misuh lagi disana kalau hilang akunnya😂.

Singkat cerita, pada saat hiatus dari medsos itu gue menemukan komunitas Blogger Perempuan lewat salah satu akun twitter. Penasaran lah gue dengan situs ini dan ternyata setelah ditelusuri banyaaak banget blog-blog yang bagus dan inspiratif. Gue serasa menemukan surganya blog, dan ternyata lagi, setelah gue cari tahu komunitas ini bukan satu-satunya komunitas yang mewadahi para blogger untuk bisa membagikan ceritanya dan terjaring dengan blogger lain. Sejak saat itu gue mulai rajin blogwalking dan mengembangkan blog gue—paling nggak memoles templatenya biar lebih eye-catching.

Disini, gue seperti menemukan kehidupan baru dan napas segar dalam menggeluti dunia tulisan. Nggak hanya lewat tulisan-tulisan yang selalu bermakna dan inspiratif yang gue baca dari tiap blog, tapi juga lewat komentar-komentar blogger yang sangat apresiatif dan suportif. Sesuatu yang nggak gue temukan di media sosial. Sesuatu yang membuat hidup gue merasa sedikit bermakna dan nggak sia-sia untuk menulis. Benar kata Tere Liye, kebaikan itu memang tak selalu harus berbentuk sesuatu yang terlihat (Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin). Bahkan jika kalimat-kalimat positif yang gue dapatkan selama ini sebetulnya terlihat. 

Hal ini juga sejalan dengan sebuah pepatah, bahwa meninggalkan sesuatu yang buruk pasti akan bernilai lebih baik. Lebih tepatnya, kalimat ini adalah apa yang selama ini gue dapat dalam ajaran agama gue,

"Sesungguhnya tidaklah Engkau meninggalkan sesuatu karena ketakwaan kepada Allah Ta’ala, kecuali Allah pasti akan memberikan sesuatu (sebagai pengganti) yang lebih baik darinya." (HR. Ahmad no. 20739. Dinilai shahih oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth).

Meski pengalaman gue ini tidak bernapaskan religius, tetapi benang merah yang gue bisa ambil adalah, seberat apapun kita memutuskan untuk meninggalkan sesuatu yang buruk kepada kebaikan, niscaya kita pasti akan mendapat gantinya yang berkali lipat lebih berharga dan bernilai dibanding berdiam diri di dalam lubang keburukan itu selamanya.

Lewat blog, gue menemukan kakak-kakak dan juga teman-teman blogger yang selalu suportif dan sangat mengapresiasi tulisan-tulisannya satu sama lain. Rasanya gue ingin mention satu persatu dari mereka yang selalu memberi warna dalam hidup gue akhir-akhir ini, entah itu lewat komentar maupun personal chat-nya, seperti kak Eno, kak Renov, kak Lia, Lutfia, tapi tentu saja masih ada baaaanyak lagi yang gak bisa gue sebut satu persatu disini (soalnya nanti kepanjangan😆), yang meski baru mengenal secara singkat bahkan lewat dunia maya, kebaikannya dalam menyemangati lewat komentar di blog nggak pernah bisa gue lupakan. Mungkin beberapa dari kalian tidak menyangka apa yang dilakukan ternyata betul-betul memberi pengaruh positif untuk orang lain, kenyataannya it really means a lot untuk seseorang seperti gue yang hampir nggak pernah mendapatkan apresiasi dari orang lain. Keluarga dan orang-orang terdekat tentu memberi dukungan (as i mentioned before), tapi rasanya berbeda ketika kita bisa menemukan itu dari orang-orang yang bahkan belum pernah kita temui secara langsung, seperti kakak-kakak semua. Sending virtual big hug to all of you🤗💕. Really, gue sangat bersyukur bisa terhubung dengan kakak-kakak dan teman-teman semua😍.

Belum lama ini gue pun dibuat terharu dengan postingan di blognya kak Anton, Maniak Menulis. Biasanya kalau blogwalking ke situs beliau, gue memang belum berani berkomentar, jadi cukup menikmati saja tulisan-tulisannya😁, apalagi banyak juga postingan seputar blogging dan tips-tipsnya yang gue dapat sepulang dari sana. Eh sekalinya gue jalan-jalan blog lagi, gue malah dikagetkan dengan postingan yang ada nama guenya😱.

Bad For Good to be Empowered (Pergi Untuk Kembali)

Padahal gue kira tulisan ini hanya sebatas misuh-misuh yang penuh dengan bualan dan bahkan tidak memberi tindakan nyata juga pengaruh apapun. Jadi, gue sangat bersyukur dan nggak menyangka bisa mendapat apresiasi yang segini besarnya hingga dibuat dalam satu postingan😫. Terima kasih banyak kak Anton!😭😍

Semoga kakak-kakak dan teman-teman semua selalu dilimpahkan kesehatan, keberkahan dan rezeki yang lebih dari cukup. Sekali lagi, gue sangat bersyukur bisa bertemu dengan kalian di dunia maya ini🤗😊.

Sejak memutuskan untuk fokus di blog inipun gue akhirnya mengubah tujuan penulisan gue menjadi lebih sempit, bahwa gue hanya ingin berbagi apa saja yang pingin gue bagikan, dan bahwa blog ini semata-mata hanyalah sarana tempat gue melepas diri dari segala kerumitan di dunia nyata. Ternyata setelah tujuan gue berubah, gue justru jadi semakin produktif dan semakin semangat menulis. Dan yah, ujung-ujungnya balik lagi deh ke poin yang gue bilang sebelumnya; sebaik-baiknya berusaha ya tidak berekspektasi. 

Sekarang ketika menulis, gue murni hanya ingin menulis. Bukan karena alasan sok ideal tadi😂. Sebab satu hal yang gue pelajari dari proses menulis ini, berbuat lah karena kamu merasa ingin berbuat, berbagi lah karena kamu merasa ingin berbagi, dan menulis lah karena kamu merasa ingin menulis, bukan karena ingin agar orang lain suka atau bahkan berubah berkat tulisanmu. Karena kita nggak bisa mengontrol tindakan orang lain. Satu-satunya yang bisa memberi kontrol atas tulisan gue ya tentu diri gue sendiri.

Baca juga: Blog Story

Anyway, kayaknya agak melo gimana gitu yaa postingan kali ini, hehe. Mungkin karena gue lagi kurang sehat, jadi bawaannya sedih aja🤔. Oh iya, in case ada yang menyadari, kenapa sih gue menuliskan  kalimat "pergi untuk kembali" pada gambar di atas?

Sebetulnya dari semua komentar baik yang diberikan, tentu membuat gue pingin terus menulis di blog. Namun sayangnya dalam beberapa bulan ini, gue justru nggak akan bisa aktif seperti sebelum-sebelumnya. Gue harus menyelesaikan pendidikan gue yang mana menjadi salah satu resolusi di tahun ini (dan nggak enak juga udah ditanyain sama ortu "kapan lulus?" haha😆😐). Mungkin sesekali gue akan posting satu atau dua tulisan, hanya saja gue nggak bisa berlama-lama stay disini untuk blogwalking. Karenanya mohon maaf kalau gue sering menghilang dan nongol sesekali.

Kali ini kepergian gue dari blog yang sementara, bukan karena keburukan seperti halnya gue meninggalkan media sosial. Melainkan untuk tujuan yang lebih baik lagi, untuk langkah kehidupan gue selanjutnya dan untuk masa depan blog ini. Semoga setelah semua urusan gue selesai, gue bisa beli domain baru dan berbagi akan banyak hal yang belum sempat gue bagikan😁.

Sekali lagi, terima kasih banyak atas kebaikan yang dicurahkan! Semoga suatu saat nanti kita bisa dipertemukan dan bisa berbagi cerita secara langsung, Aamiin😍❣️.
Share
Tweet
Pin
Share
52 komentar


Belum lama ini gue menemukan beberapa topik menarik di media sosial terkait relationship, salah satunya tentang silent treatment. Biasanya dalam sebuah hubungan bahasa semacam ini terdengar nggak asing, karena langsung dialami oleh beberapa pasangan. Walaupun belum menikah, tapi gue pernah tau rasanya bagaimana didiamkan saat ada suatu masalah alih-alih ngobrol atau diskusi. 

Dulu, gue melihat ini sebagai sesuatu yang mungkin wajar dan normal dalam suatu hubungan—and let me clear this, nggak mesti spesifik dalam hubungan antara lawan jenis lho, ya. Silent treatment bisa saja terjadi dalam relasi pertemanan, hubungan kerja, atau bahkan lingkungan keluarga yang memang cara mendidiknya terbiasa seperti itu: mendiamkan seseorang dengan dalih agar mereka bisa merenung dan mencaritahu alasannya sendiri, lalu menemukan jalan keluarnya sendiri, dan kalau memang mereka yang salah (atau disalahkan), mereka akan diminta untuk menyelesaikannya sendiri. Yaa mungkin ujung-ujungnya meminta maaf dan berjanji nggak mengulang kesalahan.

Melansir dari Life Hack dalam tirto.id, "silent treatment" ini bisa dikatakan sebagai metode untuk memberi hukuman secara psikologis dengan mengabaikan orang lain, baik dalam hubungan pacaran, keluarga, maupun pertemanan, yang seolah memperlihatkan sikap tidak peduli pada seseorang dan bahkan hal yang lebih buruk dari itu. Beberapa orang yang percaya bahwa mereka memiliki kontrol diri yang tinggi mungkin menggunakan silent treatment sebagai cara untuk "mengambil jalan yang tinggi" atau apa yang mereka lihat tidak menyerah pada tingkat komunikasi yang terjadi dengan orang lain. Orang lain melihatnya sebagai reaksi rasional untuk masalah atau percakapan, bukan suatu emosional.

Menurut gue, nggak seharusnya silent treatment ini dibiasakan. Menjalin relasi dengan seseorang atau anggota keluarga, berarti membangun komunikasi dua arah yang mana segala halnya harus didiskusikan, terlebih mengenai suatu permasalahan yang terjadi. Bukan berarti semua hal harus diobrolin, sih. Kalau menurut lo ada beberapa hal yang sifatnya privasi dan baiknya disimpan, ya nggak apa-apa juga, it's very okay. ,

Namun kalau sudah menyangkut masalah yang menjadi persoalan berdua, sudah seharusnya diselesaikan berdua, bukan? Bahkan ketika masalah tersebut menjadi kesalahan yang dibuat salah satu pihak, gak semata-mata silent treatment menjadi solusinya. Apalagi kalau sampai berminggu-minggu gak ada kabar, dan ketika diminta kepastian malah balik menyalahkan, "aku kan begini karena kamu", "coba kamu pikir sendiri", "menurutmu kenapa aku kayak gini?". Duh nggak deh, kayaknya udah nggak sehat relasimu kalau seperti ini terus. Malah counter argument seperti itu menandakan bahwa dia memang menjadikan kesalahan kamu sebagai alasan agar dia bisa menghilang sementara.

Silent treatment is truly a silent killer. Perbuatan ini manipulatif, bentuk dari psychological abuse atau bahkan emotional abuse, dimana satu pihak hanya mengutamakan diri sendiri tanpa memikirkan perasaan orang lain. Jangan percaya kalau si dia bilang "ini untuk kebaikan kamu!". Sebab namanya kebaikan ya dilakukan dengan baik-baik dan membuat perasaan nyaman, bukan malah menyudutkan pasangan.

Silent treatment nggak hanya berpengaruh buruk terhadap kesehatan hubungan, tetapi juga bisa berdampak negatif terhadap kesehatan mental kita, atau bahkan kesehatan fisik. Jika mental kita terganggu dan merasa tidak nyaman, tentu akan berpengaruh terhadap fisik kita. Walaupun kondisi silent treatment ini nggak dilakukan secara sengaja, melainkan karena salah satu pihak nggak tahu bagaimana mengkomunikasikan permasalahan dan kekesalannya, hal ini tetap saja bisa memicu aura yang negatif dalam hubungan tersebut. Sebab sebaik-baiknya tindakan yang solutif adalah mengkomunikasikan hal tersebut, bukan dengan mendiamkan diri terlalu lama. Nggak baik juga untuk kesehatan psikis kita.

Tindakan ini bisa dianggap kekerasan emosional, yaitu ketika:

  • Salah satu pihak bermaksud melukai orang lain dengan cara mendiamkannya
  • Keheningan berlangsung untuk waktu yang lama
  • Keheningan hanya berakhir ketika mereka memutuskan itu
  • Mereka berbicara dengan orang lain tetapi tidak dengan pasangan mereka
  • Mereka mencari dukungan dari orang lain atas perbuatan yang dilakukan
  • Mereka menggunakan keheningan untuk menyalahkan pasangan mereka dan membuat mereka merasa bersalah
  • Mereka menggunakan keheningan untuk memanipulasi atau berusaha mengubah perilaku orang lain

Jika kamu mengalami hal ini baik dari pasangan, teman, relasi kerja atau keluarga, dan kamu bingung bagaimana harus bertindak, sebaiknya kamu ceritakan masalahmu kepada orang terdekat yang memang bisa dipercaya, entah itu meminta saran atau meminta bantuan untuk lepas dari kondisi tersebut. Jika cara ini juga dianggap nggak efektif, mungkin kamu bisa konsultasikan dengan psikolog di rumah sakit terdekat. Karena permasalahan semacam ini seringkali sangat mempengaruhi mental kita dan kegiatan kita secara tidak langsung.

Sebuah hubungan kekerabatan atau romansa yang dewasa seharusnya sama-sama memperjuangkan dan menyadari bahwa masing-masing adalah individu yang biar bagaimanapun nggak luput dari kesalahan dan kekhilafan, kalau salah satu salah ya diingatkan. Marah, kecewa, sah-sah aja selama nggak menyakiti orang lain dan masih bisa terkontrol. Namun yang jelas, mendiamkan sampai berhari-hari, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, dengan harapan orang lain akan bisa berubah itu bukan jalan keluarnya, cuz people don't change only in a few days or weeks. Toh perubahan seseorang itu sifatnya abstrak, nggak bisa terlihat, ngga bisa dengan mudah dilakukan hanya karena ada masalah dalam sebuah hubungan. 

Bahkan kalau memang seseorang berubah, mungkin bukan karena kamu juga pemicunya. Sad indeed, but this is how the reality works and playing trick on us. Dikhawatirkan silent treatment ini justru bisa menjadi bom waktu nantinya, sebab banyak hal yang dipendam dan nggak diutarakan secara langsung. Bukankah lebih baik kalau segala sesuatunya dibicarakan baik-baik agar bisa melepas rasa kesal, daripada menyimpan marah dan dendam berlarut-larut?


Referensi:

Good Therapy. Diakses pada 2018. Psychpedia: Silent Treatment 

Halodoc. Diakses pada 2020. Mengenal Silent Treatment dan Efeknya Pada Sebuah Hubungan

Tirto.id. Diakses pada 2019. Mengenal Silent Treatment, Perilaku Mengabaikan yang Menyakitkan

Share
Tweet
Pin
Share
16 komentar
Disclaimer: Tulisan ini hanya berisi misuh-misuh yang dilandasi kegerahan seorang rakyat akan berbagai hal yang terjadi di sekitarnya, maka dari itu mungkin isinya tidak cukup informatif dan bahkan tidak didukung oleh riset. Segala riset yang berkaitan dengan isi tulisan telah tersimpan sepenuhnya di memori hingga membentuk opini penulis. Karenanya mohon maaf kalau kurang berkenan di hati. Tadinya post ini ingin gue publish tepat di tanggal 17 Agustus, tapi karena fokus terbagi-bagi jadi tulisan gak rampung hari itu. Anyway, selamat membaca!

o-o

"Ketika merdeka berakhir hanya sebuah seremoni.."

Bukan Salah Indonesia

Tumbuh dan besar di sebuah kota kecil di Jawa Barat membuat gue banyak belajar tentang kehidupan. Benar-benar "kehidupan". Bertemu dengan orang-orangnya yang punya beragam kesulitan, mulai dari gaya hidup, keuangan, pendidikan, hubungan sosial, sampai persoalan berpikir. Gue merasakan betul berbagai ketimpangan antara mereka yang tinggal di pedesaan dan di perkotaan (specifically wilayah tempat gue tumbuh). Terkadang lucu membayangkan, orang-orang elite dan berpendidikan di perkotaan sana yang—mari kita garis bawahi—lupa dimana mereka berpijak, sibuk berkoar-koar bahwa "kita harus menstabilkan perekonomian bangsa!", "tidak boleh ada kesenjangan antara rakyat ekonomi ke bawah dengan menengah ke atas!", padahal mereka yang hidupnya serba terbatas mana peduli sama pidato-pidato kosong mereka? Yang orang-orang kecil tahu, mereka hanya harus cari uang setiap hari supaya bisa makan. Yang mereka pikir, mereka hanya harus berjuang untuk dirinya sendiri karena orang-orang di luar sana pun sibuk ngenyangin perut mereka sendiri, sibuk suap sana sini supaya bisa bekerja di tempat yang mereka mau, supaya bisa ada di tempat yang mereka incar. 

Isu kesetaraan gender pun gak hanya sebatas gaji yang tidak sesuai antara laki-laki dan perempuan meski posisinya sama, juga tidak hanya soal pelecehan seksual, pemerkosaan, catcalling dan serangkaian kekerasan seksual lainnya, tapi lebih luas lagi. Banyak sekali pabrik-pabrik yang mempekerjakan wanita bahkan dengan jam kerja yang melebihi seharusnya, dan menyempitkan lapangan pekerjaan buat laki-laki. Sebagian bekerja atas kemauan sendiri, sebagian bekerja karena ada opresi bahwa dia harus mencukupi kebutuhan rumah tangga, atau kebutuhan keluarga, karena suaminya sebagai kepala keluarga tidak memiliki pekerjaan tetap alias serabutan, atau bahkan lebih parahnya nggak bekerja sama sekali. It really happens, dan gue tahu gak hanya terjadi pada satu atau dua orang. I saw it. I observed it, and i've heard of many.

Bukan hanya itu, persoalan nikah muda karena orangtua yang udah nggak sanggup buat ngasih makan anaknya dengan dilandasi pemikiran bahwa si anak sudah pantas mengurus suami/istri (padahal usianya masih sangat muda) pun menjadi sesuatu yang terlihat normal dan seakan memang diwajarkan secara nggak langsung. Padahal seharusnya pendidikan anak mereka lebih penting daripada sibuk ngurusi pesta pernikahan, ini dan itu, sementara dari segi kesiapan baik mentally and financially belum bisa disanggupi oleh mempelai pria. Lucunya, memiliki pernikahan dengan resepsi yang "ramai" dan "megah" adalah goals-nya, bukan masa depan pernikahannya. Mereka bahkan sepertinya gak sadar bahwa masalah patriarki dan RUU P-KS yang belum juga disahkan itu ada di negara ini. Iya, gue sadar betul bahwa beberapa hal yang gue sebutkan di atas adalah sesuatu yang sifatnya privat, ranah pribadi sebab menyangkut pilihan individu, bukan hak gue melarang siapapun, bahkan tetangga gue tersebut untuk menikahkan anaknya. Pada akhirnya mereka tetap menikah dan punya kehidupan masing-masing, dan gue pun mengerjakan segala urusan gue sendiri. Hanya saja, gue menyayangkan suatu kondisi dimana banyak sekali orang-orang yang bertindak bukan karena mereka telah paham, tapi karena tindakan itu sudah dilakukan oleh orang banyak dan menjadi terlihat normal, seperti perkara menikah muda tadi.

Belum lagi saat melihat banyak sekali berita-berita di ranah pendidikan tentang guru honorer di pedalaman sana, seperti berita seorang ibu di Flores.

Ketika merdeka hanya sebatas seremoni

Beliau hanya digaji kurang lebih sebesar Rp. 200.000 per bulannya, itupun seringkali nunggak, bahkan pernah tertunda sampai delapan bulan. Sekalinya gaji turun, yang dibayarkan hanya tiga bulan pertama. Padahal beban beliau dalam mengemban tugas, apalagi di daerah pedalaman tentu gak ringan, tanggungjawab sama besarnya dengan guru-guru di luar sana, mendidik anak-anak di desanya yang semata-mata untuk memenuhi sebagian Undang-Undang 1945,  yakni mencerdaskan anak bangsa. Apalagi dengan situasi pandemi yang mengharuskan sekolah ditutup, nggak sedikit guru-guru yang terpaksa menyambangi rumah beberapa anak didiknya untuk mengajar sebab murid mereka tak punya fasilitas yang dibutuhkan untuk belajar daring. 

ketika merdeka hanya sebuah seremoni

ketika merdeka hanya sebuah seremoni

Baca Juga: Terlalu Besar Untuk Gagal

See, ini hanya sekian persen dari kenyataan yang terjadi. Berapa banyak berita semacam ini yang harus gue temui selama pandemi—yang seperti baru menguap tampak di permukaan?

"Gak ada gunanya kamu berkoar-koar disini."

"Kalau mau mengkritik pemerintah bukan disini tempatnya."

Gue menulis ini memang bukan untuk tujuan politis, apalagi ingin agar pemerintah melirik tulisan ini (hmm mana sempat mereka baca blog abal-abal, iyaa mana sempat), oleh sebab itu mungkin memang gak ada gunanya. I just want to share my thoughts. Toh gue percaya selama ini sudah banyak sekali media, aksi, tulisan dari asosiasi atau instansi tertentu yang bergerak di bidang sosial yang menyuarakan dan mewakili masyarakat, namun pada kenyataannya pun gak banyak didengar, kan? Sekarang mengkritik pemerintah  bukan dimana-mana tempatnya sebab pemerintahan kita sendiri sudah anti-kritik. Ada influencer sindir aparat negara soal kasus penyiraman air keras Novel Baswedan langsung diserang buzzer, dituduh narkoba. Ada juga wartawan yang aktif dengan kritik tajamnya di media sosial malah diserang hacker, difitnah atas masalah pencemaran nama baik sampai diancam kena UU ITE. Apa itu bukan mengarah fasis namanya?

Belum beberapa lama ini gue juga dibuat jengkel dengan berita Gilang pelaku pelecehan seksual fetish kain jarik yang kemungkinan hanya dikenai ancaman pelanggaran UU ITE pasal 27 ayat 4 dan pasal 29 tentang pengancaman atas tindakannya, sementara yang merujuk pada KUHP sendiri hanya pada pasal 335 tentang perbuatan tidak menyenangkan. Perbuatan tidak menyenangkan lho ya, yang mana tidak sesuai dengan laporan korban yang sejak awal sudah menekankan bahwa kasus ini adalah pelecehan seksual, yang jika bisa diusut dengan UU Penghapusan Kekerasan Seksual seharusnya dapat lebih lugas, plus dapat lebih adil dalam mengayomi korban baik memberi perlindungan secara psikis atau fisik. Pihak kepolisian bilang bukti-bukti yang diberikan kurang kuat untuk bisa menjebloskan tersangka dengan pasal-pasal asusila yang ada di KUHP, sebab banyak ambiguitas di dalamnya. Huft. Bahkan mereka sendiri sebagai aparatur negara berharap agar pemerintah segera mendiskusikan kelanjutan nasib RUU P-KS agar ada payung hukum jelas mengenai isu ini. 

Karena hal itu pula, gue semakin jengkel dengan kenyataan bahwa RUU P-KS tampaknya masih dianggap main-main oleh segelintir penguasa. Beberapa dari beliau-beliau ini sering berkomentar bahwa isi dari RUU P-KS terkesan ambigu dan cenderung mengarahkan hukum menjadi lebih liberal dengan konsep LGBT atau legalisasi prostitusi dan aborsi yang secara implisit tertulis. Iya iya, gue mengerti. Tapi mbok ya kalau memang ambigu kan didiskusikan gitu lho harusnya ya? Bukan cuma diperdebatkan ambigu atau nggaknya, bahkan dilempar sana sini. Seharusnya perlu ada pembahasan lebih lanjut yang substansial untuk mencari solusi dari permasalahan yang ada, bukan cuma ribut memperebutkan siapa yang mengusulkan ini dan itu (seriously, beberapa fraksi awalnya rebutan mau jadi pengusung RUU ini, mungkin kalau nanti goal biar nama partainya bisa ikut naik kali yaa auk ah).

Seringkali gue sedih dan gak jarang bisa langsung sakit kepala hanya dengan melihat segala macam kerumitan yang ada di negara ini, bahkan jika hanya lewat berita sekalipun. Lebih parah lagi, kalau dalam sehari ada lebih dari enam berita yang gue baca, gue bisa menangis saking sedihnya. Gak jarang merasa menyesal juga, "kenapa sih gue harus dilahirkan di negara yang budayanya santuy, malas dan korup?" Kenapa gue harus tinggal di negara yang sama sekali nggak pro-rakyat? Kenapa gue harus tinggal dengan pemandangan berita-berita bodoh para penguasa? Kenapa gue harus menyaksikan betapa terinjak-injaknya mereka yang ada di bawah? Kenapa gue merasa iri dengan negara lain yang bisa mensejahterakan rakyatnya? Kenapa gue harus merasa aneh dengan negara sendiri sebab orang yang warasnya nggak kelihatan? Kenapa gue harus ditampakan wajah-wajah lugu calon generasi di masa depan yang harus hidup di jalanan dan mengais untuk makan? Kenapa juga gue harus tinggal di negara yang mana orang-orangnya bebal dan egois, dan terlihat seperti saat pandemi? Kenapa gue harus hidup di tengah-tengah pengguna media sosial yang bahkan gak tau caranya menginform diri mereka dengan segala pengetahuan yang seharusnya mereka lahap sebelum berbicara? Kenapa gue harus bertemu dengan orang-orang yang bahkan gak tau caranya berperilaku dengan baik dan tau caranya memanusiakan manusia? Kenapa gue harus mendengar ada wakil rakyat yang sibuk berkoar menjunjung pancasila tapi bahkan kelima sila-nya aja nggak mereka penuhi? Kenapa gue harus tinggal di Indonesia? Kenapa?

Berbagai hal yang gue temui dari sejak kecil sampai saat ini telah membentuk diri gue yang sekarang, yang sedikit-sedikit merasa gerah tinggal di Indonesia, dan yang sedikit-sedikit mempertanyakan kenapa sih orang-orang bebal itu nggak bisa hidup selayaknya manusia normal? Sehingga nggak jarang gue menyalahkan Indonesia karena menjadi negara yang nggak cukup nyaman untuk gue tinggali, terkhusus secara mental. Ditambah adanya segala pressure yang membuat timpang salah satu gender. Iya, dengan segala kerumitan ini, hidup menjadi perempuan bukan sesuatu yang mudah sebab masyarakat kita masih begitu kental budaya patriarkinya.

Lalu bertemu dengan nepotisme lah, korup dimana-mana lah, hukum yang patut dipertanyakan lah, suara-suara rakyat yang nggak didengar lah, pemerintah yang selalu sibuk membuat RUU baru dengan dalih memberi solusi padahal sebagian isi Undang-Undangnya menekan rakyat menengah ke bawah lah. Jujur gue jadi kasihan sama pejabat-pejabat pemerintah yang masih punya hati namun tergeser tempatnya sama mereka yang punya kepentingan pribadi untuk bertengger di kursi tinggi sana. Gue malah melihat sekarang rakyat semakin nggak punya pegangan dan tempat yang bisa dituju untuk menyuarakan apa yang menjadi keresahan kami. Wong wakil rakyat aja nggak punya, mau mengadu ke siapa lagi kalau bukan Yang Di Atas? 

Beberapa bulan gue pun melepas diri dari media sosial yang selama ini cenderung menjadi penyumbang nomor satu atas kesedihan dan kegelisahan gue. Paling sesekali gue buka twitter untuk cari tahu isu apa yang lagi hangat. Kayaknya tiap hari tuh ada aja kasus aneh yang trending, dan lagi-lagi membuat gue geleng-geleng kepala. Akhirnya berbaur dengan alam menjadi salah satu obat untuk gue beristirahat sejenak. 

Sebetulnya, gue bersyukur sekali bisa hidup di sebuah negara yang kaya akan sumber daya alamnya. Apalagi gue sendiri memang tinggal di sebuah kota yang bisa dibilang masih asri dibandingkan ibukota. Dalam proses perenungan ini, gue juga prihatin melihat alam kita yang semakin kesini semakin tidak asri, semakin kotor dan sepertinya jauh sekali dibandingkan saat dulu sebelum banyak infrastruktur berdiri. Sampah dimana-mana, banyak pohon yang ditebang untuk kebutuhan komoditas dan lahan-lahannya yang dibangun untuk perhotelan, gedung-gedung tinggi, dll.

Setelah gue pikir-pikir, ternyata semua ini bukan salah Indonesia. Bukan salah Indonesia kalau negara ini isinya hanya orang-orang yang bebal, santuy dan korup. Bukan salah Indonesia kalau rakyatnya nggak bisa sejahtera dan terbelenggu dalam kemiskinan struktural bahkan kultural. Bukan salah Indonesia kalau hukum yang berlaku di negara ini tajam ke bawah. Bukan salah Indonesia kalau berita yang muncul selalu tentang kebodohan para penguasa. Bukan salah Indonesia kalau nepotisme ada dimana-mana. Bukan salah Indonesia kalau alamnya menjadi rusak dan hewan-hewan langka semakin punah, bahkan yang nggak langka pun menjadi langka sebab banyak perburuan liar. Bukan salah Indonesia kalau rakyatnya gak tau cara menginform diri dengan benar meski dimudahkan dengan gadget dan internet. Bukan salah Indonesia kalau keadilan sosial yang bahkan ada dalam pancasila gak berlaku di negara ini. Bukan salah Indonesia kalau masih banyak anak-anak yang terlantar meninggalkan bangku sekolah. Bukan salah Indonesia kalau orang yang waras nggak kelihatan, simply karena orang yang waras nggak akan mau membuang waktu dan tenaganya dengan berkomentar buruk dan melakukan tindakan yang gak ada gunanya juga, also simply karena mereka terlalu sibuk untuk bergulat memenuhi tanggungjawab. Bukan salah Indonesia kalau negara ini masih patriarkis dan belum cukup aman untuk ditinggali. Ini semua bukan salah Indonesia. Indonesia, ibu pertiwi ini hanya korban dari bobroknya perlakuan manusia-manusia yang berkacak pinggang di atas kepentingan mereka.

Salah siapa kalau negara ini tidak cukup mensejahterakan rakyatnya? Salah mereka yang dibutakan mata dan hatinya untuk bisa berlaku sebaik-baiknya manusia. Salah mereka yang hidupnya dimakan oleh egoisme sendiri. Salah mereka yang nggak berusaha mengisi otak dengan segala pengetahuan dan haus akan banyak hal. Salah mereka yang nggak pakai hati di balik isi kepala yang dianggapnya sudah banyak itu. Salah mereka yang lupa bahwa diri mereka adalah seorang hamba, yang tak ubahnya hanyalah penghuni di dunia yang fana, yang diberi mandat oleh Tuhan untuk berbuat sebaik-baiknya ciptaan. 

Share
Tweet
Pin
Share
23 komentar
Newer Posts
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Bukan Salah Indonesia
  • Childfree yang Diperdebatkan
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Just Listen
  • Terlalu Besar Untuk Gagal

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

My Podcast

Newsletter

Get new posts by email:

Popular Posts This Week

  • Di Balik Angkasa
  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Terlalu Besar Untuk Gagal
  • Goodbye Wasteful Life, Welcome Minimalism
  • by.U: Solusi #SemuanyaSemaunya
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • How I See Feminist as a Muslim
  • Become a Fighter
  • Blog Story

Blog Archive

  • ▼  2024 (2)
    • ▼  Oktober 2024 (1)
      • Posture Perfect: How Wearing a Waist Trainer Can I...
    • ►  Agustus 2024 (1)
  • ►  2023 (1)
    • ►  Februari 2023 (1)
  • ►  2022 (9)
    • ►  November 2022 (1)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (1)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  Maret 2022 (2)
    • ►  Februari 2022 (2)
  • ►  2021 (30)
    • ►  Desember 2021 (1)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  Juli 2021 (3)
    • ►  Juni 2021 (2)
    • ►  Mei 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  Maret 2021 (5)
    • ►  Februari 2021 (1)
    • ►  Januari 2021 (5)
  • ►  2020 (46)
    • ►  Desember 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  Oktober 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (10)
    • ►  Juli 2020 (8)
    • ►  Juni 2020 (4)
    • ►  Mei 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  Desember 2019 (3)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Agustus 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Februari 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Pengikut

Categories and Tags

Intermeso Krisis 1/4 Abad Opini Perempuan Podcast Poetry Review Thoughts digital marketing karir lifestyle slice of life

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.